Jumat, 26 Desember 2014

MERAIH ILMU LADUNI MELALUI ZUHUD

Hefni Zain

Salah seorang sahabat nabi Saw bernama Hanzhalah bin Kalib bercerita : suatu saat kami bersama Nabi Saw. Beliau mengingatkan kami akan surga dan neraka,  sehingga seakan -akan aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Tetapi ketika aku meninggalkan Nabi Saw, bercengkrama dengan istri, anak dan urusan dunia lainnya lupalah aku pada apa yang disampaikan Nabi Saw.” Aku mendatangi Nabi Saw dan menyebutkan apa yang kualami kepadanya. Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Hanzhalah, seandainya kalian di tengah keluargamu sama seperti kalian berada bersamaku, malaikat akan bersalaman dengan kamu di tempat tidur mu dan di jalanan. Wahai Hanzhalah, sa’atan sa’atan, sewaktu-waktu saja.
Riwayat diatas menunjukkan bahwa  bila kita merasakan kehidupan akhirat dan tidak terlena dengan kehidupan dunia, maka para malaikat akan turun menyertai kita. Tirai kegaiban akan disingkapkan. Mereka akan menyalami kita, seraya berkata, “Kami akan melindungi kalian di dunia dan akhirat.” (Qs. 41:31). Alangkah indahnya pengalaman itu! Kita percaya kepada para malaikat, tetapi tidak pernah menyaksikannya, tidak merasakan kehadirannya, apalagi memperoleh bantuannya. Malaikat itu makhluk gaib. Ada tetapi tidak terasa. Keterikatan kita dengan materi telah menyebabkan kita terlepas dari pengalaman gaib. Lingkungan kita terbatas pada apa yang dapat kita ukur, yang dekat dengan kita. Salah satu buah dari zuhud ialah memperluas lingkungan kita.
Zuhud membawa kita melintas alam syahadah dan memasuki alam gaib. Zuhud menambah sahabat-sahabat kita, jauh lebih banyak dari onggokan materi di sekitar kita. Dengan menggunakan istilah para sufi, zuhud mengantarkan kita pada alam mukasyafah. Tetapi zuhud juga menghasilkan buah yang lain. Kepada Abu Dzar, Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra  berkata, “Barangsiapa yang zuhud dalam dunia, tidak ambisius untuk memperoleh kemuliaannya, maka Allah akan memberinya petunjuk tanpa melewati petunjuk makhluk-Nya. Dia akan mengajarinya ilmu tanpa ia mempelajarinya. Allah mengokohkan hikmah dalam hatinya dan mengeluarkan hikmah itu melalui lidahnya.” ilmu yang diberikan Allah langsung, tanpa perantara makhluk-Nya. Para sufi menyebutnya ilmu laduni.
Dalam epistemologi Islam Anda dapat memperoleh ilmu lewat pengamatan empiris (seperti sains), atau lewat permenungan rasional (seperti filsafat), atau melalui ajaran guru-guru Anda. Semua ilmu itu Anda peroleh dari Allah melalui makhluk-Nya. Tetapi Anda juga dapat memperoleh ilmu langsung dari Dia yang Maha tahu. Dia mengilhamkannya langsung ke dalam hati Anda. Ilmu itulah yang membuat seorang ibu gelisah dan merasakan anaknya dalam situasi yang berbahaya, tanpa seorang pun memberitahunya. Ilmu itu juga yang dapat menjelaskan mengapa orang-orang suci bisa tahu sebelum diberi tahu (weruh sedurung winarah). Diantara orang - orang yang dianugerahi ilmu laduni adalah mereka yang zuhud.
Dalam riwayat lainnya “Bila kalian zuhud” kata Ali bin Abi Thalib ra “Kalian akan dibebaskan dari penderitaan dunia dan memperoleh kebahagiaan di kampung yang kekal (akhirat).” Apakah Anda menderita hari ini? Apakah hidup anda terasa sesak, pedih, dan kelabu. Apakah Anda gelisah, risau karena memikirkan banyak masalah ( baik yang real maupun yang khayal, (real or imagined). Anda akan dibebaskan dari semuanya melalui zuhud.
Apa zuhud itu sebenarnya? Zuhud adalah Pola Hidup Menjadi. Muhammad Reyysyahri mengumpulkan banyak hadits yang menjelaskan kata zuhud,  Ibn al-Qayyimn al-Jawziy mendaftar sejumlah definisi tentang zuhud dari para ulama (Lihat Madarij al-Salikin 2:9-13). Tidak mungkin kita memperinci semua definisi itu. Marilah kita memperhatikan beberapa saja diantaranya. Ali bin Abi Thalib ra menjelaskan, Zuhud tersimpul dalam dua kalimat dalam al-Quran,”Supaya kamu tidak bersedih karena apa yang lepas dari tanganmu dan tidak bangga dengan apa yang diberikan padamu.” (Qs. 57:23). Siapa yang tidak bersedih karena apa yang luput daripadanya. Dan tidak bersukaria karena apa yang dimilikinya. Ia adalah orang zuhud.
Dari tafsir ayat atas, kita dapat melihat dua karakteristik  zahid, Pertama, zahid tidak menggantungkan kebahagiaan hidupnya pada apa yang dimilikinya. Para psikolog eksistensialis bercerita tentang dua pola hidup; pola memiliki dan pola menjadi. Bila Anda bahagia karena Anda memiliki mobil bagus, rumah mewah, kedudukan basah, status social tinggi; dan Anda menderita karena kehilangan itu (sebagian atau apalagi seluruhnya). Anda memilih pola memiliki. Anda tidak berbeda dengan anak kecil yang membeli petasan. Ia menyuruh kawannya untuk membakar petasan itu. Ia menutup telinganya ketika petasan itu meledak. Tetapi ia senang, karena petasan itu miliknya, kepunyaannya. Kawan saya mempunyai rumah besar di sebuah pebukitan yang indah. Ia sendiri tinggal di Jakarta. Ia hanya mengunjungi rumah itu hampir sekali setahun. Ia jarang menggunakannya. Yang mendiami rumah itu, yang mandi di kolam renangnya setiap hari, yang mempergunakan semua fasilitas didalamnya adalah pembantunya (yang dibayarnya untuk menikmati semua kesenangan itu).
Tetapi kawan saya tetap berbahagia, karena dia bisa berkata, “Rumah megah itu kepunyaanku”. Baginya yang menjadi persoalan bukan penggunaan tetapi pemilikan. Ada sepasang suami istri yang hidup sederhana. Ketika keduanya meninggal, barulah keluarganya tahu bahwa mereka memiliki deposito di bank dalam jumlah ratusan juta. Mereka tidak pernah menggunakan uang itu. Juga bunganya kecuali untuk keperluan yang mendesak. Mereka sesungguhnya dapat melancong ke luar negeri, menghabiskan masa tuanya untuk menikmati kehidupan. Atau mereka dapat memberikan hartanya untuk membantu orang- orang yang menderita. Memberikan beasiswa bagi anak- anak cerdas yang tidak mampu, atau melakukan amal sosial lainnya, sehingga hidup mereka bermakna. Mereka tidak melakukan itu. Mereka menyimpan uang berikut bunganya di bank. Kenikmatan mereka bukan pada penggunaan tetapi pada pemilikan. Inilah pola memiliki. Inilah lawan zuhud.
 Zuhud adalah pola hidup menjadi. Zahid tidak memperoleh kebahagiaan dari kepemilikan. Alangkah rendahnya kehidupan bila kebahagiaan bergantung pada benda- benda mati. Alangkah rentannya kita pada berbagai persoalan, bila hati kita diletakkan pada benda- benda yang kita miliki. Anda marah ketika mobil anda tergores tukang becak. Anda sakit hati ketika deposito Anda tidak dapat Anda tarik. Anda bermuram durja ketika keluarga Anda menjauhi Anda. Anda berpendirian kalau sesuatu atau seseorang tidak Anda miliki. Anda menderita kemalangan. Kebahagiaan Anda sangat ditentukan oleh apa- apa yang di luar Anda. Bukan oleh Anda sendiri. Diri Anda sekarang menjadi robot yang sepenuhnya ditentukan oleh lingkungan Anda.
Seorang zahid tidaklah membuang semua yang dimilikinya, tetapi ia menggunakan semuanya itu untuk mengembangkan dirinya. Kebahagiaannya tidak terletak pada benda- benda mati, tetapi pada peningkatan kualitas hidupnya (psikologis dan spiritual). Ia bahagia karena berhasil menjadi apa yang ia dapat menjadi. He is happy because he becomes what he is capable of becoming. Kedua, kebahagiaan seorang zahid tidak lagi terletak pada hal-hal yang material, tetapi pada dataran spiritual.
Bila Anda mempelajari psikologi perkembangan, Anda akan melihat bahwa manusia menyenangi hal-hal yang berbeda sesuai dengan pertumbuhan kepribadiannya. Sigmund Freud bercerita tentang tiga fase dalam pertumbuhan anak. Pada fase pertama, anak memperoleh kesenangan melalui mulutnya (fase oral). Ia memperoleh kesenangan ketika menghisap susu Ibunya; juga ketika memasukkan benda-benda ke dalam mulutnya. Pada fase kedua, ia memperoleh kesenangan ketika mengeluarkan apa saja dari anusnya (fase anal). Anak dapat berlama- lama di kamar mandi, karena di situ dia memperoleh kenikmatan. Pada fase ketiga, ia memperoleh kenikmatan dari permainan dengan alat kelaminnya (fase genital). Anda boleh setuju atau tidak dengan teori Freud. Tetapi ia menunjukkan adanya perkembangan dalam tingkat kesenangan manusia. Makin tinggi tingkat perkembangan kepribadian, makin nonfisikal sifat kesenangannya.
Anda makin dewasa bila Anda memperoleh kebahagiaan dari hal-hal spiritual seperti memperoleh ilmu, beramal untuk hari akhirat, mendekati yang Maha Pengasih. Orang zahid menemukan kebahagiaan pada hal – hal yang ruhaniah, pada tingkat kepribadian yang tinggi. Sekarang dimanakah posisi anda berada? Lihat saja dimana terletak kebahagiaan Anda.
Dimanakah sesungguhnyaletak kebahagiaan? Will Durant, penulis puluhan jilid The Story of Civilization, mencoba menjawab pertanyaan ini dengan mengunjungi perpustakaan -perpustakaan dunia. Dengan tekun ia menelaah tulisan para filusuf dan orang – orang bijak. Bertahun-tahun ia tidak menemukan dimana kebahagiaan itu, sampai ia menyaksikan peristiwa yang sangat menggetarkan hatinya. Waktu itu ia baru saja kembali dari perjalanan jauh. Ia keluar dari bandara bersama banyak orang lain. Di seberang jalan ia melihat seorang perempuan dengan bayi kecil dalam dekapannya melambaikan tangan. Seorang laki-laki berteriak, menyeruak di tengah orang banyak, dan melesat menyebrangi jalan. Ia sama sekali tidak menghiraukan lalu lintas yang padat. Ia tidak mendengar bunyi klakson mobil yang memperingatkannya. Ia lari menuju perempuan itu. Mula-mula ia mengecup istrinya. Kemudian memeluk dan menciumi bayi merah itu. Pada wajah sepasang suami istri itu, Will Durant melihat ekspresi indah yang tidak terlukiskan. “Sekarang aku menemukan dimana letak kebahagiaan itu!”, kata Durant dengan kepuasan Archimides ketika meneriakkan “Eureka!” (Aku sudah menemukannya). Bagi Durant, kebahagiaan terletak pada pertemuan di antara orang-orang yang saling mencinta.
Bagi Haram. Salah seorang qari (pembaca Al-Quran) Rasulullah Saw, kebahagiaan tidak terletak disitu. Pada suatu hari Abu Bara’, pemimpin sebuah kabilah di Nejed, datang ke Madinah. Nabi saw mengajaknya masuk islam. Dengan halus ia menolak tawaran Nabi, tetapi memohon agar Nabi saw mengirimkan para qarinya untuk mengajari mereka Al-Quran.
Tujuh puluh orang sahabat pilihan dikirim ke Nejed. Di Bir Ma’unah para sahabat berhenti. Haram mulai berdakwah. Ia menyampaikan ayat – ayat Al-Quran dengan begitu bersemangat sehingga ia tidak menyadari bahwa orang-orang Nejed telah mengepungnya. Tiba-tiba tubuhnya tersentak. Ia melihat ujung tombak keluar dari rongga dadanya. Darah membersit. Haram menyauk darah itu dengan kedua telapak tangannya dan mengusapkannya ke wajahnya seraya berkata, “Fuztu wa Rabbil Ka’bah” (Alangkah bahagianya aku, demi Tuhan yang Memelihara Ka’bah). Ia berkata, Inni la aral maut illas sa’adah” (Aku tidak melihat kematian kecuali sebagai kebahagiaan). Bagi Haram. Kebahagiaan terletak dalam kematian karena menegakkan keyakinan.
Bila Durant menganggap kebahagiaan terletak pada pertemuan dengan keluarga setelah perjalanan jauh,  Haram menemukan kebahagiaan dalam berpisah dengan dunia untuk berjumpa dengan Allah Swt. Walaupun kasih sayang pada keluarga mempunyai nilai yang lebih tinggi dari kecintaan pada benda-benda, kebahagiaan Durant masih terletak pada dataran rendah dunia.
Pada Haram. Kebahagiaan sudah tidak lagi terikat pada dunia. Kebahagiaan kini berada pada dataran tinggi ruhani. Pandangan Anda tentang kebahagiaan mencerminkan tingkat keruhanian Anda. Orang Perancis berkata, “Diz moi est-ce que tu manges, et je te dirai est-ce que tu es” (katakan kepadaku apa yang kamu makan, aku akan mengatakan kepada Anda siapa Anda). Di sini kita ingin mengatakan, “Katakan kepadaku dimana Anda letakkan kebahagiaan, aku akan mengatakan kepada Anda siapa Anda.” Bila Anda meletakkan kebahagiaan bukan pada dunia, Anda adalah orang yang zuhud.
Zuhud bukan meninggalkan dunia. Tetapi tidak meletakkan hatinya pada dunia. Zuhud bukan menghindari kenikmatan duniawi, tetapi tidak meletakkan nilai yang tinggi padanya. “Bukanlah zuhud itu mengharamkan yang halal. Bukan pula menyia-nyiakan harta, tetapi zuhud dalam dunia itu ialah engkau tidak memandang apa yang ada di tanganmu itu lebih diandalkan dari apa yang ada di sisi Allah”
Apa yang ada di tanganmu? Rumah, kendaraan, kebun, atau deposito, istri, anak – anak,  kawan, atau fans; karier, pangkat, kedudukan, atau status. Atau mungkin yang lebih abstrak: kekayaan, kekuasaan, kemasyhuran, semuanya berubah, tidak tetap, dan akhirnya harus Anda tinggalkan, sukarela atau terpaksa. Semuanya tidak bisa diandalkan. Lalu apa yang ada di sisi Allah? Rahmat-Nya yang meliputi segala sesuatu, ampunan-Nya yang maha luas, anugerah-Nya yang tidak terbatas, dan ridho-Nya yang akbar. “Apa yang ada padamu akan punah, apa yang disisi Allah abadi” (Qs.16:96).
Mawlana Majlisi menulis, “ketahuilah bahwa dunia ialah semua hal yang menghalangi manusia dari mematuhi Allah dan menjauhkannya dari kasih-Nya. Dan akhirat adalah apa saja yang menyebabkan manusia memperoleh ridho Allah dan mendekatkannya kepadaNya walaupun hal-hal tersebut tampak seperti urusan dunia seperti perdagangan, pertanian, industry, kerajinan yang ditujukan untuk memberikan nafkah kepada keluarga karena mematuhi Allah Swt, Semua kegiatan itu dimaksudkan untuk akhirat, walaupun orang -orang menganggapnya untuk dunia.  Sebaliknya, apapun yang bertentangan dengan Sunnah, walaupun dilakukan dengan penuh kekhusyuan dan pengabdian, dihitung untuk dunia, karena menyebabkan pelakunya terasing dari Allah dan tidak membawa manusia lebih dekat kepada-Nya.  

Walhasil, orang zahid adalah orang yang hidup di dunia, tetapi tidak meletakkan hatinya di dunia, mereka bekerja di dunia untuk akhirat. Ali bin Abi Thalib berkata, “Orang- orang zahid adalah  Kanu qawman min ahlid dunya wa laisu min ahliha” mereka yang berada di dunia tetapi tidak mendunia #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar