Jumat, 26 Desember 2014

LENTERA HATI

Hefni  Zain

Syahdan,  suatu  ketika di malam gelap, seorang buta berjalan menggunakan obor, beberapa orang yang tidak buta mentertawakannya sambil berkata “untuk apa kamu menyalakan obor ?, bukankah buat  kamu  pakai obor atau tidak  adalah sama saja, tetap tidak bisa melihat,  si buta menjawab, obor ini bukan untuk saya, tetapi untuk kalian agar tidak tersesat.  Apa maksudmu..tanya mereka ? si buta dengan mantap menjawab...apakah kalian tidak  pernah membaca sejarah, sejak dulu belum pernah terdengar orang buta tersesat atau keliru masuk ke kamarnya tetapi betapa banyak orang yang tidak buta justru tersesat masuk ke kamar istri tetangganya.  Juga lihatlah deretan para koruptor kelas kakap di negeri ini, tidak ada satupun diantara mereka yang buta mata (kepala), mereka menderita buta mata hati (psikomatis).
Adalah sangat berbahaya orang yang memiliki  indra penglihatan normal, tetapi hatinya selalu buta. Nabi  saw bersabda “Sesungguhnya dalam tubuh manusia terdapat sepotong daging, apabila ia baik, maka baiklah seluruh tubuh, dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh, itulah hati” . Abu Said al-Qudri mengatakan, hati manusia ada tiga macam,  Pertama: hati yang didalamnya dihiasi cahaya dan ketercerahan. Kedua, hati yang separuh bercahaya dan separuhnya lagi redup, yakni hati orang yang sering beramal sholeh, tapi sering juga mermaksiat. Ketiga,  hati yang penuh dengan karat hitam, yakni hati yang redup sama sekali dan sedikitpun tiada cahaya.
Dalam sebuah riwayat disebutkan “bila seorang hamba melakukan suatu dosa maka dalam hatinya terjadi bintik hitam, apabila hamba itu beristighfar dan bertaubat, maka hati itu mengkilat kembali. Dan bila berbuat dosa kembali, noda hitam dalam hatinya bertambah lagi sampai akhirnya memenuhi hatinya, lalu hati itu menjadi tertutup (dari petunjuk Allah) Riwayat diatas menegaskan bahwa setiap dosa yang dilakukan seorang akan menjadi noda hitam yang mengotori hatinya. Makin banyak dosa yang dilakukan, makin kotor hati tersebut. Dan apabila dosa atau maksiat dilakukan secara terus menerus, maka hati itu bukan saja penuh dengan kotoran, tetapi menjadi kotoran itu sendiri. Al-Qur'an menyebutkan” apa yang telah mereka kerjakan itu telah menjadi karat bagi hati mereka” (Qs. 83:14), dan kalau hati sudah menjadi kotoran, maka semua yang dikeluarkan adalah kotoran.
Buta hati jauh lebih buruk dari buta mata. “Buta mata hanya berlaku di dunia, itupun masih bisa terbantu dengan tongkat, bantuan orang lain, atau indera lain yang kepekaannya dilebihkan Allah swt. Tetapi buta hati, pasti menderita dunia-akhirat. Buta hati adalah tidak mampu melihat kebenaran (al-haq) dan tidak mampu menerima nasihat kebaikan, utamanya karena gemar mengikuti hawa nafsu dan bisikan setan. Karena buta hati, akan menjadi tidak nampak  jalan menuju ke akhirat, negeri yang kekal abadi, dan tidak akan ada kawan kawan yang datang membantu. “Dan barangsiapa di dunia ini buta hatinya, maka di akhirat nanti juga akan buta, dan lebih sesat lagi jalannya.” (Qs. Al-Isra:72).
Kalangan sufi menyebutkan penyakit hati dengan istilah : maradu al-qolbi (sakit hati), Ma’asyi al-qolbi (penyimpangan hati) dan  mahlakah al-qolbi (kehancuran hati). Penyakit hati ditandai dengan kecenderungan seseorang suka melakukan perbuatan tercela (baik tarang  terangan maupun sembunyi-sembunyi). Tatkala seseorang dijangkiti penyakit hati, maka dia selalu berkecenderungan berbuat dosa dan maksiat, dan setiap satu dosa yang dilakukan akan selalu menuntut perbuatan dosa selanjutnya. Demikian juga setiap dosa yang dilakukan, akan menimbulkan luka psikologis yang mendalam. Semakin banyak luka psikologis, maka semakin banyak pula kerusakan pada diri pelakunya. Kerusakan semacam ini oleh para psikolog disebut anxietydisorder.
Setiap mu’min mempunyai 72 penjagaan, fungi penjagaan bagi seseorang sama persis dengan fungsi ozon yang melindungi bumi dari bahaya ultra violet matahari. Ketika seseorang berbuat satu dosa, maka runtuhlah satu penjagaannya, dan jiga dosa dilakukan secara terus menerus, maka sesungguhnya ia sedang mempercepat kehancuan dirinya sendiri. orang yang seperti itu sama dengan membangun sekaligus menghancurkan. Sama dengan berkoar tentang perdamaian sambil memprovokasi agar terjadi perang.
Mereka  yang buta hati,  perasaannya  susah  tersentuh  karena bersikap acuh dan merasa tidak butuh,  mereka tak mau kenal dengan fenomena sosial, mereka lari dari realita dengan jalan menutup mata. Mereka  yang buta hati, dengan lingkungan kurang  simpati, empati, tak mau mengerti  dan kurang menghayati. Tak ada rasa tanggung jawab, meski sebenarnya mata kepala bisa melihat. Sifat egois yang selalu melekat, mendorong mereka kurang akrab dengan masyarakat kendati lingkungan terdekat. Imam al Ghazali, seorang pakar filsafat dan sufi moderat telah memberi ibarat, bahwa orang pintar tetapi tidak peka terhadap lingkungan sekitar dan hanya pandai memberi komentar dapat diibaratkan sebagai “orang yang tahu tetapi tidak tahu kalau dirinya tahu ” (rajulan yaadri wala yadri annahu yadri). Karena itu orang yang berpendidikan  rendah tetapi ada kemampuan untuk merubah  adalah jauh lebih baik  ketimbang berpendidikan tinggi, tetapi hanya pandai membuat rencana yang tak bisa terlaksana bahkan hanya menghamburkan dana. Atau orang  yang merasa pandai, tetapi hanya berandai-andai, lantaran idenya sulit untuk dicapai. Hanya mampu membuat kamus dan rumus diatas kertas, tetapi tidak mampu membuktikan dalam realitas. Meski mata mungkin melihat, tetapi hati tidak tersentuh untuk berbuat, apalagi bertanggung jawab terhadap hal-hal yang bermanfaat buat masyarakat. Bagi mereka yang buta hati,  tidak ada titik temu antara ilmu dengan amal, antara meneliti dengan utility (manfaat), antara garapan dengan harapan.
Mereka  yang buta hati dan kebetulan hidupnya kaya raya, hobinya berfoya-foya ditengah-tengah orang  yang tak berdaya, menghambur-hamburkan harta dengan melakukan pesta didepan orang yang sedang menderita,  ini bukan buta mata, tetapi buta hati. Hatinya tak merasakan perihnya batin orang yang jatuh miskin. Meski mata melihat, mereka tertutup hasrat berbuat manfaat untuk sesama umat lebih-lebih pada yang lagi melarat. Bahkan seringkali berkata “Ah, salahnya sendiri, mereka hanya berongkang-ongkang, tak mau berjuang untuk mendapatkan uang dan selalu menggantungkan hidup pada orang,. “Padahal mereka sudah berjuang setengah mati, tetapi memang peluang belum didapati. Pikiran dan tenaga telah dicurahkan dan dikerahkan, tetapi hasilnya masih belum mencerahkan.
Mereka yang buta hati, termasuk yang di institusi tidak akan mau mendengar aspirasi, dan solusi, bahkan mereka  mengedepankan iri sehingga penuh seleksi, tidak mencermati apalagi mengikuti. Sebaliknya, mereka selalu menolak dan mengelak, tak beda dengan orang yang hampir jatuh di pinggir jurang, tetapi  masih berbuat garang, diperbaiki bukannya  senang, malah dipandang sebagai pembangkang.
Sebagai makhluk sosial, seharusnya pada lingkungan kita lebih mengenal. Bukan saja atas dasar kepentingan dan keuntungan, akan tetapi juga atas dasar keutuhan dan kebutuhan . Tak boleh ada perasaan bersekat-sekat lantaran perbedaan pangkat atau peringkat,  tak ada manusia paling sempurna dan tak ada pula yang paling hina. Yang ada hanyalah bagaimana hidup ini menjadi semakin bermakna dan bernilai guna antara satu dengan  lainnya. Karena itu bila kita kaya haruslah yang bermanfaat dan bila melarat hendaklah yang bermartabat.
Namun dalam kenyataan, orang yang buta hati, semakin maju membuat dirinya semakin egois dan individualis. Apabila dalam masyarakat industri, yang dipandang hanyalah materi. Keakraban dan kekerabatan menjadi hubungan sementara, sedangkan mencari keuntungan dan kepentingan itulah yang selalu menggelora. Bagi mereka yang buta hati, persaingan hidup  semakin tersesat, derajat dan martabat manusia bukan ditentukan oleh kemanfaatan buat umat, tetapi oleh banyaknya property yang dimiliki, meski melalui jalan keji dan kurang terpuji. Bila diraih melalui berbagai aktivitas dan kreativitas,tentu membawa hidup ini semakin vital. Akan tetapi yang menempuh jalan pintas bagi yang tidak memiliki fondasi mental yang handal, pasti keberaannya menjadi fatal. Pada titik ini hilanglah jiwa manusawi dan tumbuhlah nafsu hewani yang semakin hari bukannya semakin puas tetapi malah semakin buas.
Ada kisah lain yang serupa, pada suatu malam,  seorang buta berpamitan pulang dari rumah sahabatnya. Sang sahabat membekalinya dengan sebuah obor. Orang buta itu terbahak berkata: “Buat apa saya bawa obor? Kan sama saja buat saya!  Dengan lembut sahabatnya menjawab, “Ini agar orang lain bisa melihat kamu, biar mereka tidak menabrakmu.”  Akhirnya orang buta itu setuju untuk membawa obor tersebut. Tak berapa lama, dalam perjalanan, seorang pejalan menabrak si buta. “aduuh” Dalam kagetnya, ia mengomel, “Hei, kamu kan punya mata! Beri jalan buat orang buta dong!”  Tanpa berbalas sapa, mereka pun saling berlalu. Lebih lanjut, seorang pejalan lainnya menabrak si buta lagi.
Kali ini si buta bertambah marah, “hey..Apa kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa obor ini supaya kamu bisa lihat!” Pejalan itu menukas, “Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat, obormu sudah padam!”  Si buta hanya tertegun.
Menyadari situasi itu, penabraknya meminta maaf, “Oh, maaf, sayalah yang ‘buta’, saya tidak melihat bahwa Anda adalah orang buta.” Si buta tersipu menjawab, “Tidak apa-apa, maafkan saya juga atas kata-kata kasar saya.” Dengan tulus, si penabrak membantu menyalakan kembali obor yang dibawa si buta. Mereka pun melanjutkan perjalanannya masing-masing.
Namun, dalam perjalanan selanjutnya, ada lagi pejalan yang menabrak orang buta,
Kali ini, si buta lebih berhati-hati, dia bertanya dengan santun, “Maaf, apakah obor saya padam?” Penabraknya menjawab, “Lho, saya justru mau menanyakan hal yang sama.” Senyap sejenak. Secara berbarengan mereka bertanya, “Apakah Anda orang buta?”
Secara serempak pun mereka menjawab, “Iya.,” sembari meledak dalam tawa. Mereka pun berupaya saling membantu  menemukan kembali obor mereka yang berjatuhan sehabis bertabrakan. Pada waktu itu juga, seseorang lewat. Dalam keremangan malam, nyaris saja ia menubruk kedua orang yang sedang mencari-cari obor tersebut. Ia pun berlalu, tanpa mengetahui bahwa mereka adalah orang buta. Timbul pikiran dalam benak orang ini, “Rasanya saya perlu membawa obor juga, jadi saya bisa melihat jalan dengan lebih baik, orang lain juga bisa ikut melihat jalan mereka.”
Sahabat, Obor melambangkan terang kebijaksanaan. Membawa obor berarti menjalankan kebijaksanaan dalam hidup. Obor, sama halnya dengan kebijaksanaan, melindungi kita dan pihak lain dari berbagai aral rintangan (tabrakan!)
Si buta pertama mewakili mereka yang terselubungi kegelapan batin, keangkuhan, kebebalan, ego, dan kemarahan. Selalu menunjuk ke arah orang lain, tidak sadar bahwa lebih banyak jarinya yang menunjuk ke arah dirinya sendiri. Namun,Dalam perjalanan “pulang”, ia belajar menjadi bijak melalui peristiwa demi peristiwa yang dialaminya. Ia menjadi lebih rendah hati karena menyadari kebutaannya dan dengan adanya belas kasih dari pihak lain. Ia juga belajar menjadi pemaaf.
Penabrak kedua mewakili mereka yang seolah bertentangan dengan kita, yang sebetulnya menunjukkan kekeliruan kita, sengaja atau tidak sengaja. Mereka bisa menjadi guru-guru terbaik kita. Tak seorang pun yang mau jadi buta, sudah selayaknya kita saling memaklumi dan saling membantu.
Orang buta kedua mewakili mereka yang sama-sama gelap batin dengan kita. Betapa sulitnya menyalakan obor kalau kita bahkan tidak bisa melihat obornya. Orang buta sulit menuntun orang buta lainnya. Itulah pentingnya untuk terus belajar agar kita menjadi makin melek dan sadar diri, dan semakin bijaksana;
Orang terakhir yang lewat mewakili mereka yang cukup sadar akan pentingnya memiliki obor kebijaksanaan.
Sebuah pepatah berusia 25 abad mengatakan: Sejuta obor dapat dinyalakan dari sebuah obor, dan nyala obor pertama tidak akan meredup. Obor kebijaksanaan pun, tak kan pernah habis terbagi. Bila mata tanpa penghalang, hasilnya adalah penglihatan. Jika telinga tanpa penghalang, hasilnya adalah pendengaran. Hidung yang tanpa penghalang membuahkan penciuman. Pikiran yang tanpa penghalang didalamnya akan menghasilkan sebuah kebijaksanaan diri.

Sudahkah kita sulut obor dalam diri kita masing-masing? Jika sudah, apakah nyalanya masih terang, atau bahkan nyaris padam?  Marilah kita menjadi obor, bagi diri kita sendiri dan bagi orang-orang disekitar kita. #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar