Jumat, 26 Desember 2014

NGAJI TASAWUF

Hefni Zain

Belakangan, tasawuf ramai diminati. Kajian tentangnya digelar bukan hanya di masjid, tapi juga di hotel-hotel mewah. Tasawuf tidak lagi milik sekelompok kecil yang belajar di surau kampung. Tasawuf kini berputar di ruangan orang-orang kaya. Apa pasal? Kehidupan modern telah membawa manusia pada apa yang disebut Ashley Montagu, seorang peneliti sosial, dehumanization of man, dehumanisasi manusia. Bukannya makin beradab, manusia makin kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya. Perkembangan daya nalar yang tidak seimbang dengan daya spiritual hanya akan melahirkan manusia yang split personality, kian banyak sosok pandai tapi kian langka sosok jujur, kian membludak sosok yang pongah dengan pengetahuan tapi bingung menikmati kehidupan, mampu merekayasa kosmik tetapi tidak mampu mengendalikan diri sendiri, alhasil  globalisasi telah mengantarkan manusia pada pucuk popularitas tetapi sekaligus menjadikannya mengalami krisis kemanusiaan yang kronis.
Disaat banyak manusia mengalami kecemasan dan keresahan yang tak berkesudahan, maka reoreintasi pola hidup perlu segera dilakukan,  jalan hidup yang tidak “melulu akal” perlu segera dicari, sebab secara empirik dalam kehidupan yang terus menua, dunia tidak saja memerlukan manusia pinter, tapi yang lebih penting adalah munculnya manusia suci dan benar, maka dalam konteks yang seperti itu “pola hidup sufi” adalah sesuatu yang niscaya. Pola hidup sufi kiranya menjadi alternatif solutif sebagai pusat rehabilitasi sosial bagi pihak pihak yang mengalami kegoncangan psikologis dan kegersangan spiritual juga dalam rangka membentuk prilaku zuhud, qona’ah, sabar, ridlo dan tawakkal sebagai balance terhadap kecenderungan pola hidup serakah, materialistik dan hedonistik.
Adalah hukum alam, bahwa pembangunan yang berkembang begitu cepat akan selalu seiring dengan biaya sosial yang harus dikeluarkan, berdirinya real estate dan departemen store dipelbagai tempat akan seiring dengan kehadiran perkampungan kumuh dan zona zona kejahatan, bila konglomerat bertambah maka demikian juga dengan orang melarat dan orang jahat.
Yang dimaksud pola hidup sufi disini  adalah “Jangan bergaul dengan Allah kecuali dengan muwafaqoh” (mentaatinya)  Jangan bergaul dengan sesama mahluk kecuali dengan munasahah ” (saling menyayangi)  Jangan bergaul dengan nafsu kecuali dengan mukhalafah” (menundukkannya) dan jangan bergaul dengan syetan kecuali dengan muharabah” (memeranginya).
Bahkan, di Barat sendiri dalam beberapa dekakde terakhir ini  jalan hidup sufi mengalami kebangkitan yang luar biasa, Hakim Chisthi dalam risetnya menemukan bahwa di barat tatkala kemajuan IPTEK kian dipacu, justru semakin bermunculan tarekat tarekat sufi, terutama di kawasan Manhattan seperti tarekat bookstore, halvatiye Jarrahi dan semacamnya, bahkan di New york tarekat silmani yang dipelopori Javad Nourbakhsh, dengan super aktif menerbitkan karya karya sufistik kedalam berbagai bahasa, semua itu menandakan bahwa sejumlah masyarakat di barat sendiri sudah masuk pada “tahap muak” dengan pola hidup hipokrit hedonis yang justru memperbesar munculnya kekacauan dihampir semua aspek kehidupan.
Dehumanisasi manusia dapat diartikan  bahwa sudah tidak terlihat lagi sesuatu yang membedakan manusia dengan makhluk selainnya. Ambilah hadis Nabi tentang membalas keburukan dengan kebaikan, dan bandingkan dengan kehidupan kita sekarang ini. Tabiat untuk membalas kebaikan dengan kebaikan, itu dimiliki oleh seluruh makhluk. Binatang buas sekalipun akan takluk karena kebaikan kita, al-insan abdul ihsan, manusia itu hambanya kebaikan. Anjing yang menggonggong dengan kasar terhenti manakala sepotong tulang diberikan kepadanya. Adapun bila kebaikan dibalas dengan keburukan, maka binatang yang liar sekalipun takkan melakukannya.
Manusia yang membalas kebaikan dengan keburukan sudah lebih buruk bahkan dari binatang, bal hum adhal, bahkan mereka lebih sesat lagi. Karakteristik yang membedakan manusia dengan binatang, yang kemudian menjadikannya manusia, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaannya, adalah ketika ia membalas keburukan dengan kebaikan. Inilah yang tak mampu dilakukan hewan-hewan. Inilah yang mengangkat derajat kita menjadi makhluk yang lebih mulia.
Tentu masih ingat cerita ketika Nabi Saw sering dilempari sampah oleh seorang kafir, setiap kali beliau berangkat ke Baitullah. Hingga satu ketika, lemparan sampah itu terhenti. Nabi mendongak ke atas, orang kafir itu tak tampak. Bertanyalah Nabi kepada para sahabatnya. Disampaikanlah bahwa orang kafir itu sedang dirundung sakit. Apa yang Nabi lakukan? Beliau menjumpainya, mengunjunginya, dan mendoakan kesembuhannya. Orang kafir itu pun menyatakan keislamannya.
Proses dehumanisasi manusia terjadi, ketika manusia melupakan tujuan kehidupannya. ketika manusia melupakan tujuan kehidupannya. Ketika ia terbawa oleh kisah-kisah penjahit yang melenakannya. Untuk itulah tasawuf ramai dikaji, seolah-olah hadir sebagai pengingat. Mirip orang kota dalam cerita Rumi. Ia barang lama. Sudah datang pengingat dan pendakwah, tapi kini ia dikemas dalam bentuk baru. Diberilah label “ilmu tasawuf”. Padahal, tasawuf adalah keislaman itu sendiri. Akarnya ada pada ajaran-ajaran Islam. Mengaji tasawuf berarti menilai ulang keislaman kita sendiri. Yang juga tak kalah pentingnya, dehumanisasi manusia terjadi karena manusia kehilangan cinta. Tasawuf adalah ilmu yang sepenuhnya didasarkan pada cinta, pada rahman dan rahim Allah Swt.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar