Hefni
Zain
1.
Frem
Pemikiran Umum
Apabila seseorang
ditanya tentang sains, maka niscaya ia akan menyebut matematika, geografi,
linguistik, biologi, antropologi, dll. dan sebaliknya apabila ia ditanya
tentang Ilmu Agama, maka ia akan menyebutkan Fiqh, Tasawuf, Ilmu Tafsir, Ilmu
Hadist dsb. Fenomena ini umum terjadi dalam masyarakat, dimana pemisahan atau
sering disebut dikhotomi sudah mendarah daging pada diri mereka, sehingga kedua
ilmu tersebut dianggap berbeda dan tidak mungkin disatukan.
Demikian pula pada
lembaga pendidikannya, selama ini yang kita ketahui ada lembaga pendidikan
agama dan lembaga pendidikan umum. Lembaga pendidikan seperti madrasah, pondok
pesantren, STAIN, IAIN dan UIN dan PTAI lainnya disebut sebagai lembaga
pendidikan agama. Sedangkan SD, SMP, SMA dan universitas disebut sebagai
lembaga pendidikan umum. Kategori seperti itu juga membedakan instansi
pemerintah yang mengelola dan bertangung jawab.
Pemisahan kedua ilmu
tersebut dikarenakan oleh anggapan bahwa Sains danAgama memiliki cara yang
berbeda baik dari pendekatan maupun dari pengalamannya. Dan perbedaan ini
kemudian menjadi sumber perdebatan yang tak kunjung selesai, dengan kata lain,
Sains bersifat deskriptif dan Agama bersifat preskriptif. Akibatnya lembaga
pendidikan ‘hanya’ melahirkan seorang ulama yang ulama, dan ilmuan yang ilmuan.
Islam tidak mengenal
dikhotomi, Al-Qur’an dan hadits tidak membedakan ilmu agama dan ilmu umum.
Dalam Islam ilmu adalah terintegrasi dan terpadu secara nyata. Tuhan, manusia dan alam adalah rentetan yang
terpadu. Karena itu dalam Islam mempelajari ilmu agama tidak harus
menininggalkankan ilmu umum, begitu juga sebaliknya, sehingga melahirkan
generasi yang beragama sekaligus berilmu, demikian juga sebaliknya.
2.
Model
Integrasi Keilmuan
a.
Integrasi
pohon ilmu model UIN Malang
Agama sebagai basis semua ilmu pengetahuan
(sains). Disini semua ilmu pengetahuan tidak hanya melebur dalam agama, tetapi menempatkan
agama sebagai pendukung seluruh kegiatan ilmiah. Mazhab ini dilakukan oleh UIN
Malang dengan ilustrasi konsep pohon
ilmu. Struktur ilmu pengetahuan diumpamakan sebuah pohon dimana terdapat akar,
batang, dahan ranting, daun dan buah-buahan yang segar. Agar dahannya kuat maka
pohon harus memiliki akar yang kokoh dan kuat, begitu pula dengan batang,
ranting dan daun semua saling terkait satu sama lain supaya menghasilkan buah
yang segar.
Buah yang segar
menggambarkan iman dan amal shalih. Buah yang segar hanya akah muncul dari
pohon yang memiliki akar yang kuat mecakar ke bumi, batang, dahan, dan dau yang
lebat secara utuh. Buah yang segar tidak akan muncul dari akar dan pohon yang
tidak memiliki dahan, ranting dan daun yang lebat. Demikiasn juga buah yang
segar tidak akan muncul dari pohon yang hanya memiliki dahan, ranting, dan daun
tanpa batang dan akar yang kokoh. Sebagai sebuah pohon yang diharapkan
melahirkan buah yang segar, haruslah secara sempurna terdiri atas akar, batang,
dahan, ranting, dan daun yang sehat dan segar pula. Tanpa itu semua mustahil
pohon tersebut melahirkan buah. Demikian pula ilmu yang tidak utuh, yang hanya
sepotong-sepotong akan seperti sebuah pohon yang tidak sempurna, ia tidak akan
melahirkan buah yang diharapkan, yakni keshalihan individual dankeshalihan
sosial.
Akar dari pohon ilmu tersebut adalah ilmu-ilmu alat,
yakni bahasa arab bahasa Inggris, filsafat, ilmu alam, ilmu sosial. Akar
pohon tersebut diharapkan kuat, artinya bahasa kuat, filsafat kuat, lalu
dipakai untuk mengkaji Alquran dan hadis, sirah nabawi, pemikiran Islam dan
sebagainya sedangkan dahan-dahannya itu untuk menggambarkan ilmu modren ilmu
ekonomi, ilmu polotik, hukum, peternakan, pertanian, tekhnologi dan seterusnya.
Seperti sebuah pohon, sari pati makanan itu mesti dari
akar ke batang kemudian dari batang ke dahan, ranting daun diasimilasi kemudian
ke bawah dan itu harus dilihat sebagai sebuah kesatuan. Maka begitulah ilmu
pengetahuan. Semua terkait dan tidak bisa bisa dipisah-pisah. Mengikuti prinsip
ilmu dalam pandangan Al-ghazali, Batang kebawah mempelajarinya hukumnya fardhu
'ain, sedangkan dahan ke atas itu adalah fardhu kifayah. Jadi
tidak benar seperti yang selama ini di persepsikan orang seolah-olah batang ke
bawah tugasnya STAIN, IAIN, UIN dan Pesantren. Sedangkan dahan-dahannya tugas
tetangga kita Undip, Gajah Mada, Airlangga dan sebagainya. Tidak benar ada
pembagian tugas (dikotomi), batang kebawah miliknya PTAI, batang ke atas
miliknya PTU
b.
Interkoneksi
jaring-laba-laba model UIN Jogjakarta
Model ini memandang
bahwa keilmuan agama (an-nash) dengan keilmuan alam dan
sosial (al-ilm) adalah terpadu dan terkait sehingga menghasilkan
sebuah out put yang seimbang etis filosofis (al-falsafah). Jadi
hubungan antara bidang keilmuan tidak
lagi diametral tetapi saling menghargai dan membangun, bidang keilmuan satu
sama lain saling mendukung. Misalnya bagaimana keilmuan sains dan teknologi
dapat mendukung eksistensi keilmuan agama, begitu juga sebaliknya. Sehingga
dalam hal ini tidak lagi dijumpai ilmu agama bertentangan dengan ilmu alam atau
ilmu alam bertentangan dengan ilmu agama. Dalam Islam tidak ada yang salah
dengan struktur keilmuan, hanya saja pandangan ilmuwan yang serba terbatas
seringkali merubah tatanan keilmuan menjadi dikhotomis berdasarkan latar
belakang dan kepentingan ilmuwan tersebut.
Interkoneksi adalah suatu paradigma
yang mempertemukan ilmu agama (Islam), dengan ilmu-ilmu umum dengan filsafat. Agama
(nash), ilmu (alam dan sosial),dan falsafah (etika)
sejatinya mempunyai nilai-nilai yang dapat dipertemukan. Dalam mazhab ini tiga entitas
diatas dianggap sama-sama memiliki kelebihan dan kelemahan, karenanya satu sama
lain harus saling kerja sama, saling mengisi dan melengkapi. Jika kita telah
berhasil memadukan dan menyeimbangkan ketiga entitas di atas dalam berbagai
segi kehidupan, maka kita telah berhasil menghilangkan gap dikhotomis di
antaranya. Makna memadukan dan menyeimbangkan di sini adalah mengkaitkan tanpa
mengacuhkan kepentingan ketiganya.
Model ini dipakai oleh
UIN Jogjakarta dengan istilah integrasi-interkoneksi segitiga keilmuan yang dikenal dengan sudut hadarah
al-nas, hadarah al-‘ilm, danhadarah al-falsafah. Konsep ini divisualisasikan seperti jaring
laba-laba keilmuan (scientific spider web)
c.
Islamisasi ilmu
pengetahuan Model UTM Malaysia
Model ini dikembangkan oleh Naquib al-Attas. Menurut
al-Attas islamisasi ilmu pengetahuan dimaksudkan sebagai upaya dewesternisasi
ilmu yang telah menyusup dalam seluruh aspek keilmuan. Ilmu harus dibersihkan
dari aspek sekularisme, dengan meletakkan kembali otoritas wahyu dan intuisi.
Islamisasi ilmu al-Attas dalam konteks integrasi dapat dikatakan sebagai
“integrasi monistik”. Ia menolak dualisme ilmu antara ilmu fardu ‘ain dan fardu kifayah, ilmu aqliyyah dan ilmu naqliyyah sebagaimana diugkapkan
al-Ghazali. Setiap ilmu mempunyai status ontologis yang sama, yang membedakan
adalah pada hierarkhi ilmu, yaitu tingkat kebenarannya, misalnya naqliyyah memiliki tingkat
kebenarannya lebih tinggi dari ilmu ‘aqliyyah.
Integrasi ilmu dan agama tidak dapat dilakukan
secara formalitas dengan cara memberikan justifikasi ayat al-Qur’an pada setiap
penemuan dan keilmuan, memberikan label agama atau Islam pada istilah-istilah
keilmuan dan sejenisnya, tetapi perlu ada perubahan paradigma pada basis
keilmuan Barat, agar sesuai dengan basis dan khazanah keilmuan Islam yang
berkaitan dengan realitas metafisik, religius dan teks suci. Hal ini penting,
sebab sebuah ilmu akan tetap bernafaskan sekuler, jika tidak didasarkan pada
basis ontologism atau pandangan dunia (world
view) atau tauhid menurut istilah Nuqaib al-Attas. Begitu juga,
sebuah epistemologi akan tetap bersifat ‘eksploitatif dan ‘merusak’ jika tidak
didasarkan pada ontologi yang Islami. Meski demikian, bangunan ilmu yang telah
terintegrasi tidak banyak berarti jika dipegang oleh orang yang tidak bermoral
dan tidak bertanggung jawab, maka perlu dibenahi pada aspek aksiologinya
Pandangan seperti itu akan berimplikasi pada
model kurikulum dan proses pembelajaran yang dikembangkan di PTAI with Wider Mandate, yang tidak
hanya menekankan pada penguasaan ilmu agama Islam, tetapi juga menekankan pada
bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni menerangkan berbagai
problem yang dihadapi umat islam dalam hidupnya.
3.
Integrasi
: harmoni model tawaf
Islam adalah
agama yang mengajarkan keterbukaan, khususnya dalam mengambil hikmah, Ambillah
hikmah dan hendaknya tidak merisaukan kamu “wadah” yang mengeluarkan hikmah
itu”. Anjuran inilah yang menyebabkan uamat Islam terdahulu tidak ragu
menghirup ilmu dari Yunani, Cina, Persia dan India.
Islam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan dan harmoni, seimbang dalam urusan duniawi dan ukhrowi, dzikir dan fikir juga seimbang
antara agama, ilmu dan amal. Pengingkaran terhadap kesimbangan akan melahirkan berbagai kemalangan.
Berbagai kasus seperti banyaknya orang pintar yang terlantar, banyaknya para
pemikir yang tersingkir dan banyaknya
tenaga ahli yang cara hidupnya seperti kuli
adalah sederet bukti bahwa ketidak seimbangan hanya akan melahirkan
berbagai kemalangan. Mereka hanya meraksasa dalam tehnik tetapi tetap merayap
dalam etik.
Ajaran dan anjuran islam sudah jelas, tegas dan lugas bahwa antara agama, ilmu dan amal harus berjalan berkelindang menjadi satu dan terpadu. Islam
menolak ilmu tanpa amal, juga tidak menerima amal tanpa ilmu. Intinya, yang
benar menurut islam adalah “berilmu amaliyah dan beramal ilmiyah”. Visualisasi keseimbangan
adalah seperti tawaf :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar