Senin, 15 Desember 2014

KONSEP INTEGRASI KEILMUAN DALAM ISLAM



Hefni Zain

1.      Frem Pemikiran Umum
Apabila seseorang ditanya tentang sains, maka niscaya ia akan menyebut matematika, geografi, linguistik, biologi, antropologi, dll. dan sebaliknya apabila ia ditanya tentang Ilmu Agama, maka ia akan menyebutkan Fiqh, Tasawuf, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadist dsb. Fenomena ini umum terjadi dalam masyarakat, dimana pemisahan atau sering disebut dikhotomi sudah mendarah daging pada diri mereka, sehingga kedua ilmu tersebut dianggap berbeda dan tidak mungkin disatukan.
Demikian pula pada lembaga pendidikannya, selama ini yang kita ketahui ada lembaga pendidikan agama dan lembaga pendidikan umum. Lembaga pendidikan seperti madrasah, pondok pesantren, STAIN, IAIN dan UIN dan PTAI lainnya disebut sebagai lembaga pendidikan agama. Sedangkan SD, SMP, SMA dan universitas disebut sebagai lembaga pendidikan umum. Kategori seperti itu juga membedakan instansi pemerintah yang mengelola dan bertangung jawab.
Pemisahan kedua ilmu tersebut dikarenakan oleh anggapan bahwa Sains danAgama memiliki cara yang berbeda baik dari pendekatan maupun dari pengalamannya. Dan perbedaan ini kemudian menjadi sumber perdebatan yang tak kunjung selesai, dengan kata lain, Sains bersifat deskriptif dan Agama bersifat preskriptif. Akibatnya  lembaga pendidikan ‘hanya’ melahirkan seorang ulama yang ulama, dan ilmuan yang ilmuan.
Islam tidak mengenal dikhotomi, Al-Qur’an dan hadits tidak membedakan ilmu agama dan ilmu umum. Dalam Islam ilmu adalah terintegrasi dan terpadu secara nyata.  Tuhan, manusia dan alam adalah rentetan yang terpadu. Karena itu dalam Islam mempelajari ilmu agama tidak harus menininggalkankan ilmu umum, begitu juga sebaliknya, sehingga melahirkan generasi yang beragama sekaligus berilmu, demikian juga sebaliknya.

2.      Model Integrasi Keilmuan
a.    Integrasi pohon ilmu model UIN Malang
Agama sebagai basis semua ilmu pengetahuan (sains). Disini semua ilmu pengetahuan tidak hanya melebur dalam agama, tetapi menempatkan agama sebagai pendukung seluruh kegiatan ilmiah. Mazhab ini dilakukan oleh UIN Malang  dengan ilustrasi konsep pohon ilmu. Struktur ilmu pengetahuan diumpamakan sebuah pohon dimana terdapat akar, batang, dahan ranting, daun dan buah-buahan yang segar. Agar dahannya kuat maka pohon harus memiliki akar yang kokoh dan kuat, begitu pula dengan batang, ranting dan daun semua saling terkait satu sama lain supaya menghasilkan buah yang segar.
Buah yang segar menggambarkan iman dan amal shalih. Buah yang segar hanya akah muncul dari pohon yang memiliki akar yang kuat mecakar ke bumi, batang, dahan, dan dau yang lebat secara utuh. Buah yang segar tidak akan muncul dari akar dan pohon yang tidak memiliki dahan, ranting dan daun yang lebat. Demikiasn juga buah yang segar tidak akan muncul dari pohon yang hanya memiliki dahan, ranting, dan daun tanpa batang dan akar yang kokoh. Sebagai sebuah pohon yang diharapkan melahirkan buah yang segar, haruslah secara sempurna terdiri atas akar, batang, dahan, ranting, dan daun yang sehat dan segar pula. Tanpa itu semua mustahil pohon tersebut melahirkan buah. Demikian pula ilmu yang tidak utuh, yang hanya sepotong-sepotong akan seperti sebuah pohon yang tidak sempurna, ia tidak akan melahirkan buah yang diharapkan, yakni keshalihan individual dankeshalihan sosial.
Akar dari pohon ilmu tersebut adalah ilmu-ilmu alat, yakni bahasa arab bahasa Inggris, filsafat, ilmu alam, ilmu sosial. Akar pohon tersebut diharapkan kuat, artinya bahasa kuat, filsafat kuat, lalu dipakai untuk mengkaji Alquran dan hadis, sirah nabawi, pemikiran Islam dan sebagainya sedangkan dahan-dahannya itu untuk menggambarkan ilmu modren ilmu ekonomi, ilmu polotik, hukum, peternakan, pertanian, tekhnologi dan seterusnya.
Seperti sebuah pohon, sari pati makanan itu mesti dari akar ke batang kemudian dari batang ke dahan, ranting daun diasimilasi kemudian ke bawah dan itu harus dilihat sebagai sebuah kesatuan. Maka begitulah ilmu pengetahuan. Semua terkait dan tidak bisa bisa dipisah-pisah. Mengikuti prinsip ilmu dalam pandangan Al-ghazali, Batang kebawah mempelajarinya hukumnya fardhu 'ain, sedangkan dahan ke atas itu adalah fardhu kifayah. Jadi tidak benar seperti yang selama ini di persepsikan orang seolah-olah batang ke bawah tugasnya STAIN, IAIN, UIN dan Pesantren. Sedangkan dahan-dahannya tugas tetangga kita Undip, Gajah Mada, Airlangga dan sebagainya. Tidak benar ada pembagian tugas (dikotomi), batang kebawah miliknya PTAI, batang ke atas miliknya PTU

b.    Interkoneksi jaring-laba-laba model UIN Jogjakarta
Model ini memandang bahwa keilmuan agama (an-nash) dengan keilmuan alam dan sosial (al-ilm) adalah terpadu dan terkait sehingga menghasilkan sebuah out put yang seimbang etis filosofis (al-falsafah). Jadi hubungan antara bidang keilmuan  tidak lagi diametral tetapi saling menghargai dan membangun, bidang keilmuan satu sama lain saling mendukung. Misalnya bagaimana keilmuan sains dan teknologi dapat mendukung eksistensi keilmuan agama, begitu juga sebaliknya. Sehingga dalam hal ini tidak lagi dijumpai ilmu agama bertentangan dengan ilmu alam atau ilmu alam bertentangan dengan ilmu agama. Dalam Islam tidak ada yang salah dengan struktur keilmuan, hanya saja pandangan ilmuwan yang serba terbatas seringkali merubah tatanan keilmuan menjadi dikhotomis berdasarkan latar belakang dan kepentingan ilmuwan tersebut.
Interkoneksi adalah suatu paradigma yang mempertemukan ilmu agama (Islam), dengan ilmu-ilmu umum dengan filsafat. Agama  (nash), ilmu (alam dan sosial),dan falsafah (etika) sejatinya mempunyai nilai-nilai yang dapat dipertemukan. Dalam mazhab ini tiga entitas diatas dianggap sama-sama memiliki kelebihan dan kelemahan, karenanya satu sama lain harus saling kerja sama, saling mengisi dan melengkapi. Jika kita telah berhasil memadukan dan menyeimbangkan ketiga entitas di atas dalam berbagai segi kehidupan, maka kita telah berhasil menghilangkan gap dikhotomis di antaranya. Makna memadukan dan menyeimbangkan di sini adalah mengkaitkan tanpa mengacuhkan kepentingan ketiganya. 
Model ini dipakai oleh UIN Jogjakarta dengan istilah integrasi-interkoneksi segitiga keilmuan yang dikenal dengan sudut hadarah al-nas, hadarah al-‘ilm, danhadarah al-falsafah. Konsep ini divisualisasikan seperti jaring laba-laba keilmuan (scientific spider web) 



c.    Islamisasi ilmu pengetahuan Model UTM Malaysia
Model ini dikembangkan oleh Naquib al-Attas. Menurut al-Attas islamisasi ilmu pengetahuan dimaksudkan sebagai upaya dewesternisasi ilmu yang telah menyusup dalam seluruh aspek keilmuan. Ilmu harus dibersihkan dari aspek sekularisme, dengan meletakkan kembali otoritas wahyu dan intuisi. Islamisasi ilmu al-Attas dalam konteks integrasi dapat dikatakan sebagai “integrasi monistik”. Ia menolak dualisme ilmu antara ilmu fardu ‘ain dan fardu kifayah, ilmu aqliyyah dan ilmu naqliyyah sebagaimana diugkapkan al-Ghazali. Setiap ilmu mempunyai status ontologis yang sama, yang membedakan adalah pada hierarkhi ilmu, yaitu tingkat kebenarannya, misalnya naqliyyah memiliki tingkat kebenarannya lebih tinggi dari ilmu ‘aqliyyah.
Integrasi ilmu dan agama tidak dapat dilakukan secara formalitas dengan cara memberikan justifikasi ayat al-Qur’an pada setiap penemuan dan keilmuan, memberikan label agama atau Islam pada istilah-istilah keilmuan dan sejenisnya, tetapi perlu ada perubahan paradigma pada basis keilmuan Barat, agar sesuai dengan basis dan khazanah keilmuan Islam yang berkaitan dengan realitas metafisik, religius dan teks suci. Hal ini penting, sebab sebuah ilmu akan tetap bernafaskan sekuler, jika tidak didasarkan pada basis ontologism atau pandangan dunia (world view) atau tauhid menurut istilah Nuqaib al-Attas. Begitu juga, sebuah epistemologi akan tetap bersifat ‘eksploitatif dan ‘merusak’ jika tidak didasarkan pada ontologi yang Islami. Meski demikian, bangunan ilmu yang telah terintegrasi tidak banyak berarti jika dipegang oleh orang yang tidak bermoral dan tidak bertanggung jawab, maka perlu dibenahi pada aspek aksiologinya
Pandangan seperti itu akan berimplikasi pada model kurikulum dan proses pembelajaran yang dikembangkan di PTAI with Wider Mandate, yang tidak hanya menekankan pada penguasaan ilmu agama Islam, tetapi juga menekankan pada bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni menerangkan berbagai problem yang dihadapi umat islam dalam hidupnya.

3.      Integrasi  : harmoni  model tawaf
Islam adalah agama yang mengajarkan keterbukaan, khususnya dalam mengambil hikmah, Ambillah hikmah dan hendaknya tidak merisaukan kamu “wadah” yang mengeluarkan hikmah itu”. Anjuran inilah yang menyebabkan uamat Islam terdahulu tidak ragu menghirup ilmu dari Yunani, Cina, Persia dan India.
Islam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan dan harmoni, seimbang dalam urusan duniawi dan ukhrowi, dzikir dan fikir juga seimbang antara agama, ilmu dan amal. Pengingkaran terhadap kesimbangan akan melahirkan berbagai kemalangan. Berbagai kasus seperti banyaknya orang pintar yang terlantar, banyaknya para pemikir yang tersingkir  dan banyaknya tenaga ahli yang cara hidupnya seperti kuli  adalah sederet bukti bahwa ketidak seimbangan hanya akan melahirkan berbagai kemalangan. Mereka hanya meraksasa dalam tehnik tetapi tetap merayap dalam etik.
Ajaran dan anjuran islam sudah jelas, tegas dan lugas bahwa antara agama, ilmu dan amal harus berjalan berkelindang menjadi satu dan terpadu. Islam menolak ilmu tanpa amal, juga tidak menerima amal tanpa ilmu. Intinya, yang benar menurut islam adalah “berilmu amaliyah dan beramal ilmiyah”. Visualisasi keseimbangan adalah seperti tawaf :



Tidak ada komentar:

Posting Komentar