Jumat, 26 Desember 2014

BUDAYA AKADEMIK DI PERGURUAN TINGGI

Hefni Zain

Provokator tidak selalu bermakna negatif, seperti gemar mengadu domba, menyebarkan isu, memanas-manasi, mendramatisir dan sebagainya. Provokator sejatinya juga bermakna positif. Arti sebenarnya  To Provoke  adalah membangkitkan atau mempengaruhi.  Mempengaruhi tentu tidak selalu berkonotasi negatif, tetapi dapat juga sebaliknya.  Seseorang yang mempengaruhi teman, sahabat, atasan atau bawahannya agar melakukan hal yang baik,  yang ma’ruf,  yang mengarah pada kemajuan, memperkaya ilmu, beramal sholeh, adalah dapat diartikan melakukan provokasi. Dan, dengan demikian seorang itu dapat disebut sebagai provokator. Sayangnya, oleh karena pada akhir-akhir ini istilah provokator selalu dikaitkan dengan hal-hal negatif sebagaimana tersebut di atas, orang menolak diberi label sang provokator. 
Dosen yang pada setiap saat menyampaikan pikiran, ilmu atau hasil penelitiannya lepada para mahasiswanya, pada hakekatnya adalah merupakan bagian dari proses mempengaruhi pikiran, emosi dan perasaan para mahasiswanya itu. Melalui bahan kuliah yang disampaikan, sang dosen berharap agar mahasiswa mengerti, memahami dan menghayati, yang pada akhirnya agar mempercayai dan menjadikan sebagai bahan pengetahuan dan ketrampilan yang ingin dikuasai. Maka artinya, dosen disadari atau tidak sesungguhnya telah mempengaruhi mahasiswanya, dalam bahasa lain, telah melakukan peran-peran sebagai provokator. Jika dosen hanya sekedar menyampaikan bahan kuliah, apalagi sebatas isi buku yang dikuasainya, maka kegiatan itu tak memiliki arti pendidikan atau pengajaran yang sesungguhnya, yaitu menumbuhkan berbagai aspek kehidupan peserta didik, baik aspek kognitif, afektif dan psikomotoriknya. Dosen dituntut mampu menyalakan api kecintaan terhadap subyek (mata kuliah) yang diajarkan. Jika tidak demikian, maka  gagalah tugas dosen yang sesungguhnya. 
Selain itu, dosen harus menjadi reference person dan memiliki kekuatan mempengaruhi. Kekuatan itu dapat berupa ucapan atau kata-kata, performen, tingkah laku sehari-hari dan mungkin juga berupa doa. Kata-kata atau ucapan dapat memberi kesan dan juga mampu menjadi kekuatan penggerak para pendengarnya. Kata memang memiliki kekuatan  dan  bobot berbeda-beda.  Karena itu Al Qur’an menggunakan istilah yang bermacam-macam terhadap kata-kata itu. Sekali waktu al Qur’an menggunakan istilah qoulan ma’rufa, dan pada waktu yang lain menggunakan Qoulan tsakila, qoulan karima, qoulan layyina, dan seterusnya. Kata-kata seorang dosen dapat berbeda bobotnya dari dosen lainnya. Bobot itu tentu saja dipengaruhi oleh banyak hal. Seorang dosen senior, dikenal berilmu luas dan mendalam, memiliki kepribadian dan integritas ilmu yang tinggi, mampu menjaga kejujuran, obyektifitas dan keadilan, biasanya dijadikan contoh (reference person) dan sekaligus kata-katanya didengarkan dan diikuti dan bahkan dijadikan idola mahasiswa. Sebaliknya, dosen baru yang belum banyak dikenal buah pikiran dan karya-karya kurang banyak memperoleh perhatian. Tetapi yang perlu ditekankan bahwa banyaknya umur tidak selalu berkorelasi positif terhadap bobot keilmuan yang disandang seseorang. 
Kekuatan sang dosen juga diperkokoh oleh perilaku sehari-hari. Dosen yang memiliki integritas keilmuan, kecintaan terhadap bidang ilmu yang digeluti dan juga ketauladanan dalam kehidupan sehari-hari akan melahirkan kewibawaan tersendiri. Ia akan memperoleh simpati, empati dan penghormatan dari mahasiswa. Dosen seperti ini, akan mampu menghidupkan jiwa, kecintaan dan atau api kekuatan penggerak ilmu yang digeluti. Bahkan, dosen penyandang kekutan ini, tidak saja kata-katanya yang memiliki kekuatan, tetapi juga sosok tubuhnya dan bahkan gambar atau fotonya.
Tidak sedkit dosen yang sekalipun ia sudah purnabakti, tetapi masih tetap dihormati, disediakan ruang kerja dan dirawat rapi. Sekalipun kantor itu tidak pernah didatangi olehnya, tetapi dianggap bisa menumbuhkan inspirasi dan kekuatan penggerak semangat warga kampus dalam pengembangan ilmu. Tempat duduk mereka,  baju kebesaran atau alat-alat tulis yang pernah digunakan mereka, termasuk  karya monumentalnya tetap dirawat rapi ditempatkan pada bagian khusus sebagai penghormatan atas jasa-jasanya dan sekaligus untuk menumbuhkan inspirasi bagi penerusnya. 
Dalam dunia Islam soal merawat peninggalan sejarah dapat ditemukan dengan mudah dan bahkan dijadikan bagian dari ritualnya. Rangkaian ibadah haji, mulai dari wukuf di Arofah, sa’i, thawwaf adalah sarat dengan nilai-nilai sejarah. Bahkan, bangunan ka’bah sendiri, maqom Ibrahim dan bangunan beberapa masjid tidak lain adalah menjadi benda-benda yang sarat dengan sejarah dan besar maknanya untuk menghidupkan alam intektual, emosi dan sekaligus juga spiritual umat manusia. 
Bertitik tolak dari itu, terkait dengan peran dosen atau siapa saja yang mengembangkan profesi serupa, ia harus memiliki kekuatan penggerak. Mengajar dan mendidik dalam arti sempit adalah memperkaya ilmu bagi peserta didiknya. Akan tetapi dalam arti luas dan justru yang lebih hakiki adalah upaya-upaya menggerakkan, mengidupkan dan mengobarkan api keingin-tahuan untuk mencapai kekayaan ilmu pengetahuan dan hikmah. Penyandang ilmu dan hikmah selalu mencintai sesama, makhluk dan Tuhannya. Oleh karenanya, dosen sebagai pemimpin yang harus menggerakkan dan mengarahkan, maka harus memiliki kekuatan yang cukup dalam berbagai hal meliputi ilmu, wawasan luas, profesoinal dan tidak kurang pentingnya adalah keindahan perilaku sehari-hari.
Posisi dosen menempati posisi  yang strategis di perguruan tinggi. Dosen adalah salah satu sumber pengetahuan yang keberadaannya tidak bisa digantikan oleh peran lain. Para mahasiswa yang belajar ke suatu perguruan tinggi pada hakekatnya adalah belajar kepada para dosen atau guru besar yang ada di perguruan tinggi itu.  Sesungguhnya kurang tepat manakala seorang calon mahasiswa memilih perguruan tinggi hanya didasarkan atas ukuran negeri atau swasta,  megah  atau indahnya gedung yang dimiliki, kecepatan berhasil lulus dan semacamnya. Belajar ke perguruan tinggi seharusnya dimaknai untuk memperkaya ilmu pengetahuan, membangun  karakter  atau akhlak, serta budaya profesional. Oleh karena itu, jika orientasi belajar di perguruan tinggi seperti itu maka seharusnya dalam memilih lembaga pendidikan tinggi selalu menjatuhkan pilihannya pada lembaga pendidikan yang di sana kaya ilmu. Artinya lembaga itu memiliki dosen yang benar-benar dikenal karena kedalaman ilmunya. 
Di Indonesia, barangkali karena masyarakatnya kebanyakan memberikan toleransi terhadap sesuatu yang serba darurat, apa adanya, atau yang penting asal jalan, maka tidak ayal, termasuk dalam pengembangan perguruan tinggi, menempuh jalan darurat itu. Tidak sedikit lembaga pendidikan tinggi di mana para dosennya hidup apa adanya. Gaji kecil, fasilitas minim, dan tidak adanya perhatian terhadap kesejahteraan merupakan suatu yang biasa. Posisi dosen dipandang tidak ubahnya sebagai pekerja dan bahkan buruh yang harus menunaikan tugas-tugasnya agar mendapat gaji pada setiap akhir bulan. Posisi dosen tereduksi sedemikian  rupa sehingga tidak berdaya. Oleh karena terlalu kecilnya imbalan yang diterima, maka kehidupan pengajar di perguruan tinggi di tengah-tengah masyarakat menjadi kurang berwibawa sebagaimana layaknya seorang ilmuwan. 
Semestinya jika posisi dosen dianggap strategis, maka para pengajar perguruan tinggi ini harus dimuliakan. Mereka seharusnya dicukupi kebutuhan hidupnya seperti kebutuhan perumahan, gaji, fasilitas kendaraan, tunjangan kesehatan, pendidikan anak-anak sampai pada pemenuhan rekreasi dan bahkan juga kebutuhan masa depannya. Dosen seharusnya menempati rumah yang cukup untuk diri dan keluarganya, terpenuhi kebutuhan untuk mengakses informasi baik melalui koran, majalah, buku-buku terbaru maupun internet. Akan tetapi, yang terjadi saat ini kebanyakan kondisinya masih sebaliknya, yaitu gaji  kecil, fasilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup dan apalagi untuk mengembangkan diri selalu amat terbatas,  baik jumlah maupun kualitasnya.  Kehidupan dosen tak ubahnya para pegawai pabrik dan buruh kasar. Sehari-hari dihadapkan pada tuntutan menghadapi hidup yang semakin berat. 
Dari kondisi yang seperti itu,  rasanya tidak mungkin diharapkan lahir pikiran besar dan juga menghasilkan kualitas kerja akademik yang memuaskan dari seorang dosen. Kalupun toh mereka berhasil menulis buku, mengadakan penelitian dan sejenisnya, pada umumnya bukan didorong oleh semangat pengembangan ilmu sebagaimana tugas yang seharusnya diemban, melainkan kegiatan itu sebatas didorong untuk mendapatkan imbalan tambahan agar dapat mencukupi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Melihat kenyataan seperti itu, maka memimpin perguruan tinggi selalu menanggung beban psikologis yang amat berat. Satu sisi berkeinginan  agar berprestasi mengembangkan perguruan tinggi, sedangkan pada sisi lain selalu dihadapkan pada persoalan keterbatasan finansial yang tersedia. Beban berat itu lebih dirasakan lagi oleh pimpinan perguruan tinggi negeri, karena semua  tarif  harus  mengikuti  tuntunan dari pemerintah pusat,  dan sama sekali pelaksana anggaran tidak dibolehkan mengambil langkah kreatif, misalnya menaikkan gaji atau tunjangan dosen. 
Untuk mengembangkan perguruan tinggi yang besar dan maju, maka cara berpikir darurat dan serba apa adanya itu harus direkonstruksi secara total. Dosen harus dilihat sebagai sosok manusia yang harus dimuliakan. Kalau perlu siapa saja di tanah air ini tatkala berencana membangun perguruan tinggi, maka harus menyiapkan terlebih dahulu dosen dengan berbagai fasilitasnya dan bukan ruang kelas, laboratorium, perpustakaan, perkantoran dan lainnya. Dosen dan berbagai fasilitasnya harus dipersiapkan terlebih dahulu. Ketika orang mau membangun perguruan tinggi, maka yang lebih tepat pertama kali dibangun adalah perumahan dosen, rancangan gaji dan kesejahteraanya serta kebutuhan lain terkait dengan pengembangan dosen itu. Akan tetapi justru yang lazim dan sesungguhnya aneh, bahwa pemikiran terhadap pemenuhan kebutuhan dosen selalu terlewatkan.
Perguruan tinggi biasanya sibuk memenuhi fasilitas gedung, laboratorium, perpustakaan dan fasilitas lainnya, justru kebutuhan dosen terlupakan. Seolah-olah, tanpa dosenpun perguruan tinggi masih dapat berjalan. Seolah-olah pula, bukan perguruan tinggi memerlukan dosen, dan yang terjadi adalah sebaliknya, dosen memerlukan tempat kerja, yaitu perguruan tinggi. Karena itulah maka posisi mereka dipandang sebagai pihak-pihak yang membutuhkan dan bukan sebaliknya, adalah yang dibutuhkan. Akibat cara pandang terhadap dosen seperti itu,  maka tidak sedikit perguruan tinggi kurang mampu melakukan peran-peran yang semestinya. Jika dari perguruan tingi diharapkan lahir pikiran-pikiran cerdas, menghasilan penelitian yang berbobot, buku-buku baru yang setiap saat terbit, semua itu sulit diwujudkan. Jika di suatu perguruan tinggi lahir buku-buku atau hasil penelitian yang agak banyak jumlahnya, artinya di luar perkiraan yang biasa terjadi, dianggap aneh dan mengejutkan. Mungkin anggapan itu didasarkan oleh keterbatasan yang dialami sebagian perguruan tinggi selama ini, padahal tugas perguruan tinggi yang semestinya memang melahirkan karya-karya ilmiah dan menciptakan budaya akademik yang baik.
Budaya akademik di perguruan tinggi yang baik ketika lingkungan sebuah perguruan tinggi itu digambarkan oleh intensnya kegiatan-kegiatan yang bernuansa akademik, penelitian,  pengajaran, diskusi, perbincangan-perbincangan selalu pada persoalan-persoalan ilmiah, baik dikalangan dosen maupun mahasiswa. Proses akademik tidak saja digambarkan oleh pertemuan dosen dan mahasiswa dikelas, tetapi lebih dari itu yaitu penelitian, diskusi-diskusi, penulisan buku dan kegiatan akademik lainnya. Hal ini akan berjalan lancar dan maksimal ketika sang aktor akademik (dosen) tidak lagi banyak berfikir kepada masalah-masalah keperluhan hidup yang paling mendasar yaitu kesejahteraan. Artinya kalau masalah kesejahteraan sudah beres, maka aktor akademik akan memiliki motivasi internal dirinya tanpa harus dipaksa-paksa untuk melakukan penelitian atau penulisan karya ilmiah lainnya, tetapi tanpa kesejahteraan yang baik susah rasanya untuk  berfikir yang mengarahkan kepada memperkokoh budaya akademik.
Lebih-lebih tatkala didukung oleh academic facilities yang memadai sehingga dosen dan mahasiswa dapat menjadikan  proses belajar mengajar secara maksimal. ICT mislanya, hari ini tidak saja digunakan untuk alat bantu operasional yaitu pengganti mesin ketik dan kalkulator serta permainan game, tetapi ICT dapat dijadikan senjata strategik meningkatkan reputasi, kinerja, daya saing, menciptakan keunggulan kompetitif dan dalam kontek perguruan tinggi dapat dijadikan enabler membangun budaya akademik yang lebih baik.
Disadari, di sekitar kita sudah terjadi revolusi ke arah digitalaliusasi, kita bekerja dengan ICT, kita berbicara dengan ICT, kita belanja ada ICT, kita berdiskusi dapat melalui ICT, kita mencari informasi atau belajar melalui ICT dan lain sebagainya.  Keadaan ini sudah terjadi pada perguruan tinggi maju, sehingga yang namanya laptop dengan dosen dan mahasiswa sudah embedded. Selain untuk keperluan akademik, urusan administrasi dapat dilakukan secara baik, karena mahasiswa tidak harus datang ke kantor yang melalui birokrasi yang cukup panjang dan melelahkan. Mahasiswa cukup di depan laptopnya mereka sudah dapat melakukan urusan administrasi akademiknya. Memang di lingkungan kita sudah banyak ICT, tetapi masih sebatas sebagai alat bantu operasional, belum dijadikan alat strategis perguruan tinggi ke dalam kancah global. Internet pun sudah ada, tetapi setiap unit mempunyai ISP sendiri-sendiri, ini justru tidak efisien. Internet masih sebatas digunakan untuk akses informasi, belum dijadikan alat transaksi yang bersifat two-way dengan stakeholder. 

Untuk menjadikan status kampus digital memang tidaklah mudah, tidak sekedar memasang kabel dan belanja perangkat keras lainnya, selain perlu biaya yang cukup tinggi juga menyangkut perubahan sistem internal, seperti perubahan sistem,  prosedur, sumber daya manusia, aliran informasi dan kebijakan serta perubahan pola fikir jamaahnya. Sementara perubahan seringkali menghadapi resistensi-resistensi yang tinggi resikonya. Oleh sebab itu  perlu ada perencanaan secara strategis ketika ada keinginan memperkokoh budaya akademik yang di-leverage oleh ICT ini dengan melibatkan stakeholder kunci institusi dan adanya dukungan political will yang kuat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar