Kamis, 25 Desember 2014

MAHASISWA MUSLIM : PERAN DAN TANGGUNG JAWABNYA

Hefni Zain

Ketika seseorang  telah memilih perguruan perguruan tinggi Islam sebagai wahana menempa diri agar kelak menjadi sarjana, cendekawan, ilmuwan, ulama, atau apalah namanya, yang bersangkutan juga telah menyandang identitas yang melekat padanya adalah kata muslim. Dengan pilihan itu, yang bersangkutan telah membawa nama besar dan mulia, yaitu Islam. Pilihan terhadap lembaga PTAI tersebut tentu  sudah didasari oleh berbagai pertimbangan yang kuat dan mendalam serta diyakini seyakin-yakinnya bahwa lembaga pendidikan tinggi Islam dapat mengantarkan ke arah tercapainya cita-cita yang didambakan.
Penyandang identitas mahasiswa sesungguhnya sudah cukup berat. Ia diidentifiaksi sebagai seseorang yang belajar di perguruan tinggi. Sebagai seorang mahasiswa, maka pikiran-pikirannya harus rasional, obyektif, terbuka, memiliki kebebasan berpikir dan keberanian yang tinggi. Atas dasar anggapan bahwa ia memiliki ciri-ciri itu, maka mahasiswa disebut mampu melakukan peran-peran sebagai agent of change, agent of modernization, dan agent of development. Itulah beberapa ciri yang seharusnya disandang oleh seorang mahasiswa. Walaupun dalam kenyataannya ciri-ciri itu, tidak juga sepenuhnya berhasil disandang oleh mahasiswa seluruhnya. Akan tetapi yang perlu disadari bahwa standard itu , tidak saja dijadikan pegangan oleh orang-orang internal kampus melainkan juga oleh kalangan masyarakat di luar kampus tatkala mereka melihat sosok mahasiswa. 
Citra mulia bagi mahasiswa itu akan disempurnakan lagi -setidak-tidaknya- oleh kalangan umat Islam, tatkala dibelakang kata mahasiswa tersebut terdapat kata muslim. Citra itu bukan hasil rumusan mahasiswa yang bersangkutan, melainkan dibangun oleh orang di luar. Kita boleh berkelit membuat rumusan sendiri, tetapi mau tidak mau, atau suka atau tidak, masyarakat akan membangun citra seperti itu. 
Sekalipun baru sebatas ukuran normatif, pada umumnya masyarakat muslim percaya dengan apa saja yang beridentitas Islam, termasuk pada identitas mahasiswa itu. Mahasiswa Muslim diidentifikasi sebagai kelompok yang memiliki akhlak lebih baik, selalu berpegang pada ajaran Islam, tekun beribadah, terjauh dari perilaku tak terpuji, peduli pada orang atau pihak-pihak yang tertindas, dan atau menderita. Penilaian positif seperti itu akan berbalik seratus delapan puluh derajat, menjadi sangat negatif jika mereka mendengar kasus tentang perilaku mahasiswa muslim yang tidak sesuai dengan harapan itu. Penilaian negatif itu muncul, oleh karena mungkin, adanya kesadaran bahwa tidak seorangpun mestinya dapat diberi toleransi mengganggu nilai-nilai Islam yang harus dijunjung tinggi. Mahasiswa muslim diharapkan merepresentasikan nilai-nilai Islam dalam pentas kehidupan ini. 
Harapan masyarakat pada mahasiswa muslim seperti disebutkan itu dilatarbelakangi oleh padangan mereka tentang nilai-nilai yang terbangun dari berbagai sumber selama ini, bahwa mahasiswa muslim memiliki visi, misi, dan tradisi yang berbeda dari mahasiswa lainnya. Mahasiswa muslim setiap aktivitasnya dituntun ajaran agamanya (dorongan transendental), memiliki akidah yang kokoh. Selebihnya, bahwa mahasiswa muslim bukan sekedar berperan sebagai kolektor sks, transkrip, dan ijazah, agar segera digunakan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan dengan gaji yang tinggi. Bukan itu. Mahasiswa muslim diharapkan memiliki idialisme, komitmen dan integritas yang tinggi terhadap agama dan kemanusiaan. 
Lebih jelas lagi bahwa mahasiswa muslim diharapkan mampu menempa diri agar dapat menyandang identitas sebagai ulin nuha, ulil abshor, dan ulil al-baab serta bersedia berjuang (jihad) di jalan Allah untuk memperbaiki kualitas kehidupan. Sebagai penyandang identitas yang sangat mulia itu, mahasiswa muslim harus berhasil membangun karakter atau pribadi utuh. Kekayaan berupa ilmu dan profesional dipandang tidak cukup memadai. Kekayaan itu harus disempurnakan dengan kelebihan lain, yaitu spiritual dan akhlak. Kekayaan ilmu dan profesional tanpa ditopang oleh akhlak dan kedalaman spiritual hanya akan melahirkan pribadi tamak, individualis, materialis yang justru merusak kehidupan bersama. 
Kehidupan sosial tak pernah sepi dari problem. Sebab kehidupan itu tidak pernah statis, selalu bersifat dinamis. Masyarakat selalu melakukan proses-proses sosial. Mereka dalam berinteraksi selalu belahirkan aktivitas yang asosiatif dan sekaligus disasosiatif. Dalam berinteraksi, masyarakat melakukan integrasi, akomodasi, kooperasi, kompetisi, konflik, asimilasi, dan lain-lain. Problem-problem sosial lahir dari proses-proses sosial itu. 
Terkait dengan hal di atas pertanyaan yang perlu dijawab adalah, bagaimana mahasiswa muslim seharusnya menghadapi problem sosial itu. Mahasiswa yang dipandang belum memiliki kepentingan pribadi sehingga dipandang lebih obyektif, diharapkan mampu melakukan social control terhadap proses-proses sosial itu. Hanya dalam melakukan peran-perannya itu mahasiswa muslim dituntut lebih santun, obyektif, berpihak kepada kebenaran, dan bukan pada kepentingan pribadi sesaat. Berbekalkan kelebihannya itu, mahasiswa harus menjadi kekuatan penggerak dan bukan sebatas sebagai alat yang digerakkan. Sebagai generasi yang kaya ide, kreatif objektif, rasional dan inovatif, tidak sebayaknya mereka sebatas menjadi alat orang lain. Semua langkah-langkahnya harus bersumber dari kepentingan dan kekuatan nalar dan nuraninya. 
Atas dasar tuntutan seperti itu, mahasiswa muslim tidak boleh ketinggalam informasi. Ia harus menempatkan diri seperti sebuah parabola. Setiap saat ia harus memasang seluruh inderanya untuk menangkap berbagai informasi yang berkembang. Media massa, baik berupa elektronik maupun cetak sebisa-bisa diikuti. Tidak selayaknya, seorang mahasiswa, apalagi mahasiswa muslim beridentitas kuper, gatek dan telmi yang diakibatkan oleh keterbatasan informasi. Jika informasi dapat diikuti secara baik, dan ditambah dengan kegiatan dialog, diskusi, atau kegiatan ilmiah lainnya dapat dilakukan, maka mahasiswa akan mampu melakukan peran-peran sosialnya itu. 
Tatkala masih belajar di lembaga pendidikan tingkat menengah ke bawah, seseorang diwarnai oleh pikiran orang lain, apakah itu orang tuanya, guru, atau tokoh idolanya. Para siswa dalam menyikapi problem yang dihadapi akan mengatakan, nunggu dulu petunjuk dan pengarahan guru saya, atau kata guru saya, kata orang tua saya, tokoh saya dan seterusnya. Hal itu akan berbeda tatkala ia sudah berada di perguruan tinggi. Mahasiswa lebih dituntut menjadi penemu atau pencipta. Prestasi itu dikembangkan lewat aktifitas penelitiannya. Itulah sebabnya di perguruan tinggi kegiatan penelitian diutamakan. Oleh karena itu mahasiswa tidak lagi biasa mengatakan :  kata orang. Melainkan mereka akan mengatakan : sesuai dengan pikiran dan hasil penelitian saya dan seterusnya. 
Lewat kegiatan penelitian maka diperoleh temuan-temuan baru, yang bisa jadi belum pernah dikenali sebelumnya. Temuan-temuan itu dipublikasikan atau dikomunikasikan secara luas. Lewat penelitian inilah kemudian seseorang akan berubah, dari berorientasi kata guru, kata orang tua, kata tokoh, menjadi "menurut penemuan saya" atau tegasnya kata saya. Jika mahasiswa sudah mulai dapat melakukan penelitian sendiri, maka artinya sudah berhasil memulai melakukan peran-peran sebagai pemikir yang sesungguhnya.  Oleh karena itu, belajar meneliti menjadi mutlak sifatnya, tidak terkecuali mahasiswa muslim. Belajar meneliti, selain lewat kuliah, kursus, atau penataran juga dapat dilakukan lewat praktek dalam skala kecil-kecilan. Keinginan menjadi ahli peneliti tak akan kesampaian hanya mengandalkan kuliah tanpa diikuti oleh latihan-latihan nyata. Kegiatan penelitian inilah yang akan mengantarkan seseorang mahasiswa menjadi mampu berpikir kritis dan obyektif. Bertitik tolak dari pandangan ini maka wajar seseorang mengatakan bahwa untuk mengoptimalkan kemampuan mahasiswa sebagai pemikir maka mulailah dari kegiatan penelitian, sekalipun berskala kecil saja. Selain itu mengoptimalkan kemampuan berpikir, maka kegiatan dialog, diskusi, seminar perlu selalu diciptakan dan diikuti secara saksama. 

Orang menyebut kampus tempat belajar seseorang sebagai almamater. Arti kata almamater adalah ibu asuh, tempat menyusu. Oleh karena itulah siapa pun harus mencintai ibu asuh, karena ia telah berjasa besar memberi kekuatan atau energi dalam meraih cita-cita. Kampus disebut sebagai ibu asuh dan bukannya bapak asuh, karena antara peran bapak dan ibu seringkali beda. Ibu tidak saja memberi kehidupan berupa material, melainkan yang lebih penting dari itu adalah kelembutan, perhatian dan cinta kasih. Mahasiswa sebagai anak asuh, diharapkan menjadi type idial penyandang ideologi kampus, dalam hal ini adalah sebagai calon ulama yang intelek profesional dan atau intelek profesional yang ulama. Identitas tersebut harus tercermin dan mewarnai semua penampilan mahasiswanya, baik misalnya dalam hal berpakaian, berkomunakasi, bertutur kata dan bahkan terhadap seluruh perilakunya. Sebagai calon ulama tidak selayaknya menampilkan pakaian yang lebih menyerupai artis, pelawak dan sejenisnya. Ulama yang sekaligus cendekia seharusnya tergambar secara utuh dalam seluruh hidup dan kehidupannya. #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar