Hefni
Zain
Pendahuluan
Sejak dipublikasikannya pertama kali melalui Majalah
Foreign Afair tahun 1993 dan terlebih setelah dikembangkan menjadi buku dan
diterjemah ke dalam puluhan bahasa, tesis benturan antar peradaban (clash of
civilization)” karya Samuel Huntington telah mengundang banyak
kontroversi dari dunia internasional. Hingga kini perdebatan wacana ini terus
bergulir dan dialektikanya terus mengalir. Banyak kalangan akademisi maupun
pakar-pakar sosial keagamaan melakukan kritik tajam terhadap tesis ini. Mereka
mempertanyakan masalah signfikansi tesis tersebut terhadap sensiitifitas
persoalan agama, budaya dan debat politik yang memanas pasca perang dingin.
Apa sebenarnya yang membuat tesis “the Clash of
Civilization” ini begitu kontroversial?. Mengapa ia dicap sebagai tulisan
propagandis, spekulatif dan profokatif, yang bagi para intelektual humanis dan
agamawan sangat berpotensi mengancam perdamaian dunia?. Hal itu tidak lepas
dari asumsi dasar yang digunakan Huntington dalam meramalkan masa depan,
menurutnya masa depan politik dunia akan didominasi oleh konflik antar bangsa
dan peradaban yang berbeda, dan konflik dunia di masa bukan lagi bersumber dari
ideologi dan ekonomi, melainkan dari peradaban.
Huntington mendasarkan tesisnya setidaknya pada enam
alasan yang dijadikan premis dasar untuk menjelaskan mengapa politik dunia ke
depan akan sangat dipengaruhi oleh benturan antar peradaban. Pertama,
perbedaan antara peradaban tidak saja nyata, tetapi sangat mendasar, hal ini
dapat dilihat di berbagai peradaban dunia yang mempunyai akar budayanya sendiri
yang berbeda. Kedua, dunia semakin mengecil. Interaksi di antara
masyarakat dan peradaban yang berbeda terus meningkat. Interaksi ini
berlangsung semakin intensif, semakin menguat kesadaran akan peradaban sendiri
dan semakin sensitif terhadap perbedaan yang ada antara peradabannya dengan
yang lainnya. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial di
seluruh dunia telah mengakibatkan tercerabutnya masyarakat dari akar-akar
indentitas lokal yang telah berlangsung lama. Hal ini telah menyisakan ruang
kosong yang kemudian diisi oleh identitas agama, seringkali gerakan berlabelkan
“fundamentalis.” Keempat, semakin berkembangnya kesadaran peradaban
(civilization conciousness) akibat peran ganda dunia barat. Dimana di satu sisi
dunia Barat sedang berada pada puncak kekuasaannya, disisi lain sebagai reaksi
balik atas hagemoni Barat tersebut, kembalinya masyarakat Non Barat pada akar
peradabannya. Kelima, karakteristik dan perbedaan kultural yang terjadi
di antara peradaban Barat dan Non Barat semakin mengeras. Hal ini menyebabkan
semakin sulitnya kompromi dan upaya-upaya perbaikan hubungan di antara
peradaban dalam kerangka kultural dari pada upaya mengkompromikan karakteristik
dan perbedaan politik serta ekonomi. Dan keenam, adalah regionalisme
ekonomi yang semakin meningkat.
Jika dilihat lebih jauh, premis-premis yang diajukan
Huntington sejalan dengan kritik posmodernisme, akan tetapi dalam wajahnya yang
negatif. Dan yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah premis-premis
diatas secara otomatis akan melahirkan apa yang disebut dengan ”benturan antar
peradaban”. Disini Huntington melakukan dua hal, pertama memetakan
muatan kultural, kecenderungan dan dinamika internal peradaban-peradaban.
Disebut bahwa ada delapan peradaban besar dunia; Barat, Islam, Konfusius,
Jepang, Hindu, Slavik-Ortodoks, Amerika Latin dan Afrika. Kedua,
Huntington meramalkan bahwa potensi konflik yang akan mendoiminasi dunia masa
depan bukan diantara kedelapan peradaban tersebut, tetapi antara Barat dan
peradaban lainnya. Sedangkan potensi konflik paling besar yang akan terjadi
adalah antara Barat dan koalisi Islam-Konfusius. Bahkan lebih jauh, Huntington
dengan sangat berani memastikan bahwa musuh Barat adalah koalisi Islam dan
Konfusionis.
Kendati Huntington berusaha keras meyakinkan
pembacanya bahwa pada dasarnya benturan antar peradaban masa depan akan terjadi
karena tiga hal pokok, yaitu adanya hagemoni-arogansi Barat, intoleransi Islam,
dan fanatisme Konfusionis. Namun sejak awal, teori “benturan antar peradaban”
Huntington ini malah banyak memantik kritik dan cibiran, sebab tesis ini selain
dianggap sebagai ilusi yang fantastis, juga tidak mencerminkan semangat zaman
yang menekankan aspek globalisasi dan pluralitas, toleransi dan kesetaraan
sebagai syarat utama menuju harmoni peradaban dunia.
Menguji Tesis
Huntington .
Dikatakan oleh
Huntington “It is my hypothesis that the fundamental source of conflict in this
new world will not be primarily ideological or primarily economic. The great
divisions among humankind and the dominating source of conflict will be
cultural.... the principal conflicts of global politics will occur between
nations and groups of different civilizations. The clash of civilizations will
dominate global politics. The fault lines between civilizations will be the
battle lines of the future.” Lewat hipotesisnya, Huntington mencoba menawarkan
paradigma baru dalam melihat dunia. Ia melihat ada tujuh peradaban yang akan
mewarnai persaingan global: Western, Latin American, Confucian, Japanese,
Islamic, Hindu dan Slavic-Orthodox.
Huntington memprediksikan akan terjadi konflik di
level makro antara negara-negara dari peradaban yang berbeda dalam mengontrol
institusi internasional, ekonomi global dan kekuatan militer. Professor of the
Science of Government Harvard University ini mengajukan tesis dalam kalimat
sangat tegas ”Sumber utama konflik dunia baru tidak lagi ideologi atau ekonomi,
tetapi budaya. Budaya akan memilah-milah manusia dan menjadi sumber konflik
dominan. Negara-negara akan tetap menjadi aktor paling kuat dalam percaturan
dunia, tetapi konflik politik global yang paling prinsipil akan terjadi antara
bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok karena perbedaan peradaban mereka. Benturan
peradaban akan mendominasi politik global.”
Atas tulisannya itu, Huntington menuai banyak kritik,
diantaranya dari Tariq Ali yang mempersoalkan pemetaan dan kategorisasi
peradaban Huntington yang cenderung statis dan monolitik. Padahal peradaban
sendiri memiliki komplekstitas dan berbagai perbedaan antar pendukungnya. Oleh
karena itu, tokoh yang dikenal keras terhadap kebijakan luar negeri Amerika
Serikat ini lebih cenderung melihat kepada benturan unsur-unsur fundamentalis
pada peradaban-peradaban yang ada. Dari perspektif yang berbeda, Edward Said
turut mengkritik pandangan Huntington. Pakar orientalisme ini berpendapat bahwa
peradaban bukanlah kotak tertutup. Sejarah memaparkan secara jelas dinamika
interaksi, pertukaran, dan saling pinjam antar peradaban. Sehingga paradigma
Huntington justru tidak membantu memahami realitas yang ada, meskipun mampu
“memberi perspektif” kongkret dan praktis. Selain itu, Said melihat perspektif
Huntington memberikan porsi signifikan terhadap Islam sangat dipengaruhi memori
lama tentang pertentangan Muslim dan Eropa, khususnya persaingan Abramistic
Religions. Menurutnya, benturan antar peradaban tak lebih dari bahasa baru
untuk mengungkap (seleksi) sejarah, bukan untuk memahami kesalingbergantungan
yang terus berlangsung sampai saat ini.
Martha Nussbaum juga turut menunjukkan kelemahan tesis
Huntington. Bagi Martha, “The real clash is not a civilizational one between
“Islam” and “the West,” but instead a clash within virtually all modern nations
between people who are prepared to live with others who are different, on terms
of equal respect, and those who seek the protection of homogeneity, achieved
through the domination of a single religious and ethnic tradition.” Yang jadi
sumber benturan menurut Professor of Law and Ethics University of Chicago ini
adalah pertentangan antara kehendak menguasai dengan kehendak untuk hidup
bersama dalam kesetaraan.
Posisi kontra Huntington juga dapat ditemui pada
pandangan Dominique Moisi. Ilmuan politik dari Perancis ini cenderung melihat
pertentangan yang terjadi lebih disebabkan oleh faktor psikologis: balutan
ketakutan, keterhinaan, dan harapan, Ketakutan Dunia Barat, keterhinaan Dunia
Muslim dan harapan sebagian besar negara-negara di Asia. Oleh karena itu,
diperlukan upaya menghilangkan ketakutan yang tak berdasar, menciptakan
kesetaraan, menumbuhkan martabat agar melenyapkan rasa keterhinaan, dan terus
berusaha mewujudkan masa depan yang penuh asa dengan semangat perdamaian. Untuk
menciptakan solidaritas global harus dimulai dari upaya saling mengenal. Hal
lain yang sangat penting adalah mengenali “musuh bersama” dan problem-problem
bersama. Demo anti perang AS atas Irak
menjadi sinyal positif bagi peluang kerjasama antar orang-orang yang punya
semangat menciptakan kerukunan dari berbagai belahan dunia. Dalam batas-batas
tertentu, upaya inilah yang sedang dilakukan beberapa pihak untuk mewujudkan
situasi dunia baru yang lebih harmonis dengan semangat mencari sekutu di antara
“musuh” lama.
Akbar S. Ahmed adalah salah satu tokoh yang juga tidak
sepaham dengan Huntington. Dia menyatakan bahwa benturan yang terjadi dalam
sejarah dunia lebih menunjukkan faktor kepentingan ekonomi dan politik
ketimbang faktor perbedaan budaya. Akbar menunjuk fenomena perang Teluk I
sebagai fakta empiris peta politik yang tidak berhadap-hadapan secara
diametral, Barat vis a vis Islam, tetapi lebih menunjuk kepada polarisasi
kepentingan. Dalam hal ini, negara-negara Muslim seperti Kuwait, Arab Saudi,
Mesir pada posisi kepentingan yang seirama dengan Amerika dan sekutunya
(Barat), sehingga tidak bisa dikatakan telah terjadi benturan antara Islam dan
Barat.
Menurut Akbar S.Ahmed, kelemahan lain dalam tesis
Huntington adalah kerancuan dalam mendefinisikan peradaban. Huntington menyebut
beberapa peradaban utama yang mungkin akan saling berkonfrontasi di masa yang
akan datang : Barat, Cina/Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Amerika Latin, dan Afrika.
Huntington mencampur adukkan berbagai hal yang bermacam ragam, termasuk letak
(Barat), ajaran (Konfusius), etnik (Slav), negara (Jepang), agama (Islam), dan
benua (Afrika). Dalam hal ini, ia tidak konsisten dan tanpa definisi peradaban
yang dapat dimengerti dan dapat diterapkan. Selain itu, kesimpulan Huntington
ternyata tidak menggambarkan kenyatan yang sebenarnya. Dengan berakhirnya
perang dingin, kecenderungan yang terjadi bukan pengelompokan masyarakat dalam
entitas tertinggi -yaitu pengelompokan peradaban- tetapi justru perpecahan
menuju entitas yang lebih kecil, berdasar suku dan etnik. Hal ini terlihat
jelas dari disintegrasi Uni Soviet, yang sebagian besar penduduknya memiliki
dasar budaya dan peradaban yang sama. Kesamaan peradaban belum merupakan
perekat cukup kuat bagi kelompok-kelompok etnik minoritas yang secara politik
atau ekonomi merasa ditindas kelompok mayoritas yang berkuasa.
Banyak sekali kelemahan dalam tesis Huntington itu sebenarnya. Misalnya, ia
mengatakan bahwa peradaban Barat sudah "jadi" sejak abad ke-8 dan
ke-9. Dengan demikian, "Barat" sudah menjadi Barat yang
"unik" jauh sebelum perkembangan penting seperti masa reformasi, masa
Pencerahan, dan Revolusi Industri. Klaim seperti ini membuat Huntington bisa
mengabaikan bahwa demokrasi pun ditanam di negeri Barat sebagai hasil
pergulatan panjang yang sering berdarah, terutama dalam konteks perubahan sosial ganas yang dibawa oleh
industrialisasi, termasuk beberapa percobaan revolusi oleh kaum proletariat
yang gagal. Lucunya, Huntington sendiri pernah menulis dalam sebuah buku
sebelum Clash of Civilisations, bahwa "gelombang ketiga
demokratisasi" sedang melanda dunia, sesuatu yang musykil terjadi kalau demokrasi hanya milik satu peradaban.
Bukan Benturan Peradaban Tapi
Benturan Kepentingan
Terhadap tesis Huntington yang melihat Islam dan Barat
sebagai dua peradaban yang saling berbenturan, ada banyak kalangan yang
kemudian mempertanyakan “the clash of civilization or the clash of interest ?.
Pertanyaan ini wajar mengingat banyak riset yang dilakukan sebelumnya menunjukkan peta tentang
polarisasi kaum intelektual di Amerika. Diantara hasil riset tersebut
menunjukkan bahwa kelompok intelektual
Amerika sebenarnya terbagi ke dalam dua kelompok : Konfrontasionis dan
akomodasionis. Kelompok pertama selalu mempersepsi Islam dengan pencitraan yang
negatif. Dengan kata lain, mereka selalu menganggap Islam sebagai the black
side of the world. Islam selalu diposisikan sebagai ancaman bagi demokrasi
dan lahirnya tatanan dunia yang damai. Eksponen yang termasuk kelompok ini
misalnya, Almos Perlmutter, Samuel Huntington, Gilles Kepel, dan Bernard Lewis.
Sementara kelompok akomodasionis justru menolak
diskripsi Islamis yang selalu menggambarkan Islam sebagai anti demokrasi.
Mereka membedakan antara tindakan-tindakan kelompok oposisi politik Islamis
dengan minoritas ekstrim yang hanya sedikit jumlahnya. Diantara kelompok ini
terdapat nama John L. Esposito dan Leon T. Hadar. Bagi mereka, di masa lalu
maupun di masa sekarang, ancaman Islam sebenarnya tidak lain adalah mitos Barat
yang berulang-ulang. Tesis Huntington sebenarnya bagian dari rekomendasi bagi
pemerintahan Amerika Serikat untuk membuat peta tata dunia baru di planet bumi.
Huntington dalam hal ini ingin mengingatkan pemerintah AS untuk waspada
terhadap ancaman baru pasca perang dingin dan runtuhnya negara Uni Soviet.
Barat, dalam hal ini Amerika Serikat, jelas merupakan
pihak yang paling merasa “diamini dan diuntungkan” secara ilmiah oleh
Huntington, khususnya untuk melaksanakan kebijkan-kebijakan politik luar
negeri. Betapa tidak, dengan tesis benturan antar peradaban ini, Barat yang
telah lama terbiasa dengan visi global dan kebijakan luar negeri yang
didasarkan pada persaingan antar negara adidaya dalam berebut mendapatkan
pengaruh dominasi global, semakin tergoda untuk mengidentifikasi ancaman
ideologi global lainnya seperti Islam dan Konfusius dalam rangka mengisi
“kekosongan ancaman” yang timbul pasca runtuhnya komunisme.
Bukti otentik adanya “faktor kepentingan” yang
menyertai tindakan Barat (Amerika) dalam aksi-aksi politik dan militer yang
menyebabkan timbulnya clash antara Barat dan beberapa negara Islam adalah
fenomena Perang Teluk jidid II di Irak. Dengan dalih memerangi terorisme dengan
menumbangkan kekuasan Saddam Husein yang dinilai melindungi para teroris,
ujung-ujungnya adalah penguasaan sumber-sumber minyak yang konon kandungannya
nyaris sepadan dengan yang dipunyai Arab Saudi. Lebih dari itu, dengan
runtuhnya pemerintahan Saddam di Irak, akan lebih mengukuhkan hegemoni AS
sebagai satu-satunya kekuatan adidaya di muka bumi ini yang berhak berbuat apa
saja untuk melaksanakan kepentingan globalnya.
Apa fungsi politik gagasan Huntington tentang "pergulatan
antarperadaban" ini? Dalam konteks berakhirnya perang dingin, fungsinya tidak lain
adalah untuk menciptakan "musuh" baru buat publik Amerika setelah
runtuhnya imperium Soviet. Dan tesis ini betul-betul mengena dengan suasana
hati orang Amerika pada waktu itu. Contohnya, begitu banyak film Hollywood
setelah 1989 yang menonjolkan orang Timur Tengah atau Asia Timur sebagai
penjahat. Mungkin saja ini menunjukkan rasa tidak amannya suatu bangsa.
Ironisnya, saat itu Amerika telah menjadi negeri adidaya yang tidak tertandingi
secara politik, meskipun telah muncul persaingan ekonomi dari beberapa negeri
Asia Timur.
Lebih dari itu, "musuh" memang selalu diperlukan di Amerika Serikat
untuk mengesahkan anggaran belanja militer besar dengan investasi pada
infrastruktur dan teknologi yang mahal. Kalau tidak, rakyat Amerika mungkin
akan meminta investasi yang lebih besar untuk hal lain, seperti pelayanan
kesehatan dan pendidikan. Namun, investasi sosial seperti ini bertentangan
dengan kepentingan corporate-military complex, yang secara tidak
langsung disuarakan oleh Huntington. Suatu mentalitas state of siege
tertentu harus selalu dipelihara untuk membenarkan keberadaan kepentingan
semacam ini di tengah masalah kemiskinan, pengangguran, dan penurunan mutu
pelayanan pendidikan dan kesehatan di Amerika Serikat. Sekarang saja kaum
konservatif di Amerika sudah berteriak untuk meningkatkan anggaran militer.
Menurut Muhammad Abed al-Jabiri, sepanjang sejarah,
hubungan antar peradaban tidak bersifat konfrontasi, tetapi interpenetrasi.
Bahkan konfrontasi dan konflik lebih sering dan destruktif dibandingkan
konfrontasi antar negara-negara dengan peradaban berbeda. Buktinya, dua kali
perang dunia terjadi dalam peradaban Barat, disebabkan oleh konflik kepentingan
(conflicts of interest). Penglihatan al-Jabiri, selanjutnya adalah pada
kepentingan global Barat itu sendiri. Dimana semua itu dilakukan karena
semangat dalam mendominasi perekonomian dan politik atas seluruh negara
non-Barat. Untuk melancarkan kepentinganya itu, Barat memakai banyak cara, dari
yang paling halus sampai yang paling berdarah-darah. Cara halus Barat
mengukuhkan hegemoninya diantaranya melalui rezim pengetahuan. Rezim
pengetahuan yang diciptakan Barat tidak memberi ruang yang bebas kepada
pengetahuan lain untuk berkembang. Generasi terdidik di negara berkembang
diarahkan sedemikian rupa menjadi agen dan penjaga sistem pengetahuan Barat.
Dan bukan hanya cara berfikir saja yang diarahkan, tetapi gaya hidupnya pun
dikendalikan.
Menarik
untuk menyimak komentar para pengritik tesis Huntington ini dalam Foreign
Affairs edisi September/Oktober 1993. Diantaranya adalah kritik atas pendekatan
macrocosmic Huntington yang memunculkan peradaban sebagai determinan hubungan
internasional dan mengabaikan peran negara-bangsa (Albert L Weeks dan Fouad
Ajami). Ada yang menunjuk proses kebangkrutan peradaban Barat dan memunculkan
keunggulan tertentu non-Barat (Kishore Mahbubani, Gerard Piel), tapi ada pula
yang optimis dengan superioritas Barat (Robert L. Bartley). Sementara itu, para
pengritik lain menawarkan analisis yang membuka perspektif positif dalam
pertemuan antarperbedaan dan menyarankan agar mengambil yang terbaik dari
masing-masing peradaban (Liu Binyan).
Tak kalah menarik pula respon yang terjadi di
Indonesia. Di sela-sela riuhnya publik Indonesia menyikapi tesis Huntington
ini, Goenawan Mohammad dalam suatu dialog kebudayaan di Jakarta, menyatakan
bahwa semua agama mengajarkan untuk menghormati heterogenitas, perbedaan,
kelainan (otherness), karenanya sulit memahami tesis Huntington yang
menghadapkan “Barat” dengan “Islam”. Sebab realitasnya, keduanya sama-sama
menjunjung tinggi keragaman, budaya dan peradaban. Akhirnya dialog kebudayaan
itupun berkesimpulan bahwa benturan atau konflik yang akan dihadapi dunia di
masa datang tetap bertumpu pada masalah ekonomi. Jika ada pandangan yang
meramalkan kecenderungan konflik masa depan itu sebagai konflik peradaban,
sesungguhnya itu hanyalah kesan luarnya. Sebab persoalan mendasar yang menjadi
faktor utama penyebab konflik tersebut adalah soal-soal yang berkaitan dengan
kepentingan ekonomi.
Hubungan Islam dan Barat
Hubungan Islam dengan Barat dalam sejarah panjangnya
diwarnai dengan fenomena kerjasama dan konflik. Kerjasama Islam dan Barat
paling tidak ditandai dengan proses modernisasi dunia Islam yang sedikit banyak
telah merubah wajah tradisional Islam menjadi lebih adaptatif terhadap
modernitas. Akan tetapi pada abad 19, hubungan keduanya juga diwarnai konflik
yang oleh sebagian ahli disebut menggambarkan
dominasi-subordinasi. Pasang surut hubungan Islam dan Barat adalah fenomena
sejarah yang perlu diletakkan dalam kerangka kajian kritis historis untuk
mencari sebab-sebab pasang surut hubungan itu dan secepatnya dicari solusi yang
tepat untuk membangun hubungan tanpa dominasi dan konflik di masa-masa
mendatang.
Barat selama ini dicurigai sebagai pihak yang telah
memaksakan agenda-agenda “pembaratan” di dunia Islam dalam rangka mengukuhkan
hegemoni globalnya. Dampak yang ditimbulkan dari hegemoni global Barat adalah
semakin terpinggirkannya peran ekonomi, politik, sosial dan budaya Islam dalam
panggung sejarah peradaban dunia. Tidak hanya itu, Islam semakin tersudut
dengan berbagai cap yang dilontarkan Barat terhadap Islam, mulai dari cap
fundamentalis sampai teroris. Tentunya berbagai cap itu terselubung kepentingan
tingkat tinggi (high interest) untuk membuat semakin terpojoknya Islam
sehingga mudah untuk dijinakkan -lagi-lagi- demi kepentingan globalnya
Pasang-surutnya
hubungan Islam dan Barat bila dianalisis setidaknya karena dua alasan. Pertama,
sikap saling khawatir dan takut antar Islam dan Barat akibat dari
ketidaktahuan. Akibatnya, Barat selalu memandang Islam dengan perspektif yang
negatif. Montgomery Watt, misalnya, mengatakan bahwa Barat telah lama menjadi
ahli waris prasangka masa lalunya. Citra negatif Islam itu di Barat masih saja
membekas dan terus menerus mendominasi pemikiran Barat. Sampai kini pengetahuan
Barat terhadap Islam masih bersifat parsial dan bias. Sebaliknya, mayoritas
muslim juga punya pandangan tersendiri tentang peradaban Barat. Barat selamanya
ditempatkan bukan sebagai mitra dialog antar budaya, tapi sebagai musuh yang
selalu menjajah. Barat juga dinilai telah mengalami krisis spiritual dan
mestinya harus kembali kepada semangat Islam. Ilmu pengetahuan dan teknologi
Barat dianggap tidak lagi membawa kesejahteraan dan perdamaian. Lalu, muncul
pula arogansi Islam yang terlalu percaya diri mendeklarasikan sains Islam dan
segala proyek islamisasinya.
Istilah
Barat-Islam masing-masing mengandung keragaman dan berbagai perbedaan internal
yang nyata. Jadi, apa yang dilakukan Osama bin Laden beserta jaringannya, juga
gerakan Taliban, fundamentalisme Pakistan, dan teroris Palestina bukanlah
representasi dari peradaban Islam. Sikap mereka hanyalah fenomena individual di
dalam masyarakat Islam. Kaum fundamentalis tidaklah mewakili ortodoksi arus
utama dalam Islam. Mereka dikemudi oleh suatu versi fanatis dan ideologis agama
yang menyerupai nasionalisme. Mereka sendiri notabene berpendidikan Barat dan
tak banyak tahu tentang isi dan kebudayaan Islam. Tidak ada terorisme (dalam
anjuran ajaran) Islam. Yang ada hanyalah kenyataan muslim yang menjadi marah
kerena hal-hal tertentu yang dilakukan barat terhadap negara-negara Islam, dan
kebetulan muslim. Itulah orang-orang seperti Osama bin Laden.
Karena itu mengatakan konflik AS-Afganistan
sebagai perang antarperadaban (Barat-Islam) adalah sama sederhananya dengan
pikirkan Huntington tentang clash of civilizations. Peradaban Islam tidaklah
sesederhana sosok Osama bin Laden dan jaringannya. Di luar seorang Osama,
terdapat lebih dari 100 juta penduduk muslim di kawasan Arab, dan 140 juta
lainnya di Pakistan dan Afganistan. Komunitas ini sekarang tengah terlibat
konflik dengan Barat. Juga terdapat 174 juta penduduk muslim di Indonesia, 100
juta di India, 103 juta di Bangladesh dan 160 juta muslim di Afrika Sub-Sahara,
ditambah 6 juta di AS. Tak sedikit pula kaum muslim yang hidup di Turki, Eropa
Barat, Afrika Utara, Kaukasus dan Asia Tengah. Masyarakat ini mungkin merasakan
simpati atas saudaranya yang muslim, tetapi mereka bukanlah bagian dari jihad
Osama bin Laden. Solidaritas Islam tentu ada, tetapi lebih didasari kemanusiaan
yang mengharapkan tidak ada lagi korban tak berdosa dan tidak ada lagi perang.
Pembacaan Kritis.
Sungguh
berbahaya jika pemahaman benturan peradaban seperti ditulis Huntington terus
diyakini baik oleh kalangan Islam maupun Barat. Ide semacam ini implisit
menyiratkan bahwa Barat dan Islam, juga peradaban-peradaban lain, haruslah
selalu berseteru sebab itulah takdir peradaban. Huntington memang tidak
sepenuhnya keliru ketika ia mengatakan bahwa masyarakat kini
mengidentifikasikan diri mereka pada keleluhuran, agama, bahasa, sejarah,
nilai; masyarakat lebih mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok-kelompok
budaya (etnisitas), dan pada level yang lebih luas: peradaban. Akan tetapi,
tampaknya dia berlebihan jika kemudian berkesimpulan bahwa “kita tahu siapa
diri kita hanya ketika kita tahu bukan diri kita, dan serigkali hanya ketika
kita tahu siapa lawan kita. Lagi pula, anggapan Huntington bahwa kecenderungan
masyarakat dewasa ini melebur ke dalam entitas kebudayaannya yang lebih luas
(peradaban), sesungguhnya terfalsifikasi oleh kenyataan bahwa kecenderungan
masyarakat dunia malah menciutkan diri pada entitas etnik dan kelompok yang
lebih kecil. Pecahnya Uni Soviet yang masyarakatnya memiliki akar budaya yang
relatif sama adalah salah satu contoh kongkritnya.
Juga berbahaya jika kaum muslimin beryakinan
bahwa Barat kini tengah dengan sungguh-sungguh memerangi Islam. Kesadaran
inilah yang sedang timbul di beberapa masyarakat Islam dunia, termasuk di
Indonesia. Banyak kalangan menentang AS saat negara adidaya itu menyerang
Afganistan dan Irak dengan kesadaran bahwa AS tengah mengajak ‘clash’ dengan
Islam baik sebagai agama maupun peradaban, seperti dimaklumkan Huntington.
Belakangan ini ada wacana AS berencana menggempur Iran; sebuah situasi yang
kritis bagi perdamaian. Dulu Presiden Bush dan Colin Powell memang sering
mengatakan bahwa AS dan Eropa tidaklah sedang memerangi Islam baik sebagai
agama maupun peradaban, melainkan tengah berperang dengan teroris individual
dan organisasi-organisasi teroris. Bagi AS, isu konflik dengan Afganistan dan
beberapa waktu lalu dan dengan Iran yang memanas belakangan ini adalah bersifat
politis, bukan kebudayaan maupun religius. Banyak seruan agar tidak ada lagi
perang. Namun, rupanya AS dan sekutunya yang terus berdalih memerangi terorisme
akhirnya melancarkan serangan ke Afganistan, Irak dan wilayah Timur tengah
lainnya yang kaya minyak.
Penutup
Setelah membaca tesis “benturan antar peradaban” yang
diramalkan Huntington, didapatkan beberapa pemahaman dan kesimpulan. Tesis
“Clas of Civilization” bagaimanapun juga telah berbicara dalam konteks
internasional dan mengundang berbagai kritik. Dimana tesis itu ditulis tidak
dalam ruang hampa, akan tetapi mempunyai maksud dan tujuan dibalik itu semua,
apakah secara subjektif atau ada interfensi oleh kepentingan-kepentingan
tertentu. Walaupun begitu, semua pihak harus berusaha arif dan kritis melihat
setiap fenomena sosial politik yang mungkin muncul karena tesis tersebut atau
respon terhadapnya.Sebagai muslim sepantasnya bersikap kritis terhadap tesis
tersebut, dimana masih terdapat kelemahan-kelemahan sebagaimana diungkap Akbar
S Ahmed dalam pembacaannya.
Terdapat point penting terkait relasi Islam dan Barat
yang membentuk struktur dominasi-subordinasi yang dalam beberapa hal sarat
konflik. Pertama, basis benturan Islam dan Barat adalah kepentingan
ekonomi dan politik (kapitalisasi dan liberalisasi). Kedua, bahwa
dominasi Barat atas dunia non-Barat, yang termasuk di dalamnya dunia Islam
adalah dalam rangka mengamankan kepentingan ekonomi dan politik global Barat. Ketiga,
dominasi itu dilaksanakan oleh Barat melalui cara yang paling halus sampai yang
paling kasar, bahkan berdarah-darah (perang fisik). Cara halus Barat adalah
melalui rezim pengetahuan yang terus-menerus diinjeksikan ke dalam dunia
intektual Islam, sehingga pengetahuan lain tidak (boleh) berkembang.
Fakta yang sering terjadi adalah konflik di dalam
peradaban masing-masing, baik di Barat maupun Islam. Tetapi inipun bukan
benturan peradaban. Jadi apa yang ditesiskan Huntington sesunggunya bukan
benturan peradaban, melainkan tak lebih dari sekedar benturan kepentingan. Kini
saatnya kita harus segera melupakan clash of civilizations yang ditulis
Huntington, sambil terus mengupayakan keadilan, pembangunan dan perdamaian. #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar