Sabtu, 20 Desember 2014

CLASH OF INTEREST

Hefni Zain

 Pendahuluan

Sejak dipublikasikannya pertama kali melalui Majalah Foreign Afair tahun 1993 dan terlebih setelah dikembangkan menjadi buku dan diterjemah ke dalam puluhan bahasa, tesis benturan antar peradaban (clash of civilization)” karya Samuel Huntington telah mengundang banyak kontroversi dari dunia internasional. Hingga kini perdebatan wacana ini terus bergulir dan dialektikanya terus mengalir. Banyak kalangan akademisi maupun pakar-pakar sosial keagamaan melakukan kritik tajam terhadap tesis ini. Mereka mempertanyakan masalah signfikansi tesis tersebut terhadap sensiitifitas persoalan agama, budaya dan debat politik yang memanas pasca perang dingin.
Apa sebenarnya yang membuat tesis “the Clash of Civilization” ini begitu kontroversial?. Mengapa ia dicap sebagai tulisan propagandis, spekulatif dan profokatif, yang bagi para intelektual humanis dan agamawan sangat berpotensi mengancam perdamaian dunia?. Hal itu tidak lepas dari asumsi dasar yang digunakan Huntington dalam meramalkan masa depan, menurutnya masa depan politik dunia akan didominasi oleh konflik antar bangsa dan peradaban yang berbeda, dan konflik dunia di masa bukan lagi bersumber dari ideologi dan ekonomi, melainkan dari peradaban.
Huntington mendasarkan tesisnya setidaknya pada enam alasan yang dijadikan premis dasar untuk menjelaskan mengapa politik dunia ke depan akan sangat dipengaruhi oleh benturan antar peradaban. Pertama, perbedaan antara peradaban tidak saja nyata, tetapi sangat mendasar, hal ini dapat dilihat di berbagai peradaban dunia yang mempunyai akar budayanya sendiri yang berbeda. Kedua, dunia semakin mengecil. Interaksi di antara masyarakat dan peradaban yang berbeda terus meningkat. Interaksi ini berlangsung semakin intensif, semakin menguat kesadaran akan peradaban sendiri dan semakin sensitif terhadap perbedaan yang ada antara peradabannya dengan yang lainnya. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial di seluruh dunia telah mengakibatkan tercerabutnya masyarakat dari akar-akar indentitas lokal yang telah berlangsung lama. Hal ini telah menyisakan ruang kosong yang kemudian diisi oleh identitas agama, seringkali gerakan berlabelkan “fundamentalis.” Keempat, semakin berkembangnya kesadaran peradaban (civilization conciousness) akibat peran ganda dunia barat. Dimana di satu sisi dunia Barat sedang berada pada puncak kekuasaannya, disisi lain sebagai reaksi balik atas hagemoni Barat tersebut, kembalinya masyarakat Non Barat pada akar peradabannya. Kelima, karakteristik dan perbedaan kultural yang terjadi di antara peradaban Barat dan Non Barat semakin mengeras. Hal ini menyebabkan semakin sulitnya kompromi dan upaya-upaya perbaikan hubungan di antara peradaban dalam kerangka kultural dari pada upaya mengkompromikan karakteristik dan perbedaan politik serta ekonomi. Dan keenam, adalah regionalisme ekonomi yang semakin meningkat.
Jika dilihat lebih jauh, premis-premis yang diajukan Huntington sejalan dengan kritik posmodernisme, akan tetapi dalam wajahnya yang negatif. Dan yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah premis-premis diatas secara otomatis akan melahirkan apa yang disebut dengan ”benturan antar peradaban”. Disini Huntington melakukan dua hal, pertama memetakan muatan kultural, kecenderungan dan dinamika internal peradaban-peradaban. Disebut bahwa ada delapan peradaban besar dunia; Barat, Islam, Konfusius, Jepang, Hindu, Slavik-Ortodoks, Amerika Latin dan Afrika. Kedua, Huntington meramalkan bahwa potensi konflik yang akan mendoiminasi dunia masa depan bukan diantara kedelapan peradaban tersebut, tetapi antara Barat dan peradaban lainnya. Sedangkan potensi konflik paling besar yang akan terjadi adalah antara Barat dan koalisi Islam-Konfusius. Bahkan lebih jauh, Huntington dengan sangat berani memastikan bahwa musuh Barat adalah koalisi Islam dan Konfusionis.
Kendati Huntington berusaha keras meyakinkan pembacanya bahwa pada dasarnya benturan antar peradaban masa depan akan terjadi karena tiga hal pokok, yaitu adanya hagemoni-arogansi Barat, intoleransi Islam, dan fanatisme Konfusionis. Namun sejak awal, teori “benturan antar peradaban” Huntington ini malah banyak memantik kritik dan cibiran, sebab tesis ini selain dianggap sebagai ilusi yang fantastis, juga tidak mencerminkan semangat zaman yang menekankan aspek globalisasi dan pluralitas, toleransi dan kesetaraan sebagai syarat utama menuju harmoni peradaban dunia.

Menguji  Tesis Huntington .
Dikatakan oleh Huntington “It is my hypothesis that the fundamental source of conflict in this new world will not be primarily ideological or primarily economic. The great divisions among humankind and the dominating source of conflict will be cultural.... the principal conflicts of global politics will occur between nations and groups of different civilizations. The clash of civilizations will dominate global politics. The fault lines between civilizations will be the battle lines of the future.” Lewat hipotesisnya, Huntington mencoba menawarkan paradigma baru dalam melihat dunia. Ia melihat ada tujuh peradaban yang akan mewarnai persaingan global: Western, Latin American, Confucian, Japanese, Islamic, Hindu dan Slavic-Orthodox.  
Huntington memprediksikan akan terjadi konflik di level makro antara negara-negara dari peradaban yang berbeda dalam mengontrol institusi internasional, ekonomi global dan kekuatan militer. Professor of the Science of Government Harvard University ini mengajukan tesis dalam kalimat sangat tegas ”Sumber utama konflik dunia baru tidak lagi ideologi atau ekonomi, tetapi budaya. Budaya akan memilah-milah manusia dan menjadi sumber konflik dominan. Negara-negara akan tetap menjadi aktor paling kuat dalam percaturan dunia, tetapi konflik politik global yang paling prinsipil akan terjadi antara bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok karena perbedaan peradaban mereka. Benturan peradaban akan mendominasi politik global.”
Atas tulisannya itu, Huntington menuai banyak kritik, diantaranya dari Tariq Ali yang mempersoalkan pemetaan dan kategorisasi peradaban Huntington yang cenderung statis dan monolitik. Padahal peradaban sendiri memiliki komplekstitas dan berbagai perbedaan antar pendukungnya. Oleh karena itu, tokoh yang dikenal keras terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat ini lebih cenderung melihat kepada benturan unsur-unsur fundamentalis pada peradaban-peradaban yang ada. Dari perspektif yang berbeda, Edward Said turut mengkritik pandangan Huntington. Pakar orientalisme ini berpendapat bahwa peradaban bukanlah kotak tertutup. Sejarah memaparkan secara jelas dinamika interaksi, pertukaran, dan saling pinjam antar peradaban. Sehingga paradigma Huntington justru tidak membantu memahami realitas yang ada, meskipun mampu “memberi perspektif” kongkret dan praktis. Selain itu, Said melihat perspektif Huntington memberikan porsi signifikan terhadap Islam sangat dipengaruhi memori lama tentang pertentangan Muslim dan Eropa, khususnya persaingan Abramistic Religions. Menurutnya, benturan antar peradaban tak lebih dari bahasa baru untuk mengungkap (seleksi) sejarah, bukan untuk memahami kesalingbergantungan yang terus berlangsung sampai saat ini.
Martha Nussbaum juga turut menunjukkan kelemahan tesis Huntington. Bagi Martha, “The real clash is not a civilizational one between “Islam” and “the West,” but instead a clash within virtually all modern nations between people who are prepared to live with others who are different, on terms of equal respect, and those who seek the protection of homogeneity, achieved through the domination of a single religious and ethnic tradition.” Yang jadi sumber benturan menurut Professor of Law and Ethics University of Chicago ini adalah pertentangan antara kehendak menguasai dengan kehendak untuk hidup bersama dalam kesetaraan.
Posisi kontra Huntington juga dapat ditemui pada pandangan Dominique Moisi. Ilmuan politik dari Perancis ini cenderung melihat pertentangan yang terjadi lebih disebabkan oleh faktor psikologis: balutan ketakutan, keterhinaan, dan harapan, Ketakutan Dunia Barat, keterhinaan Dunia Muslim dan harapan sebagian besar negara-negara di Asia. Oleh karena itu, diperlukan upaya menghilangkan ketakutan yang tak berdasar, menciptakan kesetaraan, menumbuhkan martabat agar melenyapkan rasa keterhinaan, dan terus berusaha mewujudkan masa depan yang penuh asa dengan semangat perdamaian. Untuk menciptakan solidaritas global harus dimulai dari upaya saling mengenal. Hal lain yang sangat penting adalah mengenali “musuh bersama” dan problem-problem bersama. Demo anti  perang AS atas Irak menjadi sinyal positif bagi peluang kerjasama antar orang-orang yang punya semangat menciptakan kerukunan dari berbagai belahan dunia. Dalam batas-batas tertentu, upaya inilah yang sedang dilakukan beberapa pihak untuk mewujudkan situasi dunia baru yang lebih harmonis dengan semangat mencari sekutu di antara “musuh” lama.
Akbar S. Ahmed adalah salah satu tokoh yang juga tidak sepaham dengan Huntington. Dia menyatakan bahwa benturan yang terjadi dalam sejarah dunia lebih menunjukkan faktor kepentingan ekonomi dan politik ketimbang faktor perbedaan budaya. Akbar menunjuk fenomena perang Teluk I sebagai fakta empiris peta politik yang tidak berhadap-hadapan secara diametral, Barat vis a vis Islam, tetapi lebih menunjuk kepada polarisasi kepentingan. Dalam hal ini, negara-negara Muslim seperti Kuwait, Arab Saudi, Mesir pada posisi kepentingan yang seirama dengan Amerika dan sekutunya (Barat), sehingga tidak bisa dikatakan telah terjadi benturan antara Islam dan Barat.
Menurut Akbar S.Ahmed, kelemahan lain dalam tesis Huntington adalah kerancuan dalam mendefinisikan peradaban. Huntington menyebut beberapa peradaban utama yang mungkin akan saling berkonfrontasi di masa yang akan datang : Barat, Cina/Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Amerika Latin, dan Afrika. Huntington mencampur adukkan berbagai hal yang bermacam ragam, termasuk letak (Barat), ajaran (Konfusius), etnik (Slav), negara (Jepang), agama (Islam), dan benua (Afrika). Dalam hal ini, ia tidak konsisten dan tanpa definisi peradaban yang dapat dimengerti dan dapat diterapkan. Selain itu, kesimpulan Huntington ternyata tidak menggambarkan kenyatan yang sebenarnya. Dengan berakhirnya perang dingin, kecenderungan yang terjadi bukan pengelompokan masyarakat dalam entitas tertinggi -yaitu pengelompokan peradaban- tetapi justru perpecahan menuju entitas yang lebih kecil, berdasar suku dan etnik. Hal ini terlihat jelas dari disintegrasi Uni Soviet, yang sebagian besar penduduknya memiliki dasar budaya dan peradaban yang sama. Kesamaan peradaban belum merupakan perekat cukup kuat bagi kelompok-kelompok etnik minoritas yang secara politik atau ekonomi merasa ditindas kelompok mayoritas yang berkuasa.
Banyak sekali kelemahan dalam tesis Huntington itu sebenarnya. Misalnya, ia mengatakan bahwa peradaban Barat sudah "jadi" sejak abad ke-8 dan ke-9. Dengan demikian, "Barat" sudah menjadi Barat yang "unik" jauh sebelum perkembangan penting seperti masa reformasi, masa Pencerahan, dan Revolusi Industri. Klaim seperti ini membuat Huntington bisa mengabaikan bahwa demokrasi pun ditanam di negeri Barat sebagai hasil pergulatan panjang yang sering berdarah, terutama dalam konteks perubahan sosial ganas yang dibawa oleh industrialisasi, termasuk beberapa percobaan revolusi oleh kaum proletariat yang gagal. Lucunya, Huntington sendiri pernah menulis dalam sebuah buku sebelum Clash of Civilisations, bahwa "gelombang ketiga demokratisasi" sedang melanda dunia, sesuatu yang musykil terjadi kalau demokrasi hanya milik satu peradaban.
Bukan Benturan Peradaban Tapi Benturan Kepentingan
Terhadap tesis Huntington yang melihat Islam dan Barat sebagai dua peradaban yang saling berbenturan, ada banyak kalangan yang kemudian mempertanyakan “the clash of civilization or the clash of interest ?. Pertanyaan ini wajar mengingat banyak riset yang  dilakukan sebelumnya menunjukkan peta tentang polarisasi kaum intelektual di Amerika. Diantara hasil riset tersebut menunjukkan  bahwa kelompok intelektual Amerika sebenarnya terbagi ke dalam dua kelompok : Konfrontasionis dan akomodasionis. Kelompok pertama selalu mempersepsi Islam dengan pencitraan yang negatif. Dengan kata lain, mereka selalu menganggap Islam sebagai the black side of the world. Islam selalu diposisikan sebagai ancaman bagi demokrasi dan lahirnya tatanan dunia yang damai. Eksponen yang termasuk kelompok ini misalnya, Almos Perlmutter, Samuel Huntington, Gilles Kepel, dan Bernard Lewis.
Sementara kelompok akomodasionis justru menolak diskripsi Islamis yang selalu menggambarkan Islam sebagai anti demokrasi. Mereka membedakan antara tindakan-tindakan kelompok oposisi politik Islamis dengan minoritas ekstrim yang hanya sedikit jumlahnya. Diantara kelompok ini terdapat nama John L. Esposito dan Leon T. Hadar. Bagi mereka, di masa lalu maupun di masa sekarang, ancaman Islam sebenarnya tidak lain adalah mitos Barat yang berulang-ulang. Tesis Huntington sebenarnya bagian dari rekomendasi bagi pemerintahan Amerika Serikat untuk membuat peta tata dunia baru di planet bumi. Huntington dalam hal ini ingin mengingatkan pemerintah AS untuk waspada terhadap ancaman baru pasca perang dingin dan runtuhnya negara Uni Soviet.
Barat, dalam hal ini Amerika Serikat, jelas merupakan pihak yang paling merasa “diamini dan diuntungkan” secara ilmiah oleh Huntington, khususnya untuk melaksanakan kebijkan-kebijakan politik luar negeri. Betapa tidak, dengan tesis benturan antar peradaban ini, Barat yang telah lama terbiasa dengan visi global dan kebijakan luar negeri yang didasarkan pada persaingan antar negara adidaya dalam berebut mendapatkan pengaruh dominasi global, semakin tergoda untuk mengidentifikasi ancaman ideologi global lainnya seperti Islam dan Konfusius dalam rangka mengisi “kekosongan ancaman” yang timbul pasca runtuhnya komunisme.
Bukti otentik adanya “faktor kepentingan” yang menyertai tindakan Barat (Amerika) dalam aksi-aksi politik dan militer yang menyebabkan timbulnya clash antara Barat dan beberapa negara Islam adalah fenomena Perang Teluk jidid II di Irak. Dengan dalih memerangi terorisme dengan menumbangkan kekuasan Saddam Husein yang dinilai melindungi para teroris, ujung-ujungnya adalah penguasaan sumber-sumber minyak yang konon kandungannya nyaris sepadan dengan yang dipunyai Arab Saudi. Lebih dari itu, dengan runtuhnya pemerintahan Saddam di Irak, akan lebih mengukuhkan hegemoni AS sebagai satu-satunya kekuatan adidaya di muka bumi ini yang berhak berbuat apa saja untuk melaksanakan kepentingan globalnya.
Apa fungsi politik gagasan Huntington tentang "pergulatan antarperadaban" ini? Dalam konteks berakhirnya perang dingin, fungsinya tidak lain adalah untuk menciptakan "musuh" baru buat publik Amerika setelah runtuhnya imperium Soviet. Dan tesis ini betul-betul mengena dengan suasana hati orang Amerika pada waktu itu. Contohnya, begitu banyak film Hollywood setelah 1989 yang menonjolkan orang Timur Tengah atau Asia Timur sebagai penjahat. Mungkin saja ini menunjukkan rasa tidak amannya suatu bangsa. Ironisnya, saat itu Amerika telah menjadi negeri adidaya yang tidak tertandingi secara politik, meskipun telah muncul persaingan ekonomi dari beberapa negeri Asia Timur.
Lebih dari itu, "musuh" memang selalu diperlukan di Amerika Serikat untuk mengesahkan anggaran belanja militer besar dengan investasi pada infrastruktur dan teknologi yang mahal. Kalau tidak, rakyat Amerika mungkin akan meminta investasi yang lebih besar untuk hal lain, seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan. Namun, investasi sosial seperti ini bertentangan dengan kepentingan corporate-military complex, yang secara tidak langsung disuarakan oleh Huntington. Suatu mentalitas state of siege tertentu harus selalu dipelihara untuk membenarkan keberadaan kepentingan semacam ini di tengah masalah kemiskinan, pengangguran, dan penurunan mutu pelayanan pendidikan dan kesehatan di Amerika Serikat. Sekarang saja kaum konservatif di Amerika sudah berteriak untuk meningkatkan anggaran militer.
Menurut Muhammad Abed al-Jabiri, sepanjang sejarah, hubungan antar peradaban tidak bersifat konfrontasi, tetapi interpenetrasi. Bahkan konfrontasi dan konflik lebih sering dan destruktif dibandingkan konfrontasi antar negara-negara dengan peradaban berbeda. Buktinya, dua kali perang dunia terjadi dalam peradaban Barat, disebabkan oleh konflik kepentingan (conflicts of interest). Penglihatan al-Jabiri, selanjutnya adalah pada kepentingan global Barat itu sendiri. Dimana semua itu dilakukan karena semangat dalam mendominasi perekonomian dan politik atas seluruh negara non-Barat. Untuk melancarkan kepentinganya itu, Barat memakai banyak cara, dari yang paling halus sampai yang paling berdarah-darah. Cara halus Barat mengukuhkan hegemoninya diantaranya melalui rezim pengetahuan. Rezim pengetahuan yang diciptakan Barat tidak memberi ruang yang bebas kepada pengetahuan lain untuk berkembang. Generasi terdidik di negara berkembang diarahkan sedemikian rupa menjadi agen dan penjaga sistem pengetahuan Barat. Dan bukan hanya cara berfikir saja yang diarahkan, tetapi gaya hidupnya pun dikendalikan.
Menarik untuk menyimak komentar para pengritik tesis Huntington ini dalam Foreign Affairs edisi September/Oktober 1993. Diantaranya adalah kritik atas pendekatan macrocosmic Huntington yang memunculkan peradaban sebagai determinan hubungan internasional dan mengabaikan peran negara-bangsa (Albert L Weeks dan Fouad Ajami). Ada yang menunjuk proses kebangkrutan peradaban Barat dan memunculkan keunggulan tertentu non-Barat (Kishore Mahbubani, Gerard Piel), tapi ada pula yang optimis dengan superioritas Barat (Robert L. Bartley). Sementara itu, para pengritik lain menawarkan analisis yang membuka perspektif positif dalam pertemuan antarperbedaan dan menyarankan agar mengambil yang terbaik dari masing-masing peradaban (Liu Binyan).
Tak kalah menarik pula respon yang terjadi di Indonesia. Di sela-sela riuhnya publik Indonesia menyikapi tesis Huntington ini, Goenawan Mohammad dalam suatu dialog kebudayaan di Jakarta, menyatakan bahwa semua agama mengajarkan untuk menghormati heterogenitas, perbedaan, kelainan (otherness), karenanya sulit memahami tesis Huntington yang menghadapkan “Barat” dengan “Islam”. Sebab realitasnya, keduanya sama-sama menjunjung tinggi keragaman, budaya dan peradaban. Akhirnya dialog kebudayaan itupun berkesimpulan bahwa benturan atau konflik yang akan dihadapi dunia di masa datang tetap bertumpu pada masalah ekonomi. Jika ada pandangan yang meramalkan kecenderungan konflik masa depan itu sebagai konflik peradaban, sesungguhnya itu hanyalah kesan luarnya. Sebab persoalan mendasar yang menjadi faktor utama penyebab konflik tersebut adalah soal-soal yang berkaitan dengan kepentingan ekonomi.

Hubungan Islam dan Barat
Hubungan Islam dengan Barat dalam sejarah panjangnya diwarnai dengan fenomena kerjasama dan konflik. Kerjasama Islam dan Barat paling tidak ditandai dengan proses modernisasi dunia Islam yang sedikit banyak telah merubah wajah tradisional Islam menjadi lebih adaptatif terhadap modernitas. Akan tetapi pada abad 19, hubungan keduanya juga diwarnai konflik yang  oleh sebagian ahli disebut menggambarkan dominasi-subordinasi. Pasang surut hubungan Islam dan Barat adalah fenomena sejarah yang perlu diletakkan dalam kerangka kajian kritis historis untuk mencari sebab-sebab pasang surut hubungan itu dan secepatnya dicari solusi yang tepat untuk membangun hubungan tanpa dominasi dan konflik di masa-masa mendatang.
Barat selama ini dicurigai sebagai pihak yang telah memaksakan agenda-agenda “pembaratan” di dunia Islam dalam rangka mengukuhkan hegemoni globalnya. Dampak yang ditimbulkan dari hegemoni global Barat adalah semakin terpinggirkannya peran ekonomi, politik, sosial dan budaya Islam dalam panggung sejarah peradaban dunia. Tidak hanya itu, Islam semakin tersudut dengan berbagai cap yang dilontarkan Barat terhadap Islam, mulai dari cap fundamentalis sampai teroris. Tentunya berbagai cap itu terselubung kepentingan tingkat tinggi (high interest) untuk membuat semakin terpojoknya Islam sehingga mudah untuk dijinakkan -lagi-lagi- demi kepentingan globalnya
Pasang-surutnya hubungan Islam dan Barat bila dianalisis setidaknya karena dua alasan. Pertama, sikap saling khawatir dan takut antar Islam dan Barat akibat dari ketidaktahuan. Akibatnya, Barat selalu memandang Islam dengan perspektif yang negatif. Montgomery Watt, misalnya, mengatakan bahwa Barat telah lama menjadi ahli waris prasangka masa lalunya. Citra negatif Islam itu di Barat masih saja membekas dan terus menerus mendominasi pemikiran Barat. Sampai kini pengetahuan Barat terhadap Islam masih bersifat parsial dan bias. Sebaliknya, mayoritas muslim juga punya pandangan tersendiri tentang peradaban Barat. Barat selamanya ditempatkan bukan sebagai mitra dialog antar budaya, tapi sebagai musuh yang selalu menjajah. Barat juga dinilai telah mengalami krisis spiritual dan mestinya harus kembali kepada semangat Islam. Ilmu pengetahuan dan teknologi Barat dianggap tidak lagi membawa kesejahteraan dan perdamaian. Lalu, muncul pula arogansi Islam yang terlalu percaya diri mendeklarasikan sains Islam dan segala proyek islamisasinya.
Istilah Barat-Islam masing-masing mengandung keragaman dan berbagai perbedaan internal yang nyata. Jadi, apa yang dilakukan Osama bin Laden beserta jaringannya, juga gerakan Taliban, fundamentalisme Pakistan, dan teroris Palestina bukanlah representasi dari peradaban Islam. Sikap mereka hanyalah fenomena individual di dalam masyarakat Islam. Kaum fundamentalis tidaklah mewakili ortodoksi arus utama dalam Islam. Mereka dikemudi oleh suatu versi fanatis dan ideologis agama yang menyerupai nasionalisme. Mereka sendiri notabene berpendidikan Barat dan tak banyak tahu tentang isi dan kebudayaan Islam. Tidak ada terorisme (dalam anjuran ajaran) Islam. Yang ada hanyalah kenyataan muslim yang menjadi marah kerena hal-hal tertentu yang dilakukan barat terhadap negara-negara Islam, dan kebetulan muslim. Itulah orang-orang seperti Osama bin Laden.
Karena itu mengatakan konflik AS-Afganistan sebagai perang antarperadaban (Barat-Islam) adalah sama sederhananya dengan pikirkan Huntington tentang clash of civilizations. Peradaban Islam tidaklah sesederhana sosok Osama bin Laden dan jaringannya. Di luar seorang Osama, terdapat lebih dari 100 juta penduduk muslim di kawasan Arab, dan 140 juta lainnya di Pakistan dan Afganistan. Komunitas ini sekarang tengah terlibat konflik dengan Barat. Juga terdapat 174 juta penduduk muslim di Indonesia, 100 juta di India, 103 juta di Bangladesh dan 160 juta muslim di Afrika Sub-Sahara, ditambah 6 juta di AS. Tak sedikit pula kaum muslim yang hidup di Turki, Eropa Barat, Afrika Utara, Kaukasus dan Asia Tengah. Masyarakat ini mungkin merasakan simpati atas saudaranya yang muslim, tetapi mereka bukanlah bagian dari jihad Osama bin Laden. Solidaritas Islam tentu ada, tetapi lebih didasari kemanusiaan yang mengharapkan tidak ada lagi korban tak berdosa dan tidak ada lagi perang.

Pembacaan Kritis.
Sungguh berbahaya jika pemahaman benturan peradaban seperti ditulis Huntington terus diyakini baik oleh kalangan Islam maupun Barat. Ide semacam ini implisit menyiratkan bahwa Barat dan Islam, juga peradaban-peradaban lain, haruslah selalu berseteru sebab itulah takdir peradaban. Huntington memang tidak sepenuhnya keliru ketika ia mengatakan bahwa masyarakat kini mengidentifikasikan diri mereka pada keleluhuran, agama, bahasa, sejarah, nilai; masyarakat lebih mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok-kelompok budaya (etnisitas), dan pada level yang lebih luas: peradaban. Akan tetapi, tampaknya dia berlebihan jika kemudian berkesimpulan bahwa “kita tahu siapa diri kita hanya ketika kita tahu bukan diri kita, dan serigkali hanya ketika kita tahu siapa lawan kita. Lagi pula, anggapan Huntington bahwa kecenderungan masyarakat dewasa ini melebur ke dalam entitas kebudayaannya yang lebih luas (peradaban), sesungguhnya terfalsifikasi oleh kenyataan bahwa kecenderungan masyarakat dunia malah menciutkan diri pada entitas etnik dan kelompok yang lebih kecil. Pecahnya Uni Soviet yang masyarakatnya memiliki akar budaya yang relatif sama adalah salah satu contoh kongkritnya.
Juga berbahaya jika kaum muslimin beryakinan bahwa Barat kini tengah dengan sungguh-sungguh memerangi Islam. Kesadaran inilah yang sedang timbul di beberapa masyarakat Islam dunia, termasuk di Indonesia. Banyak kalangan menentang AS saat negara adidaya itu menyerang Afganistan dan Irak dengan kesadaran bahwa AS tengah mengajak ‘clash’ dengan Islam baik sebagai agama maupun peradaban, seperti dimaklumkan Huntington. Belakangan ini ada wacana AS berencana menggempur Iran; sebuah situasi yang kritis bagi perdamaian. Dulu Presiden Bush dan Colin Powell memang sering mengatakan bahwa AS dan Eropa tidaklah sedang memerangi Islam baik sebagai agama maupun peradaban, melainkan tengah berperang dengan teroris individual dan organisasi-organisasi teroris. Bagi AS, isu konflik dengan Afganistan dan beberapa waktu lalu dan dengan Iran yang memanas belakangan ini adalah bersifat politis, bukan kebudayaan maupun religius. Banyak seruan agar tidak ada lagi perang. Namun, rupanya AS dan sekutunya yang terus berdalih memerangi terorisme akhirnya melancarkan serangan ke Afganistan, Irak dan wilayah Timur tengah lainnya yang kaya minyak.

Penutup
Setelah membaca tesis “benturan antar peradaban” yang diramalkan Huntington, didapatkan beberapa pemahaman dan kesimpulan. Tesis “Clas of Civilization” bagaimanapun juga telah berbicara dalam konteks internasional dan mengundang berbagai kritik. Dimana tesis itu ditulis tidak dalam ruang hampa, akan tetapi mempunyai maksud dan tujuan dibalik itu semua, apakah secara subjektif atau ada interfensi oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Walaupun begitu, semua pihak harus berusaha arif dan kritis melihat setiap fenomena sosial politik yang mungkin muncul karena tesis tersebut atau respon terhadapnya.Sebagai muslim sepantasnya bersikap kritis terhadap tesis tersebut, dimana masih terdapat kelemahan-kelemahan sebagaimana diungkap Akbar S Ahmed dalam pembacaannya.
Terdapat point penting terkait relasi Islam dan Barat yang membentuk struktur dominasi-subordinasi yang dalam beberapa hal sarat konflik. Pertama, basis benturan Islam dan Barat adalah kepentingan ekonomi dan politik (kapitalisasi dan liberalisasi). Kedua, bahwa dominasi Barat atas dunia non-Barat, yang termasuk di dalamnya dunia Islam adalah dalam rangka mengamankan kepentingan ekonomi dan politik global Barat. Ketiga, dominasi itu dilaksanakan oleh Barat melalui cara yang paling halus sampai yang paling kasar, bahkan berdarah-darah (perang fisik). Cara halus Barat adalah melalui rezim pengetahuan yang terus-menerus diinjeksikan ke dalam dunia intektual Islam, sehingga pengetahuan lain tidak (boleh) berkembang.

Fakta yang sering terjadi adalah konflik di dalam peradaban masing-masing, baik di Barat maupun Islam. Tetapi inipun bukan benturan peradaban. Jadi apa yang ditesiskan Huntington sesunggunya bukan benturan peradaban, melainkan tak lebih dari sekedar benturan kepentingan. Kini saatnya kita harus segera melupakan clash of civilizations yang ditulis Huntington, sambil terus mengupayakan keadilan, pembangunan dan perdamaian. #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar