Hefni Zain
Tradisi menulis dikalangan umat Islam sejatinya telah dirintis dan
dilakukan sejak abad pertengahan oleh para ulama, mubaligh dan mujtahid besar,
misalnya As-Syuyuti dalam ilmu tafsir, Al-Gazali dalam ilmu filsafat
dan tasawuf, Ibnu Khaldun dalam sosiologi. Ini semua merupakan bukti otentik
bahwa dikalangan ulama terdahulu telah berkembang tradisi menulis yang sangat
kuat.
Sebagai aktivis ilmu, seyogyanya kita terus berupaya menghidupkan kembali
tradisi menulis yang telah dirintis oleh para ulama terdahulu, lalu
dikembangkan sesuai dengan konteks perkembangan zaman. Tetapi ironis, betapa
sering kita takjub dengan tokoh-tokoh Islam masa lalu, tapi sedikit sekali yang
meniru kiprah mereka yang produktif dalam menulis, padahal kita tahu Verba
valent scripta manent (ucapan gampang hilang tetapi tulisan
akan lestari).
Maqolah arab menyebutkan :Al-’ilmu shaydun wa al-kitabu qayduhu ilmu itu
bagai hewan liar dan tulisanlah tali kekangnya. Ungkapan ini menyiratkan
betapa pentingnya karya tulis dalam memberi kontribusi kepada generasi
mendatang sebagai rujukan bagi dirinya sehingga dapat memotivasi yang
bersangkutan untuk membaca dirinya sendiri, minimal diposisikan sebagai sarana
yang dapat memberikan inspirasi kepada pembaca untuk menemukan gagasannya
sendiri yang lebih cemerlang. Dengan tulisan, pesan-pesan yang
disampaikan tidak saja dapat diakses oleh orang-orang yang berdekatan dengannya
dalam ruang dan waktu, melainkan dapat diakses juga oleh orang yang paling jauh
sekalipun, pesan-pesan lewat tulisan dapat melintasi ruang dan waktu.
Bagi aktivis ilmu, kegiatan menulis menjadi konsentrasi utama dalam
mengembangkan kariernya, karena itu mereka harus memiliki komitmen bahkan
karakter sebagai penulis. Mereka tidak boleh ketinggalan dalam mencermati
perkembangan umat dan teori-teori baru yang berkaitan dengan profesinya. Dengan
profesi itu yang paling ditunggu oleh umat adalah karya tulis ilmiah mereka.
Seorang penulis hakikinya betindak sebagai penjual ide dan konsep kepada
pasar, mampukah ide-ide itu menghasilkan bangunan wacana ilmiah yang akan
dibedah diberbagai wilayah komunitas ? Inilah tantangan yang mesti direspon.
Berdasarkan tuntutan-tuntutan tersebut, parameter untuk menilai kualitas
seorang aktivis ilmu, setidaknya melalui dua kreteria secara
berkelanjutan, pertama dari produktivitas karya-karya
ilmiahnya, dan kedua apakah karya-karya itu mampu memberi
pencerahan pada masyarakat luas, yang memuat ide energik, konsep cemerlang atau
teori baru. Maka kehadiran karya tulis dalam segala jenisnya bagi aktifis
merupakan suatu keniscayaan atau semacam wajib ain yang tidak bisa ditawar
lagi.
Kelemahan
kita selama ini adalah puas berada pada level budaya mendengarkan dan bebicara
(listening speaking society) belum pada level membaca dan menulis (reading-writing
society), padahal sejak awal kita telah memahami
tausiah “kerjakan apa yang anda tulis, dan tulislah apa yang anda
kerjakan”.
Sejarah ulama salaf mengajarkan kepada kita bagaimana mereka khusu’
berkhidmah di bidang keilmuan dan produktif menghasilkan banyak sekali karya
tulis. Yang ironis adalah banyak aktivis yang tidak bersedia menulis tetapi
justru suka menjadi juru vonis dan berkomentar miring terhadap tulisan orang
lain, sungguh sebuah taktik cantik untuk bersembunyi dibalik kelemahan diri.
Kesibukan dan padatnya aktifitas sama sekali tidak
dapat dijadikan alasan untuk tidak menulis. KH.
Bisri Mustofa (Rembang) adalah seorang mubaligh kondang yang berdakwah tidak
saja dipelbagai pelosok tanah air,
Tetapi Juga merambah manca negara, meski demikian, ditengah aktifitasnya
yang super padat itu beliau tak pernah menyurutkan semangatnya untuk terus
menulis. Dan selama hidupnya lebih dari 200 buku dan kitab beliau hasilkan,
termasuk tafsif Al-Ibriz yang sangat fenomenal. Contoh lain, KH Mujab Mahalli
(Bantul), ditengah kesibukannya sebagai penggiat dzikir yang biasa menghabiskan
sepertiga malam-malamnya untuk memimpin jamaah dzikir,
beliau masih sempat menghasilkan 142 kitab dan buku hingga ajal menjemputnya.
Bila kendalanya berupa keterbatasan sarana dan
piranti metodologis, kedengarannya malah tidak logis, sebab di zaman serba digital
ini sulit ditemukan orang yang masih gagap teknologi, saat ini laptop, handphone,
internet dan sistem komputerisasi telah merasuk ke semua sudut geografis
termasuk yang paling pelosok sekalipun. Karena itu tidak pada tempatnya kita
berlindung dibalik kendala, sebab asketisme untuk berkarya dan menulis akan
mengalahkan segalanya, bukankah As-Syarakhsy mampu merampungkan belasan jilid
kitab Al-Mabsuuth dari ruang bawah tanah tempat beliau ditawan?, Juga Buya
Hamka mampu menghasilkan tafsir Al-Azhar dari balik jeruji tatkala beliau di
penjara. Dari Ibn Taimiyah, Ibnul Qoyyim Jauziyah, Yusuf Qordawi sampai
Muhammad Qutb tak pernah berhenti menulis kendati dalam keadaan sakit, di
tengah perjalanan dan bahkan dalam keadaan menderita sekalipun, Mereka tahu
betul bahwa manfaat tulisan sangat signifikan bagi masa depan kemanusiaan.
Memang saat ini bukan lagi era ensiklopedis (’ashr
al-mausu’ien), yang memunculkan ulama-ulama serba bisa sebagaimana abad
pertengahan Islam yang melahirkan ulama seperti Al-Ghazali, namun sebagai pewaris masa depan
untuk tugas nahkoda umat (mundzir al-qoum) sejauh kita bisa dan
mau berusaha, sepatutnya kita tidak melalaikan tugas menulis sebagai bagian
integral dari intelektualisme Islam. Bukankah kita sangat hafal dan paham bahwa
”Al-’ilmu shaydun wa al-kitabu qayduhu” (ilmu itu bagai hewan liar dan tulisanlah
tali kekangnya).Dengan aktif menulis berarti kita tidak membiarkan khazanah
ilmu hilang terkikis waktu. Maka sekali lagi “kerjakan apa yang anda
tulis, dan tulislah apa yang anda kerjakan” sebab Verba valent scripta
manent (ucapan gampang hilang tetapi tulisan
akan lestari). (dihimpun dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar