Sabtu, 20 Desember 2014

MUSLIM MARHAMAH

Hefni Zain

Muqaddimah
Islam adalah agama pembawa rahmah tidak saja bagi manusia, tetapi juga bagi seluruh mahluk Tuhan di alam semesta (rahmatan lil ‘alamin), karena itu  Ia hadir dengan prinsip-prinsip marhamah seperti : Kasih  sayang (rahman rahim), perdamaian (salam), persaudaraan (ukhuwah), persamaan (musawah), toleransi (tasamuh), keadilan (‘adalah), keseimbangan (tawazun) dan kebebasan (hurriyah), yang dengan seperangkan prinsip tersebut membuka ruang bagi terwujudnya kehidupan yang damai dan harmonis.
Dengan kata lain, kehidupan yang didambakan Islam adalah kehidupan yang menentramkan, menyelamatkan dan membebaskan yang didalamnya tumbuh kedamaian, toleransi, harmonisasi, cinta kasih dan persaudaraan. Salah satu indikator dari kehidupan yang semacam ini adalah tumbuhnya solidaritas kebersamaan dan kekeluargaan dalam menyelesaikan soal-soal kemanusiaan melampaui sekat sekat primordial, didalamnya ada etos saling menolong dengan “sungguh-sungguh menolong”, yakni menolong tanpa tujuan apapun selain menolong itu sendiri, yang dari sini kemudian muncul pola hidup welas asih, the smiling general dan the smiling soldiers, the sensous, the play ful, the calm and the beuty.  
Kehadiran ajaran Islam yang dibawa Rasululloh saw ke muka bumi ini membawa misi mewujudkan kehidupan manusia yang damai dan sejahtera  lahir dan batin. Dalam risalah ajaran Islam terdapat berbagai petunjuk bagi umat manusia, bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan secara lebih bermakna. Petunjuk-petunjuk tersebut tertuang secara jelas dalam Al-Qur`an dan Sunnah Nabi. Islam mengajarkan kepada para pemeluknya agar selalu mengembangkan kesalehan dan kepedulian terhadap sesama, menjunjung tinggi sikap marhamah (penuh kasih sayang), mengembangkan kualitas diri berlandaskan akhlakul karimah.
Secara teknis, misi rahmatan lil alamin tercermin dalam azas kemasyarakatan Islam, seperti : (1) Tawassuth dan i’tidal  yaitu sikap moderat dan lurus yang  menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan bersama, dan menghindari segala bentuk ekstremitas (tatharruf). Azas ini disarikan dari  Qs. al-Baqarah : 143 dan al-Maidah : 8.  (2) Tasamuh, yaitu, sikap toleran terhadap perbedaan, baik dalam masalah keagamaan -terutama furu’iyyah-, kemasyarakatan, maupun kebudayaan. Azas ini disarikan dari Qs. Thaha: 44.  (3) Tawazun, yakni keseimbangan dan harmonisasi dalam pengabdian kepada Allah, manusia, dan lingkungan. Nilai ini disarikan dari ayat al-Quran surat al-Hadid: 25. (4) Amar ma’ruf nahi munkar. Islam memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah segala hal yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kehidupan. Dengan azas dan nilai-nilai tersebut Islam benar-benar berkomitmen untuk membumikan rahmatan lil’alamin, baik dalam ranah agama, sosial, budaya, ekonomi, hukum dan politik. Nilai-nilai tersebut tidak hanya dipahami sebagai doktrin,  tetapi juga sebagai metode berpikir (manhaj al-fikr) dalam mencarikan solusi atas kompleksitas persoalanyang dihadapi umat manusia.
Sebagai agama rahmah, Islam menolak dan melarang pemakaian kekerasan demi untuk mencapai tujuan-tujuan (al-ghayat), termasuk tujuan yang baik sekalipun. Dalam kaidah ushul ditegaskan al-ghayah la tubarrir al-wasilah (tujuan tidak bisa menghalalkan segala cara). Islam juga menegaskan bahwa pemberantasan kemungkaran tidak boleh dilakukan dengan kemungkaran pula (al-nahyu ‘an al-munkar bi ghair al-munkar). Tidak ada alasan etik dan moral yang bisa membenarkan suatu tindakan kekerasan, kalau ada tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Islam tertentu, maka jelas alasannya bukan karena ajaran etik-moral Islam, melainkan karena agenda-agenda lain yang bersembunyi di balik tindakan tersebut.
Dalam perspektif Islam, fenomena kekerasan bernuansa agama  merupakan bentuk diviasi (penyimpangan) yang salah satunya disebabkan oleh kegagalan penganut agama dalam memahami universalitas pesan doktrin yang terdapat dalam teks-teks sucinya, disebutkan oleh beberapa pakar bahwa diantara faktor penyebab radikalisme pemahaman ajaran Islam adalah “sathahiyyatu al-tsaqafah wa al-fiqhi fi al-dini”  (kedangkalan ilmu pengetahuan dan kedangkalan wawasan keagamaan). Sebagai antisipasi terhadap arus gerakan radikalisme-fundamentalisme perlu disinergikan hadarah al-nash (penyangga budaya teks bayani), hadarah al-‘ilmi, hadarah al-falsafah dengan humanities kontemporer. Sinergi tersebut menjadi penting guna menghindari jebakan pitfall (keangkuhan disiplin ilmu yang merasa pasti dalam wilayah sendiri-sendiri tanpa mengenal masukan dari disiplin di luar dirinya).
Guna mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin (penebar kasih sayang bagi semesta)  dibutuhkan karakter muslim yang ramah, konsisten menghargai pluralitas serta mampu bekerjasama dengan yang lain. Karakter muslim yang seperti ini disebut dengan karakter muslim marhamah.

Profil  Muslim Marhamah
Istilah muslim marhamah terambil dari gabungan dua kata, yaknimuslim” dan “marhamah. Muslim bermakna orang-orang yang berserah diri kepada Tuhan atau orang yang mencari kedamaian Tuhan. Term “muslim” ini merupakan rangkaian kata “aslama – yuslimu – islam” yang berarti menyerah atau mencari kedamaian. Kata “Islam” (ketundukan, kepasrahan dan kedamaian) merupakan bentuk kata benda verbal yang searti dengan bentuk adjektif muslim (tunduk, pasrah dan damai). Dari akar simantik diatas, kata muslim mengisyaratkan makna penuh ketundukan terhadap kehendak Tuhan dalam rangka mencari kedamaian. Dengan demikian, kedamaian dan perdamaian adalah kata kunci untuk melihat hakekat diri seorang muslim. Itulah sebabnya Rasul saw menegaskan “seorang muslim adalah mereka yang memberikan rasa aman, keselamatan dan kedamaian bagi orang lain dari gangguan lidah dan tangannya.” Bahkan dari ucapan salam, assalamu ‘alaikum” (damai dan keselamatan untuk anda) dalam setiap pertemuan, menunjukkan bahwa kedamaian yang didambakan bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk pihak lain.
Adapun kata “marhamahadalah kata benda dari kata kerja arhama yang berasal dari akar kata rahima dengan penambahan huruf hamzah di awal kata yang memiliki faidah ta’diyah (karakter kalimat yang tidak perlu menampilkan obyek). Dari kata asal rahima ini, terdapat kata-kata jadian lainnya dalam al-Qur’an, yakni: rahima, arham, marhamah, rahim, rahman dan ruhm. Rahima bermakna memiliki kemurahan hati atau belas kasihan kepada seseorang (to have mercy on someone); merasa kasihan, ingin menghibur atau menyenangkan hati orang lain (to be compassionate). Arham adalah bentuk jamak dari kata rahim yang secara bahasa berarti peranakan/kandungan. Marhamah  berarti kemurahan (mercy); perasaan sayang (compassion). Rahim berarti penyayang (merciful); suka menyenangkan (compassionate); Maha Pemurah (All Compassionate). Rahman bertati pengasih (merciful); Maha Kasih (All Merciful), sedangkan Ruhm bermakna kelembutan (tenderness). Dari makna harfiyah yang berakar dari “r-h-m” diatas, dapat ditarik benang merah bahwa makna marhamah adalah energi kasih sayang murni yang secara integral terdapat dalam diri manusia. Dengan energi tersebut seseorang akan selalu menebarkan kasih sayang ke segala penjuru alam semesta.
Menyandingkan kata “muslim” dan “marhamahmemerlukan penyesuaian (adjusment), sebab karakter kedua kata tersebut relatif berbeda, satunya mudzakkar dan satunya muannats. Upaya penyesuaian dalam menyandingkan kedua kata ini dapat mengacu pada teori “makhdzuf” (tidak menampilkan sebagian kalimat). Dalam teori ini dijelaskan bahwa suatu kalimat tidak harus selalu tampil lengkap. Boleh jadi ada bagian dari kalimat tersebut yang tidak tampil. Tidak tampilnya sebagian kalimat tersebut dalam perspektif ilmu gramatika bahasa Arab disebut dengan makhdzuf. Tampilan istilah “muslim marhamah”, bila diurai sebenarnya ada bagian kalimat yang makhdzuf. Terdapat kata “thabiah” (artinya: karakter) yang harus tampil mengiringi kalimat muslim marhamah. Bila dijabarkan secara lengkap maka akan muncul tampilan kalimat “Thabiah al-Muslim Marhamah”.
Thabiah al-Muslim Marhamah dapat dimaknai karakter orang Islam yang penuh perasaaan kasih sayang. Penampilan kalimat sebatas ‘muslim marhamah’, dengan kata thabiah yang makhdzuf, memberi penekanan pada hakekat kepribadian muslim yang integral dengan nilai-nilai kasih sayang. Nilai-nilai kasih sayang di sini bukan hanya sekedar sesuatu yang berada di luar diri muslim untuk kemudian dilakukan penyerapan. Akan tetapi, terdapat internalisasi nilai-nilai kasih sayang yang secara organik ada pada diri seorang muslim. Dengan demikian, muslim marhamah adalah pribadi muslim yang secara integral memiliki energi kedamaian (Islam)  dan kasih sayang (marhamah), dimana basis kedamaian dan rasa kasih sayang tersebut berperan efektif dalam hidup kesehariannya, utamanya dalam menghadapi berbagai persoalan sosial kemasyarakatan.

Landasan Muslim Marhamah
Tidak terbantahkan bahwa pengembangan muslim marhamah memiliki landasan yang kokoh, baik landasan preskriptif maupun landasan empirik.  Banyak sekali ayat al-Quran dan Hadits yang menjelaskan tentang bagaimana pribadi muslim yang penuh kasih sayang ini harus diejawantahkan dalam kehidupan, sebagai contoh,  Qs. Al-Anbiya’: 107,  Qs. Ibrahim : 24 25, Qs. al-Nahl : 125, yang  secara teknis didukung oleh sabda Rasulullah saw. yakni “innama bu’itstu li utammima makaarim al-akhlaaq” (sesungguhnya aku diutus oleh Allah swt. Untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia). Pembinaan akhlak merupakan upaya pembentukan karakter seseorang. Untuk membentuk karakter yang baik tentu saja membutuhkan pendekatan yang baik, dan pendekatan yang baik adalah pendekatan yang penuh kasih sayang (marhamah). Berbagai landasan diatas menunjukkan bahwa tujuan dan misi utama diutusnya Rasulullah saw adalah menebar kasih sayang. Kasih sayang yang dimaksud adalah kasih sayang yang bersifat universal, bukan parsial atau sebatas untuk kalangan tertentu. Kata “al-alamin” dalam ayat tersebut menunjukkan universalitas yang merujuk pada keanekaragaman makhluk hidup di bumi.
Dalam hal amar ma’ruf nahyu an al-munkar  yang menjadi kewajiban setiap muslim, maka pribadi muslim marhamah mendasarkan aktivitas dakwahnya pada metode yang digariskan Al-Quran dalam surat al-Nahl ayat 125. Ayat ini menjelaskan tentang tiga macam metode dakwah dengan mempertimbangkan sasaran dakwah. Terhadap cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi diperintahkan menyampaikan dakwah dengan hikmah, yakni berdialog dengan kata-kata bijak sesuai dengan tingkat kepandaian mereka. Hikmah sendiri maknanya adalah sesuatu yang bila digunakan akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar atau lebih besar, serta menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar atau lebih besar .
Terhadap kaum awam, diperintahkan untuk menerapkan mauidhah, yakni memberikan nasehat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf pengetahuan mereka yang sederhana. Mauidhah baru dapat mengena hati sasaran bila ucapan yang disampaikan itu disertai dengan pengamalan dan keteladanan dari yang menyampaikannya. Inilah yang dimaksud dengan mauidhah hasanah (uraian yang menyentuh hati yang mengantar kepada kebaikan).
Kepada Penganut faham atau agama lain, yang diperintahkan adalah jidal (perdebatan atau dialog) dengan cara yang terbaik, yaitu dengan logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan umpatan. Jidal (perdebatan) terdiri dari tiga macam, yang buruk adalah yang disampaikan dengan kasar, yang mengandung kemarahan serta yang menggunakan dalih-dalil yang tidak benar. Yang baik adalah yang disampaikan dengan sopan, serta menggunakan dalil-dallil atau alasan yang hanya diakui oleh lawan. Tetapi yang terbaik adalah yang disampaikan dengan baik, dan dengan argumen yang benar dan tak terbantahkan. Dengan demikian pendekatan yang digunakan oleh pribadi muslim marhamah dalam berdakwah adalah dengan mengedepankan keramahan dan keteladanan serta menjauhi sikap tak terpuji dan cara-cara kekerasan.

Indikator Muslim Marhamah
1. Mengembangkan Sikap Toleransi
Rahmat sebagai doktrin utama Islam dalam aplikasinya menemui banyak kendala. Salah satunya adalah adanya konflik. Manusia mempunyai potensi besar melakukan konflik. Kompetisi untuk merebutkan status sosial sering berujung pertikaian, ketegangan, dan kerawanan. Menurut Achmad Gunaryo, penerimaan terhadap konflik sebagai bagian dari hidup tampaknya bukanlah pilihan melainkan keharusan. Dipahami demikian, maka akan sia-sia menolak konflik. Menolak konflik adalah menolak sunnatullah. Manusia harus mau hidup dalam atau berdampingan dengan konflik.
Salah satu cara menyikapi konflik adalah mengembangkan budaya toleransi. Dalam toleransi, yang harus dilakukan adalah menghindari hal-hal yang memicu munculnya konflik, memunculkan persamaan-persamaan yang sifatnya universal yang bisa diterima semua kalangan, dan memberikan keteladanan dalam pembumiannya. Toleransi atau tenggang rasa akan sukses jika masing-masing individu menghargai kesepakatan-kesepakatan yang sudah ditetapkan dalam konteks kepentingan universal. Mereka bisa menahan diri dan mencari jalan terbaik dalam memecahkan persoalan, tidak terbawa konflik kepentingan dan perebutan kekuasaan personal yang merugikan kepentingan sosial universal.
Keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan adalah hal-hal yang sifatnya universal lintas sektoral. Semua orang membutuhkan dan menginginkannya. Semua orang menginginkan agama, kekuasaan dan differensiasi status sosial yang dapat menjamin dan berkontribusi nyata dalam perbaikan derajat kehidupan sosial. Bukan sebaliknya, agama, kekuasaan, dan status sosial menjadi penyebab lahirnya ketidakadilan, kekerasan, dan pertikaian. Kalau itu terjadi maka akan menjadi titik tolak berkembangnya delegitimasi agama, kekuasaan, dan status sosial. Kemampuan untuk hidup berdampingan (koeksistensi) dengan kelompok dan agama lain harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya secara individual, tapi juga secara sosial dan institusional. Tidak ada demarkasi dan diskriminasi dalam pergaulan sosial. Semua manusia menginginkan persamaan, kesetaraan, kerukunan, dan keselarasan dalam kehidupan sosial.
Pemahaman agama yang intoleran terhadap sebagian ayat dalam al-Qur’an dan hadis Nabi harus ditafsirkan dalam kerangka ayat-ayat dan hadis-hadis universal yang mendorong manusia untuk menghargai kemanusiaan, perbedaan, hak-hak asasi manusia, kerjasama, tolong menolong, dan berkompetisi dalam kebaikan (fastabiq al-khairat). Dalam kerangka pemikiran inilah kita memahami ajaran dakwah yang bersifat ekspansionis (dakwah, mengembangkan diri). Masing-masing agama memang mempunyai ajaran ekspansionis, namun hal itu tidak harus dimaknai sebagai pemaksaan terhadap seseorang untuk memeluk suatu agama. Ajaran tersebut seyogyanya dimaknai sebagai motivasi kepada pemeluk agama untuk mendemonstrasikan keagungan moral dan keindahan perilaku kepada orang lain, sehingga orang lain menjadi apresiatif, respek, dan akhirnya tertarik terhadap agama yang diikuti. Keteladanan menjadi kunci utama dalam keberhasilan dakwah.
Jika umat Islam dalam dakwahnya kepada kelompok lain mengedepankan keteladanan dalam bertutur sapa, berinteraksi, bekerjasama, dan memberdayakan kaum miskin-papa, maka akan terjadi eskalasi dan massifikasi kebaikan yang menjadi esensi ajaran agama, bukan adu fisik, klaim, emosi, perang, agitasi, konflik, intrik, dan hal-hal negatif lainnya yang merusak persaudaraan dan kerukunan. Kalau dengan bukti nyata, seseorang tertarik dan masuk sebuah agama itu adalah hasil refleksi dan kontemplasinya. Hal ini karena kesadaran dan pilihan hidupnya, bukan karena paksaan, kompensasi materi, jabatan, popularitas, dan motif pragmatis duniawi lainnya. Inilah yang dipilih Nabi Muhammad dalam dakwahnya. Moralitas agung yang didemonstrasikannya membuat orang-orang kagum dan terkesima, sehingga masuk dalam agamanya.
Toleransi yang dipraktekkan umat Islam akan menjadi rahmat bagi diri mereka sendiri dan bagi sesama. Tidak ada rasa saling curiga, negative thinking, dan rekayasa yang menjurus kepada timbulnya fitnah, agitasi, iri hati, dan lain sebagainya yang mencabik-cabik harmoni dan kohesi sosial. Keimanan seseorang adalah hak prerogatif Allah, bukan wilayah manusia, sehingga interaksi harmonis dengan agama lain bukan menjadi penyebab goyahnya keimanan seseorang, tetapi justru akan mengokohkan keimanan seseorang, karena bisa membuktikan kebenaran imannya kepada agama lain. Tragedi perang dengan alasan agama seharusnya tidak sampai terulang di era modern sekarang ini.
Umat Islam sudah waktunya tampil dalam percaturan dunia dengan aksi-aksi sosial simpatik yang mendatangkan kesejahteraan ekonomi, kemajuan pendidikan, keagungan moral dan solidaritas sosial. Intinya, cita-cita mewujudkan muslim yang marhamah yang cinta perdamaian tidak akan mungkin terwujud apabila tidak dilandasi basis pemikiran keagamaan yang bervisi rahmatan lil’alamin. Dengan basis pemikiran inilah, Islam akan tampil cantik mempesona, indah menawan, dan sejuk mendamaikan. Dengan itulah Islam benar-benar akan terwujud sebagai rahmat bagi seluruh alam.
2. Mengedepankan Ukhuwah
Ukhuwah pada awalnya berarti persamaan dan keserasian dalam banyak hal. Karenanya, persamaan dalam keturunan mengakibatkan persaudaraan, persamaan dalam sifat-sifat juga mengakibatkan persaudaraan. Seringkali kita mendengar istilah ukhuwah islamiyah yang diartikan sebagai persaudaraan antar sesama muslim. Mungkin banyak pertanyaan yang muncul dalam menyikapi istilah ukhuwah islamiyah tersebut, misalnya, apakah yang dimaksud dengan istilah tersebut? Apa kedudukan kata islamiyah sebagai pelaku ukhuwah atau kata sifat darinya?. M. Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan al-Quranmenyatakan bahwa islamiyah di sini adalah kata sifat (adjektif) dari ukhuwah, sehingga maknanya adalah persaudaraan yang bersifat Islam atau persaudaraan secara Islam (islami). Meskipun demikian ia memberi catatan bahwa harus diakui bahwa persaudaraan antar sesama muslim, yang kemudian diartikan sebagai kerukunan intern umat Islam, merupakan salah satu pokok ajaran Islam, yang juga termasuk dalam bagian ukhuwah islamiyah itu sendiri.
Bila ukhuwah diartikan sebagai “persamaan” sebagaimana makna asalnya, maka paling tidak kita dapat menemukan ukhuwah tersebut tercermin dalam empat hal sebagai berikut: (a) Ukhuwah fi al-Ubudiyah, yaitu bahwa seluruh makhluk adalah bersaudara, dalam arti memiliki persamaan. Sebagaimana dalam surat al-An’am ayat 38: “Dan tidaklah binatang-binatang yang ada di bumi,dan tidak pula burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, kecuali umat seperti kamu juga”. Persamaan ini, antara lain, dalam ciptaan dan ketundukan kepada Allah. (b) Ukhuwah fi al-Insaniyah, dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka bersumber dari ayah dan ibu yang satu. Surat al-Hujurat ayat 12 menjelaskan tentang hal ini. (c) Ukhuwah fi al-Wathaniyah wa al-Nasab. Persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan seperti yang disyaratkan oleh surat al-A’raf ayat 65. (d) Ukhuwah fi Din al-Islam. Persaudaraan antar sesama muslim, seperti yang terdapat dalam surat al-Ahzab ayat 5.
Faktor penunjang lahirnya persaudaraan adalah persamaan. Semakin banyak persamaan semakin kokoh pula persaudaran. Persamaan dalam rasa dan cita merupakan faktor yang sangat dominan yang mendahului lahirnya persaudaraan hakiki. Pada akhirnya, dengan persaudaraan hakiki ini akan menjadikan seorang saudara akan merasakan derita saudaranya. Sebagai contoh adalah mengulurkan bantuan kepada saudaranya sebelum diminta serta memperlakukannya bukan atas dasar take and give, tetapi berdasar pada kasih sayang dalam bentuk “mengutamakan orang lain meskipun dirinya sendiri kekurangan” (QS. Al-Hasyr: 9). Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, perasaan tenang dan nyaman yang dirasakannya pada saat berada bersama jenisnya, dan dorongan kebutuhan ekonomi, juga merupakan faktor-faktor penunjang lahirnya rasa persaudaraan itu. Islam datang menekankan hal-hal tersebut dan menganjurkan untuk mencari titik singgung dan titik temu. Tidak hanya kepada sesama muslim, kepada non-muslim pun demikian juga seharusnya, hal ini diisyaratkan dalam surat Ali Imran ayat 64 dan Saba’ ayat 24-25.
Mengedepankan ukhuwah adalah ciri khas karakter muslim yang marhamah. Ukhuwah islamiyah yang dipahami dalam konteks ini adalah ukhuwah yang sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Maka, membangun persaudaraan tidak hanya sebatas pada orang-orang yang muslim saja melainkan juga kepada orang-orang non-muslim, karena kita semua adalah memiliki persamaan dan oleh karena itu kita semua adalah bersaudara.
3. Menjadikan musyawarah menemukan solusi
Kata musyawarah terambil dari akar kata syawara, yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain, termasuk pendapat. Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.
Madu bukan saja manis, melainkan juga obat untuk banyak penyakit, sekaligus sumber kesehatan dan kekuatan. Itu sebabnya madu dicari di mana pun dan oleh siapa pun. Madu dihasilkan oleh lebah. Dengan demikian, yang bermusyawarah mesti bagaikan lebah yakni makhluk yang sangat disiplin, kerja samanya sangat mengagumkan, makanannya terjaga dan hasilnya adalah madu. Di mana pun hinggap, lebah tidak pernah merusak. Ia tidak akan mengganggu kecuali diganggu. Seperti itulah makna permusyawarahan, seperti itu pulalah sifat yang melakukannya. Maka tidak heran bila Nabi Muhammad saw. menyamakan seorang mukmin dengan lebah.
Seruan yang jelas untuk melakukan musyawarah apabila ada suatu urusan terdapat dalam al-Quran surat ‘Ali Imran ayat 159. Ayat ini dari segi redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Tetapi, ayat ini juga merupakan petunjuk kepada setiap muslim, khususnya kepada setiap pemimpin, agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya.
Pada ayat tersebut disebutkan tiga sikap yang secara berurutan diperintahkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk dilakukan sebelum datangnya perintah bermusyawarah. Ketiga sikap tersebut sengaja dikemukakan dalam ayat itu agar ketiganya menghiasi diri Nabi dan setiap orang yang melakukan musyawarah. Ketiga sikap tersebut adalah :  (a)  Sikap Lemah lembut ; Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi sebagai pemimpin, harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, mitra musyawarah akan meninggalkan majelis musyawarah. (b) Memberi maaf dan membuka lembaran baru. Maaf berarti menghapus. Memaafkan adalah menghapus bekas luka di hati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar. Di sisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu bersedia memberi maaf. Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung pihak lain. (c) Permohonan ampunan kepada Allah swt. Untuk mencapai hasil yang terbaik ketika musyawarah, maka hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis. Keharmonisan ini akan membawa efek positif bahwa keputusan yang diambil dalam musyawarah akan membawa manfaat kepada semua pihak.
Setelah itu disebutkan satu lagi sikap yang harus dilakukan setelah musyawarah, yakni kebulatan tekad untuk melaksanakan apa yang telah ditetapkan dalam musyawarah. Agaknya dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa musyawarah diperintahkan al-Quran, serta dinilai sebagai salah satu prinsip dalam berkehidupan dan bermasyarakat. Musyawarah ini menjadi karakter pribadi muslim yang marhamah karena musyawarah adalah jalan terbaik dalam menyelesaikan permasalahan. Dalam musyawarah dituntut untuk selalu santun dan penuh kedamaian, bukan amarah dan penuh kebencian. Apalagi terdapat tiga prasyarat yang harus dilakukan (sikap lemah lembut, penuh maaf, dan memohonkan ampun), yang kesemuanya meniadakan unsur kekerasan. Hal ini karena pendekatan kekerasan tidak mungkin dilakukan oleh seorang muslim yang marhamah.
Cermin Bening Dari Sejarah
Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa kehidupan marhamah adalah yang didalamnya tumbuh solidaritas kebersamaan dalam menyelesaikan persoalan kemanusiaan melampaui sekat-sekat primordial, didalamnya ada etos saling menolong dengan sungguh-sungguh menolong tanpa tujuan apapun selain menolong itu sendiri, yang dari sini kemudian muncul pola hidup welas asih, saling menyayangi dan mengasihi.  Kehidupan seperti ini pernah memancar cemerlang dalam kehidupan masyarakat Madinah dimasa Rasululloh saw dan para sahabat.
               Diceritakan suatu hari Nabi saw mendatangi seseorang yang dikabarkan sedang sakit, padahal selama sehatnya orang tersebut sangat membenci Nabi bahkan selalu melempari Nabi dengan kotoran. Tetapi Nabi adalah orang yang pertama kali datang dan mendoakan kesembuhannya. Tidak ada kebencian, balas dendam, dan emosi dalam diri Nabi saw. Dengan pendekatan moral agung inilah eorang tersebut kemudian masuk Islam secara suka rela. Keteladanan Nabi saw ini menjadi entry point dalam mengembangkan toleransi dalam Islam yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan universal.
Dalam hadits yang diriywayatkan Abu Daud, dikisahkan pula suatu saat khalifah Utsman berada di Mina dalam rangkaian ibadah hajinya beliau melakukan shalat dhuhur dan ashar masing-masing empat rakaat. Peristiwa itu disampaikan oleh Abdurrahman bin Yazid kepada Abdullah bin Mas’ud. Mendengar itu, ibn Mas’ud berseru inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, apa yang dilakukan Utsman itu adalah musibah. Utsman sudah meninggalkan sunnah Rasulullah, Abu Bakar dan Umar. Ibn Mas’ud berkata “Aku shalat bersama Rasulullah di Mina dan ia shalat dua rakaat. Aku shalat bersama Abu Bakar di Mina dan ia shalat dua rakaat. Aku shalat bersama Umar di Mina dan ia shalat dua rakaat.” Tetapi ketika Ibnu Mas’ud melaksanakan shalat dhuhur dan ashar di Mina di belakang Usman, iapun melakukannya empat rakaat juga. Ketika ditanya tentang pendapatnya dulu dan prakteknya sekarang, ia mengatakan “Benar bahwa aku menyatakan berdasarkan sunnah, shalat di Mina haruslah diqashar. Tetapi Utsman sekarang adalah Imam yang harus diikuti. Wa al-khilafu syarr, “semua pertengkaran itu jelek”. Peristiwa ini menunjukkan perbedaan keyakinan antara dua sahabat besar Utsman bin Affan dan Abdullah Ibnu Mas’ud. Yang menarik diperhatikan adalah sikap Abdullah ibn Masud. Ia menegaskan pendapatnya tentang salat qashar di Mina, tetapi ia tidak mempraktekkan keyakinannya itu, karena menghormati Utsman sebagai Imam dan Khalifah, juga karena ia ingin menghindari pertengkaran.
Kecenderungan pada kedamaian, saling menghormati dan anti pertengkaran seperti inilah yang kemudian juga banyak dipraktekkan oleh para ulama pada periode berikutnya. Misalnya yang dilakukan oleh Imam Syafii. Suatu hari Imam Syafii ditunjuk menjadi imam shalat subuh di sebuah masjid kota Kufah. Tidak jauh dari masjid itu ada makam Abu Hanifah. Imam Syafii tidak membaca qunut dalam shalat subuhnya dan tidak melakukan sujud sahwi, sebagaimana seharusnya dalam fiqih Syafii. Ketika usai shalat para jamaah bertanya kepadanya mengapa ia tidak melakukan qunut. Imam Syafii menjawab sambil menunjuk makam Abu Hanifah, “Aku menghormati penghuni makam itu”
Sungguh kejadian di atas adalah cermin pribadi muslim yang marhamah. Betapa tingginya akhlak dan toleransi yang dipraktekkan oleh para imam kita dahulu. Bahkan penghormatan dan toleransi tidak hanya ditujukan kepada yang masih hidup dan ada di hadapannya, melainkan juga kepada mereka yang sudah wafat dan tidak ada di hadapannya. Ini merupakan pelajaran berharga bahwa tradisi para Nabi dan orang-orang saleh adalah sangat toleran bahkan membalas kejelekan dengan kebaikan.  Sikap penghormatan terhadap orang mesti dilakukan di segala hal, termasuk dalam berdakwah kepada umat manusia baik yang muslim maupun non-muslim. Sikap seperti ini kerap dilakukan oleh para wali yang menyebarkan agama Islam di Indonesia. Bahkan penghargaan dan penghormatan kepada orang lain menjadi strategi utama dalam berdakwah di kalangan para wali tersebut. Dengan mengadaptasi budaya lokal, Sunan Giri mampu mengambil hati masyarakat melalui berbagai tembang dan permainan yang bernafaskan ajaran Islam. Kemampuan dalam mengaransmen musik dan mencipta berbagai alat musik tradisional telah mengharumkan nama Sunan Bonang. Nama Bonang sendiri adalah nama dari salah satu alat musik orkestra gamelan Jawa. Dakwah elegan, humanis dan penghargaan terhadap adat-istiadat masyarakat juga dipraktekkan oleh Sunan Kalijaga, seorang wali yang kemudian memunculkan masterpiece karya budaya dalam bentuk wayang kulit. Dengan wayang kulit inilah masyarakat merasa feel at home (nyaman dan kerasan) ketika masuk Islam. Dakwah Sunan Kudus juga fenomenal, Beliau membuat larangan menyembelih sapi bagi umat Islam waktu itu, sebab sapi adalah hewan yang sangat disucikan oleh umat Hindu, kebijakan Sunan Kudus ini didasari penghormatan terhadap keyakinan umat Hindu dan penghormatan atas harkat-martabat sesama manusia ciptaan Tuhan.
Pola dakwah yang tidak kalah fenomenal juga dilakukan oleh Sunan Drajat. Melalui program pemberdayaan yang penuh kesantunan dan tanpa pandang bulu terhadap orang yang disantuni, Sunan Drajat mendakwahkan ajaran Islam yang penuh kedamaian. Salah satu dasar ajarannya yang menganjurkan penghargaan terhadap ke-anekaragaman (pluralitas) masyarakat adalah: “Wenehono teken marang wong kang wuto.” Secara literal, makna kalimat tersebut adalah ‘berilah tongkat penuntun bagi orang yang tuna netra’. Namun kalimat ini memiliki dimensi sosial yang mendalam. Orang yang tuna netra dalam kalimat tersebut secara tersirat dapat dimaknai sebagai orang yang masih berada dalam kondisi ketidaktahuan, kebodohan dan kegelapan. Oleh karena itu mereka membutuhkan pencerahan yang disimbolisasi dalam bentuk tongkat. Yang menarik adalah bahwa dengan penuh kasih sayang kita diperintahkan untuk memberi tongkat kepada yang membutuhkan tanpa memperdulikan perbedaan di antara kita, karena pemberian kepada yang membutuhkan adalah salah satu bentuk kasih sayang.
Tidak hanya kalangan wali, ulama sepuh kita juga mengajarkan kepribadian marhamah. Sebut saja KH. Hasyim Asy’ari, ketika menjadi Rais Akbar NU, sering menjadikan nilai-nilai marhamah sebagai dasar dan metode untuk menyelesaikan persoalan umat. Salah satu buktinya adalah fatwa beliau yang menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk bersatu dan moderat serta dilarang untuk bersikap ekstrim. Seruan ini disampaikan dalam berbagai kesempatan. Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang hal ini tertuang dalam pidato beliau, al-Mawa’idz (berbagai petuah sosial-keagamaan), yang disampaikan pada 1936 di Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin. Dalam petuah sosial-keagamaan tersebut beliau mengajak segenap umat Islam untuk mengakhiri rasa permusuhan akibat perbedaan masalah furu’iyyah dan khilafiyyah.
Dari berbagai cerita diatas, dapat dipahami bahwa dalam berkehidupan, para pendahulu kita selalu mengedepankan nilai-nilai kasih sayang (marhamah). Nilai-nilai kasih sayang tersebut tampak pada sikap yang menghindari pertengkaran, penghormatan terhadap pendapat orang lain yang berbeda, penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan tanpa memandang keyakinan dan status sosialnya, dan selalu menjadi pemberi bagi orang-orang yang membutuhkan. Karakter pribadi muslim adalah keimanan yang terhunjam ke dalam hatinya, seperti terhunjamnya akar pohon. Amal-amalnya menunjukkan keluhuran akhlaknya sebagaimana cabang-cabang pohon yang menjulang ke langit. Keberadaannya selalu memberikan kesejukan, ketenangan, solusi dan manfaat untuk pihak lain dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun. Hal ini ibarat buah dari pohon yang baik yang selalu memberikan manfaat dalam setiap musim.
Maka jadilah seperti pohon mangga di tepi jalan, yang kendati dilempari orang dengan batu, tetapi ia tetap mengirimkan kepada si pelempar itu, buah yang telah ranum. Ahsin kama ahsanallohu ilaik, berbuatlah baik sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dengan sifat ini akan membawa kita lebih dekat kepada Allah swt  juga kepada sesama manusia. Namun sayang, potret indah yang sudah tertata ajek selama puluhan tahun itu, saat ini seakan redup terselimuti oleh debu kotor perselisihan faham dan tersekat oleh baju-baju firqoh dan kepentingan kepentingan sektarian lainnya. #







Tidak ada komentar:

Posting Komentar