Senin, 22 Desember 2014

VERBA VALENT SCRIPTA MANENT

Hefni Zain

Tradisi menulis dikalangan umat Islam sejatinya telah dirintis dan dilakukan sejak abad pertengahan oleh para ulama, mubaligh dan mujtahid besar, misalnya As-Syuyuti dalam ilmu tafsir, Al-Gazali  dalam ilmu filsafat dan tasawuf, Ibnu Khaldun dalam sosiologi. Ini semua merupakan bukti otentik bahwa dikalangan ulama terdahulu telah berkembang tradisi menulis yang sangat kuat.
Sebagai aktivis ilmu, seyogyanya kita terus berupaya menghidupkan kembali tradisi menulis yang telah dirintis oleh para ulama terdahulu, lalu dikembangkan sesuai dengan konteks perkembangan zaman. Tetapi ironis, betapa sering kita takjub dengan tokoh-tokoh Islam masa lalu, tapi sedikit sekali yang meniru kiprah mereka yang produktif dalam menulis, padahal kita tahu Verba valent scripta manent (ucapan gampang hilang tetapi tulisan akan  lestari).
Maqolah arab menyebutkan :Al-’ilmu shaydun wa al-kitabu qayduhu ilmu itu bagai hewan liar dan tulisanlah tali kekangnya. Ungkapan ini menyiratkan betapa pentingnya karya tulis dalam memberi kontribusi kepada generasi mendatang sebagai rujukan bagi dirinya sehingga dapat memotivasi yang bersangkutan untuk membaca dirinya sendiri, minimal diposisikan sebagai sarana yang dapat memberikan inspirasi kepada pembaca untuk menemukan gagasannya sendiri yang lebih cemerlang.  Dengan tulisan, pesan-pesan yang disampaikan tidak saja dapat diakses oleh orang-orang yang berdekatan dengannya dalam ruang dan waktu, melainkan dapat diakses juga oleh orang yang paling jauh sekalipun, pesan-pesan lewat tulisan dapat melintasi ruang dan waktu.
Bagi aktivis ilmu, kegiatan menulis menjadi konsentrasi utama dalam mengembangkan kariernya, karena itu mereka harus memiliki komitmen bahkan karakter sebagai penulis. Mereka tidak boleh ketinggalan dalam mencermati perkembangan umat dan teori-teori baru yang berkaitan dengan profesinya. Dengan profesi itu yang paling ditunggu oleh umat adalah karya tulis ilmiah mereka.  
Seorang penulis hakikinya betindak sebagai penjual ide dan konsep kepada pasar, mampukah ide-ide itu menghasilkan bangunan wacana ilmiah yang akan dibedah diberbagai wilayah komunitas ? Inilah tantangan yang mesti direspon. Berdasarkan tuntutan-tuntutan tersebut, parameter untuk menilai kualitas seorang aktivis ilmu, setidaknya melalui dua kreteria secara berkelanjutan,  pertama dari produktivitas karya-karya ilmiahnya, dan kedua apakah karya-karya itu mampu memberi pencerahan pada masyarakat luas, yang memuat ide energik, konsep cemerlang atau teori baru. Maka kehadiran karya tulis dalam segala jenisnya bagi aktifis merupakan suatu keniscayaan atau semacam wajib ain yang tidak bisa ditawar lagi.
          Kelemahan kita selama ini adalah puas berada pada level budaya mendengarkan dan bebicara (listening speaking society) belum pada level membaca dan menulis (reading-writing society), padahal sejak awal kita telah memahami tausiah  “kerjakan apa yang anda tulis, dan tulislah apa yang anda kerjakan”.
Sejarah ulama salaf mengajarkan kepada kita bagaimana mereka khusu’ berkhidmah di bidang keilmuan dan produktif menghasilkan banyak sekali karya tulis. Yang ironis adalah banyak aktivis yang tidak bersedia menulis tetapi justru suka menjadi juru vonis dan berkomentar miring terhadap tulisan orang lain, sungguh sebuah taktik cantik untuk bersembunyi dibalik kelemahan diri.
Kesibukan dan padatnya aktifitas sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak menulis. KH. Bisri Mustofa (Rembang) adalah seorang mubaligh kondang yang berdakwah tidak saja dipelbagai pelosok tanah air, Tetapi Juga merambah manca negara, meski demikian, ditengah aktifitasnya yang super padat itu beliau tak pernah menyurutkan semangatnya untuk terus menulis. Dan selama hidupnya lebih dari 200 buku dan kitab beliau hasilkan, termasuk tafsif Al-Ibriz yang sangat fenomenal. Contoh lain, KH Mujab Mahalli (Bantul), ditengah kesibukannya sebagai penggiat dzikir yang biasa menghabiskan sepertiga malam-malamnya untuk memimpin jamaah dzikir, beliau masih sempat menghasilkan 142 kitab dan buku hingga ajal menjemputnya.
Bila kendalanya berupa keterbatasan sarana dan piranti metodologis, kedengarannya malah tidak logis, sebab di zaman serba digital ini sulit ditemukan orang yang masih gagap teknologi, saat ini laptop, handphone, internet dan sistem komputerisasi telah merasuk ke semua sudut geografis termasuk yang paling pelosok sekalipun. Karena itu tidak pada tempatnya kita berlindung dibalik kendala, sebab asketisme untuk berkarya dan menulis akan mengalahkan segalanya, bukankah As-Syarakhsy mampu merampungkan belasan jilid kitab Al-Mabsuuth dari ruang bawah tanah tempat beliau ditawan?, Juga Buya Hamka mampu menghasilkan tafsir Al-Azhar dari balik jeruji tatkala beliau di penjara. Dari Ibn Taimiyah, Ibnul Qoyyim Jauziyah, Yusuf Qordawi sampai Muhammad Qutb tak pernah berhenti menulis kendati dalam keadaan sakit, di tengah perjalanan dan bahkan dalam keadaan menderita sekalipun, Mereka tahu betul bahwa manfaat tulisan sangat signifikan bagi masa depan kemanusiaan.

Memang saat ini bukan lagi era ensiklopedis (’ashr al-mausu’ien), yang memunculkan ulama-ulama serba bisa sebagaimana abad pertengahan Islam yang melahirkan ulama seperti Al-Ghazali, namun sebagai pewaris masa depan untuk tugas nahkoda umat (mundzir al-qoum) sejauh kita bisa dan mau berusaha, sepatutnya kita tidak melalaikan tugas menulis sebagai bagian integral dari intelektualisme Islam. Bukankah kita sangat hafal dan paham bahwa ”Al-’ilmu shaydun wa al-kitabu qayduhu” (ilmu itu bagai hewan liar dan tulisanlah tali kekangnya).Dengan aktif menulis berarti kita tidak membiarkan khazanah ilmu hilang terkikis waktu. Maka sekali lagi “kerjakan apa yang anda tulis, dan tulislah apa yang anda kerjakan” sebab Verba valent scripta manent (ucapan gampang hilang tetapi tulisan akan  lestari).  (dihimpun dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar