Jumat, 26 Desember 2014

SPIRIT PENDIDIKAN ISLAM

Hefni Zain

Pendahuluan
Salah satu isu penting yang mengemuka akhir-akhir ini adalah  bahwa pendidikan belum berhasil membangun manusia yang memiliki semangat kebersamaan dan menghargai keragaman. Banyaknya lulusan lembaga pendidikan yang hanya memiliki kecerdasan tetapi bermental lemah dan bermoral rendah adalah sederet fakta yang menunjukkan bahwa pembentukan manusia yang berkarakter masih jauh dari harapan.
Dalam spirit pendidikan Islam terdapat dorongan yang sangat kuat untuk membantu peserta didik mengerti, menerima, dan menghargai orang dari suku, budaya, nilai, dan agama berbeda. Atau dengan kata yang lain, peserta didik diajak untuk menghargai -bahkan menjunjung tinggi- multikulturalitas, pluralitas dan heterogenitas, sebab dalam paradigma pendidikan keragaman setiap individu diarahkan untuk belajar bersama dengan individu lain dalam suasana saling menghormati, saling toleransi dan saling memahami.
Nilai-nilai keragaman sangat compatible dengan prinsip-prinsip Islam. Bagi Islam, keragaman merupakan desain Tuhan (sunnatulloh), dan Allah sendiri yang akan menjelaskan -di hari akhir-, mengapa manusia berbeda-beda, termasuk  dalam jalan beragama. Dalam Qs 5: 48 disebutkan “untuk masing-masing umat manusia, telah Kami berikan aturan (hukum)  dan jalan (manhaj) yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat saja (seragam/monolitik)), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberiannya kepadamu (keragaman), Maka berlomba-lombalah kalian berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah tempat kembali kalian semuanya, lalu dijelaskannya kepada kalian tentang hal yang pernah kalian perselisihkan itu”. Dalam Qs.10:99, Allah swt juga menegaskan” Jika Tuhanmu menghendaki, maka tentu manusia yang ada di muka bumi ini akan beriman semua. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia, di luar kesediaan mereka sendiri?
Melalui jalur pendidikan, pembinaan kerukunan hidup beragama dapat dilakukan secara dini. Pembinaan kerukunan hidup beragama yang dimaksud adalah upaya yang direncanakan secara sadar, terencana, terarah, sistimatis dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kerukunan hidup beragama dengan cara : Menanamkan pengertian akan nilai dan kehidupan bermasyarakat yang mampu mendukung kerukunan hidup beragama. Mengusahakan lingkungan dan keadaan yang dapat menunjang sikap dan tingkah laku yang mengarah pada kerukunan hidup beragama.  Menumbuh kembangkan sikap  dan tingkah laku yang mewujudkan kerukunan hidup bersama.
Jalan damai melalui pintu pendidikan sangat mungkin dilakukan, sebab melalui pendidikan memungkinkan untuk ‘meramahkan’ teologi agama-agama yang selama ini cenderung ditampilkan secara eklusif dan dogmatis. Sebuah teologi yang biasanya hanya mengklaim bahwa hanya agamanya yang bisa membangun kesejahteraan duniawi dan mengantar manusia dalam surga Tuhan. Pintu dan kamar surga itu pun hanya satu yang tidak bisa dibuka dan dimasuki kecuali dengan agama yang dipeluknya. Padahal berteologi semacam itu dianggap kurang kondusif bagi upaya membangun harmonisasi masyarakat dimana agama-agama dituntut untuk dapat saling menaggung nasib secara bersama-sama demi terciptanya perdamaian sejati.
Disinilah letak ‘tantangan’ bagi agama untuk kembali mendefenisikan dirinya ditengah agama-agama lain. Atau dengan meminjam bahasanya John Lyden, “what should one think about religions other than one’s own? Apa yang harus dipikirkan oleh seorang penganut agama terhadap penganut agama lain. Apakah masih dianggap sebagai musuh atau sebagai sahabat, bukankah kita adalah spesies yang sama sebagai sesama mahluk Tuhan yang lahir dari Adam dan Hawa. Sekali lagi pada titik ini, jalur pendidikan dianggap strategis sebagai media penyadaran umat akan perlunya peace building community.

Implementasi  Pendidikan Berbasis Kedamaian
Dalam rangka mewujudkan pemahaman terbuka yang menganggap orang lain sebagai ‘partner’ dalam menuju Tuhan, pemeluk agama disamping harus menampilkan pendidikan inklusif dan ramah, juga harus berani memasuki dialog antaragama dengan mencoba memahami cara baru yang mendalam mengenai bagaimana Tuhan mempunyai jalan ‘penyelamatan’. Dalam konteks ini, pendidikan harus memuat kurikulum berbasis keragaman sehingga pendidikan yang diberikan kepada peserta didik tidak menciptakan suatu pemahaman tunggal, melainkan kurikulum yang mendorong terwujudnya manusia demokratis, pluralis dan menekankan penghayatan hidup serta refleksi untuk menjadi manusia yang utuh. Disini diperlukan kurikulum yang memuat materi kemajemukan seperti; toleransi, aqidah inklusif, fiqih muqaranah, perbandingan agama, bahaya diskriminasi, perbedaan ethno-kultural serta tema-tema lain yang relevan. Intinya kurikulum keragaman adalah kurikulum yang mampu menghantarkan peserta didik untuk melakukan dialog antaragama dan mampu memasuki persoalan-persoalan teologis dan melibatkan iman. Karena dialog yang sejati mustahil dilakukan tanpa memasuki persoalan-persoalan teologis dan melibatkan iman. Sehingga pada akhirnya setiap umat beragama akan mampu melintas (passing over) dari satu budaya kepada budaya lain, dari satu cara hidup kepada cara hidup lain, dari satu agama kepada agama lain.
Demikian juga, untuk membangun pendidikan berbasis kedamaian, para pendidik harus mempunyai  intergritas dan moralitas yang tinggi sebagai bagian integral dari keperibadiannya. Dalam konteks ini, pendidik mesti memiliki pengertian yang mendalam dan felling yang tinggi dalam menganalisa isu-isu dinamika keragaman yang berkembang di masyarakat, sehingga dapat membantu siswanya memiliki kesadaran akan pentingnya memahami keragaman masyarakat, termasuk bidang keagamaan, kesukuan dan keragaman lainnya. Dengan demikian, perlu proses penyadaran di antara masing-masing budaya lokal untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman identitas budaya yang dibalut dengan kerukunan dan perdamaian.
Pada aspek orientasi siswa, yang urgen dikembangkan adalah penanaman sikap non-etnosentris sehingga kebencian dan konflik akan dapat dihindarkan secara dini. Pengembangan aspek ini bertujuan membangun kesadaran yang tidak bersifat mengunggulkan diri dan kelompoknya sebagai yang paling unggul dengan mengalahkan yang lain. Kesadaran ini penting untuk ditumbuh kembangkan sebagai jembatan di dalam memahami agama dan budaya lain yang diharapkan akan tumbuh pemahaman yang mutualistis serta empati keragaman agama dan budaya di masyarakat. Sedangkan pada orientasi  reformasi unit pendidikan, setiap unit pendidikan dapat menerapkan peraturan lembaga yang di dalamnya mencakup poin tentang larangan segala bentuk diskriminasi sehingga semua anggota di unit pendidikan dapat selalu belajar untuk saling menghargai orang lain yang berbeda. Itu semua harus dicontohkan melalui prilaku kongkrit oleh seluruh komunitas yang terdapat di lembaga tersebut.
Implementasi pendidikan berbasis kedamaian bisa juga menggunakan pendekatan estetik. Dengan pendekatan ini peserta didik diharapkan memiliki sifat-sifat yang santun, damai, ramah, dan mencintai keindahan. Dalam pendekatan ini, -agama misalnya- tidak hanya didekati secara doktrinal yang cenderung menekankan adanya “otoritas-otoritas” kebenaran agama, tetapi lebih apresiatif terhadap gejala-gejala yang terjadi di masyarakat serta dilihat sebagai bagian dari dinamika hidup yang bernilai estetis. Pendekatan lain yang juga dapat diupayakan di dalam pendidikan keragaman adalah pendekatan sosiologis, yaitu pendekatan yang meletakkan hakikat pendidikan kepada keperluan hidup bersama di dalam masyarakat. Titik tolak pandangan ini memprioritaskan kepada kebutuhan masyarakat, dan bukan kepada kebutuhan individu. Pendekatan ini mengutamakan kebersamaan, kerjasama, dan keragaman masyarakat tanpa dominasi dan diskriminasi.
Dengan pendekatan ini, pendidikan dapat memanfaatkan muatan-muatan khas keragaaman untuk memperkaya materi ajar, konsep-konsep tentang harmoni kehidupan bersama antar umat beragama yang akan memberi nuansa untuk mencairkan kebekuan “state of mind” (pemikiran) para pelaku pendidikan dalam merespons eksistensi agama-agama lain, serta tema-tema tentang toleransi, ko-eksistensi, pro-eksistensi, kerjasama, saling menghargai dan memahami. Prof Muhaimin menyebutkan rancang bangun untuk pendidikan berwawasan multikultural sedikitnya berdasarkan susunan piranti: reformasi kurikulum, pengajaran prinsip-prinsip keadilan sosial, pengembangan kompetensi multikultural, dan pelaksanaan pendidikan kesetaraan.
Prinsip  Pendidikan Islam berbasis kedamaian
Dalam perspektif pendidikan, konflik kemanusiaan selalu disebabkan oleh sikap ekskluisifisme dan fanatisme yang berlebihan. Oleh karena itu pendidikan Islam membagun  prinsip-prinsip yang berbasis antitesa terhadap faktor penyebab konflik,  prinsip-prinsip tersebut di kenal dengan teori 9 T. Dalam rangka mewujudkan budaya penghormatan terhadap yang lain sehingga tercipta masyarakat yang damai, rukun, aman, tenteram dan sejahtera, Pendidikan Islam membangun pilar-pilar perdamaian yang dikenal dengan teori  9 T, yakni : Ta’aruf, Tafahum, Ta’awun, Tasyawur, Tawazun, Tatsamuh, Tabayyun, Taghyir dan Taqorrub.
Ta’aruf, adalah semangat mengenali secara kaffah ajaran, prinsip, karakteristik dan tujuan agama yang dianutnya, sekaligus mengenali agama yang dianut umat lain dengan baik, berikut cara yang ditempuh mereka dalam beragama. Dari saling mengenal, kemudian penganut agama-agama dapat saling bertegur sapa, sehingga paling tidak hubungan antar umat beragama bisa cair dan tidak lagi kaku, bukankah sering dikatakan bila tidak kenal maka tidak sayang.
Tafahum, setelah saling mengenal ajaran, prinsip dan karakteristik masing-masing agama, maka para pemeluk agama dapat memetakan kelebihan dan kelemahan masing-masing. Disini para penganut agama, kendati tidak bisa saling membenarkan, tetapi mereka bisa saling memahami, sehingga  masing-masing dapat berbagi mana hal-hal yang dapat diadopsi untuk kebaikan bersama. Dengan saling memahami, mereka akan terdorong untuk saling menghargai dan menghormati sebagai instrumen penting bagi terwujudnya hubungan yang harmonis dan saling menentramkan.
Tasyawur, Para pemeluk agama yang sudah saling mengenal dan saling memahami dapat meningkatkan relasinya pada musyawarah atau dialog antar agama. Dialog tersebut dimaksudkan untuk lebih saling mengenal dan saling menimba pengetahuan baru tentang agama mitra dialog. Dengan musyawarah agama-agama, para penganut agama-agama dapat memperkaya wawasan dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan toleransi dan hidup rukun dalam suatu masyarakat.  Disini para penganut agama-agama dapat meningkatkan toleransi dari saling menghakimi, menjadi memahami, dan kemudian saling mengalami. Pada tingkat paling tinggi, mereka menikmati kehadiran orang lain dengan lapang dada,” Tentu saja dalam prinsip musyawarah yang dibesar-besarkan bukan sisi perbedaannya, tetapi sisi persamaannya (kalimah sawa’).
Tabayyun, hal-hal yang diberatkan dan disengketakan dalam aktifitas dan gerakan masing-masing agama dapat dimintakan klarifikasi demi menjaga kometmen membangun hubungan yang saling menentramkan. Dengan tabayyun maka kesalah fahaman antar pemeluk agama bisa teratasi, sehingga kebencian, sinisme, dendam akan terlikuidasi. Bukanlah terlalu sering kesalah fahaman menjadi faktor pemicu kebencian atau bahkan konflik berkepanjangan.
Ta’awun, Semua agama lebih banyak punya alasan doktrinal untuk berdamai daripada berseteru hanya karena alasan-alasan pragmatis dan politis sesaat, karena itu di relung hati yang paling dalam, mereka menyadari bahwa tantangan keagamaan terbesar saat ini adalah sejauhmana kemampuan  agama merespon tantangan dan problematika yang dihadapi manusia. Ada sejumlah persoalan yang jauh lebih fundamental untuk ditangani bersama, ketimbang menonjol-nonjolkan perbedaan, yakni masalah kemanusiaan universal. Maka sudah saatnya para penganut agama mencurahkan semua potensinya untuk merumuskan hal-hal yang merupakan keprihatinan kemanusiaan  bersama. Disiliah makna penting tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa seperti pemberantasan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Tatsamuh,Makna toleransi yang hakiki bukanlah mencampuradukkan keimanan dan ritual agama yang satu dengan agama yang lain,  tetapi menghargai eksistensi agama orang lain. Toleransi merupakan istilah yang biasa digunakan dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang diskriminasi  terhadap kelompok-kelompok yang berbeda. Dalam konteks agama, toleransi adalah menghargai dan menghormati keberadaan agama-agama lainnya. Dalam bahasa Arab, istilah yang lazim dipergunakan sebagai padanan dari kata toleransi adalah tatsamuh atau samhah, Kata ini pada dasarnya berarti al-jûd (kemuliaan) atau sa’at al-shadr (lapang dada) dan tasâhul (ramah, suka memaafkan). Makna ini selanjutnya berkembang menjadi sikap lapang dada, terbuka (welcome) dalam menghadapi perbedaan yang bersumber dari kepribadian yang mulia.
Tawazun,Ajaran Islam sangat menekankan keseimbangan dalam segala hal, dalam bidang aqidah, aql dan naql diterapkan secara seimbang, karena keduanya dianggap sama-sama urgen dalam aqidah Islam.Dalam bidang syari’ah, Islam iklusif mengajarkan perlakukan seimbang antara kepentingan dunuiawi dan kepentingan ukhrawi, seimbang antara ketaqwaan individu spiritual dan ketaqwaan sosial intelektual, seimbang antara proses pencerahan rasional  dengan proses pembeningan emosional.
Taghyir , Dari berbagai pilar diatas, kemudian terjadi perubahan, baik pola fikir (Way of thinking), perasaan dan kepekaan (way of felling), maupun pandangan hidup (way of life) pemeluk agama-agama menjadi lebih akomudatif. Belajar dari trauma masa lalu, masyarakat beragama sudah sepantasnya merubah paradigma berpikir lama (eksklusif) kepada paradigma berpikir baru (inklusif), yaitu dengan meyakini akan kebenaran agama yang dianut seraya mencoba memahami ajaran agama orang lain yang juga berpotensi kebenaran yang sama-sama berasal dari Tuhan (agama samawi), menerima pendapat orang lain (agree and disagreement) dalam kerangka kerukunan kehidupan antar umat beragama dan istiqomah dalam menjalankan agama dengan menyerahkan kepada Tuhan, biar Tuhan yang mengadili siapa di antara kita yang benar dalam beragama.
Meskipun umat Islam diharuskan meyakini bahwa Islam adalah agama yang paling benar, namun Islam melarang untuk merendahkan agama lain, apalagi menyakiti atau merendahkan penganut agama lain. Islam Inklusif memandang bahwa Islam adalah agama terbaik bagi kaum muslimin, namun mereka juga menyadari bahwa keselamatan di luar agama Islam adalah merupakan hal yang mungkin, karena itu mereka bukan saja dekat dengan orang-orang yang sepaham, tetapi juga dengan pihak-pihak yang tidak sepaham dengan mereka, justru dari pihak yang tidak sepaham itulah dapat mengenal sudut pandang yang baru.
Taqorrub. Mendekatkan diri kepada Allah swt jalannya tidak tunggal, oleh karena itu boleh saja seseorang menganggap bahwa jalan yang ditempuhnya adalah jalan yang benar tetapi jangan serta merta menganggap jalan orang lain sebagai salah. Perbedaan yang ada hanyalah perbedaan jalan’, sedangkan yang dituju hanyalah satu dan sama yakni : kedekatan dan keridhaan Allah swt  semata.
Pilar ini merupakan pilar utama yang oleh banyak ahli disebut Hum qoumun aatsarahumullohu ‘alaa kulli syai’in, komunitas yang mendahulukan Allah diatas segalanya, Hum qoumun al akhdzu bil haqoiq wal ya’su mim maa fii aidil kholiq, komunitas yang mengambil hakekat kehidupan dengan membuang segala bentuk kepalsuan yang ada pada selain Allah. Mereka yang mencapai pilar ini adalah para insan yang telah berhasil menemukan pemahaman yang sempurna tentang hakekat kehidupan, mereka melampaui sekat sekat perbedaan, tidak terkungkung oleh segala pernik formalitas, bagi mereka jalan yang beragam bukanlah yang utama, karena dibalik itu ada yang lebih utama yaitu Tuhan yang maha esa.
Dengan demikian,  untuk memahami multikultural secara baik, umat Islam harus memahami : (1). Prinsip kebebasan beragama. Prinsip ini menyatakan tidak ada paksaan dalam agama, segala bentuk pemaksaan dalam agama justru melahirkan iman tidak sejati dan tidak sah. (2). Prinsip toleransi. Yaitu setiap individu beriman tidak bisa tidak kecuali membiarkan penganut agama lain menyatakan dan menerapkan keimanannya atau membantunya dalam melaksanakan keimanannya itu. (3). Prinsip aksiologi, yaitu bahwa tujuan hidup bagi tiap penganut keyakinan (agama atau spritualitas) adalah membawa kebaikan, mencegah keburukan dan meyakini Zat Maha Tinggi yang bisa dijadikan rujukan permanen (bench mark) bagi tiap hubungan antar-agama dan keyakinan. (4). Prinsip kompetensi dalam kebaikan. Tiap umat beragama berhak sekaligus wajib untuk bersaing secara sehat dan jujur untuk mengembangkan keyakinannya. Dengan demikian dapat dicegah bahaya ketidakpedulian (fallacy of indifference) di mana kita membatasi keseluruhan misi Tuhan kepada cuma satu bagian dari umat manusia dan bahaya keangkuhan (fallacy of arrogance) di mana kita menganggap misi kita sebagai satu-satunya misi ke seluruh umat manusia.
Gamal al-Banna menyebutkan bahwa Al-Qur’an merupakan fondasi otentik multikulturalitas. Al-Qur’an telah mengakui perbedaan bahasa dan warna kulit, kemajemukan suku-bangsa, mengakui perbedaan kapasitas dan intelektualitas manusia, serta mengajak berlomba dalam kebajikan dan membiarkan sinagog-sinagog, gereja-gereja, masjid-masjid, dan tempat-tempat ibadah lainnya tetap berdiri kokoh. Bahkan, Al-Qur’an mengakui kebebasan berkeyakinan (untuk beriman atau tidak), serta masuk dan keluar dari agama tertentu. Alqur’an juga sudah menjelaskan bahwa Nabi dan manusia manapun tidak berwenang memberi petunjuk pada manusia lain, atau menyatakan sesat dan kufur kepada manusia lain.
Al-Qur’an memberikan apresiasi bahwa masyarakat dunia terdiri dari beragam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan masing-masing. Komunitas-komunitas tersebut harus  menerima kenyataan akan keragaman sehingga mampu memberikan toleransi. Dengan perbedaan ditekankan  perlunya masing-masing  untuk saling berlomba dalam menuju kebaikan, karena mereka akan dikumpulkan oleh Allah untuk memperoleh keputusan final.
Apresiasi demikian artikulatif terhadap pluralisme, diillustrasikan misalnya dalam Qs.,16: 36, Qs13: 7, Qs35: 24 dan Qs14: 4. Tuhan menghendaki umatnya beragam, karena keragaman merupakan bagian dari sunnat Allah. Hal ini terbukti  dengan diberikannya pilihan-pilihan yang bisa diambil oleh manusia apakah akan mengimani  atau  mengingkari kebenaran Tuhan (Qs,18: 29) serta  watak kerahmatan Tuhan yang tidak terbatas (Qs, 5: 118). Penjelasan yang termuat dalam Qs. 2: 148 tentang kesempatan bagi setiap umat untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan, secara langsung telah memecahkan problema multikultural.
Nilai-nilai Pendidikan Keragaman
Abdulloh Aly, merinci nilai-nilai yang terdapat dalam pendidikan keragaman atau multikultural adalah : (1) semangat demokratisasi, kesetaraan dan keadilan, (2) semangat kemanusiaan, kebersamaan dan kedamaian, (3) sikap mengakui, menerima dan menghargai keragaman. Dengan nilai-nilai tersebut dalam pendidikan keragaman peserta didik diarahkan untuk : (1) Belajar hidup dalam perbedaan, (2) Membangun saling percaya, (3) Memelihara saling pengertian (mutual understanding), (4) Menjunjung sikap saling menghargai (mutual respect), dan (5) semangat  rekonsiliasi.
Pendidikan keragaman oleh banyak pakar dianggap memiliki basis-basis doktrinal yang bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Basis doktrinal ini menjadi nilai yang melekat pada pendidikan keragaman. Dalam hal ini setidaknya terdapat tiga nilai utama yang mencirikan pendidikan keragaman versi Islam, yakni :.
Pertama, berorientasi pada prinsip-prinsip keadilan, demokrasi, dan kesetaraan. Basis-basis doktrinal yang mendukung prinsip-prinsip ini dapat ditemukan dalam al-Qur’an surat as-Syura, al-Hadid, dan al-A’raf. Para intelektual muslim mengakui bahwa ayat-ayat suci dalam al-Qur’an menyediakan basis moral dan etika yang mendukung prinsip keadilan, demokrasi, dan kesetaraan. Antara seorang muslim dengan muslim lainnya maupun seorang muslim dengan non-muslim, harus diperlakukan secara adil. Al-Qur’an mengajarkan model interaksi sosial yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan ini. Prinsip keadilan dalam berinteraksi sesama manusia ini dipraktekkan oleh Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Dalam satu kesempatan Rasulullah saw. bersabda: “tidak ada keutamaan orang Arab atas orang bukan Arab, tidak ada keutamaan orang bukan Arab atas orang Arab, kecuali karena taqwanya.” (HR. Imam Ahmad).
Al-Qur’an maupun as-Sunnah melarang rasisme maupun dominasi kebenaran oleh satu etnik terhadap etnik lainnya. Dalam Islam, perbedaan umat manusia berdasarkan unsur kebudayaan, adat-istiadat, dan warna kulit dianggap sesuatu yang tidak penting. Islam menegaskan bahwa manusia sama di hadapan Tuhan dan hukum. Karenanya, multikulturalisme dijunjung tinggi dalam doktrin-doktrin Islam. Menjadi tidak relevan apabila pendidikan Islam menyimpang dari spirit multikulturalisme yang didukung sepenunya oleh doktrin Islam sendiri.
Dengan menempatkan semua manusia pada derajat yang sama, otomatis islam hendak memberikan ruang dan kesempatan yang sama semua manusia. Semua manusia berhak eksis dengan keragaman budaya, adat, dan keyakinan masing-masing. Nuansa demokratis dalam berkehidupan, berbangsa, dan bernegara menjadi ajaran yang sangat inheren dengan Islam. Rasulullah saw. bersama para sahabatnya telah membangung Negara Madinah yang demokratis, sebagai simbol yang harus dipahami oleh umat muslim generasi penerus. Dalam pasal-pasal Piagam Madinah, misalnya, ditemukan spirit-spirit demokrasi mengental. Perhatikan pasal 16 dan 46 berikut: “dan bahwa orang Yahudi yang mengikuti kami akan memperoleh hak perlindungan dan hak persamaan tanpa ada penganiayaan dan tidak ada orang yang membantu musuh mereka.” (pasal 16) “dan bahwa Yahudi al-Aus, sekutu mereka dan diri (jiwa) mereka memperoleh hak seperti apa yang terdapat bagi pemilik shahifat ini serta memperoleh perlakuan yang baik dari pemilik shahifat ini.” (pasal 46).
Kedua, Menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme, kedamaian dan kebersamaan. Islam memahami manusia sebagai makhluk yang memiliki dua dimensi; dimensi spiritual dan dimensi sosial. Dalam konteksnya sebagai makhluk yang berdimensi spiritual, manusia memiliki relasi khusus antara dirinya dengan Tuhannya (habl min Allah). Sedangkan dalam konteksnya sebagai makhluk yang berdimensi sosial, manusia memiliki relasi dan hukum-hukum berinteraksi antar sesamanya (habl min al-nas). Pada level habl min al-nas inilah, manusia harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian. Manusia harus tunduk di bawah hukum Allah yang dikenal sebagai “hukum kesatuan kemanusiaan (the unity of humankind)”.
Dua dimensi kemanusiaan manusia di atas meniscayakan kewajiban bersama untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Kebersamaan dan perdamaian, misalnya, tidak akan terwujud apabila manusia lebih mengedepankan egoisme yang melahirkan perang. Di sisi lain, egoisme dan perang berbenturan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang menghormati perdamaian dan kebersamaan. Karenanya, dalam hidup ini terdapat lima point penting yang harus dijaga, yaitu: pemeliharaan kehidupan manusia sebagai tolok ukur utama, pemeliharaan akal manusia, perjuangan untuk kebenaran pengetahuan, menjunjung tinggi harkat manusia dan kehormatan masyarakat, dan pemeliharaan kesejahteraan individu dan kelompok.
Kebersamaan dan perdamaian tidak mungkin mewujud tanpa disertai kehendak terdalam manusia untuk hidup rukun, tolong menolong, dan menghargai perbedaan demi mewujudkan integrasi. Solusi-solusi semacam ini tergambar dalam konsep saling mengenal (ta’aruf) dan tolong-menolong (ta’awun) yang digemakan oleh Islam. Kedua konsep ini diabadikan dengan jelas oleh al-Qur’an dalam surat al-Hujurat dan al-Maidah. Dorongan al-Qur’an untuk tolong-menolong dan menghindari konflik berdarah, tak lain bertujuan untuk menciptakan kerukunan, kedamaian, harmonisme, dan keberlangsungan hidup yang tidak disertai perang dan pembunuhan.
Ketiga, konsisten mengembangkan sikap-sikap sosial yang positif:  mengakui, menerima, dan menghargai keragaman. Multikultur yang berarti keragaman budaya, tidak mungkin tetap eksis apabila manusia bersikap ekslusif terhadap keragaman itu sendiri. Kesadaran keragaman tidak mungkin diinternalisasikan oleh manusia yang berjiwa tertutup. Karenanya, pendidikan keragaman berjuang keras membuka “jeruji-jeruji” besi yang memenjarakan kesadaran kognitif manusia di ruangan yang begitu sempit. Ekslufisme dan egoisme merupakan jeruji-jeruji besi yang mengkerangkeng kesadaran manusia untuk bersikap terbuka, menerima, dan menghargai yang lain (the others).
Ekslufisme dan egoisme dapat menghancurkan upaya-upaya menciptakan tatanan sosial yang harmonis dalam masyarakat yang majemuk. Tanpa adanya sikap pengakuan, penerimaan terhadap the others, dan penghargaan (respectfull) terhadap keragamaan maka hubungan sosial yang harmonis mustahil dibangun di tengah-tengah masyarakat yang plural dan multikultur. Bagaimana mungkin totalitas-keseluruhan terbentuk sementara bagian-bagian terkecil sebagai unsur-unsur penyusunnya saling bercerai-berai? Bagaimana mungkin masyarakat majemuk dapat hidup rukun dan damai sementara satu sama lain tidak ada sikap saling menerima, saling menghargai, dan saling mengakui?  
Dalam upaya mewujudkan kehidupan damai, harmonis, toleran dan saling menghargai perbedaan, pendidikan keragaman membutuhkan dialogical consensus yang memuat paling tidak tiga hal penting, yaitu  negosiasi, kompromi dan konsensus Implikasi positif dari ketiganya adalah lahirnya perasaan empati dan simpati terhadap sesama manusia tanpa membedakan gender, agama, hak minoritas dengan mayoritas. Semuanya harus dapat berekspresi sebagai wujud kehidupan masyarakat dan budaya yang multikultural dan multireligius
Dari Pendidikan Keragaman Menuju Jalan Damai
Pendidikan keragaman sebenarnya merupakan sikap peduli terhadap perbedaan dan keragaman, atau “politics of recognition” politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas. Sikap ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang ‘ethnic studies” untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari semangat ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadventaged.
Dengan demikian, paradigma pendidikan keragaman diharapkan dapat menghapus streotipe, sikap dan pandangan egoistik, individualistik dan eksklusif di kalangan peserta didik. Sebaliknya, mereka selalu dikondisikan kearah tumbuhnya pandangan komprehensif terhadap sesama, yaitu sebuah pandangan yang mengakui bahwa keberadaan dirinya tidak bisa dipisahkan atau terintegrasi dengan lingkungan sekeliling yang realitasnya terdiri atas pluralitas etnis, rasionalisme, agama dan budaya.
Pendidikan keragaman merupakan model pendidikan yang berprinsip pada demokrasi, kesetaraan dan keadilan, berorientasi pada kemanusiaan, kebersamaan dan kedamaian, dan mengembangkan sikap mengakui, menerima dan menghargai keragaman budaya. Tujuan utamanya adalah untuk menanamkan sikap simpatik, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Pendidikan keragaman bertujuan mewujudkan sebuah komunitas yang kuat, maju, adil, makmur, dan sejahtera tanpa perbedaan etnik, ras, agama, dan budaya. Misi pendidikan keragaman adalah terwujudnya  penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia dari manapun datangnya dan berbudaya apapun, harapannya agar dapat tercapai kedamaian sejati, keamanan yang tidak dihantui kecemasan dan kebahagiaan tanpa rekayasa.
Pendidikan keragaman yang bercita-cita ideal mewujudkan perdamaian, keadilan, persaudaraan sosial, anti konflik dan diskriminatif  menemukan dasar-dasarnya pada beberapa pesan teks suci, diantaranya: (1)  Qs. Al-Hujurat: 13 yang menegaskan bahwa diciptakannya manusia yang beragam, baik jenis, bangsa dan suku adalah dimaksudkan untuk saling mengenal, saling memahami, saling berinteraksi dan bekerja sama “ (2)  Qs. Al-Baqarah : 256,  yang menyebutkan tidak ada paksaan dalam agama karena jalan lurus dan benar telah dapat dibedakan dengan jelas dari jalan salah dan sesat. Terserah manusia memilih jalan yang dikehendakinya. Telah dijelaskan mana jalan benar yang akan membawa kepada kesengsaraan. Manusia merdeka memilih jalan yang dikehendakinya. Kemerdekaan ini diperkuat oleh (3) Qs.Al-Kafirun : 6 surah yang menyatakan: Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Dan yang paling central adalah (4) Qs. Al-Mu’miunun: yang menegaskan bahwa sesungguhnya manusia adalah umat yang satu meskipun berbeda-beda. Dari titik ini terbangun kesadaran bahwa  “satu Tuhan, banyak agama” merupakan fakta dan realitas yang  tak terbantahkan”.
Implikasi dari keyakinan bahwa seluruh manusia berasal dari sumber yang satu yaitu Tuhan, berarti manusia seluruhnya adalah makhluk Tuhan. Dengan demikian seluruh manusia adalah ber­saudara karena sama-sama makhluk Tuhan. Adanya persamaan keya­kin­an sama-sama makhluk Tuhan dan rasa persaudaraan tersebut menjadi landasan utama dalam toleransi menuju jalan damai. Pandangan ini membawa pada ke­simpulan bahwa seluruh jagad raya (universe) termasuk di dalamnya seluruh umat manusia apapun bangsa dan bahasanya adalah merupa­kan makhluk Tuhan juga, meskipun agama dan keyakinannya ber­beda.

Catatan
Pendidikan keragaman dapat dijadikan embrio bagi berkembangnya sikap menghargai keragaman budaya, agama, suku dan ras yang dikemas melalui kesadaran dan penghormatan yang tinggi terhadap segala perbedaan demi terwujudnya tatanan masyarakat humanis dan inklusif, sebab elan vital yang menjadi dasar pendidikan keragaman adalah apresiasi terhadap adanya realitas pluralitas budaya dalam masyarakat dan pengakuan terhadap kesetaraan harkat dan hak asasi manusia. Pendidikan keragaman atau yang lebih populer dengan sebutan pendidikan multikultural berperan penting dalam mewujudkan harmonisasi masyarakat plural,  sebab hakekat model pendidikan ini dapat membangun sikap, etos dan  pandangan dunia peserta didik yang egaliter dalam mewujudkan horizon kehidupan yang dilandaskan atas prinsip saling menghargai keberadaan yang lain dan  hidup berdampingan secara damai.
Pesan al-Quran bahwa Allah adalah salam dan sumber kedamaian bermakna bahwa kedamaian Tuhan melingkupi seluruh ciptaan-Nya dan mencakup semua dimensi kehidupan. Ini bermakna bahwa kedamaian bukan hanya manifestasi dari penghayatan nilai Ilahiyah dan ketenangan pribadi tetapi juga merupakan rangkaian sebab-akibat dari kedua dimensi damai ini. Upaya mewujudkan perdamaian tentu bukan pekerjaan mudah, diperlukan ongkos yang tidak murah dan proses yang tidak sederhana. Tetapi ini tidak berarti upaya tersebut tidak mungkin dilakukan terutama oleh orang yang mampu memahami dan mengikuti patronase ajaran Tuhan dan sunnatullah yang sarat dengan nilai kasih sayang dan kebersamaan dalam segala aspek kehidupan.  #




Tidak ada komentar:

Posting Komentar