Hefni Zain
Syahdan,
suatu ketika di malam gelap, seorang buta berjalan menggunakan
obor, beberapa orang yang tidak buta mentertawakannya sambil berkata “untuk apa
kamu menyalakan obor ?, bukankah buat kamu pakai
obor atau tidak adalah sama saja, tetap
tidak bisa melihat, si buta menjawab, obor
ini bukan untuk saya, tetapi untuk kalian agar tidak tersesat. Apa maksudmu..tanya mereka ? si buta dengan mantap
menjawab...apakah kalian tidak pernah
membaca sejarah, sejak dulu belum pernah terdengar orang buta tersesat atau
keliru masuk ke kamarnya tetapi betapa banyak orang yang tidak buta justru
tersesat masuk ke kamar istri tetangganya. Juga lihatlah deretan para koruptor kelas
kakap di negeri ini, tidak ada satupun diantara mereka yang buta mata (kepala),
mereka menderita buta mata hati (psikomatis).
Adalah
sangat berbahaya orang yang memiliki indra
penglihatan normal, tetapi hatinya selalu buta. Nabi saw bersabda “Sesungguhnya dalam tubuh
manusia terdapat sepotong daging, apabila ia baik, maka baiklah seluruh tubuh,
dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh, itulah hati” . Abu Said
al-Qudri mengatakan, hati manusia ada tiga macam, Pertama: hati yang didalamnya dihiasi
cahaya dan ketercerahan. Kedua, hati yang separuh bercahaya dan
separuhnya lagi redup, yakni hati orang yang sering beramal sholeh, tapi sering
juga mermaksiat. Ketiga, hati
yang penuh dengan karat hitam, yakni hati yang redup sama sekali dan sedikitpun
tiada cahaya.
Dalam
sebuah riwayat disebutkan “bila seorang hamba melakukan suatu dosa maka dalam
hatinya terjadi bintik hitam, apabila hamba itu beristighfar dan bertaubat,
maka hati itu mengkilat kembali. Dan bila berbuat dosa kembali, noda hitam
dalam hatinya bertambah lagi sampai akhirnya memenuhi hatinya, lalu hati itu
menjadi tertutup (dari petunjuk Allah) Riwayat diatas menegaskan bahwa setiap
dosa yang dilakukan seorang akan menjadi noda hitam yang mengotori hatinya.
Makin banyak dosa yang dilakukan, makin kotor hati tersebut. Dan apabila dosa
atau maksiat dilakukan secara terus menerus, maka hati itu bukan saja penuh
dengan kotoran, tetapi menjadi kotoran itu sendiri. Al-Qur'an menyebutkan” apa
yang telah mereka kerjakan itu telah menjadi karat bagi hati mereka” (Qs.
83:14), dan kalau hati sudah menjadi kotoran, maka semua yang dikeluarkan
adalah kotoran.
Buta
hati jauh lebih buruk dari buta mata. “Buta mata hanya berlaku di dunia, itupun
masih bisa terbantu dengan tongkat, bantuan orang lain, atau indera lain yang
kepekaannya dilebihkan Allah swt. Tetapi buta hati, pasti menderita
dunia-akhirat. Buta hati adalah tidak mampu melihat kebenaran (al-haq)
dan tidak mampu menerima nasihat kebaikan, utamanya karena gemar mengikuti hawa
nafsu dan bisikan setan. Karena buta hati, akan menjadi tidak nampak jalan menuju ke akhirat, negeri yang kekal
abadi, dan tidak akan ada kawan kawan yang datang membantu. “Dan barangsiapa
di dunia ini buta hatinya, maka di akhirat nanti juga akan buta, dan lebih sesat
lagi jalannya.” (Qs. Al-Isra:72).
Kalangan sufi menyebutkan penyakit hati dengan istilah : maradu
al-qolbi (sakit hati), Ma’asyi al-qolbi (penyimpangan hati) dan mahlakah al-qolbi (kehancuran hati).
Penyakit hati ditandai dengan kecenderungan seseorang suka melakukan perbuatan
tercela (baik tarang terangan maupun
sembunyi-sembunyi). Tatkala seseorang dijangkiti penyakit hati, maka dia selalu
berkecenderungan berbuat dosa dan maksiat, dan setiap satu dosa yang dilakukan
akan selalu menuntut perbuatan dosa selanjutnya. Demikian juga setiap dosa yang
dilakukan, akan menimbulkan luka psikologis yang mendalam. Semakin banyak luka
psikologis, maka semakin banyak pula kerusakan pada diri pelakunya. Kerusakan
semacam ini oleh para psikolog disebut anxietydisorder.
Setiap
mu’min mempunyai 72 penjagaan, fungi penjagaan bagi seseorang sama persis
dengan fungsi ozon yang melindungi bumi dari bahaya ultra violet matahari.
Ketika seseorang berbuat satu dosa, maka runtuhlah satu penjagaannya, dan jiga
dosa dilakukan secara terus menerus, maka sesungguhnya ia sedang mempercepat
kehancuan dirinya sendiri. orang yang seperti itu sama dengan membangun
sekaligus menghancurkan. Sama dengan berkoar tentang perdamaian sambil
memprovokasi agar terjadi perang.
Mereka yang buta hati, perasaannya susah tersentuh
karena bersikap acuh dan merasa tidak
butuh, mereka tak mau kenal dengan
fenomena sosial, mereka lari dari realita dengan jalan menutup mata. Mereka yang buta hati, dengan lingkungan kurang simpati, empati, tak mau mengerti dan kurang menghayati. Tak ada rasa tanggung
jawab, meski sebenarnya mata kepala bisa melihat. Sifat egois yang selalu
melekat, mendorong mereka kurang akrab dengan masyarakat kendati lingkungan
terdekat. Imam al Ghazali, seorang pakar filsafat dan sufi moderat telah
memberi ibarat, bahwa orang pintar tetapi tidak peka terhadap lingkungan
sekitar dan hanya pandai memberi komentar dapat diibaratkan sebagai “orang yang
tahu tetapi tidak tahu kalau dirinya tahu ” (rajulan yaadri wala yadri
annahu yadri). Karena itu orang yang berpendidikan rendah tetapi ada kemampuan untuk merubah adalah jauh lebih baik ketimbang berpendidikan tinggi, tetapi hanya
pandai membuat rencana yang tak bisa terlaksana bahkan hanya menghamburkan
dana. Atau orang yang merasa pandai,
tetapi hanya berandai-andai, lantaran idenya sulit untuk dicapai. Hanya mampu
membuat kamus dan rumus diatas kertas, tetapi tidak mampu membuktikan dalam
realitas. Meski mata mungkin melihat, tetapi hati tidak tersentuh untuk
berbuat, apalagi bertanggung jawab terhadap hal-hal yang bermanfaat buat
masyarakat. Bagi mereka yang buta hati, tidak
ada titik temu antara ilmu dengan amal, antara meneliti dengan utility (manfaat),
antara garapan dengan harapan.
Mereka yang buta hati dan kebetulan hidupnya kaya
raya, hobinya berfoya-foya ditengah-tengah orang yang tak berdaya, menghambur-hamburkan harta
dengan melakukan pesta didepan orang yang sedang menderita, ini bukan buta mata, tetapi buta hati. Hatinya
tak merasakan perihnya batin orang yang jatuh miskin. Meski mata melihat, mereka
tertutup hasrat berbuat manfaat untuk sesama umat lebih-lebih pada yang lagi melarat.
Bahkan seringkali berkata “Ah, salahnya sendiri, mereka hanya
berongkang-ongkang, tak mau berjuang untuk mendapatkan uang dan selalu
menggantungkan hidup pada orang,. “Padahal mereka sudah berjuang setengah mati,
tetapi memang peluang belum didapati. Pikiran dan tenaga telah dicurahkan dan
dikerahkan, tetapi hasilnya masih belum mencerahkan.
Mereka yang buta hati,
termasuk yang di institusi tidak akan mau mendengar aspirasi, dan solusi,
bahkan mereka mengedepankan iri sehingga
penuh seleksi, tidak mencermati apalagi mengikuti. Sebaliknya, mereka selalu
menolak dan mengelak, tak beda dengan orang yang hampir jatuh di pinggir
jurang, tetapi masih berbuat garang,
diperbaiki bukannya senang, malah
dipandang sebagai pembangkang.
Sebagai makhluk
sosial, seharusnya pada lingkungan kita lebih mengenal. Bukan saja atas dasar
kepentingan dan keuntungan, akan tetapi juga atas dasar keutuhan dan
kebutuhan . Tak boleh ada perasaan bersekat-sekat lantaran perbedaan
pangkat atau peringkat, tak ada manusia
paling sempurna dan tak ada pula yang paling hina. Yang ada hanyalah bagaimana
hidup ini menjadi semakin bermakna dan bernilai guna antara satu dengan lainnya. Karena itu bila kita kaya haruslah
yang bermanfaat dan bila melarat hendaklah yang bermartabat.
Namun dalam kenyataan, orang
yang buta hati, semakin maju membuat dirinya semakin egois dan individualis. Apabila
dalam masyarakat industri, yang dipandang hanyalah materi. Keakraban dan
kekerabatan menjadi hubungan sementara, sedangkan mencari keuntungan dan
kepentingan itulah yang selalu menggelora. Bagi mereka yang buta hati,
persaingan hidup semakin tersesat, derajat
dan martabat manusia bukan ditentukan oleh kemanfaatan buat umat, tetapi oleh
banyaknya property yang dimiliki, meski melalui jalan keji dan
kurang terpuji. Bila diraih melalui berbagai aktivitas dan kreativitas,tentu
membawa hidup ini semakin vital. Akan tetapi yang menempuh jalan pintas bagi
yang tidak memiliki fondasi mental yang handal, pasti keberaannya menjadi
fatal. Pada titik ini hilanglah jiwa manusawi dan tumbuhlah nafsu hewani yang
semakin hari bukannya semakin puas tetapi malah semakin buas.
Ada kisah lain
yang serupa, pada suatu malam, seorang buta
berpamitan pulang dari rumah sahabatnya. Sang sahabat membekalinya dengan
sebuah obor. Orang buta itu terbahak berkata: “Buat apa saya bawa obor? Kan
sama saja buat saya! Dengan lembut
sahabatnya menjawab, “Ini agar orang lain bisa melihat kamu, biar mereka tidak
menabrakmu.” Akhirnya orang buta itu setuju untuk membawa obor tersebut.
Tak berapa lama, dalam perjalanan, seorang pejalan menabrak si buta. “aduuh”
Dalam kagetnya, ia mengomel, “Hei, kamu kan punya mata! Beri jalan buat orang buta
dong!” Tanpa berbalas sapa, mereka pun
saling berlalu. Lebih lanjut, seorang pejalan lainnya menabrak si buta lagi.
Kali ini si buta bertambah marah, “hey..Apa kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa obor ini supaya kamu bisa lihat!” Pejalan itu menukas, “Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat, obormu sudah padam!” Si buta hanya tertegun.
Kali ini si buta bertambah marah, “hey..Apa kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa obor ini supaya kamu bisa lihat!” Pejalan itu menukas, “Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat, obormu sudah padam!” Si buta hanya tertegun.
Menyadari situasi itu,
penabraknya meminta maaf, “Oh, maaf, sayalah yang ‘buta’, saya tidak melihat
bahwa Anda adalah orang buta.” Si buta tersipu menjawab, “Tidak apa-apa,
maafkan saya juga atas kata-kata kasar saya.” Dengan tulus, si penabrak
membantu menyalakan kembali obor yang dibawa si buta. Mereka pun melanjutkan
perjalanannya masing-masing.
Namun, dalam perjalanan
selanjutnya, ada lagi pejalan yang menabrak orang buta,
Kali ini, si buta lebih berhati-hati, dia bertanya dengan santun, “Maaf, apakah obor saya padam?” Penabraknya menjawab, “Lho, saya justru mau menanyakan hal yang sama.” Senyap sejenak. Secara berbarengan mereka bertanya, “Apakah Anda orang buta?”
Secara serempak pun mereka menjawab, “Iya.,” sembari meledak dalam tawa. Mereka pun berupaya saling membantu menemukan kembali obor mereka yang berjatuhan sehabis bertabrakan. Pada waktu itu juga, seseorang lewat. Dalam keremangan malam, nyaris saja ia menubruk kedua orang yang sedang mencari-cari obor tersebut. Ia pun berlalu, tanpa mengetahui bahwa mereka adalah orang buta. Timbul pikiran dalam benak orang ini, “Rasanya saya perlu membawa obor juga, jadi saya bisa melihat jalan dengan lebih baik, orang lain juga bisa ikut melihat jalan mereka.”
Kali ini, si buta lebih berhati-hati, dia bertanya dengan santun, “Maaf, apakah obor saya padam?” Penabraknya menjawab, “Lho, saya justru mau menanyakan hal yang sama.” Senyap sejenak. Secara berbarengan mereka bertanya, “Apakah Anda orang buta?”
Secara serempak pun mereka menjawab, “Iya.,” sembari meledak dalam tawa. Mereka pun berupaya saling membantu menemukan kembali obor mereka yang berjatuhan sehabis bertabrakan. Pada waktu itu juga, seseorang lewat. Dalam keremangan malam, nyaris saja ia menubruk kedua orang yang sedang mencari-cari obor tersebut. Ia pun berlalu, tanpa mengetahui bahwa mereka adalah orang buta. Timbul pikiran dalam benak orang ini, “Rasanya saya perlu membawa obor juga, jadi saya bisa melihat jalan dengan lebih baik, orang lain juga bisa ikut melihat jalan mereka.”
Sahabat, Obor
melambangkan terang kebijaksanaan. Membawa obor berarti menjalankan
kebijaksanaan dalam hidup. Obor, sama halnya dengan kebijaksanaan, melindungi
kita dan pihak lain dari berbagai aral rintangan (tabrakan!)
Si buta pertama
mewakili mereka yang terselubungi kegelapan batin, keangkuhan, kebebalan, ego,
dan kemarahan. Selalu menunjuk ke arah orang lain, tidak sadar bahwa lebih
banyak jarinya yang menunjuk ke arah dirinya sendiri. Namun,Dalam perjalanan
“pulang”, ia belajar menjadi bijak melalui peristiwa demi peristiwa yang
dialaminya. Ia menjadi lebih rendah hati karena menyadari kebutaannya dan
dengan adanya belas kasih dari pihak lain. Ia juga belajar menjadi pemaaf.
Penabrak kedua mewakili
mereka yang seolah bertentangan dengan kita, yang sebetulnya menunjukkan
kekeliruan kita, sengaja atau tidak sengaja. Mereka bisa menjadi guru-guru
terbaik kita. Tak seorang pun yang mau jadi buta, sudah selayaknya kita saling
memaklumi dan saling membantu.
Orang buta kedua
mewakili mereka yang sama-sama gelap batin dengan kita. Betapa sulitnya
menyalakan obor kalau kita bahkan tidak bisa melihat obornya. Orang buta sulit
menuntun orang buta lainnya. Itulah pentingnya untuk terus belajar agar kita
menjadi makin melek dan sadar diri, dan semakin bijaksana;
Orang terakhir yang
lewat mewakili mereka yang cukup sadar akan pentingnya memiliki obor
kebijaksanaan.
Sebuah pepatah berusia
25 abad mengatakan: Sejuta obor dapat dinyalakan dari sebuah obor, dan nyala obor
pertama tidak akan meredup. Obor kebijaksanaan pun, tak kan pernah habis
terbagi. Bila mata tanpa penghalang, hasilnya adalah penglihatan. Jika telinga
tanpa penghalang, hasilnya adalah pendengaran. Hidung yang tanpa penghalang
membuahkan penciuman. Pikiran yang tanpa penghalang didalamnya akan
menghasilkan sebuah kebijaksanaan diri.
Sudahkah kita sulut
obor dalam diri kita masing-masing? Jika sudah, apakah nyalanya masih terang,
atau bahkan nyaris padam? Marilah kita menjadi obor, bagi diri kita
sendiri dan bagi orang-orang disekitar kita. #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar