Hefni Zain
Provokator tidak selalu
bermakna negatif, seperti gemar mengadu domba, menyebarkan isu, memanas-manasi,
mendramatisir dan sebagainya. Provokator sejatinya juga bermakna positif. Arti
sebenarnya To Provoke adalah membangkitkan atau mempengaruhi. Mempengaruhi tentu tidak selalu berkonotasi
negatif, tetapi dapat juga sebaliknya. Seseorang yang mempengaruhi teman, sahabat,
atasan atau bawahannya agar melakukan hal yang baik, yang ma’ruf, yang mengarah pada kemajuan, memperkaya ilmu,
beramal sholeh, adalah dapat diartikan melakukan provokasi. Dan, dengan
demikian seorang itu dapat disebut sebagai provokator. Sayangnya, oleh karena
pada akhir-akhir ini istilah provokator selalu dikaitkan dengan hal-hal negatif
sebagaimana tersebut di atas, orang menolak diberi label sang provokator.
Dosen yang pada setiap
saat menyampaikan pikiran, ilmu atau hasil penelitiannya lepada para
mahasiswanya, pada hakekatnya adalah merupakan bagian dari proses mempengaruhi
pikiran, emosi dan perasaan para mahasiswanya itu. Melalui bahan kuliah yang
disampaikan, sang dosen berharap agar mahasiswa mengerti, memahami dan
menghayati, yang pada akhirnya agar mempercayai dan menjadikan sebagai bahan
pengetahuan dan ketrampilan yang ingin dikuasai. Maka artinya, dosen disadari
atau tidak sesungguhnya telah mempengaruhi mahasiswanya, dalam bahasa lain,
telah melakukan peran-peran sebagai provokator. Jika dosen hanya sekedar
menyampaikan bahan kuliah, apalagi sebatas isi buku yang dikuasainya, maka
kegiatan itu tak memiliki arti pendidikan atau pengajaran yang sesungguhnya,
yaitu menumbuhkan berbagai aspek kehidupan peserta didik, baik aspek kognitif,
afektif dan psikomotoriknya. Dosen dituntut mampu menyalakan api kecintaan
terhadap subyek (mata kuliah) yang diajarkan. Jika tidak demikian, maka gagalah tugas dosen yang sesungguhnya.
Selain itu, dosen harus
menjadi reference person dan memiliki kekuatan mempengaruhi. Kekuatan itu dapat
berupa ucapan atau kata-kata, performen, tingkah laku sehari-hari dan mungkin
juga berupa doa. Kata-kata atau ucapan dapat memberi kesan dan juga mampu
menjadi kekuatan penggerak para pendengarnya. Kata memang memiliki kekuatan dan bobot berbeda-beda. Karena itu Al Qur’an menggunakan istilah yang
bermacam-macam terhadap kata-kata itu. Sekali waktu al Qur’an menggunakan
istilah qoulan ma’rufa, dan pada waktu yang lain menggunakan Qoulan tsakila,
qoulan karima, qoulan layyina, dan seterusnya. Kata-kata seorang dosen dapat
berbeda bobotnya dari dosen lainnya. Bobot itu tentu saja dipengaruhi oleh
banyak hal. Seorang dosen senior, dikenal berilmu luas dan mendalam, memiliki
kepribadian dan integritas ilmu yang tinggi, mampu menjaga kejujuran,
obyektifitas dan keadilan, biasanya dijadikan contoh (reference person) dan
sekaligus kata-katanya didengarkan dan diikuti dan bahkan dijadikan idola
mahasiswa. Sebaliknya, dosen baru yang belum banyak dikenal buah pikiran dan
karya-karya kurang banyak memperoleh perhatian. Tetapi yang perlu ditekankan
bahwa banyaknya umur tidak selalu berkorelasi positif terhadap bobot keilmuan
yang disandang seseorang.
Kekuatan sang dosen
juga diperkokoh oleh perilaku sehari-hari. Dosen yang memiliki integritas
keilmuan, kecintaan terhadap bidang ilmu yang digeluti dan juga ketauladanan dalam
kehidupan sehari-hari akan melahirkan kewibawaan tersendiri. Ia akan memperoleh
simpati, empati dan penghormatan dari mahasiswa. Dosen seperti ini, akan mampu
menghidupkan jiwa, kecintaan dan atau api kekuatan penggerak ilmu yang
digeluti. Bahkan, dosen penyandang kekutan ini, tidak saja kata-katanya yang
memiliki kekuatan, tetapi juga sosok tubuhnya dan bahkan gambar atau fotonya.
Tidak sedkit dosen yang
sekalipun ia sudah purnabakti, tetapi masih tetap dihormati, disediakan ruang
kerja dan dirawat rapi. Sekalipun kantor itu tidak pernah didatangi olehnya,
tetapi dianggap bisa menumbuhkan inspirasi dan kekuatan penggerak semangat
warga kampus dalam pengembangan ilmu. Tempat duduk mereka, baju kebesaran atau alat-alat tulis yang
pernah digunakan mereka, termasuk karya
monumentalnya tetap dirawat rapi ditempatkan pada bagian khusus sebagai
penghormatan atas jasa-jasanya dan sekaligus untuk menumbuhkan inspirasi bagi
penerusnya.
Dalam dunia Islam soal
merawat peninggalan sejarah dapat ditemukan dengan mudah dan bahkan dijadikan
bagian dari ritualnya. Rangkaian ibadah haji, mulai dari wukuf di Arofah, sa’i,
thawwaf adalah sarat dengan nilai-nilai sejarah. Bahkan, bangunan ka’bah
sendiri, maqom Ibrahim dan bangunan beberapa masjid tidak lain adalah menjadi
benda-benda yang sarat dengan sejarah dan besar maknanya untuk menghidupkan
alam intektual, emosi dan sekaligus juga spiritual umat manusia.
Bertitik tolak dari itu,
terkait dengan peran dosen atau siapa saja yang mengembangkan profesi serupa,
ia harus memiliki kekuatan penggerak. Mengajar dan mendidik dalam arti sempit
adalah memperkaya ilmu bagi peserta didiknya. Akan tetapi dalam arti luas dan
justru yang lebih hakiki adalah upaya-upaya menggerakkan, mengidupkan dan
mengobarkan api keingin-tahuan untuk mencapai kekayaan ilmu pengetahuan dan
hikmah. Penyandang ilmu dan hikmah selalu mencintai sesama, makhluk dan
Tuhannya. Oleh karenanya, dosen sebagai pemimpin yang harus menggerakkan dan
mengarahkan, maka harus memiliki kekuatan yang cukup dalam berbagai hal
meliputi ilmu, wawasan luas, profesoinal dan tidak kurang pentingnya adalah
keindahan perilaku sehari-hari.
Posisi dosen menempati posisi
yang strategis di perguruan tinggi.
Dosen adalah salah satu sumber pengetahuan yang keberadaannya tidak bisa
digantikan oleh peran lain. Para mahasiswa yang belajar ke suatu perguruan
tinggi pada hakekatnya adalah belajar kepada para dosen atau guru besar yang
ada di perguruan tinggi itu. Sesungguhnya
kurang tepat manakala seorang calon mahasiswa memilih perguruan tinggi hanya
didasarkan atas ukuran negeri atau swasta, megah atau indahnya gedung yang dimiliki, kecepatan
berhasil lulus dan semacamnya. Belajar ke perguruan tinggi seharusnya dimaknai
untuk memperkaya ilmu pengetahuan, membangun karakter atau akhlak, serta budaya profesional. Oleh
karena itu, jika orientasi belajar di perguruan tinggi seperti itu maka
seharusnya dalam memilih lembaga pendidikan tinggi selalu menjatuhkan
pilihannya pada lembaga pendidikan yang di sana kaya ilmu. Artinya lembaga itu
memiliki dosen yang benar-benar dikenal karena kedalaman ilmunya.
Di Indonesia, barangkali
karena masyarakatnya kebanyakan memberikan toleransi terhadap sesuatu yang
serba darurat, apa adanya, atau yang penting asal jalan, maka tidak ayal,
termasuk dalam pengembangan perguruan tinggi, menempuh jalan darurat itu. Tidak
sedikit lembaga pendidikan tinggi di mana para dosennya hidup apa adanya. Gaji
kecil, fasilitas minim, dan tidak adanya perhatian terhadap kesejahteraan
merupakan suatu yang biasa. Posisi dosen dipandang tidak ubahnya sebagai
pekerja dan bahkan buruh yang harus menunaikan tugas-tugasnya agar mendapat
gaji pada setiap akhir bulan. Posisi dosen tereduksi sedemikian rupa sehingga tidak berdaya. Oleh karena
terlalu kecilnya imbalan yang diterima, maka kehidupan pengajar di perguruan
tinggi di tengah-tengah masyarakat menjadi kurang berwibawa sebagaimana
layaknya seorang ilmuwan.
Semestinya jika posisi
dosen dianggap strategis, maka para pengajar perguruan tinggi ini harus
dimuliakan. Mereka seharusnya dicukupi kebutuhan hidupnya seperti kebutuhan
perumahan, gaji, fasilitas kendaraan, tunjangan kesehatan, pendidikan anak-anak
sampai pada pemenuhan rekreasi dan bahkan juga kebutuhan masa depannya. Dosen
seharusnya menempati rumah yang cukup untuk diri dan keluarganya, terpenuhi
kebutuhan untuk mengakses informasi baik melalui koran, majalah, buku-buku
terbaru maupun internet. Akan tetapi, yang terjadi saat ini kebanyakan
kondisinya masih sebaliknya, yaitu gaji kecil,
fasilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup dan apalagi untuk mengembangkan diri
selalu amat terbatas, baik jumlah maupun
kualitasnya. Kehidupan dosen tak ubahnya
para pegawai pabrik dan buruh kasar. Sehari-hari dihadapkan pada tuntutan
menghadapi hidup yang semakin berat.
Dari kondisi yang seperti
itu, rasanya tidak mungkin diharapkan
lahir pikiran besar dan juga menghasilkan kualitas kerja akademik yang
memuaskan dari seorang dosen. Kalupun toh mereka berhasil menulis buku,
mengadakan penelitian dan sejenisnya, pada umumnya bukan didorong oleh semangat
pengembangan ilmu sebagaimana tugas yang seharusnya diemban, melainkan kegiatan
itu sebatas didorong untuk mendapatkan imbalan tambahan agar dapat mencukupi
kebutuhan keluarganya sehari-hari. Melihat kenyataan seperti itu, maka memimpin
perguruan tinggi selalu menanggung beban psikologis yang amat berat. Satu sisi
berkeinginan agar berprestasi
mengembangkan perguruan tinggi, sedangkan pada sisi lain selalu dihadapkan pada
persoalan keterbatasan finansial yang tersedia. Beban berat itu lebih dirasakan
lagi oleh pimpinan perguruan tinggi negeri, karena semua tarif harus
mengikuti tuntunan dari pemerintah pusat, dan sama sekali pelaksana anggaran tidak
dibolehkan mengambil langkah kreatif, misalnya menaikkan gaji atau tunjangan
dosen.
Untuk mengembangkan
perguruan tinggi yang besar dan maju, maka cara berpikir darurat dan serba apa
adanya itu harus direkonstruksi secara total. Dosen harus dilihat sebagai sosok
manusia yang harus dimuliakan. Kalau perlu siapa saja di tanah air ini tatkala
berencana membangun perguruan tinggi, maka harus menyiapkan terlebih dahulu
dosen dengan berbagai fasilitasnya dan bukan ruang kelas, laboratorium,
perpustakaan, perkantoran dan lainnya. Dosen dan berbagai fasilitasnya harus
dipersiapkan terlebih dahulu. Ketika orang mau membangun perguruan tinggi, maka
yang lebih tepat pertama kali dibangun adalah perumahan dosen, rancangan gaji
dan kesejahteraanya serta kebutuhan lain terkait dengan pengembangan dosen itu.
Akan tetapi justru yang lazim dan sesungguhnya aneh, bahwa pemikiran terhadap
pemenuhan kebutuhan dosen selalu terlewatkan.
Perguruan tinggi
biasanya sibuk memenuhi fasilitas gedung, laboratorium, perpustakaan dan
fasilitas lainnya, justru kebutuhan dosen terlupakan. Seolah-olah, tanpa
dosenpun perguruan tinggi masih dapat berjalan. Seolah-olah pula, bukan
perguruan tinggi memerlukan dosen, dan yang terjadi adalah sebaliknya, dosen memerlukan
tempat kerja, yaitu perguruan tinggi. Karena itulah maka posisi mereka
dipandang sebagai pihak-pihak yang membutuhkan dan bukan sebaliknya, adalah
yang dibutuhkan. Akibat cara pandang terhadap dosen seperti itu, maka tidak sedikit perguruan tinggi kurang
mampu melakukan peran-peran yang semestinya. Jika dari perguruan tingi
diharapkan lahir pikiran-pikiran cerdas, menghasilan penelitian yang berbobot,
buku-buku baru yang setiap saat terbit, semua itu sulit diwujudkan. Jika di
suatu perguruan tinggi lahir buku-buku atau hasil penelitian yang agak banyak
jumlahnya, artinya di luar perkiraan yang biasa terjadi, dianggap aneh dan
mengejutkan. Mungkin anggapan itu didasarkan oleh keterbatasan yang dialami
sebagian perguruan tinggi selama ini, padahal tugas perguruan tinggi yang semestinya
memang melahirkan karya-karya ilmiah dan menciptakan budaya akademik yang baik.
Budaya akademik di
perguruan tinggi yang baik ketika lingkungan sebuah perguruan tinggi itu
digambarkan oleh intensnya kegiatan-kegiatan yang bernuansa akademik,
penelitian, pengajaran, diskusi,
perbincangan-perbincangan selalu pada persoalan-persoalan ilmiah, baik
dikalangan dosen maupun mahasiswa. Proses akademik tidak saja digambarkan oleh
pertemuan dosen dan mahasiswa dikelas, tetapi lebih dari itu yaitu penelitian,
diskusi-diskusi, penulisan buku dan kegiatan akademik lainnya. Hal ini akan
berjalan lancar dan maksimal ketika sang aktor akademik (dosen) tidak lagi
banyak berfikir kepada masalah-masalah keperluhan hidup yang paling mendasar
yaitu kesejahteraan. Artinya kalau masalah kesejahteraan sudah beres, maka
aktor akademik akan memiliki motivasi internal dirinya tanpa harus
dipaksa-paksa untuk melakukan penelitian atau penulisan karya ilmiah lainnya, tetapi
tanpa kesejahteraan yang baik susah rasanya untuk berfikir yang mengarahkan kepada memperkokoh
budaya akademik.
Lebih-lebih tatkala
didukung oleh academic facilities yang memadai sehingga dosen dan mahasiswa dapat
menjadikan proses belajar mengajar
secara maksimal. ICT mislanya, hari ini tidak saja digunakan untuk alat bantu
operasional yaitu pengganti mesin ketik dan kalkulator serta permainan game,
tetapi ICT dapat dijadikan senjata strategik meningkatkan reputasi, kinerja,
daya saing, menciptakan keunggulan kompetitif dan dalam kontek perguruan tinggi
dapat dijadikan enabler membangun budaya akademik yang lebih baik.
Disadari, di sekitar
kita sudah terjadi revolusi ke arah digitalaliusasi, kita bekerja dengan ICT,
kita berbicara dengan ICT, kita belanja ada ICT, kita berdiskusi dapat melalui
ICT, kita mencari informasi atau belajar melalui ICT dan lain sebagainya. Keadaan ini sudah terjadi pada perguruan
tinggi maju, sehingga yang namanya laptop dengan dosen dan mahasiswa sudah embedded.
Selain untuk keperluan akademik, urusan administrasi dapat dilakukan secara
baik, karena mahasiswa tidak harus datang ke kantor yang melalui birokrasi yang
cukup panjang dan melelahkan. Mahasiswa cukup di depan laptopnya mereka sudah
dapat melakukan urusan administrasi akademiknya. Memang di lingkungan kita
sudah banyak ICT, tetapi masih sebatas sebagai alat bantu operasional, belum
dijadikan alat strategis perguruan tinggi ke dalam kancah global. Internet pun
sudah ada, tetapi setiap unit mempunyai ISP sendiri-sendiri, ini justru tidak
efisien. Internet masih sebatas digunakan untuk akses informasi, belum
dijadikan alat transaksi yang bersifat two-way dengan stakeholder.
Untuk menjadikan status
kampus digital memang tidaklah mudah, tidak sekedar memasang kabel dan belanja
perangkat keras lainnya, selain perlu biaya yang cukup tinggi juga menyangkut
perubahan sistem internal, seperti perubahan sistem, prosedur, sumber daya manusia, aliran
informasi dan kebijakan serta perubahan pola fikir jamaahnya. Sementara
perubahan seringkali menghadapi resistensi-resistensi yang tinggi resikonya.
Oleh sebab itu perlu ada perencanaan
secara strategis ketika ada keinginan memperkokoh budaya akademik yang
di-leverage oleh ICT ini dengan melibatkan stakeholder kunci institusi dan
adanya dukungan political will yang kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar