Jumat, 26 Desember 2014

MENAKAR EXCELLENCE MADRASAH IBTIDAIYAH

Hefni Zain
  
Pendahuluan
Salah satu isu krusial yang mengemuka akhir-akhir ini adalah soal merosotnya moralitas bangsa dan lemahnya budaya religius. Polda Jatim merilis data bahwa di Jawa Timur pada tahun 2011 telah terjadi 143 tawuran dan tindak kekerasan antar-pelajar, antar-mahasiswa, pelajar dengan mahasiswa dan pelajar-mahasiswa dengan masyarakat (9 meninggal dunia, 20 luka berat, 95 luka ringan). Kemudian meningkat menjadi 192 kejadian pada tahun 2012  (15 meninggal dunia,  34 luka berat, 108 luka ringan), dan meningkat lagi menjadi 230 kejadian di tahun 2013 (35 meninggal dunia,  82 luka berat, 146  luka ringan)[1]. Data tentang lemahnya budaya religius di Indonesia juga disampaikan oleh Agus Waluyo melalui hasil surveinya di tahun 2012 yang menyebutkan bahwa dari 1000 siswa-siswi di 50 SLTA di Jawa Timur yang disurvei, 38 % mengaku pernah melakukan hubungan seksual di luar nikah, 22 % pernah mengkonsumsi miras dan obat terlarang serta 19 % pernah mencuri[2].
Fakta empirik diatas menunjukkan bahwa kendati pemerintah telah mencanangkan pengembangan budaya religius sebagai bagian dari pembentukan karakter bangsa[3], Namun pada ranah empiris, implementasi pendidikan di berbagai unit pendidikan belum banyak memberikan implikasi signifikan terhadap perubahan prilaku peserta didik, padahal salah satu tujuan pendidikan adalah terjadinya perubahan, baik pola fikir (way of thinking), perasaan dan kepekaan (way of felling), maupun pandangan hidup (way of life) pada peserta didik[4].
Pengembangan budaya religius sebagai bagian dari pembentukan karakter bangsa menjadi sangat penting, karena tidak ada satupun negara yang sukses meraih pembangunan bila moralitasnya rendah. Masyarakat yang kokoh adalah mereka yang mempunyai pondasi moral dan etika yang kokoh sehingga mendorong timbulnya semangat kemandirian, kejujuran, kerja keras, tanggung jawab keluarga dan sosial. Al-Mawardi menyebutkan bahwa dekadensi moral merupakan hal paling cepat dalam menghancurkan bangsa dan sendi-sendinya[5]. Gustave Le Bon juga menyebutkan bahwa dengan kemuliaan akhlak suatu bangsa akan menjadi terhormat, sebaliknya sebuah bangsa akan ambruk bila akhlaknya rusak[6]
 Adalah Lickona, seorang profesor pendidikan dari Cortland University, yang mendeskripsikan hubungan antara aspek moral dengan kemajuan bangsa. Menurutnya terdapat sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai karena jika tanda-tanda ini sudah ada, maka berarti sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancurannya. Tanda-tanda dimaksud adalah: 1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, 2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang buruk, 3) pengaruh peer group yang kuat dalam tindakan kekerasan, 4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, miras dan seks bebas, 5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, 6) menurunnya etos kerja, 7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, 8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, 9) membudayanya ketidakjujuran, dan 10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama[7] 
Beberapa hasil riset[8] menunjukkan hingga kini pengembangan kreatifiats rasional dan kecerdasan emosional spiritual masih berjalan timpang, hal ini dapat dilihat dari banyaknya lulusan lembaga pendidikan yang hanya memiliki sejumlah kecerdasan tetapi bermental lemah dan bermoral rendah. Fakta ini merupakan indikator nyata dari belum efektifnya model dan fungsi pendidikan yang selama ini dijalankan dalam membentuk manusia Indonesia yang berkarakter dan berbudaya religius. Padahal secara teoritis, pendidikan diyakini sebagai sistem rekayasa sosial yang paling berpengaruh mewarnai dan membentuk pola fikir dan prilaku seseorang dalam hidup kesehariannya.
Pengembangan budaya religius adalah  membudayakan sikap, pola fikir dan prilaku yang didasarkan pada nilai-nilai agama secara menyeluruh sehingga menjadi pandangan hidup dan kebiasaan sehari-hari. Nilai-nilai tersebut diantaranya berupa : ketakwaan, kejujuran, kearifan, keadilan, kesetaraan, harga diri, percaya diri, harmoni, kemandirian, kepedulian, kerukunan, ketabahan, kreativitas, kompetitif, kerja keras, keuletan, kehormatan, kedisiplinan, dan keteladanan[9]
Di Madrasah, pengembangan budaya religius mempunyai landasan yang kokoh, baik secara preskriptif maupun deskriptif, baik secara normatif maupun kostitusional. Dengan membudayakan nilai-nilai religius kepada peserta didik diharapkan dapat membentuk karakter, kepribadian, sikap dan moralitas yang mulia, baik hubungannya dengan Allah swt, dengan sesama manusia maupun dengan lingkungan alam sekitar.
Sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai ciri khas Islam, madrasah memegang peran penting dalam proses pembentukan kepribadian peserta didik, karena melalui pendidikan madrasah ini para orang tua berharap agar anak-anaknya memiliki dua kemampuan sekaligus, tidak hanya pengetahuan umum (IPTEK) tetapi juga memiliki kepribadian dan komitmen yang tinggi terhadap agamanya (IMTAQ). Oleh sebab itu jika memahami benar harapan para orang tua ini maka sebenarnya madrasah memiliki prospek yang sangat cerah.

Mutiara yang perlu disempuh
Dilihat dari kesejarahannya, madrasah memiliki akar budaya yang kuat di tengah-tengah masyarakat, sebab itu madrasah sudah menjadi milik masyarakat. Apabila dewasa ini banyak ahli berbicara tentang inovasi pendidikan nasional untuk melahirkan pendidikan yang dikelola masyarakat (community based management), maka madrasah merupakan model dari pendidikan tersebut. Akan tetapi, dari sekian puluh ribu madrasah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air ini sebagian besar masih bergumul dengan persoalan berat yang sangat menentukan hidup dan matinya madrasah, sehingga nilai tawar semakin rendah dan semakin termarginalkan.
Fenomena di atas setidaknya disebabkan oleh dua hal, yaitu kaitannya dengan problem internal kelembagaan dan parental choice of education, bahwa popularitas dan marginalitas lembaga pendidikan sangat ditentukan oleh sejauh mana lembaga pendidikan bersangkutan mampu merespon dan mengakomodasi aspirasi masyarakat dan seberapa jauh lembaga bersangkutan dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan internal kelembagaan ke arah profesionalitas penyelenggaraan pendidikan.
Terkait dengan problem internal kelembaggaan, bahwa problem internal madrasah yang selama ini dirasakan meliputi seluruh sistem kependidikannya, terutama sistem manajemen dan etos kerja madrasah, kualitas dan kuantitas guru, kurikulum, dan sarana fisik dan fasilitasnya. Problem semacam itu, karena posisi madrasah berada dalam problem yang bersifat causal relationship; dari problem dana yang kurang memadai, fasilitas kurang, pendidikan apa adanya, kualitas rendah, semangat mundur, inovasi rendah, dan peminat kurang, demikian seterusnya berputar bagai lingkaran setan.
Di sisi lain, kaitannya dengan parental choice of education, dalam masyarakat akhir-akhir ini terjadi adanya pergeseran pandangan terhadap pendidikan seiring dengan tuntutan masyarakat (social demand) yang berkembang dalam skala yang lebih makro. Masyarakat melihat pendidikan tidak lagi dipandang hanya sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan terhadap perolehan pengetahuan dan ketrampilan dalam konteks waktu sekarang, tetapi juga dipandang sebagai bentuk investasi, baik modal maupun manusia (human and capital investmen) untuk membantu meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan sekaligus mempunyai kemampuan produktif di masa depan yang diukur dari tingkat penghasilan yang diperolehnya. Pergeseran ini mengarah pada; Pertama, terjadinya teknologisasi kehidupan sebagai akibat adanya loncatan revolusi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, kecenderungan perilaku masyarakat yang lebih fungsional, dimana hubungan sosial hanya dilihat dari sudut kegunaan dan kepentingan semata, ketiga, masyarakat padat informasi, dan keempat, kehidupan yang makin sistemik dan terbuka, yakni masyarakat yang sepenuhnya berjalan dan diatur oleh sistem yang terbuka (open system).
Sesuai dengan ciri masyarakat tersebut, maka pendidikan yang akan dipilih oleh masyarakat adalah pendidikan yang dapat memberikan kemampuan secara teknologis, fungsional, individual, informatif dan terbuka. Dan yang lebih penting lagi, kemampuan secara etik dan moral yang dapat dikembangkan melalui agama. Dengan problem internal kelembagaan madrasah seperti ini, dikaitkan dengan parental choice of education, dimana masyarakat semakin kritis, prakmatis, terbuka dan berpikir jauh ke depan dalam melakukan pilihan pendidikan bagi anak-anaknya, maka pendidikan madrasah akan tetap berada pada posisinya sebagai lembaga pendidikan “kelas dua”, “marginal” yang hanya diminati masyarakat bawah dan tidak atau kurang dilirik oleh masyarakat menengah atas (upper midle class), sebaliknya jika madrasah secara internal dikelola dengan sistem managemen profesional dan mampu memahami dan merespon tuntutan dan aspirasi masyarakat tersebut, maka madrasah akan memperoleh peluang yang lebih besar untuk menjadi pilihan utama dan pertama bagi masyarakat.
Dari spektrum diatas dapat disebutkan bahwa semakin terpelajar masyarakat semakin banyak aspek yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam melilih suatu lembaga pendidikan. Dan sebaliknya, semakin awam masyarakat semakin sederhana pertimbangannya dalam memilih lembaga pendidikan atau barangkali, bahkan hanya sekadar menjadi makmum dengan kepercayaannya. Terdapat tiga hal yang menjadi pertimbangan masyarakat terpelajar dalam memilih suatu lembaga pendidikan bagi anak-anak mereka, yaitu cita-cita dan gambaran hidup masa depan, posisi dan status sosial, serta agama. Dalam kaitan ini, jika madrasah memenuhi ketiga kreteria di atas, maka akan semakin diminati oleh masyarakat terutama masyarakat terpelajar, tetapi sebaliknya, banyak lembaga pendidikan Islam yang akan semakin meminggir posisinya karena tidak menjanjikan apa-apa.
Kesan marginalitas madrasah, sebenarnya lebih banyak disebabkan karena sebagian besar madrasah lebih berorientasi pada kerakyatan (populis), pendidikan hanya dijadikan sebagai fungsi “cagar budaya” dan pada saat bersamaan ia mengabaikan kualitas dan prestasi, sebab itu penyelenggaraan pendidikan cenderung dilakukan secara konvensional, apa adanya, managemen non-profesional, stagnan dan status qou, dan pada akhirnya pendidikan semacam ini ditinggalkan oleh masyarakat dan hanya diminati kelompok masyarakat bawah.
Akan tetapi dewasa ini persepsi atau pemahaman masyarakat tentang madrasah sudah mengalami pergeseran sejalan dengan perbahan-perubahan yang terjadi secara makro yang dilakukan pemerintah dengan kebijakan-kebijakan barunya. Pada awalnya madrasah dipahami sebagai sekolah yang hanya mengajarkan agama tetapi sekarang ini persepsi masyarakat sudah berubah bahwa ternyata madrasah pada dasarnya sama dengan sekolah umum lainnya karena memiliki kurikulum yang sama, di sisi lain madrasah dianggap sebagai sekolah umum plus agama. Perubahan persepsi dan pemahaman tersebut seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi secara makro, madrasah dianggap sebagai sekolah agama ketika kurikulum madrasah masih berbanding 70% agama dan 30% umum, tetapi ketika terjadi perubahan dimana madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas Islam yang memiliki kurikulum sama dengan sekolah umum dan memiliki kelebihan yakni “identitas keIslaman”, maka madrasah kemudian dianggap sebagai sekolah umum plus yang memiliki nilai lebih dibanding dengan sekolah umum.
Jika dilihat dari kecenderungan atau gejala sosial baru yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini yang berimplikasi pada tuntutan dan harapan tentang model pendidikan yang mereka harapkan, maka sebenarnya madrasah memiliki potensi dan peluang besar untuk menjadi alternatif pendidikan masa depan. Kecenderungan tersebut antara lain sebagai berikut ;
Pertama, terjadinya mobilitas sosial yakni munculnya masyarakat menengah baru terutama kaum intelektual yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan pesat. Kelas menengah baru senantiasa memiliki peran besar dalam proses transformasi sosial, di bidang pendidikan misalnya akan berimplikasi pada tuntutan terhadap fasilitas pendidikan yang sesuai dengan aspirasinya baik cita-citanya maupun status sosialnya. Karena itu lembaga pendidikan yang mampu merespon dan mengapresiasi tuntutan masyarakat tersebut secara cepat dan cerdas akan menjadi pilihan masyarakat ini.
Kedua, munculnya kesadaran baru dalam beragama (santrinisasi), terutama pada masyarakat perkotaan kelompok masyarakat menengah atas, sebagai akibat dari proses re-Islamisasi yang dilakukan secara intens oleh organisasi-organisasi keagamaan, lembaga-lembaga dakwah atau yang dilakukan secara perorangan. Terjadinya santrinisasi masyarakat elit tersebut akan berimplikasi pada tuntutan dan harapan akan pendidikan yang mengaspirasikan status sosial dan keagamaannya. Sebab itu pemilihan lembaga pendidikan didasarkan minimal pada dua hal tersebut, yakni status sosial dan agama.
Ketiga, arus globalisasi dan modernisasi yang demikian cepat perlu disikapi secara arif. Modernisasi dengan berbagai macam dampaknya perlu disiapkan manusia-manusia yang memiliki dua kompetensi sekaligus; yakni Ilmu Pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan nilai-nilai spiritualitas keagamaan (IMTAQ). Kelemahan di salah satu kompetensi tersebut menjadikan perkembangan anak tidak seimbang, yang pada akhirnya akan menciptakan pribadi yang pincang (split personality), sebab itu pontensi-potensi insaniyah yang meliputi kedua hal tersebut secara bersamaan harus diinternalisasi dan dikembangkan pada diri anak didik. Arus globalisasi dan modernisasi tersebut akhirnya berimplikasi pada tuntutan dan harapan masyarakat terhadap pendidikan yang disamping dapat mengembangkan potensi-potensi akademik ilmu pengetahuan dan teknologi juga internalisasi nilai-nilai riligiusitas.
Kecenderungan di atas harus segera direspon oleh madrasah jika lembaga ini tidak ingin ditinggalkan oleh masyarakat. Disamping itu Madrasah juga harus dapat membaca alasan-alasan dan pertimbangan orang tua dalam memilih lembaga pendidikan baik yang bersifat internal maupun eksternal. Alasan masyarakat memilih lembaga pendidikan paling tidak didasarkan pada lima kategori sebagai berikut ;
Pertama, alasan teologis. Alasan ini didasarkan pada kecenderungan global sekarang ini dimana nilai-nilai agama dan moralitas menjadi taruhan seiring dengan arus globalisasi tersebut, sebab itu orang tua berfikir agar bagaimana di tengah arus globalisasi tersebut sejak dini anak-anak sudah dibentengi dengan moralitas dan agama. Kedua, alasan sosiologis. Berdasarkan alasan ini pemilihan lembaga pendidikan adalah didasarkan pada seberapa jauh lembaga pendidikan dapat memenuhi peran-peran sosiologis; peran alokasi posisionil berupa kedudukan dan peran penting dalam kehidupan sosial; memungkinkan terjadinya mobilitas sosial; peran mengukuhkan status sosial; dan peran untuk meningkatkan prestise seseorang di masyarakat. Ketiga, alasan fisiologis. Alasan ini didasarkan pada faktor-faktor eksternal yang bersifat fisik, seperti; letak dan kondisi geografis, bangunan fisik, lingkungan pendidikan, sarana dan prasarana serta fasilitas pendidikan, dan seterusnya.Keempat, Alasan akademis. Alasan ini didasarkan pada prestasi dan performa lembaga pendidikan yang menunjukkan bahwa lembaga pendidikan tersebut dikelola secara profesional. Performa dan profesionalitas pengelolaan lembaga pendidikan akan mempunyai pengaruh signifikan terhadap tinggi rendahnya prestasi akademik, dan lembaga pendidikan yang mempunyai prestasi yang tinggi, bagi masyarakat terpelajar, akan dikukuhkan sebagai lembaga pendidikan unggul, favorit dan menjadi pilihan masyarakat. Dan Kelima, Alasan Ekonomis. Alasan ini didasarkan pada tinggi rendahnya biaya yang dikeluarkan oleh orang untuk pembiayaan pendidikan di lembaga bersangkutan. Bagi masyarakat menengah ke bawah permasalahan biaya menjadi masalah penting, sebaliknya bagi masyarakat elit tingginya biaya pendidikan kadang menjadi ukuran bahwa lembaga pendidikan tersebut unggul, elit, prestise, dan menjanjikan.
Ketika menatap performa pendidikan Indonesia kontemporer, tidak sedikit penyelenggara dan pengelola pendidikan madrasah dibuat tersentak. Bagaimana tidak, ketika madrasah yang dikatakan sekolah umum plus berciri khas agarna Islam mengalami kelesuan, pada saat bersamaan justru bermunculan dan menjamur sekolah Islam elit/unggulan yang memperoleh mandat penuh dari umat[10]. Padahal dari sisi kelembagaan ataupun kurikulumnya sekolah Islam unggulan itu hampir tidak ada bedanya dengan madrasah[11]. Kalaupun terdapat citik perbedaan itu lebih terletak pada tata kelola sekolah dan kualitas guru. Majalah Triwulan Madinah memberi kesaksian sebagai berikut:
Dalam satu delude terakhir ini, ledakan sekolah-sekolah Islam memang sangat terasa... Kini, keragaman itu diperkaya dengan sekolah-sekolah yang berlabel Islam dengan kemasan yang jauh lebih modern. Salah satu cirri utamanya adalah, mirip dengan madrasah, kurikulum sekolah-sekolah Islam ini memuat pelajaran agama yang jauh lebih banyak[12].

Merujuk pada fenomena tersebut, pada hakikatnya model pendidikan madrasah relevan dengan kebutuhan masyarakat modern yang ditandai percepatan perkembangan ilmu dan teknologi, namun tetap dibayangi dengan ketidakpastian masa depan. Kalau demikian faktanya, pasti ada sesuatu yang belum pas atau masih mengganjal terkait dengan pengelolaan madrasah. Pertanyaan yang tersisa adalah mengapa potensi keunggulan madrasah yang demikian besar itu belum mampu diejawantahkan dan diaktualisasikan dalam konteks pendidikan Indonesia kontemporer?
Tulisan ini berusaha mengkaji dan mengurai benang kusut permasalahan tersebut melalui jendela Madrasah Ibtidaiyah (MI). Pilihan ini dilandasi kenyataan bahwa kajian tentang MI cenderung diabaikan dalam perbincangan tentang madrasah, padahal secara kuantitas jumlahnya sangat besar dibandingkan dengan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah  (MA). Secara akademik gejala serupa juga muncul, dimana keberadaan Fakultas Tarbiyah di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) ditujukan untuk mempersiapkan calon guru agama di MTs dan MA. Baru beberapa tahun ini terlihat usaha serius untuk menangani potensi MI, yaitu dengan dibukanya jurusan PGMI di PTAI. Tetapi sejauh ini belum muncul karya yang secara serius mengkaji persoalan tersebut[13].
Kecenderungan untuk mengabaikan MI amat jelas ketika para peneliti mencoba menjelaskan proses transformasi pendidikan Islam di Indonesia. Pola umum perubahan kelembagaan pendidikan selalu dilukiskan dimulai dari pesantren, madrasah, dan sekolah. Pola umum perubahan kelembagaan itu mungkin tepat untuk melukiskan perkembangan pendidikan Islam untuk tingkat menengah dan Perguruan Tinggi, tetapi tidak cukup akurat untuk memotret lembaga pendidikan Islam tingkat elementer/dasar. Kelahiran dan proses pertumbuhan MI pada umumnya bermula dari penyelenggaraan pendidikan yang bersifat elementer yang berupa Pengajian Qur’an, Sekolah Arab, atau Nggon Ngaji yang banyak tersebar di masyarakat komunitas santri. Oleh karena itu perlu pelacakan serius dan tersendiri berkaitan asal usul dan evolusi MI dalam konteks kelembagaan pendidikan Islam di Indonesia.
Salah satu alasan mengapa derap langkah madrasah tidak sekencang laju perkembangan sekolah umum, menurut pengamatan penulis, karena beban ideologis dan psikologis masih bersemayam pada diri sebagian intelektual muslim yang berimbas pada sikap ambivalen para praktisi pendidikan madrasah. Beban ideologis[14]. terkait penolakan terhadap ilmu umum yang dianggap sekuler karena merupakan produk Peradaban Barat. Beban ideologis ini melecutkan wacana dan perdebatan islamisasi ilmu yang menguras tenaga dan sangat melelahkan, tetapi anehnya masih terus berlanjut hingga detik ini.
Beban psikologis mengejawantah dalam bentuk perasaan rendah diri, lembaga pendidikan kelas dua, ketakutan menghilangnya watak keislaman madrasah, dan kekhawatiran semakin menciutnya peran Kementerian Agama dalam pengelolaan madrasah[15]. Alangkah anggunnya apabila beban ideologis dan psikologis itu dapat dikeluarkan dari pikiran dan hati para pemikir dan praktisi pendidikan Islam (madrasah) sehingga mereka dapat melaju dengan kecepatan berlipat. Hanya dengan akselerasi itulah madrasah dapat bersaing dan berdiri sama tinggi dengan lembaga pendidikan lain.

Evolusi dan Keterbukaan Madrasah
Sampai akhir abad ke-19, pengajian al-Quran atau pendidikan langgar adalah satu-satunya model pendidikan Islam elementer yang tersebar luas di hampir seluruh pelosok Indonesia. Bagi anak-anak yang orang tuanya mampu atau masih memiliki hubungan kekerabatan dengan kyai, merasa belum cukup dengan hanya mengenyam pendidikan tingkat dasar. Mereka akan segera melanjutkan ke pendidikan Islam lanjutan, yaitu pondok pesantren. Ini sejalan dengan sinyalemen Peacock, bahwa pertumbuhan ke arah kedewasaan di kalangan anak laki-laki Muslim di Asia Tenggara mengikuti gerak sentrifugal: dari pengasuhan pihak wanita ke pendampingan pihak pria, dari lingkungan rumah tangga ke lingkungan masyarakat, dari lingkungan bermain-main ke lingkungan ke-Islaman[16]. Mereka mulai belajar doktrin Islam dan belajar membaca al-Quran dengan orang tuanya atau di Langgar, melanjutkan ke pesantren, pergi haji, dan berkiprah di masyarakat.
Memasuki permulaan abad ke-20 mulai muncul gagasan dan prakarsa pembaharuan untuk memperbaiki dan lebih mengefektifkan model pengajian al-Quran. Formulasi pembaruannya diwujudkan dalam bentuk atau model madrasah, ada yang menyebut Sekolah Arab[17]. Di situ mulai dipergunakan penjenjangan, papan tulis, dingklik, waktu belajarnya sore hari (antara jam 14.00 WIB - 16.00 WIB) dan gedung sebagai sarana pendidikan. Dengan demikian, sebagian pengajian al-Quran, pendidikan Langgar, dan nggon ngaji berubah dan berevolusi menjadi madrasah atau Sekolah Arab. Mengapa dikatakan sebagian? Karena memang tidak semua pengajian al-Quran dapat berubah menjadi madrasah. Diperlukan kondisi tertentu untuk bisa melahirkan madrasah: ada pengajar yang cukup memadai, daya dukung masyarakat, dan fasilitas tanah untuk gedung. Madrasah kemudlan menjadi magnet yang mampu menarik anak-anak muslim dari kampung lain untuk mendatanginya.
Ketika pemerintah Orda Baru menggencarkan program Wajib Belajar, tuntas pendidikan dasar, pada dekade 1970-an umat Islam terpanggil untuk ikut mensukseskan program tersebut dengan jalan mengubah madrasah (diniyah) atau Sekolah Arab menjadi pendidikan formal dengan nama Madrasah Ibtidaiyah (MI). Waktu belajarnya pagi hari sebagaimana Sekolah Dasar pada umumnya, tapi porsi materi agama jauh lebih banyak dibandingkan SD. Perubahan itu tidak membuat madrasah sore hari berhenti. la masih tetap bertahan, bahkan sampai saat mi, dinamakan Madrasah Diniyah.
Proses evolusi dan keterbukaan madrasah dalam berinteraksi dengan kemajuan dunia luar telah mendorong ke arah hubungan yang semakin mesra. Meskipun usaha-usaha untuk mengintegrasikan pendidikan Islam telah dimulai sejak awal abad ke-20, tetapi baru memperoleh wujud kongkritnya dalam waktu belakangan ini. Di mulai dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri pada tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. Keputusan Bersama itu menegaskan bahwa MI setingkat dengan SD, MTs setingkat dengan SMP, dan MA setingkat dengan SMA. Yang dimaksuti dengan madrasah dalam Keputusan Bersama tersebut adalah "lembaga pendidikan Islam yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30%, disamping mata pelajaran umum 70%".
Posisi madrasah dan perguruan agama semakin mantap terintegrasi dengan sistem pendidikan nasional seiring hadirnya UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional [18].  Dalam pasal 11 ayat (6) ditegaskan bahwa pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang agama yang bersangkutan. Dari situ diketahui bahwa madrasah telah memiliki posisi yang kokoh dan sejajar dengan lembaga pendidikan lain dalam alam pendidikan nasional. Posisi madrasah bertambah kuat dengan lahirnya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 15 menandaskan bahwa: "Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaam dan khusus".
Berlandaskan penjelasan perundang-undangan tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa kedudukan dan posisi madrasah secara politik sebenarnya sudah sangat kuat. Madrasah telah menjadi bagian integral yang menyatu padu dalam alam pendidikan nasional. Satu abad yang lalu hal itu masih merupakan mimpi dan sebatas cita-cita umat Islam, sekarang telah menjadi sebuah kenyataan. Oleh karena itu, tidak ada kata lain bagi umat Islam, kecuali mencurahkan segenap tenaga, pikiran, dan materi untuk memajukan madrasah. Madrasah Ibtidaiyah perlu mendapat perhatian ekstra keras, karena di samping jumlahnya sangat besar dan berada di pelosok pedesaan, lebih dari itu adalah tempat awal penggodokan dasar-dasar keilmuan dan pembentukan watak anak bangsa yang sangat berpengaruh bagi masa depan anak bersangkutan dan kemajuan suatu bangsa[19].

Menuju excelensi Madarasah
Dengan keluarnya SKB 3 Menteri tentang peningkatan mutu pendidikan madrasah, diperkuat dengan UU No. 2 tahun 1989 dan disempurnakan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kedudukan madrasah itu sudah kokoh dan mantap dalam rumpun pendidikan nasional. Dengan kata lain, secara politik sudah tidak ada lagi penghalang yang mengganggu upaya pengembangan madrasah. Yang masih sedikit tersisa barangkali adalah hambatan yang bersifat ideologis dan psikologis. Secara bertahap beban itu juga mulai memudar seiring semakin meningkatnya tarap berpikir umat.
Sangat disayangkan keterbukaan pemerintah untuk mengakomodasi keberadaan madrasah belum ditangkap sebagai sebuah peluang untuk mendongkrak kualitas madrasah. Harus diakui bahwa usaha meningkatkan kualitas madrasah, terutama Madrasah Ibtidaiyah bukan perkara mudah. Sebab, sebagian besar Madrasah Ibtidaiyah berada di lingkungan pedesaan, muridnya berasal dari.keluarga tidak kaya, dan sebagian besar dikelola oleh yayasan/ lembaga swasta. Problematika itu masih ditambah lagi dengan krisis guru yang dialami Madrasah Ibtidaiyah dalam satu dasawarsa terakhir ini. Dikatakan menderita krisis guru, karena kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa guru PNS yang diperbantukan (DPK) sudah memasuki pensiun masal sehingga tidak ada lagi guru PNS, kalaupun ada hanya 1 orang biasanya merangkap sebagai kepala sekolah. Untuk menambal kekurangan, terpaksa merekrut guru bantu atau guru wiyata bakti yang latar belakang pendidikannya bukan berasal dari jalur pendidikan dan bergaji sangat minim, antara Rp.100.000 hingga Rp. 200.000.
Melihat kondisi demikian, usaha memperluas kapasitas guru menjadi kunci utama membuka gerbang kemajuan Madrasah Ibtidaiyah. Lahirnya jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) di Fakultas Tarbiyah UIN/IAIN/STAIN dapat menjadi darah segar sebagai pemacu peningkatkan kualitas guru Madrasah Ibtidaiyah. Strategi Kemenag melalui Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dalam mengembangkan madrasah dilakukan melalui langkah-langkah berikut : (1)  Peningkatan mutu semua jenis dan jenjang pendidikan pada perguruan agama Islam sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi serta tuntutan pembangunan. (2)  Pembinaan madrasah negeri diusahakan untuk menjadi contoh (model) bagi madrasah swasta terutama dalam soal mutu. (3) Pembinaan madrasah swasta diarahkan agar sistem pendidikannya selaras dengan sistem pendidikan nasional. Mutunya sama dengan madrasah negeri[20].
Pilihan strategi Kemenag dalam pengembangan madrasah itu mirip, atau bahkan sama dengan, yang dilakukan oleh Kemendiknas melalui pembentukan pembentukan gugus-gugus sekolah dimana ada 1 sekolah yang berkewajiban membina sekolah imbas. Pola itu cocok untuk pengembangan SD di lingkungan Kemendiknas, tetapi tidak untuk pengembangan MI. Mengapa strategi itu tidak tepat sasaran? Pertama, jumlah MIN yang menjadi rujukan atau model tidak banyak, satu kabupaten paling hanya 1 atau 2 madrasah sehingga sangat berat apabila harus membina MI lain yang berjumlah hingga 50-an untuk setiap kabupaten atau kota. Kedua, usaha peningkatan kualitas MI dengan jalan penegerian MI swasta jelas bukan langkah bijak. Hal itu justru mengebiri dan meremehkan potensi umat, apalagi ketika Kemenag harus dihadapkan dengan dana yang terbatas, berapa MI yang akan mampu dinegerikan dengan dana tersebut?. Ketiga, menempatkan MIN seolah-olah kualitasnya di atas MI swasta harus dilakukan secara hati-hati. Bukan tidak mungkin MI swasta justru lebih berkualitas tinimbang MIN, sebagaiman kasus gugus SD di lingkungan Kemendiknas.
Kalau strategi Kemenag dalam mengembangkan MI dipandang kurang tepat, terus strategi apa yang lebih sesuai? Berangkat dari sejarah panjang pendidikan Islam di Indonesia yang merupakan milik masyarakat, atau istilah sekarang yayasan, maka strategi pengembangan madrasah, khususnya MI, sebaiknya dilakukan dari bawah. Kemenag bertugas mendorong, menstimulasi, dan memfasilitasi umat agar tergerak hatinya ikut memilcirkan pengembangan madrasah. Kata kuncinya adalah mengaktualkan potensi umat Islam sehingga memiliki greget untuk memajukan madrasah dan para pengelolanya harus didorong agar mampu berkreasi secara mandiri dengan cara menciptakan terobosan-terobosan baru[21]
Ketika membincang MI unggulan, secara otomatis jari telunjuk langsung diarahkan pada MIN Malang. Imron Arifm, sebagaimana disitir Arif Furchan, menyebut MIN Malang sebagai MI berprestasi yang memiliki 10 ciri yang melekat di lembaga tersebut. Kesepuluh karakter/ciri khas MIN Malang tersebut mencakup: (1) fasilitas fisik dan perlengkapan yang baik; (2) guru-guru dan staf pendukung yang kompeten dan memiliki komitmen yang tinggi; (3) pembelajaran yang berdiferensiasi; (4) harapan dan kepercayaan yang tinggi, dan dukungan yang kuat dari orang tua dan masyarakat sekitar; (5) organisasi yang rastonal dan harmonis; (6) komitmen yang tinggi terhadap budaya dan agama; (7) iklim kerja yang sehat serta motivasi dan semangat kerja yang tinggi; (8) keterlibatan wakil kepala sekolah dan guru-gurunya; (9) dukungan figur-figur kreatif yang kaya wawasan dan gagasan; dan (10) kepemimpinan kepala sekolah yang efektif[22]
Profil MIN Malang merupakan lukisan MI yang sangat ideal dan sudah jadi. Bagi MIN mungkin bisa dijadikan cermin diri untuk melakukan perubahan, tetapi untuk MI swasta harus berpikir seribu kali bila ingin mencontoh atau menjadikan MIN Malang sebagai model pengembangan madrasahnya. Sebab, sebagai madrasah negeri gaji guru dan kebutuhan yang lain  sudah disiapkan pemerintah, sedangkan MI swasta harus mengusahakannya sendiri. Oleh karena itulah, selanjutnya akan dijelaskan bagaimana jalan terjal nan mendaki yang dilalui MI atau SD Islam swasta untuk mengembangkan dirinya sehingga bisa dipercaya oleh masyarakat.

Catatan Penutup
Uraian di muka menegaskan bahwa sebagian besar MI swasta yang berada di pedesaan tengah tertidur pulas. Meskipun ada riak-riak kecil perubahan. itu hanya terjadi di permukaan dan dalam jumlah yang sangat terbatas sehingga belum mampu membangunkannya. Diperlukan ombak dan gelombang besar untuk membangunkan tidur pulasnya tersebut. Gelombang besar akan muncul bila ada angin kencang yang mendorongnya. Hadirnya jurusan PGSD dan PGMI belakangan ini bisa menjadi kekuatan inti untuk menggerakkan kemajuan MI. Hal itu bisa terjadi manakala sistem perkuliahan mampu membekali calon guru SD/MI memiliki kemampuan teoritis sekaligus praktis secara memadai. Tanpa kemampuan itu, pembukaan jurusan baru tersebut kurang bermakna dalam pengembangan MI
 Harapan pemupukan MI unggulan banyak dialamatkan kepada lulusan PGMI dan PGSD sebagai tenaga pendidik professional, mandiri, dan kompeten. Pengembangan jejaring (networking), seperti JSM, juga menjadi pupuk organik yang mampu menumbuh-suburkan MI Belajar dengan teman sederajat memungkinkan keterbukaan dan kemudahan komunikasi. MI unggulan bisa menjadi pelopor bagi MI dan MI lain berperan sebagai pemantap pengembangan. Dengan cara demikian, maka seluruh MI dapat bergerak maju menyongsong masa depan yang lebih cerah.
Sebagaimana telah disinggung di muka, sebagian MI adalah milik masyarakar di bawah payung yayasan atau organisasi keagamaan. Tangan yayasan dan organiasi keagamaan harus bergerak dan curun tangan mengatasi hambatan yang muncul di lapangan. Terutama terkait dengan masalah pendanaan dan penyediaan fasilitas belajar sehingga MI benar-benar layak dan memadai sebagai tempat belajar yang ramah bagi anak-anak bangsa. Apabila tiga pupuk MI berperan optimal, maka pertumbuhan MI semakin cepat dan bisa benar-benar berproses menjadi MI unggulan. Ketiga pupuk tersebut adalah ketersediaan guru professional-mandiri-kompeten, jejering antara sekolah yang kokoh dan dinamis, dan peran aktif yayasan ataupun organisasi keagamaan yang menaunginya. Keunggulan MI menjadi kata kunci untuk memainkan sekali lagi kepeloporannya dalam derap pendidikan nasional sebagaimana yang dilakukan pada awal abad ke-20 melalui gerakan modernisasi pendidikan Islam.

Daftar P ustaka
Abdullah, Syamsuddin, (1997). Agama dan Masyarakat Pendekatan Sosiologi Agama, Jakarta: Logos Wacana ilmu.
Adzim, Zaini, (2010), Dinamika pengembangan madrasah di tengah arus perubahan, Tulung Agung, Jurnal Episteme, Vol 5 No.2, 2010.
Ali, Muhammad, (2009).  Memupuk keunggulan madrasah ibtidaiyah", Majalah Prisma No. 2/XV.
Azra, Azyumardi (1999). "The Rise of Muslim Elite School: A New Patern of Santrinization in Indonesia" Al-Jamiah Journal of Islamic Studies VoLXII/ No. 64.
Agustia, Ary Ginanjar, 2003.  Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power: Sebuah Inner Journey Melalui Ihsan, Jakarta: Arga.
Al-Mawardi, Imam Abu al-Hasan, tt.  Adab ad-dunya wa-addin . Bairut, Darr al ikhsan,
Al-Munawar, Said Agiel, (1999), Madrasah Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Madrasah, Jakarta: LP3ES.
Alim, Muhammad (2006). Pendidikan Agama Islam: Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim . Bandung: Remaja Rosda Karya
Ancok, Djamaluddin, (1995). Psikologi Islam, Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi  , Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Azra ,Azyumardi (1999), Pendidikan Islam, tradisi dan modernisasi menuju mellinium baru, Jakarta, Wacana ilmu
Daradjat, Zakiyah (1978). "Pendidikan di Indonesia" MajalahMimbar Ulama. No. 24 /III
Dhofier,Zamkhsyari (1993). "Lembaga Pendidikan Islam dalam Perspektif Pendidikan Nasional" Majalah Prisma No. 9/X1I
El-Mubarok, Zaim , (2008). Membumikan Pendidikan Nilai, Mengumpulkan yang Terserak, Menyambung yang Terputus dan Menyatukan yang Tercerai, Bandung: Alfabeta.
Fajar, Malik, (2005). Holistika Pemikiran Pendidikan. Bandung: Raja Grafindo Persada,
Fadjar, Malik (1998) Madrasah dan Tantangan Modernitas Bandung: Mizan
Furchan, Arif (2004). Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia: Anatomi keberadaan Madrasah dan PTAI. Yogyakarta: Gama Media
Jajat Burhanudin & Dina Afrianty [ed.]. (2006). Mencetak Muslim Modern:Peta Pendidikan Islam Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Kuntowijoyo. (1991)  Paradigma Islam  : Interpretasi untuk aksi, Banndung, Mizan,
Madjid , Nur Cholis, (1997).  Masyarakat Religius , Jakarta: Paramadina
Mahfudh, Sahal (2007). Nitansa Fiqih SosiaL Yogyakarta: LKiS.
Maksum (1999). Madrasah Sejarah & Perkembangannya. Jakarta: Logos
Munir Mulkhan, Abdul (1993). Paradigama Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan dan Dakwah. Yogyakarta: Sipress.
Peacock, James L. (1983). Pembaharu dan Pembaharuan Agama. Yogyakarta:Hanindita.
Qomar.Mujammil (2002). Manajemnen Pendidikan Islam : Strategi Baru Pengelolaan Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga.
Rahim, Husni (2001) Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos.
Saridjo, Marwan (1986). Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kemenag.
Sirozi, Muhammad (2004). Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-Tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2/1989. Leiden- Jakarta: IMS.
Suryohadiprojo, Sayidiman (2002), "Pendidikan Dasaryang Bermutu" dalam Ikhwanuddin Syarief & Dodo Murtadlo (ed.), Pendidikan untuk Indonesia Baru 70 Tahun HAR Tilaar. Jakarta: Grasindo
Steenbrink, Karel A. (1984). Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19. Jakarta: Bulan Bintang.
Steenbrink, Karel A. (1994). Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen. Jakarta: LP3ES.
Van Bruinessen, Martin, (1994),  NU Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, terj.Yogyakarta; LKIS,
Wahid, KH Abdurrahman, (1989), Menggerakkan Tradisi : esai-esai pesantren Jogjakarta, LkiS
Zuhri , Saifuddin (2007). Guruku Orang-orangdari Pesantren. Yogyakarta: LKiS.




           [1]Data Polda Jatim tentang  tawuran dan tindak kekerasan pelajar dan mahasiswa dimuat dalam laporan IEW tentang indeks kekerasan pelajar dan mahasiswa di Jawa Timur. (Surabaya ; Jurnal  Educating the global village , Vol 03/ No 09/Maret  2013), hal. 11
           [2]Agus Waluyo, Moralitas  Pelajar Kita Memasuki Area Berbahaya : (Jakarta, Harian Kompas  12 Mei 2012)  hal 9.
           [3]Dalam  pasal  3 UU tahun 2003 tentang  Sikdisnas disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung  jawab (Jakarta, Tim Diknas RI, Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, ; Pustaka Ofsett, 2004), hal. 6
           [4]Muhaimin,  Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama di Sekolah,  (Bandung: Remaja Rosdakarya,2002) hal, 37
          [5]Abul Hasan Al-Mawardi, Adab ad-dunya wa-addin  (Kairo: Darr al-ilm, tt) hal, 115
           [6]Gustave Le Bon, As-sunan an-Nafsiah Li tathowwur al-Umam.. Terj. Abu Bakar Ibn Zuhayl, (Marocco : universitas al-Qurawiyien,1997) hal, 172
           [7]Lickona. Man The Unknown, (New York : Mc.Graw Hill Book Compani , 2003) hal, 77
           [8]Lihat hasil penelitian Moh.Nasir tentang  Pengembangan Pendidikan Karakter di Lembaga Pendidikan : Studi Multikasus  di SMUN O4 dan SMU Al-Hidayah Malang,  (Malang, Disertasi UNM, 2012) hal, 66. Periksa pula : Abd.Kohar, Kepemimpinan kepala sekolah dalam pengembangan budaya agama di SMP Nurul Falah  Semarang (Semarang, Laporan Penelitian Balai Litbang Agama Semarang, Juli 2012) hal 115
          [9]Malik Fajar, Holistika Pemikiran Pendidikan. (Bandung: Grafindo Persada, 2005), hal. 13
           [10] Azyumardi Azra, "The Rise of Muslim Elite Schools: A New Patern of Santrinization in Indoensia", Al-Jamiah Journal of Islamic Studies (No.64/XII/1999) hal. 63-78.
           [11] Kurikulum di Sekolah Dasar Islam Unggulan (SDIU) sama persis dengan yang ada di Madrasah Ibtidaiyah. Titik perbedaannya adalah, kalau MI dinaungi Kemenag sedangkan SDIU dinaungi KemenKemendiknas.
           [12] Majalah Triwulan Madinah (No. 07/I/Juli 2008) hal. 7
           [13] Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas (Bandung: Mizan,1998) hal. 49
           [14] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah. (Yogyakarta: SIPRESS, 1993) hal. 2.
           [15] Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam. (Jakarta: Departemen Agama, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1996) hal. 97.
           [16] James L. Peacock, Pembaharu dan Pembaharuan Agama. Terjemahan M. Ali Widjaya (Yogyakarta: Hanindita, 1983) hat. 17.
           [17] Saifuddin Zuhri, Guruku orang-orang dari Pesantren.(Yogyakarta: LKiS, 2007) hal. 2-3.
           [18] Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-Tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2/1989. (Leiden-Jakarta: TNIS, 2004). hal 20
           [19] Sayidiman Suryohadiprojo, "Pendidikan Dasar yang Bermutu" dalam Ikhwanuddin Syarief & Dodo Murtadlo (ed.), Pendidikan untuk Indonesia Baru 70 Tahun HAR Tilaar. Jakarta: Grasindo, 2002) hal. 165.
           [20] Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam. (Jakarta: Departemen Agama, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1996) hal. 102.
           [21] Husni Rahim, Arah Baru  Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Logos, 2001) hal. 109
           [22] Arif Furchan. Tmmformasi Pendidikan Islam di Indonesia: Anatomi keberadaan Madrasah dan PTAI (Yogyakarta: Gama Media, 2004) hal. 99

Tidak ada komentar:

Posting Komentar