Hefni Zain
Ketika seseorang telah memilih perguruan perguruan tinggi Islam
sebagai wahana menempa diri agar kelak menjadi sarjana, cendekawan, ilmuwan,
ulama, atau apalah namanya, yang bersangkutan juga telah menyandang identitas
yang melekat padanya adalah kata muslim. Dengan pilihan itu, yang bersangkutan telah
membawa nama besar dan mulia, yaitu Islam. Pilihan terhadap lembaga PTAI
tersebut tentu sudah didasari oleh
berbagai pertimbangan yang kuat dan mendalam serta diyakini seyakin-yakinnya
bahwa lembaga pendidikan tinggi Islam dapat mengantarkan ke arah tercapainya
cita-cita yang didambakan.
Penyandang identitas
mahasiswa sesungguhnya sudah cukup berat. Ia diidentifiaksi sebagai seseorang
yang belajar di perguruan tinggi. Sebagai seorang mahasiswa, maka
pikiran-pikirannya harus rasional, obyektif, terbuka, memiliki kebebasan
berpikir dan keberanian yang tinggi. Atas dasar anggapan bahwa ia memiliki
ciri-ciri itu, maka mahasiswa disebut mampu melakukan peran-peran sebagai agent
of change, agent of modernization, dan agent of development. Itulah beberapa
ciri yang seharusnya disandang oleh seorang mahasiswa. Walaupun dalam
kenyataannya ciri-ciri itu, tidak juga sepenuhnya berhasil disandang oleh mahasiswa
seluruhnya. Akan tetapi yang perlu disadari bahwa standard itu , tidak saja
dijadikan pegangan oleh orang-orang internal kampus melainkan juga oleh
kalangan masyarakat di luar kampus tatkala mereka melihat sosok mahasiswa.
Citra mulia bagi
mahasiswa itu akan disempurnakan lagi -setidak-tidaknya- oleh kalangan umat
Islam, tatkala dibelakang kata mahasiswa tersebut terdapat kata muslim. Citra
itu bukan hasil rumusan mahasiswa yang bersangkutan, melainkan dibangun oleh
orang di luar. Kita boleh berkelit membuat rumusan sendiri, tetapi mau tidak
mau, atau suka atau tidak, masyarakat akan membangun citra seperti itu.
Sekalipun baru sebatas
ukuran normatif, pada umumnya masyarakat muslim percaya dengan apa saja yang
beridentitas Islam, termasuk pada identitas mahasiswa itu. Mahasiswa Muslim
diidentifikasi sebagai kelompok yang memiliki akhlak lebih baik, selalu
berpegang pada ajaran Islam, tekun beribadah, terjauh dari perilaku tak
terpuji, peduli pada orang atau pihak-pihak yang tertindas, dan atau menderita.
Penilaian positif seperti itu akan berbalik seratus delapan puluh derajat,
menjadi sangat negatif jika mereka mendengar kasus tentang perilaku mahasiswa
muslim yang tidak sesuai dengan harapan itu. Penilaian negatif itu muncul, oleh
karena mungkin, adanya kesadaran bahwa tidak seorangpun mestinya dapat diberi
toleransi mengganggu nilai-nilai Islam yang harus dijunjung tinggi. Mahasiswa
muslim diharapkan merepresentasikan nilai-nilai Islam dalam pentas kehidupan
ini.
Harapan masyarakat pada
mahasiswa muslim seperti disebutkan itu dilatarbelakangi oleh padangan mereka
tentang nilai-nilai yang terbangun dari berbagai sumber selama ini, bahwa
mahasiswa muslim memiliki visi, misi, dan tradisi yang berbeda dari mahasiswa
lainnya. Mahasiswa muslim setiap aktivitasnya dituntun ajaran agamanya
(dorongan transendental), memiliki akidah yang kokoh. Selebihnya, bahwa
mahasiswa muslim bukan sekedar berperan sebagai kolektor sks, transkrip, dan
ijazah, agar segera digunakan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan dengan gaji
yang tinggi. Bukan itu. Mahasiswa muslim diharapkan memiliki idialisme,
komitmen dan integritas yang tinggi terhadap agama dan kemanusiaan.
Lebih jelas lagi bahwa
mahasiswa muslim diharapkan mampu menempa diri agar dapat menyandang identitas sebagai
ulin nuha, ulil abshor, dan ulil al-baab serta bersedia berjuang (jihad) di
jalan Allah untuk memperbaiki kualitas kehidupan. Sebagai penyandang identitas
yang sangat mulia itu, mahasiswa muslim harus berhasil membangun karakter atau
pribadi utuh. Kekayaan berupa ilmu dan profesional dipandang tidak cukup
memadai. Kekayaan itu harus disempurnakan dengan kelebihan lain, yaitu
spiritual dan akhlak. Kekayaan ilmu dan profesional tanpa ditopang oleh akhlak
dan kedalaman spiritual hanya akan melahirkan pribadi tamak, individualis,
materialis yang justru merusak kehidupan bersama.
Kehidupan sosial tak
pernah sepi dari problem. Sebab kehidupan itu tidak pernah statis, selalu
bersifat dinamis. Masyarakat selalu melakukan proses-proses sosial. Mereka
dalam berinteraksi selalu belahirkan aktivitas yang asosiatif dan sekaligus
disasosiatif. Dalam berinteraksi, masyarakat melakukan integrasi, akomodasi,
kooperasi, kompetisi, konflik, asimilasi, dan lain-lain. Problem-problem sosial
lahir dari proses-proses sosial itu.
Terkait dengan hal di
atas pertanyaan yang perlu dijawab adalah, bagaimana mahasiswa muslim
seharusnya menghadapi problem sosial itu. Mahasiswa yang dipandang belum
memiliki kepentingan pribadi sehingga dipandang lebih obyektif, diharapkan
mampu melakukan social control terhadap proses-proses sosial itu. Hanya dalam
melakukan peran-perannya itu mahasiswa muslim dituntut lebih santun, obyektif,
berpihak kepada kebenaran, dan bukan pada kepentingan pribadi sesaat.
Berbekalkan kelebihannya itu, mahasiswa harus menjadi kekuatan penggerak dan
bukan sebatas sebagai alat yang digerakkan. Sebagai generasi yang kaya ide,
kreatif objektif, rasional dan inovatif, tidak sebayaknya mereka sebatas
menjadi alat orang lain. Semua langkah-langkahnya harus bersumber dari
kepentingan dan kekuatan nalar dan nuraninya.
Atas dasar tuntutan
seperti itu, mahasiswa muslim tidak boleh ketinggalam informasi. Ia harus
menempatkan diri seperti sebuah parabola. Setiap saat ia harus memasang seluruh
inderanya untuk menangkap berbagai informasi yang berkembang. Media massa, baik
berupa elektronik maupun cetak sebisa-bisa diikuti. Tidak selayaknya, seorang
mahasiswa, apalagi mahasiswa muslim beridentitas kuper, gatek dan telmi yang
diakibatkan oleh keterbatasan informasi. Jika informasi dapat diikuti secara
baik, dan ditambah dengan kegiatan dialog, diskusi, atau kegiatan ilmiah
lainnya dapat dilakukan, maka mahasiswa akan mampu melakukan peran-peran
sosialnya itu.
Tatkala masih belajar
di lembaga pendidikan tingkat menengah ke bawah, seseorang diwarnai oleh
pikiran orang lain, apakah itu orang tuanya, guru, atau tokoh idolanya. Para
siswa dalam menyikapi problem yang dihadapi akan mengatakan, nunggu dulu
petunjuk dan pengarahan guru saya, atau kata guru saya, kata orang tua saya,
tokoh saya dan seterusnya. Hal itu akan berbeda tatkala ia sudah berada di
perguruan tinggi. Mahasiswa lebih dituntut menjadi penemu atau pencipta.
Prestasi itu dikembangkan lewat aktifitas penelitiannya. Itulah sebabnya di
perguruan tinggi kegiatan penelitian diutamakan. Oleh karena itu mahasiswa
tidak lagi biasa mengatakan : kata orang.
Melainkan mereka akan mengatakan : sesuai dengan pikiran dan hasil penelitian
saya dan seterusnya.
Lewat kegiatan
penelitian maka diperoleh temuan-temuan baru, yang bisa jadi belum pernah
dikenali sebelumnya. Temuan-temuan itu dipublikasikan atau dikomunikasikan
secara luas. Lewat penelitian inilah kemudian seseorang akan berubah, dari
berorientasi kata guru, kata orang tua, kata tokoh, menjadi "menurut
penemuan saya" atau tegasnya kata saya. Jika mahasiswa sudah mulai dapat
melakukan penelitian sendiri, maka artinya sudah berhasil memulai melakukan
peran-peran sebagai pemikir yang sesungguhnya. Oleh karena itu, belajar
meneliti menjadi mutlak sifatnya, tidak terkecuali mahasiswa muslim. Belajar
meneliti, selain lewat kuliah, kursus, atau penataran juga dapat dilakukan
lewat praktek dalam skala kecil-kecilan. Keinginan menjadi ahli peneliti tak
akan kesampaian hanya mengandalkan kuliah tanpa diikuti oleh latihan-latihan
nyata. Kegiatan penelitian inilah yang akan mengantarkan seseorang mahasiswa
menjadi mampu berpikir kritis dan obyektif. Bertitik tolak dari pandangan ini
maka wajar seseorang mengatakan bahwa untuk mengoptimalkan kemampuan mahasiswa
sebagai pemikir maka mulailah dari kegiatan penelitian, sekalipun berskala
kecil saja. Selain itu mengoptimalkan kemampuan berpikir, maka kegiatan dialog,
diskusi, seminar perlu selalu diciptakan dan diikuti secara saksama.
Orang menyebut kampus
tempat belajar seseorang sebagai almamater. Arti kata almamater adalah ibu
asuh, tempat menyusu. Oleh karena itulah siapa pun harus mencintai ibu asuh,
karena ia telah berjasa besar memberi kekuatan atau energi dalam meraih
cita-cita. Kampus disebut sebagai ibu asuh dan bukannya bapak asuh, karena
antara peran bapak dan ibu seringkali beda. Ibu tidak saja memberi kehidupan
berupa material, melainkan yang lebih penting dari itu adalah kelembutan,
perhatian dan cinta kasih. Mahasiswa sebagai anak asuh, diharapkan menjadi
type idial penyandang ideologi kampus, dalam hal ini adalah sebagai calon ulama
yang intelek profesional dan atau intelek profesional yang ulama. Identitas
tersebut harus tercermin dan mewarnai semua penampilan mahasiswanya, baik
misalnya dalam hal berpakaian, berkomunakasi, bertutur kata dan bahkan terhadap
seluruh perilakunya. Sebagai calon ulama tidak selayaknya menampilkan pakaian
yang lebih menyerupai artis, pelawak dan sejenisnya. Ulama yang sekaligus
cendekia seharusnya tergambar secara utuh dalam seluruh hidup dan kehidupannya. #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar