Hefni Zain
Muqaddimah
Islam adalah agama pembawa rahmah tidak saja bagi
manusia, tetapi juga bagi seluruh mahluk Tuhan di alam semesta (rahmatan
lil ‘alamin), karena itu Ia
hadir dengan prinsip-prinsip marhamah seperti : Kasih sayang (rahman rahim), perdamaian (salam),
persaudaraan (ukhuwah), persamaan (musawah),
toleransi (tasamuh),
keadilan (‘adalah),
keseimbangan (tawazun) dan kebebasan (hurriyah),
yang dengan seperangkan prinsip tersebut membuka ruang bagi terwujudnya
kehidupan yang damai dan harmonis.
Dengan
kata lain, kehidupan yang didambakan Islam adalah kehidupan yang menentramkan, menyelamatkan dan
membebaskan yang didalamnya tumbuh kedamaian, toleransi,
harmonisasi, cinta kasih dan persaudaraan. Salah
satu indikator dari kehidupan yang semacam ini adalah tumbuhnya solidaritas kebersamaan dan kekeluargaan dalam
menyelesaikan soal-soal kemanusiaan melampaui
sekat sekat primordial, didalamnya ada etos saling menolong dengan “sungguh-sungguh menolong”, yakni menolong tanpa tujuan apapun
selain menolong itu sendiri, yang dari sini kemudian muncul pola hidup welas
asih, the smiling general dan the smiling soldiers, the sensous, the
play ful, the calm and the beuty.
Kehadiran ajaran Islam yang dibawa Rasululloh
saw ke muka bumi ini membawa
misi mewujudkan kehidupan manusia yang
damai dan sejahtera lahir dan batin. Dalam risalah ajaran Islam terdapat
berbagai petunjuk bagi umat manusia, bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi
hidup dan kehidupan secara lebih bermakna. Petunjuk-petunjuk tersebut tertuang
secara jelas dalam Al-Qur`an dan Sunnah
Nabi. Islam mengajarkan kepada para pemeluknya agar selalu mengembangkan kesalehan dan kepedulian
terhadap sesama, menjunjung tinggi sikap marhamah (penuh kasih sayang),
mengembangkan kualitas diri berlandaskan akhlakul karimah.
Secara
teknis, misi rahmatan lil alamin tercermin dalam azas kemasyarakatan Islam, seperti : (1) Tawassuth dan i’tidal yaitu sikap moderat dan lurus yang
menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan
bersama, dan menghindari segala bentuk ekstremitas (tatharruf). Azas ini disarikan dari Qs. al-Baqarah : 143 dan al-Maidah : 8. (2) Tasamuh, yaitu, sikap toleran
terhadap perbedaan, baik dalam masalah keagamaan -terutama furu’iyyah-, kemasyarakatan, maupun kebudayaan. Azas ini disarikan dari Qs. Thaha: 44. (3) Tawazun, yakni keseimbangan dan harmonisasi dalam pengabdian kepada Allah, manusia, dan lingkungan. Nilai
ini disarikan dari ayat al-Quran surat al-Hadid: 25. (4) Amar ma’ruf nahi munkar. Islam memiliki kepekaan untuk
mendorong perbuatan yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta
menolak dan mencegah segala hal yang berpotensi merendahkan nilai-nilai
kehidupan. Dengan azas dan
nilai-nilai tersebut Islam benar-benar berkomitmen untuk membumikan rahmatan
lil’alamin, baik dalam ranah agama, sosial, budaya,
ekonomi, hukum dan politik. Nilai-nilai tersebut tidak hanya dipahami sebagai
doktrin, tetapi juga sebagai metode
berpikir (manhaj al-fikr) dalam mencarikan solusi atas kompleksitas
persoalanyang dihadapi umat manusia.
Sebagai agama rahmah, Islam menolak dan melarang
pemakaian kekerasan demi untuk mencapai tujuan-tujuan (al-ghayat),
termasuk tujuan yang baik sekalipun. Dalam kaidah ushul ditegaskan al-ghayah la tubarrir al-wasilah (tujuan
tidak bisa menghalalkan segala cara). Islam juga menegaskan bahwa pemberantasan kemungkaran tidak boleh dilakukan dengan kemungkaran
pula (al-nahyu ‘an al-munkar bi ghair al-munkar). Tidak ada alasan etik
dan moral yang bisa membenarkan suatu tindakan kekerasan, kalau ada
tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Islam tertentu, maka
jelas alasannya bukan karena ajaran etik-moral Islam, melainkan karena
agenda-agenda lain yang bersembunyi di balik tindakan tersebut.
Dalam perspektif Islam, fenomena kekerasan bernuansa
agama merupakan bentuk diviasi
(penyimpangan) yang salah satunya disebabkan oleh kegagalan penganut
agama dalam memahami universalitas pesan doktrin yang terdapat dalam teks-teks
sucinya, disebutkan oleh beberapa pakar bahwa diantara faktor penyebab
radikalisme pemahaman ajaran Islam adalah “sathahiyyatu al-tsaqafah wa
al-fiqhi fi al-dini” (kedangkalan ilmu pengetahuan dan kedangkalan
wawasan keagamaan). Sebagai antisipasi terhadap arus
gerakan radikalisme-fundamentalisme perlu disinergikan hadarah al-nash (penyangga budaya teks
bayani), hadarah al-‘ilmi, hadarah al-falsafah dengan humanities kontemporer. Sinergi tersebut menjadi penting guna menghindari jebakan pitfall (keangkuhan
disiplin ilmu yang merasa pasti dalam wilayah sendiri-sendiri tanpa mengenal
masukan dari disiplin di luar dirinya).
Guna
mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin (penebar kasih sayang bagi semesta) dibutuhkan karakter muslim
yang ramah, konsisten menghargai pluralitas serta mampu bekerjasama dengan yang
lain. Karakter muslim yang seperti ini disebut dengan karakter muslim marhamah.
Profil Muslim Marhamah
Istilah muslim marhamah terambil dari gabungan dua kata, yakni “muslim” dan “marhamah”. Muslim bermakna orang-orang yang berserah diri kepada
Tuhan atau orang yang mencari kedamaian Tuhan. Term “muslim” ini
merupakan rangkaian kata “aslama – yuslimu – islam” yang berarti
menyerah atau mencari kedamaian. Kata “Islam” (ketundukan, kepasrahan
dan kedamaian) merupakan bentuk kata benda verbal yang searti dengan bentuk
adjektif muslim (tunduk, pasrah dan damai). Dari
akar simantik diatas, kata muslim
mengisyaratkan makna penuh ketundukan terhadap kehendak Tuhan dalam rangka
mencari kedamaian. Dengan demikian, kedamaian dan perdamaian adalah kata kunci untuk melihat
hakekat diri seorang muslim. Itulah sebabnya Rasul saw menegaskan “seorang muslim adalah mereka yang memberikan rasa aman, keselamatan dan kedamaian bagi orang lain dari gangguan lidah dan tangannya.” Bahkan
dari ucapan salam, “assalamu ‘alaikum”
(damai dan keselamatan untuk anda) dalam setiap pertemuan,
menunjukkan bahwa kedamaian yang
didambakan bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk
pihak lain.
Adapun kata “marhamah” adalah kata benda dari kata kerja arhama yang berasal dari akar kata rahima dengan penambahan
huruf hamzah di awal kata yang memiliki faidah ta’diyah (karakter
kalimat yang tidak perlu menampilkan obyek). Dari kata asal rahima ini,
terdapat kata-kata jadian lainnya dalam al-Qur’an, yakni: rahima, arham,
marhamah, rahim, rahman dan ruhm. Rahima bermakna
memiliki kemurahan hati
atau belas kasihan kepada seseorang (to have mercy on someone); merasa
kasihan, ingin menghibur atau menyenangkan hati orang lain (to be
compassionate). Arham adalah bentuk jamak dari kata rahim
yang secara bahasa berarti peranakan/kandungan. Marhamah berarti kemurahan (mercy); perasaan sayang (compassion). Rahim berarti penyayang (merciful); suka menyenangkan (compassionate);
Maha Pemurah (All Compassionate). Rahman bertati
pengasih (merciful);
Maha Kasih (All Merciful), sedangkan Ruhm bermakna kelembutan (tenderness). Dari
makna harfiyah yang berakar dari “r-h-m” diatas, dapat
ditarik benang merah bahwa
makna marhamah adalah energi
kasih sayang murni yang secara integral terdapat dalam diri manusia. Dengan
energi tersebut seseorang akan selalu
menebarkan kasih sayang ke segala penjuru alam semesta.
Menyandingkan kata “muslim”
dan “marhamah” memerlukan penyesuaian (adjusment), sebab karakter kedua kata tersebut relatif berbeda, satunya mudzakkar dan satunya muannats.
Upaya penyesuaian dalam menyandingkan kedua kata ini dapat mengacu pada teori “makhdzuf”
(tidak menampilkan sebagian kalimat). Dalam teori ini dijelaskan bahwa suatu
kalimat tidak harus selalu tampil lengkap. Boleh jadi ada bagian dari kalimat
tersebut yang tidak tampil. Tidak tampilnya sebagian kalimat tersebut dalam
perspektif ilmu gramatika bahasa Arab disebut dengan makhdzuf. Tampilan istilah “muslim marhamah”, bila diurai
sebenarnya ada bagian kalimat yang makhdzuf. Terdapat kata “thabiah”
(artinya: karakter) yang harus tampil mengiringi kalimat muslim marhamah. Bila
dijabarkan secara lengkap maka akan muncul tampilan kalimat “Thabiah
al-Muslim Marhamah”.
Thabiah al-Muslim Marhamah dapat dimaknai karakter orang
Islam yang penuh perasaaan kasih sayang. Penampilan kalimat sebatas ‘muslim
marhamah’, dengan kata thabiah yang makhdzuf, memberi penekanan
pada hakekat kepribadian muslim yang integral dengan nilai-nilai kasih sayang.
Nilai-nilai kasih sayang di sini bukan hanya sekedar sesuatu yang berada di
luar diri muslim untuk kemudian dilakukan penyerapan. Akan tetapi, terdapat
internalisasi nilai-nilai kasih sayang yang secara organik ada pada diri seorang
muslim. Dengan demikian, muslim
marhamah adalah pribadi muslim yang secara integral
memiliki energi kedamaian (Islam) dan kasih sayang (marhamah), dimana
basis kedamaian dan rasa kasih sayang tersebut berperan efektif dalam hidup kesehariannya, utamanya dalam menghadapi berbagai persoalan sosial
kemasyarakatan.
Landasan Muslim Marhamah
Tidak
terbantahkan bahwa pengembangan muslim marhamah
memiliki landasan yang kokoh, baik landasan preskriptif maupun landasan
empirik. Banyak sekali ayat al-Quran dan Hadits yang menjelaskan tentang bagaimana pribadi muslim
yang penuh kasih sayang ini harus diejawantahkan dalam kehidupan,
sebagai contoh, Qs. Al-Anbiya’: 107, Qs. Ibrahim : 24 – 25, Qs. al-Nahl : 125, yang secara teknis didukung oleh sabda Rasulullah
saw. yakni “innama bu’itstu li utammima makaarim al-akhlaaq”
(sesungguhnya aku diutus oleh Allah swt. Untuk menyempurnakan budi pekerti yang
mulia). Pembinaan akhlak merupakan upaya pembentukan karakter seseorang. Untuk
membentuk karakter yang baik tentu saja membutuhkan pendekatan yang baik, dan
pendekatan yang baik adalah pendekatan yang penuh kasih sayang (marhamah).
Berbagai landasan diatas menunjukkan bahwa tujuan dan misi utama diutusnya Rasulullah
saw adalah menebar kasih
sayang. Kasih sayang yang dimaksud adalah kasih sayang yang bersifat universal,
bukan parsial atau sebatas untuk kalangan tertentu. Kata “al-alamin” dalam ayat
tersebut menunjukkan universalitas yang merujuk pada
keanekaragaman makhluk hidup di bumi.
Dalam hal amar ma’ruf nahyu an al-munkar
yang menjadi kewajiban setiap muslim, maka pribadi muslim marhamah mendasarkan
aktivitas dakwahnya pada metode yang digariskan
Al-Quran dalam surat al-Nahl
ayat 125. Ayat ini menjelaskan tentang tiga macam metode dakwah dengan
mempertimbangkan sasaran dakwah. Terhadap cendekiawan yang memiliki pengetahuan
tinggi diperintahkan menyampaikan dakwah dengan hikmah, yakni berdialog
dengan kata-kata bijak sesuai dengan tingkat kepandaian mereka. Hikmah
sendiri maknanya adalah sesuatu yang bila digunakan akan mendatangkan
kemaslahatan dan kemudahan yang besar atau lebih besar, serta menghalangi
terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar atau lebih besar .
Terhadap kaum awam, diperintahkan untuk menerapkan mauidhah,
yakni memberikan nasehat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan
taraf pengetahuan mereka yang sederhana. Mauidhah baru dapat mengena
hati sasaran bila ucapan yang disampaikan itu disertai dengan pengamalan dan
keteladanan dari yang menyampaikannya. Inilah yang dimaksud dengan mauidhah
hasanah (uraian yang menyentuh hati yang mengantar kepada kebaikan).
Kepada Penganut faham atau agama lain, yang diperintahkan adalah jidal (perdebatan atau
dialog) dengan cara yang
terbaik, yaitu dengan logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan
umpatan. Jidal (perdebatan) terdiri dari tiga macam, yang buruk
adalah yang disampaikan dengan kasar, yang mengandung kemarahan serta yang
menggunakan dalih-dalil yang tidak benar. Yang
baik adalah yang disampaikan dengan sopan, serta menggunakan dalil-dallil
atau alasan yang hanya diakui oleh lawan. Tetapi yang terbaik adalah
yang disampaikan dengan baik, dan dengan argumen yang benar dan tak
terbantahkan. Dengan demikian pendekatan yang digunakan oleh pribadi
muslim marhamah dalam berdakwah adalah dengan mengedepankan keramahan dan
keteladanan serta menjauhi sikap tak terpuji dan cara-cara kekerasan.
Indikator Muslim Marhamah
1. Mengembangkan Sikap Toleransi
Rahmat sebagai doktrin utama Islam dalam aplikasinya
menemui banyak kendala. Salah satunya adalah adanya konflik. Manusia mempunyai
potensi besar melakukan konflik. Kompetisi untuk merebutkan status sosial
sering berujung pertikaian, ketegangan, dan kerawanan. Menurut Achmad Gunaryo,
penerimaan terhadap konflik sebagai bagian dari hidup tampaknya bukanlah
pilihan melainkan keharusan. Dipahami demikian, maka akan sia-sia menolak konflik.
Menolak konflik adalah menolak sunnatullah. Manusia harus mau hidup dalam atau
berdampingan dengan konflik.
Salah satu cara menyikapi konflik adalah mengembangkan
budaya toleransi. Dalam toleransi, yang harus dilakukan adalah menghindari
hal-hal yang memicu munculnya konflik, memunculkan persamaan-persamaan yang
sifatnya universal yang bisa diterima semua kalangan, dan memberikan
keteladanan dalam pembumiannya. Toleransi atau tenggang rasa akan sukses jika
masing-masing individu menghargai kesepakatan-kesepakatan yang sudah ditetapkan
dalam konteks kepentingan universal. Mereka bisa menahan diri dan mencari jalan
terbaik dalam memecahkan persoalan, tidak terbawa konflik kepentingan dan
perebutan kekuasaan personal yang merugikan kepentingan sosial universal.
Keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan adalah hal-hal
yang sifatnya universal lintas sektoral. Semua orang membutuhkan dan
menginginkannya. Semua orang menginginkan agama, kekuasaan dan differensiasi
status sosial yang dapat menjamin dan berkontribusi nyata dalam perbaikan
derajat kehidupan sosial. Bukan sebaliknya, agama, kekuasaan, dan status sosial
menjadi penyebab lahirnya ketidakadilan, kekerasan, dan pertikaian. Kalau itu
terjadi maka akan menjadi titik tolak berkembangnya delegitimasi agama, kekuasaan,
dan status sosial. Kemampuan untuk hidup berdampingan (koeksistensi) dengan
kelompok dan agama lain harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, tidak
hanya secara individual, tapi juga secara sosial dan institusional. Tidak ada
demarkasi dan diskriminasi dalam pergaulan sosial. Semua manusia menginginkan
persamaan, kesetaraan, kerukunan, dan keselarasan dalam kehidupan sosial.
Pemahaman agama yang intoleran terhadap sebagian ayat
dalam al-Qur’an dan hadis Nabi harus ditafsirkan dalam kerangka ayat-ayat dan
hadis-hadis universal yang mendorong manusia untuk menghargai kemanusiaan,
perbedaan, hak-hak asasi manusia, kerjasama, tolong menolong, dan berkompetisi
dalam kebaikan (fastabiq al-khairat). Dalam kerangka pemikiran inilah
kita memahami ajaran dakwah yang bersifat ekspansionis (dakwah, mengembangkan
diri). Masing-masing agama memang mempunyai ajaran ekspansionis, namun hal itu
tidak harus dimaknai sebagai pemaksaan terhadap seseorang untuk memeluk suatu
agama. Ajaran tersebut seyogyanya dimaknai sebagai motivasi kepada pemeluk
agama untuk mendemonstrasikan keagungan moral dan keindahan perilaku kepada
orang lain, sehingga orang lain menjadi apresiatif, respek, dan akhirnya
tertarik terhadap agama yang diikuti. Keteladanan menjadi kunci utama dalam
keberhasilan dakwah.
Jika umat Islam dalam dakwahnya kepada kelompok lain
mengedepankan keteladanan dalam bertutur sapa, berinteraksi, bekerjasama, dan
memberdayakan kaum miskin-papa, maka akan terjadi eskalasi dan massifikasi
kebaikan yang menjadi esensi ajaran agama, bukan adu fisik, klaim, emosi,
perang, agitasi, konflik, intrik, dan hal-hal negatif lainnya yang merusak
persaudaraan dan kerukunan. Kalau dengan bukti nyata, seseorang tertarik dan
masuk sebuah agama itu adalah hasil refleksi dan kontemplasinya. Hal ini karena
kesadaran dan pilihan hidupnya, bukan karena paksaan, kompensasi materi,
jabatan, popularitas, dan motif pragmatis duniawi lainnya. Inilah yang dipilih
Nabi Muhammad dalam dakwahnya. Moralitas agung yang didemonstrasikannya membuat
orang-orang kagum dan terkesima, sehingga masuk dalam agamanya.
Toleransi yang dipraktekkan umat Islam akan menjadi
rahmat bagi diri mereka sendiri dan bagi sesama. Tidak ada rasa saling curiga, negative
thinking, dan rekayasa yang menjurus kepada timbulnya fitnah, agitasi, iri
hati, dan lain sebagainya yang mencabik-cabik harmoni dan kohesi sosial.
Keimanan seseorang adalah hak prerogatif Allah, bukan wilayah manusia, sehingga
interaksi harmonis dengan agama lain bukan menjadi penyebab goyahnya keimanan
seseorang, tetapi justru akan mengokohkan keimanan seseorang, karena bisa
membuktikan kebenaran imannya kepada agama lain. Tragedi perang dengan alasan
agama seharusnya tidak sampai terulang di era modern sekarang ini.
Umat Islam sudah waktunya tampil dalam percaturan dunia
dengan aksi-aksi sosial simpatik yang mendatangkan kesejahteraan ekonomi,
kemajuan pendidikan, keagungan moral dan solidaritas sosial. Intinya, cita-cita
mewujudkan muslim yang marhamah yang cinta perdamaian tidak akan mungkin terwujud
apabila tidak dilandasi basis pemikiran keagamaan yang bervisi rahmatan
lil’alamin. Dengan basis pemikiran inilah, Islam akan tampil cantik
mempesona, indah menawan, dan sejuk mendamaikan. Dengan itulah Islam
benar-benar akan terwujud sebagai rahmat bagi seluruh alam.
2. Mengedepankan Ukhuwah
Ukhuwah pada awalnya berarti persamaan dan keserasian
dalam banyak hal. Karenanya, persamaan dalam keturunan mengakibatkan
persaudaraan, persamaan dalam sifat-sifat juga mengakibatkan persaudaraan. Seringkali kita mendengar istilah ukhuwah islamiyah
yang diartikan sebagai persaudaraan antar sesama muslim. Mungkin banyak
pertanyaan yang muncul dalam menyikapi istilah ukhuwah islamiyah
tersebut, misalnya, apakah yang dimaksud dengan istilah tersebut? Apa kedudukan
kata islamiyah sebagai pelaku ukhuwah atau kata sifat darinya?. M. Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan al-Quran” menyatakan
bahwa islamiyah di sini adalah kata sifat (adjektif) dari ukhuwah,
sehingga maknanya adalah persaudaraan yang bersifat Islam atau persaudaraan
secara Islam (islami). Meskipun demikian ia memberi catatan bahwa harus diakui
bahwa persaudaraan antar sesama muslim, yang kemudian diartikan sebagai
kerukunan intern umat Islam, merupakan salah satu pokok ajaran Islam, yang juga
termasuk dalam bagian ukhuwah islamiyah itu sendiri.
Bila ukhuwah diartikan sebagai “persamaan” sebagaimana
makna asalnya, maka paling tidak kita dapat menemukan ukhuwah tersebut
tercermin dalam empat hal sebagai berikut: (a) Ukhuwah fi al-Ubudiyah,
yaitu bahwa seluruh makhluk adalah bersaudara, dalam arti memiliki persamaan.
Sebagaimana dalam surat al-An’am ayat 38: “Dan tidaklah binatang-binatang
yang ada di bumi,dan tidak pula burung-burung yang terbang dengan kedua
sayapnya, kecuali umat seperti kamu juga”. Persamaan ini, antara lain,
dalam ciptaan dan ketundukan kepada Allah. (b) Ukhuwah fi al-Insaniyah, dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara,
karena mereka bersumber dari ayah dan ibu yang satu. Surat al-Hujurat ayat 12 menjelaskan tentang hal ini. (c) Ukhuwah fi al-Wathaniyah wa al-Nasab. Persaudaraan dalam
keturunan dan kebangsaan seperti yang disyaratkan oleh surat al-A’raf ayat 65. (d) Ukhuwah fi Din al-Islam. Persaudaraan antar
sesama muslim, seperti yang terdapat dalam surat al-Ahzab ayat 5.
Faktor penunjang lahirnya persaudaraan adalah persamaan.
Semakin banyak persamaan semakin kokoh pula persaudaran. Persamaan dalam rasa
dan cita merupakan faktor yang sangat dominan yang mendahului lahirnya
persaudaraan hakiki. Pada akhirnya, dengan persaudaraan hakiki ini akan
menjadikan seorang saudara akan merasakan derita saudaranya. Sebagai contoh
adalah mengulurkan bantuan kepada saudaranya sebelum diminta serta
memperlakukannya bukan atas dasar take and give, tetapi berdasar pada
kasih sayang dalam bentuk “mengutamakan orang lain meskipun dirinya sendiri
kekurangan” (QS. Al-Hasyr: 9). Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial,
perasaan tenang dan nyaman yang dirasakannya pada saat berada bersama jenisnya,
dan dorongan kebutuhan ekonomi, juga merupakan faktor-faktor penunjang lahirnya
rasa persaudaraan itu. Islam datang menekankan hal-hal tersebut dan
menganjurkan untuk mencari titik singgung dan titik temu. Tidak hanya kepada
sesama muslim, kepada non-muslim pun demikian juga seharusnya, hal ini
diisyaratkan dalam surat Ali Imran ayat 64 dan Saba’ ayat 24-25.
Mengedepankan ukhuwah
adalah ciri khas karakter muslim yang marhamah. Ukhuwah islamiyah yang dipahami
dalam konteks ini adalah ukhuwah yang sesuai dengan tuntunan ajaran
Islam. Maka, membangun persaudaraan tidak hanya sebatas pada orang-orang yang
muslim saja melainkan juga kepada orang-orang non-muslim, karena kita semua
adalah memiliki persamaan dan oleh karena itu kita semua adalah bersaudara.
3. Menjadikan musyawarah menemukan solusi
Kata musyawarah terambil dari akar kata syawara,
yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini
kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau
dikeluarkan dari yang lain, termasuk pendapat. Musyawarah dapat juga berarti
mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya
digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.
Madu bukan saja manis, melainkan juga obat untuk banyak
penyakit, sekaligus sumber kesehatan dan kekuatan. Itu sebabnya madu dicari di
mana pun dan oleh siapa pun. Madu dihasilkan oleh lebah. Dengan demikian, yang
bermusyawarah mesti bagaikan lebah yakni makhluk yang sangat disiplin, kerja
samanya sangat mengagumkan, makanannya terjaga dan hasilnya adalah madu. Di
mana pun hinggap, lebah tidak pernah merusak. Ia tidak akan mengganggu kecuali
diganggu. Seperti itulah makna permusyawarahan, seperti itu pulalah sifat yang
melakukannya. Maka tidak heran bila Nabi Muhammad saw. menyamakan seorang
mukmin dengan lebah.
Seruan yang jelas untuk melakukan musyawarah apabila ada
suatu urusan terdapat dalam al-Quran surat ‘Ali Imran ayat 159. Ayat ini dari segi redaksional ditujukan kepada Nabi
Muhammad saw. agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat
atau anggota masyarakatnya. Tetapi, ayat ini juga merupakan petunjuk kepada
setiap muslim, khususnya kepada setiap pemimpin, agar bermusyawarah dengan
anggota-anggotanya.
Pada ayat tersebut disebutkan tiga sikap yang secara
berurutan diperintahkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk dilakukan sebelum
datangnya perintah bermusyawarah. Ketiga sikap tersebut sengaja dikemukakan
dalam ayat itu agar ketiganya menghiasi diri Nabi dan setiap orang yang melakukan
musyawarah. Ketiga sikap tersebut adalah : (a) Sikap Lemah lembut ; Seseorang
yang melakukan musyawarah, apalagi sebagai pemimpin, harus menghindari tutur
kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, mitra musyawarah
akan meninggalkan majelis musyawarah. (b) Memberi maaf dan membuka
lembaran baru. Maaf berarti menghapus.
Memaafkan adalah menghapus bekas luka di hati akibat perlakuan pihak lain yang
dinilai tidak wajar. Di sisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan
mental untuk selalu bersedia memberi maaf. Karena mungkin saja ketika
bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang
menyinggung pihak lain. (c) Permohonan ampunan kepada
Allah swt. Untuk mencapai hasil yang
terbaik ketika musyawarah, maka hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis.
Keharmonisan ini akan membawa efek positif bahwa keputusan yang diambil dalam
musyawarah akan membawa manfaat kepada semua pihak.
Setelah itu disebutkan satu lagi sikap yang harus
dilakukan setelah musyawarah, yakni kebulatan tekad untuk melaksanakan apa yang
telah ditetapkan dalam musyawarah. Agaknya dari penjelasan di
atas dapat disimpulkan, bahwa musyawarah diperintahkan al-Quran, serta dinilai
sebagai salah satu prinsip dalam berkehidupan dan bermasyarakat. Musyawarah ini
menjadi karakter pribadi muslim yang marhamah karena musyawarah adalah jalan
terbaik dalam menyelesaikan permasalahan. Dalam musyawarah dituntut untuk
selalu santun dan penuh kedamaian, bukan amarah dan penuh kebencian. Apalagi
terdapat tiga prasyarat yang harus dilakukan (sikap lemah lembut, penuh maaf,
dan memohonkan ampun), yang kesemuanya meniadakan unsur kekerasan. Hal ini
karena pendekatan kekerasan tidak mungkin dilakukan oleh seorang muslim yang
marhamah.
Cermin Bening Dari Sejarah
Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa kehidupan
marhamah adalah yang didalamnya tumbuh solidaritas kebersamaan
dalam menyelesaikan persoalan kemanusiaan melampaui sekat-sekat primordial,
didalamnya ada etos saling menolong dengan sungguh-sungguh menolong tanpa tujuan apapun selain
menolong itu sendiri, yang dari sini kemudian
muncul pola hidup welas asih, saling menyayangi dan mengasihi. Kehidupan seperti ini pernah memancar cemerlang
dalam kehidupan masyarakat Madinah dimasa Rasululloh saw dan para sahabat.
Diceritakan
suatu hari Nabi saw mendatangi seseorang
yang dikabarkan sedang sakit, padahal selama sehatnya orang tersebut sangat membenci Nabi bahkan selalu melempari Nabi dengan kotoran. Tetapi Nabi adalah orang yang
pertama kali datang dan mendoakan kesembuhannya. Tidak ada kebencian, balas
dendam, dan emosi dalam diri Nabi saw. Dengan pendekatan
moral agung inilah eorang tersebut kemudian
masuk Islam secara suka rela. Keteladanan Nabi saw ini menjadi entry point dalam mengembangkan
toleransi dalam Islam yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan universal.
Dalam hadits yang diriywayatkan Abu Daud, dikisahkan pula suatu saat khalifah Utsman berada di Mina dalam rangkaian ibadah
hajinya beliau melakukan shalat dhuhur
dan ashar masing-masing empat rakaat. Peristiwa itu disampaikan oleh Abdurrahman bin Yazid kepada Abdullah bin Mas’ud.
Mendengar itu, ibn Mas’ud berseru inna lillahi wa inna
ilaihi raji’un, apa yang dilakukan Utsman
itu adalah musibah. Utsman sudah meninggalkan sunnah Rasulullah, Abu Bakar dan
Umar. Ibn Mas’ud berkata “Aku shalat bersama Rasulullah di Mina dan ia shalat dua
rakaat. Aku shalat bersama Abu Bakar di Mina dan ia shalat dua rakaat. Aku
shalat bersama Umar di Mina dan ia shalat dua rakaat.” Tetapi ketika Ibnu Mas’ud melaksanakan shalat dhuhur dan ashar di Mina
di belakang Usman, iapun melakukannya empat rakaat juga. Ketika ditanya tentang pendapatnya dulu dan prakteknya
sekarang, ia mengatakan “Benar bahwa aku menyatakan berdasarkan sunnah, shalat
di Mina haruslah diqashar. Tetapi Utsman sekarang adalah Imam yang harus
diikuti. Wa al-khilafu syarr, “semua pertengkaran itu jelek”. Peristiwa ini menunjukkan
perbedaan keyakinan antara dua sahabat besar Utsman bin Affan dan Abdullah Ibnu
Mas’ud. Yang menarik diperhatikan adalah sikap Abdullah ibn Masud. Ia
menegaskan pendapatnya tentang salat qashar di Mina, tetapi ia tidak
mempraktekkan keyakinannya itu, karena menghormati Utsman sebagai Imam dan
Khalifah, juga karena ia ingin menghindari pertengkaran.
Kecenderungan pada kedamaian, saling menghormati dan anti
pertengkaran seperti inilah yang kemudian juga banyak dipraktekkan oleh para
ulama pada periode berikutnya. Misalnya yang dilakukan oleh Imam Syafii. Suatu
hari Imam Syafii ditunjuk menjadi imam shalat subuh di sebuah masjid kota
Kufah. Tidak jauh dari masjid itu ada makam Abu Hanifah. Imam Syafii tidak
membaca qunut dalam shalat subuhnya dan tidak melakukan sujud sahwi,
sebagaimana seharusnya dalam fiqih Syafii. Ketika usai shalat para jamaah
bertanya kepadanya mengapa ia tidak melakukan qunut. Imam Syafii menjawab
sambil menunjuk makam Abu Hanifah, “Aku menghormati penghuni makam itu”
Sungguh kejadian di atas adalah cermin pribadi muslim
yang marhamah. Betapa tingginya akhlak dan toleransi yang dipraktekkan oleh
para imam kita dahulu. Bahkan penghormatan dan toleransi tidak hanya ditujukan
kepada yang masih hidup dan ada di hadapannya, melainkan juga kepada mereka
yang sudah wafat dan tidak ada di hadapannya. Ini
merupakan pelajaran berharga bahwa tradisi para Nabi dan orang-orang saleh adalah sangat
toleran bahkan membalas kejelekan dengan kebaikan. Sikap penghormatan
terhadap orang mesti dilakukan di segala
hal, termasuk dalam berdakwah kepada umat
manusia baik yang muslim maupun non-muslim. Sikap seperti ini kerap dilakukan oleh para wali yang menyebarkan agama
Islam di Indonesia. Bahkan penghargaan dan penghormatan kepada orang lain
menjadi strategi utama dalam berdakwah di kalangan para wali tersebut. Dengan
mengadaptasi budaya lokal, Sunan Giri mampu mengambil hati masyarakat melalui
berbagai tembang dan permainan yang bernafaskan ajaran Islam. Kemampuan dalam mengaransmen
musik dan mencipta berbagai alat musik tradisional telah mengharumkan nama
Sunan Bonang. Nama Bonang sendiri adalah nama dari salah satu alat musik
orkestra gamelan Jawa. Dakwah elegan, humanis dan
penghargaan terhadap adat-istiadat masyarakat juga dipraktekkan oleh Sunan
Kalijaga, seorang wali yang kemudian memunculkan masterpiece
karya budaya dalam bentuk wayang kulit. Dengan wayang kulit inilah masyarakat
merasa feel at home (nyaman dan kerasan) ketika masuk Islam. Dakwah Sunan Kudus juga fenomenal, Beliau membuat larangan menyembelih sapi bagi
umat Islam waktu itu, sebab sapi adalah hewan yang
sangat disucikan oleh umat Hindu, kebijakan Sunan Kudus ini didasari
penghormatan terhadap keyakinan umat Hindu dan penghormatan atas
harkat-martabat sesama manusia ciptaan Tuhan.
Pola dakwah yang tidak kalah fenomenal juga dilakukan
oleh Sunan Drajat. Melalui program pemberdayaan yang penuh kesantunan dan tanpa
pandang bulu terhadap orang yang disantuni, Sunan Drajat mendakwahkan ajaran
Islam yang penuh kedamaian. Salah satu dasar ajarannya yang menganjurkan
penghargaan terhadap ke-anekaragaman (pluralitas) masyarakat adalah: “Wenehono
teken marang wong kang wuto.” Secara literal, makna kalimat tersebut adalah
‘berilah tongkat penuntun bagi orang yang tuna netra’. Namun kalimat ini
memiliki dimensi sosial yang mendalam. Orang yang tuna netra dalam kalimat
tersebut secara tersirat dapat dimaknai sebagai orang yang masih berada dalam
kondisi ketidaktahuan, kebodohan dan kegelapan. Oleh karena itu mereka membutuhkan
pencerahan yang disimbolisasi dalam bentuk tongkat. Yang menarik adalah bahwa
dengan penuh kasih sayang kita diperintahkan untuk memberi tongkat kepada yang
membutuhkan tanpa memperdulikan perbedaan di antara kita, karena pemberian
kepada yang membutuhkan adalah salah satu bentuk kasih sayang.
Tidak
hanya kalangan wali,
ulama sepuh kita juga mengajarkan kepribadian marhamah. Sebut saja KH. Hasyim Asy’ari, ketika menjadi Rais Akbar NU, sering
menjadikan nilai-nilai marhamah sebagai dasar dan metode untuk menyelesaikan
persoalan umat. Salah satu buktinya adalah fatwa beliau yang menyerukan kepada
seluruh umat Islam untuk bersatu dan moderat serta dilarang untuk bersikap
ekstrim. Seruan ini disampaikan dalam berbagai kesempatan. Pemikiran KH. Hasyim
Asy’ari tentang hal ini tertuang dalam pidato beliau, al-Mawa’idz
(berbagai petuah sosial-keagamaan), yang disampaikan pada 1936 di Muktamar NU
ke-11 di Banjarmasin. Dalam petuah sosial-keagamaan tersebut beliau mengajak
segenap umat Islam untuk mengakhiri rasa permusuhan akibat perbedaan masalah furu’iyyah
dan khilafiyyah.
Dari berbagai cerita diatas, dapat dipahami bahwa
dalam berkehidupan, para pendahulu kita selalu mengedepankan nilai-nilai kasih
sayang (marhamah). Nilai-nilai kasih sayang tersebut tampak pada sikap yang
menghindari pertengkaran, penghormatan terhadap pendapat orang lain yang
berbeda, penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan tanpa memandang
keyakinan dan status sosialnya, dan selalu menjadi pemberi bagi orang-orang
yang membutuhkan. Karakter pribadi muslim adalah keimanan yang terhunjam ke dalam hatinya, seperti
terhunjamnya akar pohon. Amal-amalnya menunjukkan keluhuran akhlaknya
sebagaimana cabang-cabang pohon yang menjulang ke langit. Keberadaannya selalu
memberikan kesejukan, ketenangan, solusi dan manfaat untuk pihak lain
dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun. Hal ini ibarat buah dari pohon
yang baik yang selalu memberikan manfaat dalam setiap musim.
Maka jadilah seperti pohon mangga di tepi jalan, yang
kendati dilempari orang dengan batu, tetapi ia tetap mengirimkan kepada si
pelempar itu, buah yang telah ranum. Ahsin kama ahsanallohu ilaik,
berbuatlah baik sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dengan sifat ini
akan membawa kita lebih dekat kepada Allah swt
juga kepada sesama manusia. Namun sayang, potret indah yang sudah tertata
ajek selama puluhan tahun itu, saat ini seakan redup terselimuti oleh debu
kotor perselisihan faham dan tersekat oleh baju-baju firqoh dan kepentingan
kepentingan sektarian lainnya. #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar