Hefni Zain
Salah seorang sahabat nabi Saw bernama Hanzhalah bin Kalib bercerita : suatu saat kami bersama Nabi
Saw. Beliau mengingatkan kami akan surga dan neraka, sehingga seakan -akan aku melihatnya dengan
mata kepalaku sendiri. Tetapi ketika aku meninggalkan Nabi Saw, bercengkrama
dengan istri, anak dan urusan dunia lainnya lupalah aku pada apa yang
disampaikan Nabi Saw.” Aku mendatangi Nabi Saw dan menyebutkan apa yang kualami
kepadanya. Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Hanzhalah, seandainya kalian di
tengah keluargamu sama seperti kalian berada bersamaku, malaikat akan
bersalaman dengan kamu di tempat tidur mu dan di jalanan. Wahai Hanzhalah, sa’atan
sa’atan, sewaktu-waktu saja.
Riwayat diatas
menunjukkan bahwa bila kita merasakan
kehidupan akhirat dan tidak terlena dengan kehidupan dunia, maka para malaikat
akan turun menyertai kita. Tirai kegaiban akan disingkapkan. Mereka akan
menyalami kita, seraya berkata, “Kami akan melindungi kalian di dunia dan
akhirat.” (Qs. 41:31). Alangkah indahnya pengalaman itu! Kita percaya kepada
para malaikat, tetapi tidak pernah menyaksikannya, tidak merasakan
kehadirannya, apalagi memperoleh bantuannya. Malaikat itu makhluk gaib. Ada
tetapi tidak terasa. Keterikatan kita dengan materi telah menyebabkan kita terlepas
dari pengalaman gaib. Lingkungan kita terbatas pada apa yang dapat kita ukur,
yang dekat dengan kita. Salah satu buah dari zuhud ialah memperluas lingkungan
kita.
Zuhud membawa kita
melintas alam syahadah dan memasuki alam gaib. Zuhud menambah sahabat-sahabat
kita, jauh lebih banyak dari onggokan materi di sekitar kita. Dengan
menggunakan istilah para sufi, zuhud mengantarkan kita pada alam mukasyafah.
Tetapi zuhud juga menghasilkan buah yang lain. Kepada Abu Dzar, Sayyidina Ali
bin Abi Thalib ra berkata, “Barangsiapa
yang zuhud dalam dunia, tidak ambisius untuk memperoleh kemuliaannya, maka Allah
akan memberinya petunjuk tanpa melewati petunjuk makhluk-Nya. Dia akan
mengajarinya ilmu tanpa ia mempelajarinya. Allah mengokohkan hikmah dalam
hatinya dan mengeluarkan hikmah itu melalui lidahnya.” ilmu yang diberikan Allah
langsung, tanpa perantara makhluk-Nya. Para sufi menyebutnya ilmu laduni.
Dalam epistemologi
Islam Anda dapat memperoleh ilmu lewat pengamatan empiris (seperti sains), atau
lewat permenungan rasional (seperti filsafat), atau melalui ajaran guru-guru Anda.
Semua ilmu itu Anda peroleh dari Allah melalui makhluk-Nya. Tetapi Anda juga
dapat memperoleh ilmu langsung dari Dia yang Maha tahu. Dia mengilhamkannya
langsung ke dalam hati Anda. Ilmu itulah yang membuat seorang ibu gelisah dan
merasakan anaknya dalam situasi yang berbahaya, tanpa seorang pun
memberitahunya. Ilmu itu juga yang dapat menjelaskan mengapa orang-orang suci
bisa tahu sebelum diberi tahu (weruh sedurung winarah). Diantara orang - orang
yang dianugerahi ilmu laduni adalah mereka yang zuhud.
Dalam riwayat lainnya “Bila
kalian zuhud” kata Ali bin Abi Thalib ra “Kalian akan dibebaskan dari
penderitaan dunia dan memperoleh kebahagiaan di kampung yang kekal (akhirat).”
Apakah Anda menderita hari ini? Apakah hidup anda terasa sesak, pedih, dan
kelabu. Apakah Anda gelisah, risau karena memikirkan banyak masalah ( baik yang
real maupun yang khayal, (real or imagined). Anda akan dibebaskan dari semuanya
melalui zuhud.
Apa zuhud itu
sebenarnya? Zuhud adalah Pola Hidup Menjadi. Muhammad Reyysyahri mengumpulkan
banyak hadits yang menjelaskan kata zuhud,
Ibn al-Qayyimn al-Jawziy mendaftar sejumlah definisi tentang zuhud dari
para ulama (Lihat Madarij al-Salikin 2:9-13). Tidak mungkin kita memperinci
semua definisi itu. Marilah kita memperhatikan beberapa saja diantaranya. Ali
bin Abi Thalib ra menjelaskan, Zuhud tersimpul dalam dua kalimat dalam
al-Quran,”Supaya kamu tidak bersedih karena apa yang lepas dari tanganmu dan
tidak bangga dengan apa yang diberikan padamu.” (Qs. 57:23). Siapa yang tidak
bersedih karena apa yang luput daripadanya. Dan tidak bersukaria karena apa
yang dimilikinya. Ia adalah orang zuhud.
Dari tafsir ayat atas,
kita dapat melihat dua karakteristik zahid,
Pertama, zahid tidak menggantungkan kebahagiaan hidupnya pada apa yang
dimilikinya. Para psikolog eksistensialis bercerita tentang dua pola hidup;
pola memiliki dan pola menjadi. Bila Anda bahagia karena Anda memiliki mobil
bagus, rumah mewah, kedudukan basah, status social tinggi; dan Anda menderita
karena kehilangan itu (sebagian atau apalagi seluruhnya). Anda memilih pola
memiliki. Anda tidak berbeda dengan anak kecil yang membeli petasan. Ia
menyuruh kawannya untuk membakar petasan itu. Ia menutup telinganya ketika
petasan itu meledak. Tetapi ia senang, karena petasan itu miliknya,
kepunyaannya. Kawan saya mempunyai rumah besar di sebuah pebukitan yang indah.
Ia sendiri tinggal di Jakarta. Ia hanya mengunjungi rumah itu hampir sekali
setahun. Ia jarang menggunakannya. Yang mendiami rumah itu, yang mandi di kolam
renangnya setiap hari, yang mempergunakan semua fasilitas didalamnya adalah
pembantunya (yang dibayarnya untuk menikmati semua kesenangan itu).
Tetapi kawan saya tetap
berbahagia, karena dia bisa berkata, “Rumah megah itu kepunyaanku”. Baginya
yang menjadi persoalan bukan penggunaan tetapi pemilikan. Ada sepasang suami
istri yang hidup sederhana. Ketika keduanya meninggal, barulah keluarganya tahu
bahwa mereka memiliki deposito di bank dalam jumlah ratusan juta. Mereka tidak
pernah menggunakan uang itu. Juga bunganya kecuali untuk keperluan yang
mendesak. Mereka sesungguhnya dapat melancong ke luar negeri, menghabiskan masa
tuanya untuk menikmati kehidupan. Atau mereka dapat memberikan hartanya untuk
membantu orang- orang yang menderita. Memberikan beasiswa bagi anak- anak
cerdas yang tidak mampu, atau melakukan amal sosial lainnya, sehingga hidup
mereka bermakna. Mereka tidak melakukan itu. Mereka menyimpan uang berikut
bunganya di bank. Kenikmatan mereka bukan pada penggunaan tetapi pada
pemilikan. Inilah pola memiliki. Inilah lawan zuhud.
Zuhud adalah pola hidup menjadi. Zahid tidak
memperoleh kebahagiaan dari kepemilikan. Alangkah rendahnya kehidupan bila
kebahagiaan bergantung pada benda- benda mati. Alangkah rentannya kita pada
berbagai persoalan, bila hati kita diletakkan pada benda- benda yang kita
miliki. Anda marah ketika mobil anda tergores tukang becak. Anda sakit hati
ketika deposito Anda tidak dapat Anda tarik. Anda bermuram durja ketika
keluarga Anda menjauhi Anda. Anda berpendirian kalau sesuatu atau seseorang
tidak Anda miliki. Anda menderita kemalangan. Kebahagiaan Anda sangat ditentukan
oleh apa- apa yang di luar Anda. Bukan oleh Anda sendiri. Diri Anda sekarang
menjadi robot yang sepenuhnya ditentukan oleh lingkungan Anda.
Seorang zahid tidaklah
membuang semua yang dimilikinya, tetapi ia menggunakan semuanya itu untuk
mengembangkan dirinya. Kebahagiaannya tidak terletak pada benda- benda mati,
tetapi pada peningkatan kualitas hidupnya (psikologis dan spiritual). Ia
bahagia karena berhasil menjadi apa yang ia dapat menjadi. He is happy because
he becomes what he is capable of becoming. Kedua, kebahagiaan seorang zahid
tidak lagi terletak pada hal-hal yang material, tetapi pada dataran spiritual.
Bila Anda mempelajari
psikologi perkembangan, Anda akan melihat bahwa manusia menyenangi hal-hal yang
berbeda sesuai dengan pertumbuhan kepribadiannya. Sigmund Freud bercerita
tentang tiga fase dalam pertumbuhan anak. Pada fase pertama, anak memperoleh
kesenangan melalui mulutnya (fase oral). Ia memperoleh kesenangan ketika
menghisap susu Ibunya; juga ketika memasukkan benda-benda ke dalam mulutnya. Pada
fase kedua, ia memperoleh kesenangan ketika mengeluarkan apa saja dari anusnya
(fase anal). Anak dapat berlama- lama di kamar mandi, karena di situ dia
memperoleh kenikmatan. Pada fase ketiga, ia memperoleh kenikmatan dari
permainan dengan alat kelaminnya (fase genital). Anda boleh setuju atau tidak
dengan teori Freud. Tetapi ia menunjukkan adanya perkembangan dalam tingkat
kesenangan manusia. Makin tinggi tingkat perkembangan kepribadian, makin
nonfisikal sifat kesenangannya.
Anda makin dewasa bila
Anda memperoleh kebahagiaan dari hal-hal spiritual seperti memperoleh ilmu,
beramal untuk hari akhirat, mendekati yang Maha Pengasih. Orang zahid menemukan
kebahagiaan pada hal – hal yang ruhaniah, pada tingkat kepribadian yang tinggi.
Sekarang dimanakah posisi anda berada? Lihat saja dimana terletak kebahagiaan
Anda.
Dimanakah sesungguhnyaletak
kebahagiaan? Will Durant, penulis puluhan jilid The Story of Civilization,
mencoba menjawab pertanyaan ini dengan mengunjungi perpustakaan -perpustakaan
dunia. Dengan tekun ia menelaah tulisan para filusuf dan orang – orang bijak.
Bertahun-tahun ia tidak menemukan dimana kebahagiaan itu, sampai ia menyaksikan
peristiwa yang sangat menggetarkan hatinya. Waktu itu ia baru saja kembali dari
perjalanan jauh. Ia keluar dari bandara bersama banyak orang lain. Di seberang
jalan ia melihat seorang perempuan dengan bayi kecil dalam dekapannya
melambaikan tangan. Seorang laki-laki berteriak, menyeruak di tengah orang
banyak, dan melesat menyebrangi jalan. Ia sama sekali tidak menghiraukan lalu
lintas yang padat. Ia tidak mendengar bunyi klakson mobil yang memperingatkannya.
Ia lari menuju perempuan itu. Mula-mula ia mengecup istrinya. Kemudian memeluk
dan menciumi bayi merah itu. Pada wajah sepasang suami istri itu, Will Durant
melihat ekspresi indah yang tidak terlukiskan. “Sekarang aku menemukan dimana
letak kebahagiaan itu!”, kata Durant dengan kepuasan Archimides ketika
meneriakkan “Eureka!” (Aku sudah menemukannya). Bagi Durant, kebahagiaan
terletak pada pertemuan di antara orang-orang yang saling mencinta.
Bagi Haram. Salah
seorang qari (pembaca Al-Quran) Rasulullah Saw, kebahagiaan tidak terletak
disitu. Pada suatu hari Abu Bara’, pemimpin sebuah kabilah di Nejed, datang ke
Madinah. Nabi saw mengajaknya masuk islam. Dengan halus ia menolak tawaran
Nabi, tetapi memohon agar Nabi saw mengirimkan para qarinya untuk mengajari
mereka Al-Quran.
Tujuh puluh orang sahabat pilihan dikirim ke Nejed. Di Bir Ma’unah para sahabat berhenti. Haram mulai berdakwah. Ia menyampaikan ayat – ayat Al-Quran dengan begitu bersemangat sehingga ia tidak menyadari bahwa orang-orang Nejed telah mengepungnya. Tiba-tiba tubuhnya tersentak. Ia melihat ujung tombak keluar dari rongga dadanya. Darah membersit. Haram menyauk darah itu dengan kedua telapak tangannya dan mengusapkannya ke wajahnya seraya berkata, “Fuztu wa Rabbil Ka’bah” (Alangkah bahagianya aku, demi Tuhan yang Memelihara Ka’bah). Ia berkata, Inni la aral maut illas sa’adah” (Aku tidak melihat kematian kecuali sebagai kebahagiaan). Bagi Haram. Kebahagiaan terletak dalam kematian karena menegakkan keyakinan.
Tujuh puluh orang sahabat pilihan dikirim ke Nejed. Di Bir Ma’unah para sahabat berhenti. Haram mulai berdakwah. Ia menyampaikan ayat – ayat Al-Quran dengan begitu bersemangat sehingga ia tidak menyadari bahwa orang-orang Nejed telah mengepungnya. Tiba-tiba tubuhnya tersentak. Ia melihat ujung tombak keluar dari rongga dadanya. Darah membersit. Haram menyauk darah itu dengan kedua telapak tangannya dan mengusapkannya ke wajahnya seraya berkata, “Fuztu wa Rabbil Ka’bah” (Alangkah bahagianya aku, demi Tuhan yang Memelihara Ka’bah). Ia berkata, Inni la aral maut illas sa’adah” (Aku tidak melihat kematian kecuali sebagai kebahagiaan). Bagi Haram. Kebahagiaan terletak dalam kematian karena menegakkan keyakinan.
Bila Durant menganggap
kebahagiaan terletak pada pertemuan dengan keluarga setelah perjalanan jauh, Haram menemukan kebahagiaan dalam berpisah
dengan dunia untuk berjumpa dengan Allah Swt. Walaupun kasih sayang pada
keluarga mempunyai nilai yang lebih tinggi dari kecintaan pada benda-benda,
kebahagiaan Durant masih terletak pada dataran rendah dunia.
Pada Haram. Kebahagiaan
sudah tidak lagi terikat pada dunia. Kebahagiaan kini berada pada dataran
tinggi ruhani. Pandangan Anda tentang kebahagiaan mencerminkan tingkat
keruhanian Anda. Orang Perancis berkata, “Diz moi est-ce que tu manges, et je
te dirai est-ce que tu es” (katakan kepadaku apa yang kamu makan, aku akan
mengatakan kepada Anda siapa Anda). Di sini kita ingin mengatakan, “Katakan
kepadaku dimana Anda letakkan kebahagiaan, aku akan mengatakan kepada Anda
siapa Anda.” Bila Anda meletakkan kebahagiaan bukan pada dunia, Anda adalah
orang yang zuhud.
Zuhud bukan meninggalkan dunia. Tetapi tidak meletakkan hatinya pada dunia. Zuhud bukan menghindari kenikmatan duniawi, tetapi tidak meletakkan nilai yang tinggi padanya. “Bukanlah zuhud itu mengharamkan yang halal. Bukan pula menyia-nyiakan harta, tetapi zuhud dalam dunia itu ialah engkau tidak memandang apa yang ada di tanganmu itu lebih diandalkan dari apa yang ada di sisi Allah”
Zuhud bukan meninggalkan dunia. Tetapi tidak meletakkan hatinya pada dunia. Zuhud bukan menghindari kenikmatan duniawi, tetapi tidak meletakkan nilai yang tinggi padanya. “Bukanlah zuhud itu mengharamkan yang halal. Bukan pula menyia-nyiakan harta, tetapi zuhud dalam dunia itu ialah engkau tidak memandang apa yang ada di tanganmu itu lebih diandalkan dari apa yang ada di sisi Allah”
Apa yang ada di
tanganmu? Rumah, kendaraan, kebun, atau deposito, istri, anak – anak, kawan, atau fans; karier, pangkat, kedudukan,
atau status. Atau mungkin yang lebih abstrak: kekayaan, kekuasaan, kemasyhuran,
semuanya berubah, tidak tetap, dan akhirnya harus Anda tinggalkan, sukarela
atau terpaksa. Semuanya tidak bisa diandalkan. Lalu apa yang ada di sisi Allah?
Rahmat-Nya yang meliputi segala sesuatu, ampunan-Nya yang maha luas,
anugerah-Nya yang tidak terbatas, dan ridho-Nya yang akbar. “Apa yang ada
padamu akan punah, apa yang disisi Allah abadi” (Qs.16:96).
Mawlana Majlisi menulis,
“ketahuilah bahwa dunia ialah semua hal yang menghalangi manusia dari mematuhi
Allah dan menjauhkannya dari kasih-Nya. Dan akhirat adalah apa saja yang
menyebabkan manusia memperoleh ridho Allah dan mendekatkannya kepadaNya
walaupun hal-hal tersebut tampak seperti urusan dunia seperti perdagangan,
pertanian, industry, kerajinan yang ditujukan untuk memberikan nafkah kepada
keluarga karena mematuhi Allah Swt, Semua kegiatan itu dimaksudkan untuk
akhirat, walaupun orang -orang menganggapnya untuk dunia. Sebaliknya, apapun yang bertentangan dengan
Sunnah, walaupun dilakukan dengan penuh kekhusyuan dan pengabdian, dihitung
untuk dunia, karena menyebabkan pelakunya terasing dari Allah dan tidak membawa
manusia lebih dekat kepada-Nya.
Walhasil, orang zahid
adalah orang yang hidup di dunia, tetapi tidak meletakkan hatinya di dunia, mereka
bekerja di dunia untuk akhirat. Ali bin Abi Thalib berkata, “Orang- orang zahid
adalah Kanu qawman min ahlid dunya wa
laisu min ahliha” mereka yang berada di dunia tetapi tidak mendunia #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar