Hefni Zain
Belakangan, tasawuf ramai diminati. Kajian
tentangnya digelar bukan hanya di masjid, tapi juga di hotel-hotel mewah.
Tasawuf tidak lagi milik sekelompok kecil yang belajar di surau kampung.
Tasawuf kini berputar di ruangan orang-orang kaya. Apa pasal? Kehidupan modern
telah membawa manusia pada apa yang disebut Ashley Montagu, seorang peneliti
sosial, dehumanization of man, dehumanisasi manusia. Bukannya makin beradab,
manusia makin kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya. Perkembangan
daya nalar yang tidak seimbang dengan daya spiritual hanya akan melahirkan
manusia yang split personality, kian banyak sosok pandai tapi kian
langka sosok jujur, kian membludak sosok yang pongah dengan pengetahuan tapi
bingung menikmati kehidupan, mampu merekayasa kosmik tetapi tidak mampu
mengendalikan diri sendiri, alhasil
globalisasi telah mengantarkan manusia pada pucuk popularitas tetapi
sekaligus menjadikannya mengalami krisis kemanusiaan yang kronis.
Disaat banyak manusia mengalami kecemasan dan
keresahan yang tak berkesudahan, maka reoreintasi pola hidup perlu segera
dilakukan, jalan hidup yang tidak
“melulu akal” perlu segera dicari, sebab secara empirik dalam kehidupan yang
terus menua, dunia tidak saja memerlukan manusia pinter, tapi yang lebih
penting adalah munculnya manusia suci dan benar, maka dalam konteks yang
seperti itu “pola hidup sufi” adalah sesuatu yang niscaya. Pola hidup sufi
kiranya menjadi alternatif solutif sebagai pusat rehabilitasi sosial bagi pihak
pihak yang mengalami kegoncangan psikologis dan kegersangan spiritual juga
dalam rangka membentuk prilaku zuhud, qona’ah, sabar, ridlo dan tawakkal
sebagai balance terhadap kecenderungan pola hidup serakah, materialistik
dan hedonistik.
Adalah
hukum alam, bahwa pembangunan yang berkembang begitu cepat akan selalu seiring
dengan biaya sosial yang harus dikeluarkan, berdirinya real estate dan
departemen store dipelbagai tempat akan seiring dengan kehadiran perkampungan
kumuh dan zona zona kejahatan, bila konglomerat bertambah maka demikian juga
dengan orang melarat dan orang jahat.
Yang dimaksud pola hidup sufi disini adalah “Jangan bergaul dengan Allah kecuali
dengan muwafaqoh” (mentaatinya) Jangan
bergaul dengan sesama mahluk kecuali dengan munasahah ” (saling
menyayangi) Jangan bergaul dengan nafsu
kecuali dengan mukhalafah” (menundukkannya) dan jangan bergaul dengan syetan
kecuali dengan muharabah” (memeranginya).
Bahkan, di Barat sendiri dalam beberapa dekakde terakhir
ini jalan hidup sufi mengalami
kebangkitan yang luar biasa, Hakim Chisthi dalam risetnya menemukan bahwa di
barat tatkala kemajuan IPTEK kian dipacu, justru semakin bermunculan tarekat
tarekat sufi, terutama di kawasan Manhattan seperti tarekat bookstore,
halvatiye Jarrahi dan semacamnya, bahkan di New york tarekat silmani yang
dipelopori Javad Nourbakhsh, dengan super aktif menerbitkan karya karya
sufistik kedalam berbagai bahasa, semua itu menandakan bahwa sejumlah masyarakat
di barat sendiri sudah masuk pada “tahap muak” dengan pola hidup hipokrit
hedonis yang justru memperbesar munculnya kekacauan dihampir semua aspek
kehidupan.
Dehumanisasi
manusia dapat diartikan bahwa sudah
tidak terlihat lagi sesuatu yang membedakan manusia dengan makhluk selainnya.
Ambilah hadis Nabi tentang membalas keburukan dengan kebaikan, dan bandingkan
dengan kehidupan kita sekarang ini. Tabiat untuk membalas kebaikan dengan
kebaikan, itu dimiliki oleh seluruh makhluk. Binatang buas sekalipun akan
takluk karena kebaikan kita, al-insan abdul ihsan, manusia itu hambanya
kebaikan. Anjing yang menggonggong dengan kasar terhenti manakala sepotong
tulang diberikan kepadanya. Adapun bila kebaikan dibalas dengan keburukan, maka
binatang yang liar sekalipun takkan melakukannya.
Manusia
yang membalas kebaikan dengan keburukan sudah lebih buruk bahkan dari binatang,
bal hum adhal, bahkan mereka lebih sesat lagi. Karakteristik yang membedakan
manusia dengan binatang, yang kemudian menjadikannya manusia, yang menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaannya, adalah ketika ia membalas keburukan dengan
kebaikan. Inilah yang tak mampu dilakukan hewan-hewan. Inilah yang mengangkat
derajat kita menjadi makhluk yang lebih mulia.
Tentu
masih ingat cerita ketika Nabi Saw sering dilempari sampah oleh seorang kafir,
setiap kali beliau berangkat ke Baitullah. Hingga satu ketika, lemparan sampah
itu terhenti. Nabi mendongak ke atas, orang kafir itu tak tampak. Bertanyalah
Nabi kepada para sahabatnya. Disampaikanlah bahwa orang kafir itu sedang
dirundung sakit. Apa yang Nabi lakukan? Beliau menjumpainya, mengunjunginya,
dan mendoakan kesembuhannya. Orang kafir itu pun menyatakan keislamannya.
Proses
dehumanisasi manusia terjadi, ketika manusia melupakan tujuan kehidupannya.
ketika manusia melupakan tujuan kehidupannya. Ketika ia terbawa oleh kisah-kisah
penjahit yang melenakannya. Untuk itulah tasawuf ramai dikaji, seolah-olah
hadir sebagai pengingat. Mirip orang kota dalam cerita Rumi. Ia barang lama.
Sudah datang pengingat dan pendakwah, tapi kini ia dikemas dalam bentuk baru.
Diberilah label “ilmu tasawuf”. Padahal, tasawuf adalah keislaman itu sendiri.
Akarnya ada pada ajaran-ajaran Islam. Mengaji tasawuf berarti menilai ulang
keislaman kita sendiri. Yang juga tak kalah pentingnya, dehumanisasi
manusia terjadi karena manusia kehilangan cinta. Tasawuf adalah ilmu yang
sepenuhnya didasarkan pada cinta, pada rahman dan rahim Allah Swt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar