Hefni Zain
Salah satu isu penting yang mengemuka akhir-akhir ini
adalah bahwa pendidikan belum berhasil membangun manusia yang memiliki
semangat kebersamaan dan menghargai keragaman. Banyaknya lulusan lembaga
pendidikan yang hanya memiliki kecerdasan tetapi bermental lemah dan bermoral
rendah adalah sederet fakta yang menunjukkan bahwa pembentukan manusia yang
berkarakter masih jauh dari harapan.
Dalam spirit pendidikan Islam
terdapat dorongan yang sangat kuat untuk membantu peserta
didik mengerti, menerima,
dan menghargai orang dari suku, budaya, nilai, dan agama berbeda. Atau
dengan kata yang lain, peserta
didik diajak untuk
menghargai -bahkan menjunjung tinggi-
multikulturalitas, pluralitas dan
heterogenitas,
sebab dalam paradigma pendidikan keragaman setiap
individu diarahkan untuk belajar bersama dengan individu lain dalam suasana
saling menghormati, saling toleransi dan saling memahami.
Nilai-nilai keragaman sangat compatible
dengan prinsip-prinsip Islam. Bagi
Islam, keragaman merupakan desain Tuhan (sunnatulloh), dan Allah sendiri
yang akan menjelaskan -di hari akhir-, mengapa manusia berbeda-beda,
termasuk dalam jalan beragama. Dalam Qs 5: 48
disebutkan “untuk masing-masing umat manusia,
telah Kami berikan aturan (hukum) dan jalan (manhaj) yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya
kamu dijadikannya satu umat saja
(seragam/monolitik)), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberiannya kepadamu
(keragaman), Maka
berlomba-lombalah kalian
berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah tempat
kembali kalian semuanya, lalu dijelaskannya kepada
kalian tentang
hal yang pernah kalian perselisihkan itu”. Dalam Qs.10:99, Allah swt
juga menegaskan” Jika Tuhanmu menghendaki, maka tentu manusia yang ada di muka
bumi ini akan beriman semua. Maka apakah kamu
hendak memaksa manusia, di luar kesediaan mereka sendiri?
Melalui jalur pendidikan, pembinaan kerukunan hidup
beragama dapat dilakukan secara dini. Pembinaan kerukunan hidup beragama yang
dimaksud adalah upaya yang direncanakan secara sadar, terencana, terarah,
sistimatis dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kerukunan hidup beragama
dengan cara : Menanamkan pengertian akan nilai dan kehidupan bermasyarakat yang
mampu mendukung kerukunan hidup beragama. Mengusahakan lingkungan dan keadaan
yang dapat menunjang sikap dan tingkah laku yang mengarah pada kerukunan hidup
beragama. Menumbuh kembangkan sikap dan tingkah laku yang mewujudkan kerukunan
hidup bersama.
Jalan damai melalui pintu pendidikan sangat mungkin
dilakukan, sebab melalui pendidikan memungkinkan untuk ‘meramahkan’ teologi
agama-agama yang selama ini cenderung ditampilkan secara eklusif dan dogmatis. Sebuah
teologi yang biasanya hanya mengklaim bahwa hanya agamanya yang bisa membangun
kesejahteraan duniawi dan mengantar manusia dalam surga Tuhan. Pintu dan kamar
surga itu pun hanya satu yang tidak bisa dibuka dan dimasuki kecuali dengan
agama yang dipeluknya. Padahal berteologi
semacam itu dianggap kurang kondusif bagi upaya membangun harmonisasi
masyarakat dimana agama-agama dituntut untuk dapat saling menaggung nasib
secara bersama-sama demi terciptanya perdamaian sejati.
Disinilah
letak ‘tantangan’ bagi agama untuk kembali mendefenisikan dirinya ditengah
agama-agama lain. Atau dengan meminjam bahasanya John Lyden, “what should one think about religions other
than one’s own? Apa yang harus dipikirkan oleh seorang penganut agama terhadap penganut agama lain. Apakah
masih dianggap sebagai musuh atau sebagai sahabat, bukankah kita adalah spesies yang sama sebagai sesama
mahluk Tuhan yang lahir dari Adam dan Hawa. Sekali lagi pada titik ini, jalur pendidikan
dianggap strategis sebagai
media penyadaran umat akan perlunya peace building community.
Implementasi
Pendidikan Berbasis Kedamaian
Dalam rangka mewujudkan pemahaman terbuka yang menganggap
orang lain sebagai ‘partner’ dalam menuju Tuhan, pemeluk agama disamping harus
menampilkan pendidikan inklusif dan ramah, juga harus berani memasuki dialog
antaragama dengan mencoba memahami cara baru yang mendalam mengenai bagaimana
Tuhan mempunyai jalan ‘penyelamatan’. Dalam konteks ini, pendidikan harus
memuat kurikulum berbasis keragaman sehingga pendidikan yang diberikan kepada
peserta didik tidak menciptakan suatu pemahaman tunggal, melainkan kurikulum
yang mendorong terwujudnya manusia demokratis, pluralis dan menekankan
penghayatan hidup serta refleksi untuk menjadi manusia yang utuh. Disini
diperlukan kurikulum yang memuat materi kemajemukan seperti; toleransi, aqidah
inklusif, fiqih muqaranah, perbandingan agama, bahaya diskriminasi, perbedaan
ethno-kultural serta tema-tema lain yang relevan. Intinya kurikulum keragaman adalah
kurikulum yang
mampu menghantarkan peserta didik untuk melakukan dialog antaragama dan mampu
memasuki persoalan-persoalan teologis dan melibatkan iman. Karena dialog yang
sejati mustahil dilakukan tanpa memasuki persoalan-persoalan teologis dan
melibatkan iman. Sehingga pada akhirnya setiap umat beragama akan mampu melintas (passing over) dari
satu budaya kepada budaya lain, dari satu cara hidup kepada cara hidup lain,
dari satu agama kepada agama lain.
Demikian juga, untuk membangun
pendidikan berbasis
kedamaian, para pendidik harus
mempunyai intergritas dan
moralitas yang tinggi
sebagai bagian integral dari keperibadiannya. Dalam konteks ini, pendidik mesti memiliki pengertian yang mendalam dan felling yang
tinggi dalam menganalisa isu-isu dinamika keragaman yang berkembang
di
masyarakat, sehingga dapat membantu siswanya memiliki kesadaran akan pentingnya memahami keragaman masyarakat, termasuk bidang keagamaan, kesukuan dan keragaman lainnya. Dengan demikian, perlu
proses penyadaran di antara masing-masing budaya lokal untuk saling mengakui
dan menghormati keanekaragaman identitas budaya yang dibalut dengan kerukunan dan
perdamaian.
Pada
aspek orientasi siswa, yang urgen dikembangkan adalah penanaman sikap
non-etnosentris sehingga kebencian dan konflik akan dapat dihindarkan secara dini. Pengembangan aspek ini bertujuan membangun
kesadaran yang tidak bersifat mengunggulkan diri dan kelompoknya sebagai yang
paling unggul dengan mengalahkan yang lain. Kesadaran ini penting untuk
ditumbuh kembangkan sebagai jembatan di dalam memahami agama dan budaya lain
yang diharapkan akan tumbuh pemahaman yang mutualistis serta empati keragaman
agama dan budaya di masyarakat. Sedangkan
pada orientasi reformasi unit
pendidikan, setiap unit pendidikan dapat menerapkan peraturan lembaga yang di
dalamnya mencakup poin tentang larangan segala bentuk diskriminasi sehingga
semua anggota di unit pendidikan dapat selalu belajar untuk saling menghargai
orang lain yang berbeda. Itu semua harus dicontohkan melalui prilaku kongkrit
oleh seluruh komunitas yang terdapat di lembaga tersebut.
Implementasi pendidikan berbasis kedamaian bisa juga
menggunakan pendekatan estetik. Dengan pendekatan ini peserta
didik diharapkan memiliki sifat-sifat yang santun, damai, ramah,
dan mencintai keindahan. Dalam pendekatan ini, -agama misalnya- tidak hanya didekati
secara doktrinal yang cenderung menekankan adanya “otoritas-otoritas” kebenaran
agama, tetapi lebih apresiatif terhadap gejala-gejala yang terjadi di
masyarakat serta dilihat sebagai bagian dari dinamika hidup yang bernilai
estetis. Pendekatan lain yang juga dapat diupayakan di dalam pendidikan keragaman adalah pendekatan sosiologis, yaitu pendekatan
yang meletakkan hakikat pendidikan kepada keperluan hidup bersama di dalam
masyarakat. Titik tolak pandangan ini memprioritaskan kepada kebutuhan
masyarakat, dan bukan kepada kebutuhan individu. Pendekatan ini mengutamakan
kebersamaan, kerjasama, dan keragaman masyarakat tanpa dominasi dan
diskriminasi.
Dengan
pendekatan ini, pendidikan dapat memanfaatkan muatan-muatan khas keragaaman untuk memperkaya materi ajar,
konsep-konsep tentang harmoni kehidupan bersama antar umat beragama yang akan
memberi nuansa untuk mencairkan kebekuan “state of mind” (pemikiran)
para pelaku pendidikan dalam merespons eksistensi agama-agama lain, serta
tema-tema tentang toleransi, ko-eksistensi, pro-eksistensi, kerjasama, saling
menghargai dan memahami. Prof Muhaimin menyebutkan rancang bangun untuk pendidikan berwawasan multikultural
sedikitnya berdasarkan susunan piranti: reformasi kurikulum, pengajaran
prinsip-prinsip keadilan sosial, pengembangan kompetensi multikultural, dan
pelaksanaan pendidikan kesetaraan.
Prinsip Pendidikan
Islam berbasis kedamaian
Dalam perspektif pendidikan, konflik kemanusiaan selalu
disebabkan oleh sikap ekskluisifisme dan fanatisme yang berlebihan. Oleh karena
itu pendidikan Islam membagun
prinsip-prinsip yang berbasis antitesa terhadap faktor penyebab
konflik, prinsip-prinsip tersebut di
kenal dengan teori 9 T. Dalam rangka mewujudkan budaya
penghormatan terhadap yang lain sehingga tercipta masyarakat yang damai, rukun,
aman, tenteram dan sejahtera, Pendidikan Islam membangun pilar-pilar perdamaian
yang dikenal dengan teori 9 T, yakni :
Ta’aruf, Tafahum, Ta’awun, Tasyawur, Tawazun, Tatsamuh, Tabayyun, Taghyir dan
Taqorrub.
Ta’aruf, adalah semangat mengenali secara kaffah
ajaran, prinsip, karakteristik dan tujuan agama yang dianutnya, sekaligus
mengenali agama yang dianut umat lain dengan baik, berikut cara yang ditempuh
mereka dalam beragama. Dari saling mengenal, kemudian penganut agama-agama
dapat saling bertegur sapa, sehingga paling tidak hubungan antar umat beragama
bisa cair dan tidak lagi kaku, bukankah sering dikatakan bila tidak kenal maka
tidak sayang.
Tafahum, setelah saling
mengenal ajaran, prinsip dan karakteristik masing-masing agama, maka para
pemeluk agama dapat memetakan kelebihan dan kelemahan masing-masing. Disini
para penganut agama, kendati tidak bisa saling membenarkan, tetapi mereka bisa
saling memahami, sehingga masing-masing
dapat berbagi mana hal-hal yang dapat diadopsi untuk kebaikan bersama. Dengan
saling memahami, mereka akan terdorong untuk saling menghargai dan menghormati
sebagai instrumen penting bagi terwujudnya hubungan yang harmonis dan saling
menentramkan.
Tasyawur, Para pemeluk agama
yang sudah saling mengenal dan saling memahami dapat meningkatkan relasinya
pada musyawarah atau dialog antar agama. Dialog tersebut dimaksudkan untuk
lebih saling mengenal dan saling menimba pengetahuan baru tentang agama mitra
dialog. Dengan musyawarah agama-agama, para penganut agama-agama dapat
memperkaya wawasan dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat
dijadikan landasan toleransi dan hidup rukun dalam suatu masyarakat.
Disini para penganut agama-agama dapat meningkatkan toleransi dari saling
menghakimi, menjadi memahami, dan kemudian saling mengalami. Pada tingkat
paling tinggi, mereka menikmati kehadiran orang lain dengan lapang dada,” Tentu
saja dalam prinsip musyawarah yang dibesar-besarkan bukan sisi perbedaannya,
tetapi sisi persamaannya (kalimah sawa’).
Tabayyun, hal-hal yang
diberatkan dan disengketakan dalam aktifitas dan gerakan masing-masing agama
dapat dimintakan klarifikasi demi menjaga kometmen membangun hubungan yang
saling menentramkan. Dengan tabayyun maka kesalah fahaman antar pemeluk agama
bisa teratasi, sehingga kebencian, sinisme, dendam akan terlikuidasi. Bukanlah
terlalu sering kesalah fahaman menjadi faktor pemicu kebencian atau bahkan
konflik berkepanjangan.
Ta’awun, Semua agama lebih banyak punya alasan doktrinal
untuk berdamai daripada berseteru hanya karena alasan-alasan pragmatis dan
politis sesaat, karena itu di relung hati yang paling dalam, mereka menyadari bahwa tantangan keagamaan
terbesar saat ini adalah sejauhmana kemampuan
agama merespon tantangan dan problematika yang dihadapi manusia. Ada sejumlah
persoalan yang jauh lebih fundamental untuk ditangani bersama, ketimbang menonjol-nonjolkan perbedaan,
yakni masalah kemanusiaan universal. Maka sudah saatnya para penganut agama mencurahkan semua
potensinya untuk merumuskan hal-hal yang merupakan keprihatinan
kemanusiaan bersama. Disiliah makna penting tolong menolong dalam
kebaikan dan taqwa seperti pemberantasan kemiskinan, kebodohan dan
keterbelakangan.
Tatsamuh,Makna toleransi yang hakiki bukanlah
mencampuradukkan keimanan dan ritual agama yang satu dengan agama yang
lain, tetapi menghargai eksistensi agama
orang lain. Toleransi merupakan istilah yang biasa digunakan dalam konteks sosial, budaya
dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda. Dalam
konteks agama, toleransi adalah menghargai dan menghormati keberadaan
agama-agama lainnya. Dalam bahasa Arab, istilah yang lazim dipergunakan sebagai
padanan dari kata toleransi adalah tatsamuh atau samhah, Kata ini
pada dasarnya berarti al-jûd (kemuliaan) atau sa’at al-shadr
(lapang dada) dan tasâhul (ramah, suka memaafkan). Makna ini selanjutnya berkembang
menjadi sikap lapang dada, terbuka (welcome) dalam menghadapi perbedaan
yang bersumber dari kepribadian yang mulia.
Tawazun,Ajaran Islam sangat menekankan
keseimbangan dalam segala hal, dalam
bidang aqidah, aql dan naql diterapkan secara
seimbang, karena keduanya dianggap sama-sama urgen dalam aqidah Islam.Dalam bidang syari’ah, Islam
iklusif mengajarkan perlakukan seimbang antara kepentingan dunuiawi dan kepentingan
ukhrawi, seimbang antara ketaqwaan individu spiritual dan ketaqwaan sosial
intelektual, seimbang antara proses pencerahan rasional dengan proses pembeningan emosional.
Taghyir , Dari berbagai pilar
diatas, kemudian terjadi perubahan,
baik pola fikir (Way of thinking), perasaan dan kepekaan (way of
felling), maupun pandangan hidup (way of life) pemeluk agama-agama
menjadi lebih akomudatif. Belajar dari trauma masa lalu, masyarakat beragama
sudah sepantasnya merubah paradigma berpikir lama (eksklusif) kepada
paradigma berpikir baru (inklusif), yaitu dengan meyakini akan kebenaran
agama yang dianut seraya mencoba memahami ajaran agama orang lain yang juga
berpotensi kebenaran yang sama-sama berasal dari Tuhan (agama samawi), menerima
pendapat orang lain (agree and disagreement) dalam kerangka kerukunan
kehidupan antar umat beragama dan istiqomah dalam menjalankan agama dengan
menyerahkan kepada Tuhan, biar Tuhan yang mengadili siapa di antara kita yang
benar dalam beragama.
Meskipun umat Islam
diharuskan meyakini bahwa Islam adalah agama yang paling benar, namun Islam
melarang untuk merendahkan agama lain, apalagi menyakiti atau merendahkan
penganut agama lain. Islam Inklusif memandang bahwa Islam adalah agama terbaik
bagi kaum muslimin, namun mereka juga menyadari bahwa keselamatan di luar agama
Islam adalah merupakan hal yang mungkin, karena itu mereka bukan saja dekat dengan orang-orang yang sepaham, tetapi juga dengan
pihak-pihak yang tidak sepaham dengan mereka, justru dari pihak yang tidak
sepaham itulah dapat mengenal sudut pandang yang baru.
Taqorrub. Mendekatkan
diri kepada Allah swt jalannya tidak tunggal, oleh
karena itu boleh saja seseorang menganggap bahwa jalan yang ditempuhnya adalah
jalan yang benar tetapi jangan serta merta menganggap jalan orang lain sebagai
salah. Perbedaan yang ada hanyalah perbedaan ‘jalan’, sedangkan yang dituju hanyalah satu dan sama yakni :
kedekatan dan keridhaan Allah swt
semata.
Pilar ini merupakan pilar utama yang
oleh banyak ahli disebut Hum qoumun aatsarahumullohu ‘alaa kulli syai’in, komunitas yang mendahulukan Allah diatas segalanya, Hum
qoumun al akhdzu bil haqoiq wal ya’su mim maa fii aidil kholiq, komunitas yang mengambil hakekat kehidupan dengan membuang
segala bentuk kepalsuan yang ada pada selain Allah. Mereka yang mencapai pilar
ini adalah para insan yang telah berhasil menemukan pemahaman yang sempurna
tentang hakekat kehidupan, mereka melampaui sekat sekat perbedaan, tidak
terkungkung oleh segala pernik formalitas, bagi mereka jalan yang beragam
bukanlah yang utama, karena dibalik itu ada yang lebih utama yaitu Tuhan yang
maha esa.
Dengan demikian, untuk memahami multikultural secara baik, umat Islam harus memahami : (1).
Prinsip kebebasan beragama. Prinsip ini menyatakan tidak ada paksaan dalam
agama, segala bentuk pemaksaan dalam agama justru melahirkan iman tidak sejati
dan tidak sah. (2). Prinsip toleransi. Yaitu setiap individu beriman tidak bisa
tidak kecuali membiarkan penganut agama lain menyatakan dan menerapkan
keimanannya atau membantunya dalam melaksanakan keimanannya itu. (3). Prinsip
aksiologi, yaitu bahwa tujuan hidup bagi tiap penganut keyakinan (agama atau
spritualitas) adalah membawa kebaikan, mencegah keburukan dan meyakini Zat Maha
Tinggi yang bisa dijadikan rujukan permanen (bench mark) bagi tiap
hubungan antar-agama dan keyakinan. (4). Prinsip kompetensi dalam kebaikan.
Tiap umat beragama berhak sekaligus wajib untuk bersaing secara sehat dan jujur
untuk mengembangkan keyakinannya. Dengan demikian dapat dicegah bahaya
ketidakpedulian (fallacy of indifference) di mana kita membatasi
keseluruhan misi Tuhan kepada cuma satu bagian dari umat manusia dan bahaya
keangkuhan (fallacy of arrogance) di mana kita menganggap misi kita
sebagai satu-satunya misi ke seluruh umat manusia.
Gamal al-Banna menyebutkan bahwa Al-Qur’an
merupakan fondasi otentik multikulturalitas.
Al-Qur’an telah mengakui perbedaan bahasa dan warna kulit,
kemajemukan suku-bangsa, mengakui perbedaan kapasitas dan intelektualitas
manusia, serta mengajak berlomba dalam kebajikan dan membiarkan
sinagog-sinagog, gereja-gereja, masjid-masjid, dan tempat-tempat ibadah lainnya
tetap berdiri kokoh. Bahkan, Al-Qur’an mengakui kebebasan berkeyakinan (untuk
beriman atau tidak), serta masuk dan keluar dari agama tertentu. Alqur’an juga
sudah menjelaskan bahwa Nabi dan manusia manapun tidak berwenang memberi
petunjuk pada manusia lain, atau menyatakan sesat dan kufur kepada manusia
lain.
Al-Qur’an memberikan apresiasi bahwa masyarakat
dunia terdiri dari beragam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan
masing-masing. Komunitas-komunitas tersebut harus menerima kenyataan akan
keragaman sehingga mampu memberikan toleransi. Dengan perbedaan
ditekankan perlunya masing-masing untuk saling berlomba dalam
menuju kebaikan, karena mereka akan dikumpulkan oleh Allah untuk memperoleh keputusan
final.
Apresiasi demikian artikulatif terhadap pluralisme,
diillustrasikan misalnya dalam Qs.,16:
36, Qs13: 7, Qs35: 24 dan Qs14:
4. Tuhan menghendaki umatnya beragam, karena keragaman merupakan bagian dari
sunnat Allah. Hal ini terbukti dengan diberikannya pilihan-pilihan yang
bisa diambil oleh manusia apakah akan mengimani atau mengingkari
kebenaran Tuhan (Qs,18: 29) serta watak kerahmatan Tuhan yang tidak
terbatas (Qs, 5: 118). Penjelasan yang termuat dalam Qs. 2: 148 tentang kesempatan bagi setiap umat untuk
berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan, secara langsung telah memecahkan
problema multikultural.
Nilai-nilai Pendidikan Keragaman
Abdulloh Aly,
merinci nilai-nilai yang terdapat dalam pendidikan keragaman atau multikultural
adalah : (1) semangat demokratisasi, kesetaraan dan keadilan, (2) semangat
kemanusiaan, kebersamaan dan kedamaian, (3) sikap mengakui, menerima dan
menghargai keragaman. Dengan nilai-nilai tersebut dalam pendidikan keragaman
peserta didik diarahkan untuk : (1) Belajar hidup dalam
perbedaan, (2) Membangun saling percaya, (3) Memelihara saling pengertian (mutual
understanding), (4) Menjunjung sikap saling menghargai (mutual respect), dan (5) semangat rekonsiliasi.
Pendidikan keragaman
oleh banyak pakar dianggap memiliki basis-basis
doktrinal yang bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Basis doktrinal ini
menjadi nilai yang melekat pada pendidikan keragaman. Dalam hal ini setidaknya terdapat tiga nilai utama
yang mencirikan pendidikan keragaman versi Islam, yakni :.
Pertama, berorientasi pada
prinsip-prinsip keadilan, demokrasi, dan kesetaraan. Basis-basis doktrinal yang
mendukung prinsip-prinsip ini dapat ditemukan dalam al-Qur’an surat as-Syura,
al-Hadid, dan al-A’raf. Para intelektual muslim mengakui bahwa ayat-ayat suci
dalam al-Qur’an menyediakan basis moral dan etika yang mendukung prinsip
keadilan, demokrasi, dan kesetaraan. Antara seorang muslim dengan muslim
lainnya maupun seorang muslim dengan non-muslim, harus diperlakukan secara
adil. Al-Qur’an mengajarkan model interaksi sosial yang menjunjung tinggi
nilai-nilai keadilan ini. Prinsip keadilan dalam berinteraksi sesama manusia ini
dipraktekkan oleh Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Dalam satu kesempatan
Rasulullah saw. bersabda: “tidak ada keutamaan orang Arab atas orang bukan
Arab, tidak ada keutamaan orang bukan Arab atas orang Arab, kecuali karena taqwanya.” (HR. Imam Ahmad).
Al-Qur’an maupun as-Sunnah melarang rasisme maupun
dominasi kebenaran oleh satu etnik terhadap etnik lainnya. Dalam Islam,
perbedaan umat manusia berdasarkan unsur kebudayaan, adat-istiadat, dan warna
kulit dianggap sesuatu yang tidak penting. Islam menegaskan bahwa manusia sama
di hadapan Tuhan dan hukum. Karenanya, multikulturalisme dijunjung tinggi dalam
doktrin-doktrin Islam. Menjadi tidak relevan apabila pendidikan Islam
menyimpang dari spirit multikulturalisme yang didukung sepenunya oleh doktrin
Islam sendiri.
Dengan menempatkan semua manusia pada derajat yang
sama, otomatis islam hendak memberikan ruang dan kesempatan yang sama semua
manusia. Semua manusia berhak eksis dengan keragaman budaya, adat, dan
keyakinan masing-masing. Nuansa demokratis dalam berkehidupan, berbangsa, dan
bernegara menjadi ajaran yang sangat inheren dengan Islam. Rasulullah saw.
bersama para sahabatnya telah membangung Negara Madinah yang demokratis,
sebagai simbol yang harus dipahami oleh umat muslim generasi penerus. Dalam
pasal-pasal Piagam Madinah, misalnya, ditemukan spirit-spirit demokrasi
mengental. Perhatikan pasal 16 dan 46 berikut: “dan bahwa orang Yahudi yang mengikuti kami akan
memperoleh hak perlindungan dan hak persamaan tanpa ada penganiayaan dan tidak
ada orang yang membantu musuh mereka.” (pasal 16) “dan bahwa Yahudi al-Aus, sekutu mereka dan diri
(jiwa) mereka memperoleh hak seperti apa yang terdapat bagi pemilik shahifat
ini serta memperoleh perlakuan yang baik dari pemilik shahifat ini.”
(pasal 46).
Kedua, Menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme, kedamaian
dan kebersamaan. Islam
memahami manusia sebagai makhluk yang memiliki dua dimensi; dimensi spiritual
dan dimensi sosial. Dalam konteksnya sebagai makhluk yang berdimensi spiritual,
manusia memiliki relasi khusus antara dirinya dengan Tuhannya (habl min
Allah). Sedangkan dalam konteksnya sebagai makhluk yang berdimensi sosial,
manusia memiliki relasi dan hukum-hukum berinteraksi antar sesamanya (habl
min al-nas). Pada level habl min al-nas inilah, manusia harus
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian. Manusia
harus tunduk di bawah hukum Allah yang dikenal sebagai “hukum kesatuan
kemanusiaan (the unity of humankind)”.
Dua dimensi kemanusiaan manusia di atas meniscayakan
kewajiban bersama untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Kebersamaan dan
perdamaian, misalnya, tidak akan terwujud apabila manusia lebih mengedepankan
egoisme yang melahirkan perang. Di sisi lain, egoisme dan perang berbenturan
dengan nilai-nilai kemanusiaan yang menghormati perdamaian dan kebersamaan.
Karenanya, dalam hidup ini terdapat lima point penting yang harus dijaga,
yaitu: pemeliharaan kehidupan manusia sebagai tolok ukur utama, pemeliharaan
akal manusia, perjuangan untuk kebenaran pengetahuan, menjunjung tinggi harkat
manusia dan kehormatan masyarakat, dan pemeliharaan kesejahteraan individu dan
kelompok.
Kebersamaan dan perdamaian tidak mungkin mewujud tanpa
disertai kehendak terdalam manusia untuk hidup rukun, tolong menolong, dan
menghargai perbedaan demi mewujudkan integrasi. Solusi-solusi semacam ini
tergambar dalam konsep saling mengenal (ta’aruf) dan tolong-menolong
(ta’awun) yang digemakan oleh Islam. Kedua konsep ini diabadikan
dengan jelas oleh al-Qur’an dalam surat al-Hujurat dan al-Maidah. Dorongan
al-Qur’an untuk tolong-menolong dan menghindari konflik berdarah, tak lain
bertujuan untuk menciptakan kerukunan, kedamaian, harmonisme, dan
keberlangsungan hidup yang tidak disertai perang dan pembunuhan.
Ketiga, konsisten
mengembangkan sikap-sikap sosial yang
positif: mengakui, menerima, dan menghargai keragaman. Multikultur
yang berarti keragaman budaya, tidak mungkin tetap eksis apabila manusia
bersikap ekslusif terhadap keragaman itu sendiri. Kesadaran keragaman tidak mungkin diinternalisasikan oleh manusia yang
berjiwa tertutup. Karenanya, pendidikan keragaman berjuang keras membuka “jeruji-jeruji” besi yang
memenjarakan kesadaran kognitif manusia di ruangan yang begitu sempit.
Ekslufisme dan egoisme merupakan jeruji-jeruji besi yang mengkerangkeng
kesadaran manusia untuk bersikap terbuka, menerima, dan menghargai yang lain (the
others).
Ekslufisme dan egoisme dapat menghancurkan upaya-upaya
menciptakan tatanan sosial yang harmonis dalam masyarakat yang majemuk. Tanpa
adanya sikap pengakuan, penerimaan terhadap the others, dan penghargaan
(respectfull) terhadap keragamaan maka hubungan sosial yang harmonis
mustahil dibangun di tengah-tengah masyarakat yang plural dan multikultur.
Bagaimana mungkin totalitas-keseluruhan terbentuk sementara bagian-bagian
terkecil sebagai unsur-unsur penyusunnya saling bercerai-berai? Bagaimana
mungkin masyarakat majemuk dapat hidup rukun dan damai sementara satu sama lain
tidak ada sikap saling menerima, saling menghargai, dan saling mengakui?
Dalam upaya mewujudkan kehidupan damai, harmonis, toleran dan saling menghargai perbedaan, pendidikan keragaman membutuhkan dialogical consensus yang memuat paling tidak tiga hal penting, yaitu negosiasi, kompromi dan konsensus Implikasi positif dari ketiganya adalah lahirnya
perasaan empati dan simpati terhadap sesama manusia tanpa membedakan gender,
agama, hak minoritas dengan mayoritas. Semuanya harus dapat berekspresi sebagai
wujud kehidupan masyarakat dan budaya yang multikultural dan multireligius
Dari Pendidikan Keragaman Menuju
Jalan Damai
Pendidikan keragaman sebenarnya merupakan sikap peduli
terhadap perbedaan dan keragaman, atau “politics of
recognition” politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok
minoritas. Sikap
ini akan mendorong
tumbuhnya kajian-kajian tentang ‘ethnic studies” untuk
kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat
dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari semangat
ini adalah untuk
mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas
dan disadventaged.
Dengan demikian, paradigma pendidikan keragaman diharapkan dapat menghapus streotipe,
sikap dan pandangan egoistik, individualistik dan eksklusif di kalangan peserta didik. Sebaliknya, mereka selalu dikondisikan kearah tumbuhnya pandangan komprehensif
terhadap sesama, yaitu sebuah pandangan yang mengakui bahwa keberadaan dirinya
tidak bisa dipisahkan atau terintegrasi dengan lingkungan sekeliling yang
realitasnya terdiri atas pluralitas etnis, rasionalisme, agama dan budaya.
Pendidikan keragaman merupakan
model pendidikan yang berprinsip pada demokrasi, kesetaraan dan keadilan,
berorientasi pada kemanusiaan, kebersamaan dan kedamaian, dan mengembangkan sikap mengakui, menerima dan menghargai
keragaman budaya. Tujuan utamanya
adalah untuk menanamkan
sikap simpatik, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan
budaya yang berbeda. Pendidikan keragaman bertujuan mewujudkan sebuah komunitas yang kuat, maju, adil, makmur, dan sejahtera tanpa
perbedaan etnik, ras, agama, dan budaya. Misi pendidikan
keragaman adalah terwujudnya penghormatan dan penghargaan
setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia dari manapun datangnya
dan berbudaya apapun, harapannya
agar dapat tercapai kedamaian sejati, keamanan yang tidak dihantui kecemasan
dan kebahagiaan tanpa rekayasa.
Pendidikan keragaman yang
bercita-cita ideal mewujudkan perdamaian, keadilan, persaudaraan sosial, anti
konflik dan diskriminatif menemukan dasar-dasarnya pada beberapa pesan
teks suci, diantaranya: (1) Qs.
Al-Hujurat: 13 yang menegaskan bahwa diciptakannya manusia yang beragam, baik
jenis, bangsa dan suku adalah dimaksudkan untuk saling mengenal, saling
memahami, saling berinteraksi dan bekerja sama “ (2) Qs. Al-Baqarah : 256, yang menyebutkan tidak
ada paksaan dalam agama karena jalan lurus dan benar telah dapat dibedakan
dengan jelas dari jalan salah dan sesat. Terserah
manusia memilih jalan yang dikehendakinya. Telah dijelaskan mana jalan benar
yang akan membawa kepada kesengsaraan. Manusia merdeka memilih jalan yang
dikehendakinya. Kemerdekaan ini diperkuat oleh (3) Qs.Al-Kafirun : 6 surah
yang menyatakan: Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Dan yang paling central adalah (4) Qs. Al-Mu’miunun: yang menegaskan bahwa
sesungguhnya manusia adalah umat yang satu meskipun berbeda-beda.
Dari titik ini terbangun kesadaran bahwa “satu Tuhan, banyak agama” merupakan fakta dan
realitas yang tak terbantahkan”.
Implikasi
dari keyakinan bahwa seluruh manusia berasal dari sumber yang satu yaitu Tuhan,
berarti manusia seluruhnya adalah makhluk Tuhan. Dengan demikian seluruh
manusia adalah bersaudara karena sama-sama makhluk
Tuhan. Adanya persamaan keyakinan sama-sama makhluk Tuhan dan rasa
persaudaraan tersebut menjadi
landasan utama dalam toleransi menuju jalan damai. Pandangan ini membawa pada kesimpulan
bahwa seluruh jagad raya (universe) termasuk di dalamnya
seluruh umat manusia apapun bangsa dan bahasanya adalah merupakan makhluk
Tuhan juga, meskipun agama dan keyakinannya berbeda.
Catatan
Pendidikan keragaman dapat dijadikan embrio bagi
berkembangnya sikap menghargai keragaman budaya, agama, suku dan ras yang
dikemas melalui kesadaran dan penghormatan yang tinggi terhadap segala
perbedaan demi terwujudnya tatanan masyarakat humanis dan inklusif, sebab elan
vital yang menjadi dasar pendidikan keragaman adalah apresiasi terhadap adanya
realitas pluralitas budaya dalam masyarakat dan pengakuan terhadap kesetaraan harkat
dan hak asasi manusia. Pendidikan keragaman atau yang lebih populer
dengan sebutan pendidikan multikultural berperan
penting dalam mewujudkan harmonisasi masyarakat plural, sebab hakekat
model pendidikan ini dapat membangun sikap, etos dan pandangan dunia peserta didik yang egaliter
dalam mewujudkan horizon kehidupan yang dilandaskan atas prinsip saling
menghargai keberadaan yang lain dan
hidup berdampingan secara damai.
Pesan al-Quran bahwa Allah adalah salam dan sumber
kedamaian bermakna bahwa kedamaian Tuhan melingkupi seluruh ciptaan-Nya dan
mencakup semua dimensi kehidupan. Ini bermakna bahwa kedamaian bukan hanya
manifestasi dari penghayatan nilai Ilahiyah dan ketenangan pribadi tetapi juga
merupakan rangkaian sebab-akibat dari kedua dimensi damai ini. Upaya mewujudkan
perdamaian tentu bukan pekerjaan mudah, diperlukan ongkos yang tidak murah dan
proses yang tidak sederhana. Tetapi ini tidak berarti upaya tersebut tidak
mungkin dilakukan terutama oleh orang yang mampu memahami dan mengikuti
patronase ajaran Tuhan dan sunnatullah yang sarat dengan nilai kasih sayang dan
kebersamaan dalam segala aspek kehidupan. #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar