Hefni Zain
Pendahuluan
Salah satu isu krusial yang mengemuka akhir-akhir ini
adalah soal merosotnya moralitas bangsa dan lemahnya budaya religius. Polda
Jatim merilis data bahwa di Jawa Timur pada tahun 2011 telah terjadi 143
tawuran dan tindak kekerasan antar-pelajar,
antar-mahasiswa, pelajar dengan mahasiswa dan pelajar-mahasiswa dengan
masyarakat (9 meninggal dunia, 20 luka berat, 95
luka ringan). Kemudian meningkat
menjadi 192 kejadian pada tahun 2012 (15 meninggal dunia, 34 luka berat, 108 luka ringan), dan meningkat lagi menjadi 230
kejadian di tahun 2013 (35 meninggal dunia, 82 luka berat, 146 luka ringan)[1].
Data tentang lemahnya budaya religius di Indonesia juga disampaikan oleh Agus Waluyo melalui hasil surveinya di tahun 2012 yang
menyebutkan bahwa dari 1000 siswa-siswi di 50 SLTA di Jawa Timur yang disurvei,
38 % mengaku pernah melakukan hubungan seksual di luar nikah, 22 % pernah
mengkonsumsi miras dan obat terlarang serta 19 % pernah mencuri[2].
Fakta empirik diatas menunjukkan bahwa kendati
pemerintah telah mencanangkan pengembangan budaya religius sebagai bagian dari
pembentukan karakter bangsa[3], Namun pada ranah empiris, implementasi pendidikan di
berbagai unit pendidikan belum banyak memberikan implikasi signifikan terhadap
perubahan prilaku peserta didik, padahal salah satu tujuan pendidikan
adalah terjadinya perubahan, baik pola fikir (way of thinking), perasaan
dan kepekaan (way of felling), maupun pandangan hidup (way of life) pada
peserta didik[4].
Pengembangan
budaya religius sebagai bagian dari
pembentukan karakter bangsa menjadi sangat penting, karena
tidak ada satupun negara yang sukses meraih pembangunan bila moralitasnya
rendah. Masyarakat yang kokoh adalah mereka yang mempunyai pondasi moral dan
etika yang kokoh sehingga mendorong timbulnya semangat kemandirian, kejujuran,
kerja keras, tanggung jawab keluarga dan sosial. Al-Mawardi
menyebutkan bahwa dekadensi moral merupakan hal paling cepat dalam
menghancurkan bangsa dan sendi-sendinya[5]. Gustave Le Bon juga menyebutkan bahwa dengan kemuliaan akhlak suatu
bangsa akan menjadi terhormat, sebaliknya sebuah bangsa akan ambruk bila
akhlaknya rusak[6]
Adalah Lickona,
seorang profesor pendidikan dari Cortland University, yang
mendeskripsikan hubungan antara aspek moral dengan kemajuan bangsa. Menurutnya
terdapat sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai karena jika
tanda-tanda ini sudah ada, maka berarti sebuah bangsa sedang menuju jurang
kehancurannya. Tanda-tanda dimaksud adalah: 1) meningkatnya kekerasan di
kalangan remaja, 2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang buruk, 3) pengaruh peer
group yang kuat dalam tindakan kekerasan, 4) meningkatnya perilaku
merusak diri, seperti penggunaan narkoba, miras dan seks bebas, 5) semakin
kaburnya pedoman moral baik dan buruk, 6) menurunnya etos kerja, 7) semakin
rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, 8) rendahnya rasa tanggung
jawab individu dan warga negara, 9) membudayanya ketidakjujuran, dan 10) adanya
rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama[7]
Beberapa hasil riset[8] menunjukkan hingga kini pengembangan kreatifiats rasional dan kecerdasan emosional spiritual masih berjalan timpang, hal ini dapat
dilihat dari banyaknya lulusan lembaga pendidikan yang hanya memiliki sejumlah
kecerdasan tetapi bermental lemah dan bermoral rendah. Fakta ini merupakan
indikator nyata dari belum efektifnya model dan fungsi pendidikan yang selama ini
dijalankan dalam membentuk manusia Indonesia yang
berkarakter dan berbudaya religius. Padahal secara
teoritis, pendidikan diyakini sebagai sistem rekayasa sosial yang paling
berpengaruh mewarnai dan membentuk pola fikir dan prilaku seseorang dalam hidup
kesehariannya.
Pengembangan
budaya religius adalah membudayakan sikap, pola fikir dan
prilaku yang didasarkan pada nilai-nilai agama secara menyeluruh sehingga
menjadi pandangan hidup dan kebiasaan sehari-hari. Nilai-nilai tersebut diantaranya
berupa : ketakwaan, kejujuran, kearifan, keadilan,
kesetaraan, harga diri, percaya diri, harmoni, kemandirian, kepedulian,
kerukunan, ketabahan, kreativitas, kompetitif, kerja keras, keuletan,
kehormatan, kedisiplinan, dan keteladanan[9]
Di Madrasah,
pengembangan budaya religius mempunyai landasan yang kokoh, baik secara preskriptif maupun
deskriptif, baik secara normatif maupun kostitusional. Dengan
membudayakan nilai-nilai religius kepada peserta didik diharapkan dapat
membentuk karakter, kepribadian, sikap dan moralitas yang mulia, baik
hubungannya dengan Allah swt, dengan sesama manusia maupun dengan lingkungan
alam sekitar.
Sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai ciri khas
Islam, madrasah memegang peran penting dalam proses pembentukan kepribadian peserta didik, karena melalui
pendidikan madrasah ini para orang tua berharap agar anak-anaknya memiliki dua
kemampuan sekaligus, tidak hanya pengetahuan umum (IPTEK) tetapi juga memiliki
kepribadian dan komitmen yang tinggi terhadap agamanya (IMTAQ). Oleh sebab itu
jika memahami benar harapan para orang tua ini maka
sebenarnya madrasah memiliki prospek yang sangat cerah.
Mutiara yang perlu disempuh
Dilihat dari kesejarahannya, madrasah memiliki akar budaya
yang kuat di tengah-tengah masyarakat, sebab itu madrasah sudah menjadi milik
masyarakat. Apabila dewasa ini banyak ahli berbicara tentang inovasi pendidikan
nasional untuk melahirkan pendidikan yang dikelola masyarakat (community
based management), maka madrasah merupakan model dari pendidikan tersebut. Akan tetapi, dari sekian puluh ribu madrasah yang
tersebar di seluruh pelosok tanah air ini sebagian besar masih bergumul dengan
persoalan berat yang sangat menentukan hidup dan matinya madrasah, sehingga
nilai tawar semakin rendah dan semakin termarginalkan.
Fenomena di atas setidaknya disebabkan oleh dua hal,
yaitu kaitannya dengan problem internal kelembagaan dan parental choice of
education, bahwa popularitas dan marginalitas lembaga pendidikan sangat
ditentukan oleh sejauh mana lembaga pendidikan bersangkutan mampu merespon dan
mengakomodasi aspirasi masyarakat dan seberapa jauh lembaga bersangkutan dapat
menyelesaikan permasalahan-permasalahan internal kelembagaan ke arah
profesionalitas penyelenggaraan pendidikan.
Terkait dengan problem internal kelembaggaan, bahwa
problem internal madrasah yang selama ini dirasakan meliputi seluruh sistem
kependidikannya, terutama sistem manajemen dan etos kerja madrasah, kualitas
dan kuantitas guru, kurikulum, dan sarana fisik dan fasilitasnya. Problem
semacam itu, karena posisi madrasah berada dalam problem yang bersifat causal
relationship; dari problem dana yang kurang memadai, fasilitas kurang,
pendidikan apa adanya, kualitas rendah, semangat mundur, inovasi rendah, dan
peminat kurang, demikian seterusnya berputar bagai lingkaran setan.
Di sisi lain, kaitannya dengan parental choice of
education, dalam masyarakat akhir-akhir ini terjadi adanya pergeseran
pandangan terhadap pendidikan seiring dengan tuntutan masyarakat (social
demand) yang berkembang dalam skala yang lebih makro. Masyarakat melihat
pendidikan tidak lagi dipandang hanya sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan
terhadap perolehan pengetahuan dan ketrampilan dalam konteks waktu sekarang,
tetapi juga dipandang sebagai bentuk investasi, baik modal maupun manusia (human
and capital investmen) untuk membantu meningkatkan ketrampilan dan
pengetahuan sekaligus mempunyai kemampuan produktif di masa depan yang diukur
dari tingkat penghasilan yang diperolehnya. Pergeseran ini mengarah pada; Pertama,
terjadinya teknologisasi kehidupan sebagai akibat adanya loncatan revolusi di
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, kecenderungan perilaku
masyarakat yang lebih fungsional, dimana hubungan sosial hanya dilihat dari
sudut kegunaan dan kepentingan semata, ketiga, masyarakat padat informasi, dan
keempat, kehidupan yang makin sistemik dan terbuka, yakni masyarakat yang
sepenuhnya berjalan dan diatur oleh sistem yang terbuka (open system).
Sesuai dengan ciri masyarakat tersebut, maka pendidikan
yang akan dipilih oleh masyarakat adalah pendidikan yang dapat memberikan
kemampuan secara teknologis, fungsional, individual, informatif dan terbuka.
Dan yang lebih penting lagi, kemampuan secara etik dan moral yang dapat dikembangkan
melalui agama. Dengan problem internal kelembagaan madrasah seperti ini,
dikaitkan dengan parental choice of education, dimana masyarakat semakin
kritis, prakmatis, terbuka dan berpikir jauh ke depan dalam melakukan pilihan
pendidikan bagi anak-anaknya, maka pendidikan madrasah akan tetap berada pada
posisinya sebagai lembaga pendidikan “kelas dua”, “marginal” yang hanya
diminati masyarakat bawah dan tidak atau kurang dilirik oleh masyarakat
menengah atas (upper midle class), sebaliknya jika madrasah secara
internal dikelola dengan sistem managemen profesional dan mampu memahami dan
merespon tuntutan dan aspirasi masyarakat tersebut, maka madrasah akan
memperoleh peluang yang lebih besar untuk menjadi pilihan utama dan pertama
bagi masyarakat.
Dari spektrum diatas dapat disebutkan bahwa semakin terpelajar
masyarakat semakin banyak aspek yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam
melilih suatu lembaga pendidikan. Dan sebaliknya, semakin awam masyarakat
semakin sederhana pertimbangannya dalam memilih lembaga pendidikan atau
barangkali, bahkan hanya sekadar menjadi makmum dengan kepercayaannya. Terdapat
tiga hal yang menjadi pertimbangan masyarakat terpelajar dalam memilih suatu
lembaga pendidikan bagi anak-anak mereka, yaitu cita-cita dan gambaran hidup
masa depan, posisi dan status sosial, serta agama. Dalam kaitan ini, jika
madrasah memenuhi ketiga kreteria di atas, maka akan semakin diminati oleh
masyarakat terutama masyarakat terpelajar, tetapi sebaliknya, banyak lembaga
pendidikan Islam yang akan semakin meminggir posisinya karena tidak menjanjikan
apa-apa.
Kesan marginalitas madrasah, sebenarnya lebih banyak
disebabkan karena sebagian besar madrasah lebih berorientasi pada kerakyatan
(populis), pendidikan hanya dijadikan sebagai fungsi “cagar budaya” dan pada
saat bersamaan ia mengabaikan kualitas dan prestasi, sebab itu penyelenggaraan
pendidikan cenderung dilakukan secara konvensional, apa adanya, managemen
non-profesional, stagnan dan status qou, dan pada akhirnya pendidikan semacam
ini ditinggalkan oleh masyarakat dan hanya diminati kelompok masyarakat bawah.
Akan tetapi dewasa ini persepsi atau pemahaman
masyarakat tentang madrasah sudah mengalami pergeseran sejalan dengan
perbahan-perubahan yang terjadi secara makro yang dilakukan pemerintah dengan
kebijakan-kebijakan barunya. Pada awalnya madrasah dipahami sebagai sekolah
yang hanya mengajarkan agama tetapi sekarang ini persepsi masyarakat sudah
berubah bahwa ternyata madrasah pada dasarnya sama dengan sekolah umum lainnya
karena memiliki kurikulum yang sama, di sisi lain madrasah dianggap sebagai
sekolah umum plus agama. Perubahan persepsi dan pemahaman tersebut seiring
dengan perubahan-perubahan yang terjadi secara makro, madrasah dianggap sebagai
sekolah agama ketika kurikulum madrasah masih berbanding 70% agama dan 30%
umum, tetapi ketika terjadi perubahan dimana madrasah adalah sekolah umum yang
berciri khas Islam yang memiliki kurikulum sama dengan sekolah umum dan
memiliki kelebihan yakni “identitas keIslaman”, maka madrasah kemudian dianggap
sebagai sekolah umum plus yang memiliki nilai lebih dibanding dengan sekolah
umum.
Jika dilihat dari kecenderungan atau gejala sosial baru
yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini yang berimplikasi pada tuntutan dan
harapan tentang model pendidikan yang mereka harapkan, maka sebenarnya madrasah
memiliki potensi dan peluang besar untuk menjadi alternatif pendidikan masa
depan. Kecenderungan tersebut antara lain sebagai berikut ;
Pertama, terjadinya mobilitas sosial yakni munculnya
masyarakat menengah baru terutama kaum intelektual yang akhir-akhir ini
mengalami perkembangan pesat. Kelas menengah baru senantiasa memiliki peran
besar dalam proses transformasi sosial, di bidang pendidikan misalnya akan
berimplikasi pada tuntutan terhadap fasilitas pendidikan yang sesuai dengan
aspirasinya baik cita-citanya maupun status sosialnya. Karena itu lembaga
pendidikan yang mampu merespon dan mengapresiasi tuntutan masyarakat tersebut
secara cepat dan cerdas akan menjadi pilihan masyarakat ini.
Kedua, munculnya kesadaran baru dalam beragama
(santrinisasi), terutama pada masyarakat perkotaan kelompok masyarakat menengah
atas, sebagai akibat dari proses re-Islamisasi yang dilakukan secara intens
oleh organisasi-organisasi keagamaan, lembaga-lembaga dakwah atau yang
dilakukan secara perorangan. Terjadinya santrinisasi masyarakat elit tersebut
akan berimplikasi pada tuntutan dan harapan akan pendidikan yang
mengaspirasikan status sosial dan keagamaannya. Sebab itu pemilihan lembaga
pendidikan didasarkan minimal pada dua hal tersebut, yakni status sosial dan
agama.
Ketiga, arus globalisasi dan modernisasi yang demikian
cepat perlu disikapi secara arif. Modernisasi dengan berbagai macam dampaknya
perlu disiapkan manusia-manusia yang memiliki dua kompetensi sekaligus; yakni
Ilmu Pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan nilai-nilai spiritualitas keagamaan
(IMTAQ). Kelemahan di salah satu kompetensi tersebut menjadikan perkembangan
anak tidak seimbang, yang pada akhirnya akan menciptakan pribadi yang pincang (split
personality), sebab itu pontensi-potensi insaniyah yang meliputi kedua hal
tersebut secara bersamaan harus diinternalisasi dan dikembangkan pada diri anak
didik. Arus globalisasi dan modernisasi tersebut akhirnya berimplikasi pada
tuntutan dan harapan masyarakat terhadap pendidikan yang disamping dapat
mengembangkan potensi-potensi akademik ilmu pengetahuan dan teknologi juga
internalisasi nilai-nilai riligiusitas.
Kecenderungan di atas harus segera direspon oleh
madrasah jika lembaga ini tidak ingin ditinggalkan oleh masyarakat. Disamping
itu Madrasah juga harus dapat membaca alasan-alasan dan pertimbangan orang tua
dalam memilih lembaga pendidikan baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Alasan masyarakat memilih lembaga pendidikan paling tidak didasarkan pada lima
kategori sebagai berikut ;
Pertama, alasan teologis. Alasan ini didasarkan pada
kecenderungan global sekarang ini dimana nilai-nilai agama dan moralitas
menjadi taruhan seiring dengan arus globalisasi tersebut, sebab itu orang tua
berfikir agar bagaimana di tengah arus globalisasi tersebut sejak dini
anak-anak sudah dibentengi dengan moralitas dan agama. Kedua, alasan sosiologis. Berdasarkan alasan ini
pemilihan lembaga pendidikan adalah didasarkan pada seberapa jauh lembaga
pendidikan dapat memenuhi peran-peran sosiologis; peran alokasi posisionil
berupa kedudukan dan peran penting dalam kehidupan sosial; memungkinkan
terjadinya mobilitas sosial; peran mengukuhkan status sosial; dan peran untuk
meningkatkan prestise seseorang di masyarakat. Ketiga, alasan fisiologis. Alasan ini didasarkan pada faktor-faktor
eksternal yang bersifat fisik, seperti; letak dan kondisi geografis, bangunan
fisik, lingkungan pendidikan, sarana dan prasarana serta fasilitas pendidikan,
dan seterusnya.Keempat, Alasan
akademis. Alasan ini didasarkan pada prestasi dan performa lembaga pendidikan
yang menunjukkan bahwa lembaga pendidikan tersebut dikelola secara profesional.
Performa dan profesionalitas pengelolaan lembaga pendidikan akan mempunyai
pengaruh signifikan terhadap tinggi rendahnya prestasi akademik, dan lembaga
pendidikan yang mempunyai prestasi yang tinggi, bagi masyarakat terpelajar,
akan dikukuhkan sebagai lembaga pendidikan unggul, favorit dan menjadi pilihan
masyarakat. Dan Kelima, Alasan Ekonomis.
Alasan ini didasarkan pada tinggi rendahnya biaya yang dikeluarkan oleh orang
untuk pembiayaan pendidikan di lembaga bersangkutan. Bagi masyarakat menengah
ke bawah permasalahan biaya menjadi masalah penting, sebaliknya bagi masyarakat
elit tingginya biaya pendidikan kadang menjadi ukuran bahwa lembaga pendidikan
tersebut unggul, elit, prestise, dan menjanjikan.
Ketika menatap performa pendidikan Indonesia kontemporer, tidak sedikit
penyelenggara dan pengelola pendidikan madrasah dibuat tersentak. Bagaimana
tidak, ketika madrasah yang dikatakan sekolah umum plus berciri khas agarna
Islam mengalami kelesuan, pada saat bersamaan justru bermunculan dan menjamur
sekolah Islam elit/unggulan yang memperoleh mandat penuh dari umat[10].
Padahal dari sisi kelembagaan ataupun kurikulumnya sekolah Islam unggulan itu
hampir tidak ada bedanya dengan madrasah[11].
Kalaupun terdapat citik perbedaan itu lebih terletak pada tata kelola sekolah
dan kualitas guru. Majalah Triwulan Madinah memberi kesaksian sebagai berikut:
Dalam satu
delude terakhir ini, ledakan sekolah-sekolah Islam memang sangat terasa...
Kini, keragaman itu diperkaya dengan sekolah-sekolah yang berlabel Islam dengan
kemasan yang jauh lebih modern. Salah satu cirri utamanya adalah, mirip dengan
madrasah, kurikulum sekolah-sekolah Islam ini memuat pelajaran agama yang jauh
lebih banyak[12].
Merujuk pada fenomena tersebut, pada hakikatnya model pendidikan madrasah
relevan dengan kebutuhan masyarakat modern yang ditandai percepatan
perkembangan ilmu dan teknologi, namun tetap dibayangi dengan ketidakpastian
masa depan. Kalau demikian faktanya, pasti ada sesuatu yang belum pas atau
masih mengganjal terkait dengan pengelolaan madrasah. Pertanyaan yang tersisa
adalah mengapa potensi keunggulan madrasah yang demikian besar itu belum mampu
diejawantahkan dan diaktualisasikan dalam konteks pendidikan Indonesia
kontemporer?
Tulisan ini berusaha mengkaji dan mengurai benang kusut permasalahan
tersebut melalui jendela Madrasah Ibtidaiyah (MI). Pilihan ini dilandasi
kenyataan bahwa kajian tentang MI cenderung diabaikan dalam perbincangan
tentang madrasah, padahal secara kuantitas jumlahnya sangat besar dibandingkan
dengan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA). Secara akademik gejala serupa juga
muncul, dimana keberadaan Fakultas Tarbiyah di Perguruan Tinggi Agama Islam
(PTAI) ditujukan untuk mempersiapkan calon guru agama di MTs dan MA. Baru
beberapa tahun ini terlihat usaha serius untuk menangani potensi MI, yaitu
dengan dibukanya jurusan PGMI di PTAI. Tetapi sejauh ini belum muncul karya
yang secara serius mengkaji persoalan tersebut[13].
Kecenderungan untuk mengabaikan MI amat jelas ketika para peneliti mencoba
menjelaskan proses transformasi pendidikan Islam di Indonesia. Pola umum
perubahan kelembagaan pendidikan selalu dilukiskan dimulai dari pesantren,
madrasah, dan sekolah. Pola umum perubahan kelembagaan itu mungkin tepat untuk
melukiskan perkembangan pendidikan Islam untuk tingkat menengah dan Perguruan
Tinggi, tetapi tidak cukup akurat untuk memotret lembaga pendidikan Islam
tingkat elementer/dasar. Kelahiran dan proses pertumbuhan MI pada umumnya
bermula dari penyelenggaraan pendidikan yang bersifat elementer yang berupa
Pengajian Qur’an, Sekolah Arab, atau Nggon Ngaji yang banyak tersebar di
masyarakat komunitas santri. Oleh karena itu perlu pelacakan serius dan
tersendiri berkaitan asal usul dan evolusi MI dalam konteks kelembagaan
pendidikan Islam di Indonesia.
Salah satu alasan mengapa derap langkah madrasah tidak sekencang laju
perkembangan sekolah umum, menurut pengamatan penulis, karena beban ideologis
dan psikologis masih bersemayam pada diri sebagian intelektual muslim yang
berimbas pada sikap ambivalen para praktisi pendidikan madrasah. Beban
ideologis[14].
terkait penolakan terhadap ilmu umum yang dianggap sekuler karena merupakan
produk Peradaban Barat. Beban ideologis ini melecutkan wacana dan perdebatan
islamisasi ilmu yang menguras tenaga dan sangat melelahkan, tetapi anehnya
masih terus berlanjut hingga detik ini.
Beban psikologis mengejawantah dalam bentuk perasaan rendah diri,
lembaga pendidikan kelas dua, ketakutan menghilangnya watak keislaman madrasah,
dan kekhawatiran semakin menciutnya peran Kementerian Agama dalam pengelolaan
madrasah[15].
Alangkah anggunnya apabila beban ideologis dan psikologis itu dapat dikeluarkan
dari pikiran dan hati para pemikir dan praktisi pendidikan Islam (madrasah)
sehingga mereka dapat melaju dengan kecepatan berlipat. Hanya dengan akselerasi
itulah madrasah dapat bersaing dan berdiri sama tinggi dengan lembaga
pendidikan lain.
Evolusi dan Keterbukaan Madrasah
Sampai akhir abad ke-19, pengajian al-Quran atau pendidikan langgar
adalah satu-satunya model pendidikan Islam elementer yang tersebar luas di hampir
seluruh pelosok Indonesia. Bagi anak-anak yang orang tuanya mampu atau masih
memiliki hubungan kekerabatan dengan kyai, merasa belum cukup dengan hanya mengenyam
pendidikan tingkat dasar. Mereka akan segera melanjutkan ke pendidikan Islam
lanjutan, yaitu pondok pesantren. Ini sejalan dengan sinyalemen Peacock, bahwa
pertumbuhan ke arah kedewasaan di kalangan anak laki-laki Muslim di Asia
Tenggara mengikuti gerak sentrifugal: dari pengasuhan pihak wanita ke
pendampingan pihak pria, dari lingkungan rumah tangga ke lingkungan masyarakat,
dari lingkungan bermain-main ke lingkungan ke-Islaman[16]. Mereka
mulai belajar doktrin Islam dan belajar membaca al-Quran dengan orang tuanya
atau di Langgar, melanjutkan ke pesantren, pergi haji, dan berkiprah di
masyarakat.
Memasuki permulaan abad ke-20 mulai muncul gagasan dan prakarsa pembaharuan
untuk memperbaiki dan lebih mengefektifkan model pengajian al-Quran. Formulasi
pembaruannya diwujudkan dalam bentuk atau model madrasah, ada yang menyebut
Sekolah Arab[17]. Di
situ mulai dipergunakan penjenjangan, papan tulis, dingklik, waktu belajarnya
sore hari (antara jam 14.00 WIB - 16.00 WIB) dan gedung sebagai sarana
pendidikan. Dengan demikian, sebagian pengajian al-Quran, pendidikan Langgar,
dan nggon ngaji berubah dan berevolusi menjadi madrasah atau Sekolah
Arab. Mengapa dikatakan sebagian? Karena memang tidak semua pengajian al-Quran
dapat berubah menjadi madrasah. Diperlukan kondisi tertentu untuk bisa
melahirkan madrasah: ada pengajar yang cukup memadai, daya dukung masyarakat,
dan fasilitas tanah untuk gedung. Madrasah kemudlan menjadi magnet yang mampu
menarik anak-anak muslim dari kampung lain untuk mendatanginya.
Ketika pemerintah Orda Baru menggencarkan program Wajib Belajar, tuntas
pendidikan dasar, pada dekade 1970-an umat Islam terpanggil untuk ikut
mensukseskan program tersebut dengan jalan mengubah madrasah (diniyah) atau
Sekolah Arab menjadi pendidikan formal dengan nama Madrasah Ibtidaiyah (MI).
Waktu belajarnya pagi hari sebagaimana Sekolah Dasar pada umumnya, tapi porsi
materi agama jauh lebih banyak dibandingkan SD. Perubahan itu tidak membuat
madrasah sore hari berhenti. la masih tetap bertahan, bahkan sampai saat mi,
dinamakan Madrasah Diniyah.
Proses evolusi dan keterbukaan madrasah dalam berinteraksi dengan kemajuan
dunia luar telah mendorong ke arah hubungan yang semakin mesra. Meskipun
usaha-usaha untuk mengintegrasikan pendidikan Islam telah dimulai sejak awal
abad ke-20, tetapi baru memperoleh wujud kongkritnya dalam waktu belakangan
ini. Di mulai dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri pada tahun 1975 tentang peningkatan
mutu pendidikan pada madrasah. Keputusan Bersama itu menegaskan bahwa MI
setingkat dengan SD, MTs setingkat dengan SMP, dan MA setingkat dengan SMA.
Yang dimaksuti dengan madrasah dalam Keputusan Bersama tersebut adalah "lembaga
pendidikan Islam yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata
pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30%, disamping mata pelajaran
umum 70%".
Posisi madrasah dan perguruan agama semakin mantap terintegrasi dengan
sistem pendidikan nasional seiring hadirnya UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional [18]. Dalam pasal 11 ayat (6) ditegaskan bahwa
pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik
untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus
tentang agama yang bersangkutan. Dari situ diketahui bahwa madrasah telah
memiliki posisi yang kokoh dan sejajar dengan lembaga pendidikan lain dalam
alam pendidikan nasional. Posisi madrasah bertambah kuat dengan lahirnya UU No.
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 15 menandaskan bahwa:
"Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi,
vokasi, keagamaam dan khusus".
Berlandaskan penjelasan perundang-undangan tersebut, dapat ditarik
benang merah bahwa kedudukan dan posisi madrasah secara politik sebenarnya
sudah sangat kuat. Madrasah telah menjadi bagian integral yang menyatu padu
dalam alam pendidikan nasional. Satu abad yang lalu hal itu masih merupakan
mimpi dan sebatas cita-cita umat Islam, sekarang telah menjadi sebuah
kenyataan. Oleh karena itu, tidak ada kata lain bagi umat Islam, kecuali
mencurahkan segenap tenaga, pikiran, dan materi untuk memajukan madrasah.
Madrasah Ibtidaiyah perlu mendapat perhatian ekstra keras, karena di samping
jumlahnya sangat besar dan berada di pelosok pedesaan, lebih dari itu adalah
tempat awal penggodokan dasar-dasar keilmuan dan pembentukan watak anak bangsa
yang sangat berpengaruh bagi masa depan anak bersangkutan dan kemajuan suatu
bangsa[19].
Menuju excelensi Madarasah
Dengan keluarnya SKB 3 Menteri tentang peningkatan mutu pendidikan madrasah,
diperkuat dengan UU No. 2 tahun 1989 dan disempurnakan UU No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, kedudukan madrasah itu sudah kokoh dan
mantap dalam rumpun pendidikan nasional. Dengan kata lain, secara politik sudah
tidak ada lagi penghalang yang mengganggu upaya pengembangan madrasah. Yang
masih sedikit tersisa barangkali adalah hambatan yang bersifat ideologis dan
psikologis. Secara bertahap beban itu juga mulai memudar seiring semakin
meningkatnya tarap berpikir umat.
Sangat disayangkan keterbukaan pemerintah untuk mengakomodasi keberadaan
madrasah belum ditangkap sebagai sebuah peluang untuk mendongkrak kualitas
madrasah. Harus diakui bahwa usaha meningkatkan kualitas madrasah, terutama
Madrasah Ibtidaiyah bukan perkara mudah. Sebab, sebagian besar Madrasah
Ibtidaiyah berada di lingkungan pedesaan, muridnya berasal dari.keluarga tidak
kaya, dan sebagian besar dikelola oleh yayasan/ lembaga swasta. Problematika
itu masih ditambah lagi dengan krisis guru yang dialami Madrasah Ibtidaiyah
dalam satu dasawarsa terakhir ini. Dikatakan menderita krisis guru, karena
kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa guru PNS yang diperbantukan (DPK) sudah
memasuki pensiun masal sehingga tidak ada lagi guru PNS, kalaupun ada hanya 1
orang biasanya merangkap sebagai kepala sekolah. Untuk menambal kekurangan,
terpaksa merekrut guru bantu atau guru wiyata bakti yang latar belakang
pendidikannya bukan berasal dari jalur pendidikan dan bergaji sangat minim,
antara Rp.100.000 hingga Rp. 200.000.
Melihat kondisi demikian, usaha memperluas kapasitas guru menjadi kunci
utama membuka gerbang kemajuan Madrasah Ibtidaiyah. Lahirnya jurusan Pendidikan
Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) di Fakultas Tarbiyah UIN/IAIN/STAIN dapat
menjadi darah segar sebagai pemacu peningkatkan kualitas guru Madrasah
Ibtidaiyah. Strategi Kemenag melalui Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
dalam mengembangkan madrasah dilakukan melalui langkah-langkah berikut : (1) Peningkatan mutu semua jenis dan jenjang
pendidikan pada perguruan agama Islam sesuai dengan perkembangan ilmu dan
teknologi serta tuntutan pembangunan. (2) Pembinaan madrasah negeri diusahakan untuk
menjadi contoh (model) bagi madrasah swasta terutama dalam soal mutu. (3) Pembinaan
madrasah swasta diarahkan agar sistem pendidikannya selaras dengan sistem
pendidikan nasional. Mutunya sama dengan madrasah negeri[20].
Pilihan strategi Kemenag dalam pengembangan madrasah itu mirip,
atau bahkan sama dengan, yang dilakukan oleh Kemendiknas melalui pembentukan pembentukan
gugus-gugus sekolah dimana ada 1 sekolah yang berkewajiban membina sekolah
imbas. Pola itu cocok untuk pengembangan SD di lingkungan Kemendiknas, tetapi
tidak untuk pengembangan MI. Mengapa strategi itu tidak tepat sasaran? Pertama,
jumlah MIN yang menjadi rujukan atau model tidak banyak, satu kabupaten
paling hanya 1 atau 2 madrasah sehingga sangat berat apabila harus membina MI
lain yang berjumlah hingga 50-an untuk setiap kabupaten atau kota. Kedua, usaha
peningkatan kualitas MI dengan jalan penegerian MI swasta jelas bukan langkah
bijak. Hal itu justru mengebiri dan meremehkan potensi umat, apalagi ketika Kemenag
harus dihadapkan dengan dana yang terbatas, berapa MI yang akan mampu dinegerikan
dengan dana tersebut?. Ketiga, menempatkan MIN seolah-olah kualitasnya
di atas MI swasta harus dilakukan secara hati-hati. Bukan tidak mungkin MI
swasta justru lebih berkualitas tinimbang MIN, sebagaiman kasus gugus SD di
lingkungan Kemendiknas.
Kalau strategi Kemenag dalam mengembangkan MI dipandang kurang tepat,
terus strategi apa yang lebih sesuai? Berangkat dari sejarah panjang pendidikan
Islam di Indonesia yang merupakan milik masyarakat, atau istilah sekarang
yayasan, maka strategi pengembangan madrasah, khususnya MI, sebaiknya dilakukan
dari bawah. Kemenag bertugas mendorong, menstimulasi, dan memfasilitasi umat
agar tergerak hatinya ikut memilcirkan pengembangan madrasah. Kata kuncinya
adalah mengaktualkan potensi umat Islam sehingga memiliki greget untuk
memajukan madrasah dan para pengelolanya harus didorong agar mampu berkreasi
secara mandiri dengan cara menciptakan terobosan-terobosan baru[21]
Ketika membincang MI unggulan, secara otomatis jari telunjuk
langsung diarahkan pada MIN Malang. Imron Arifm, sebagaimana disitir Arif
Furchan, menyebut MIN Malang sebagai MI berprestasi yang memiliki 10 ciri yang melekat
di lembaga tersebut. Kesepuluh karakter/ciri khas MIN Malang tersebut mencakup:
(1) fasilitas fisik dan perlengkapan yang baik; (2) guru-guru dan staf
pendukung yang kompeten dan memiliki komitmen yang tinggi; (3) pembelajaran
yang berdiferensiasi; (4) harapan dan kepercayaan yang tinggi, dan dukungan
yang kuat dari orang tua dan masyarakat sekitar; (5) organisasi yang rastonal
dan harmonis; (6) komitmen yang tinggi terhadap budaya dan agama; (7) iklim
kerja yang sehat serta motivasi dan semangat kerja yang tinggi; (8)
keterlibatan wakil kepala sekolah dan guru-gurunya; (9) dukungan figur-figur kreatif
yang kaya wawasan dan gagasan; dan (10) kepemimpinan kepala sekolah yang efektif[22]
Profil MIN Malang merupakan lukisan MI yang sangat ideal dan sudah jadi.
Bagi MIN mungkin bisa dijadikan cermin diri untuk melakukan perubahan, tetapi
untuk MI swasta harus berpikir seribu kali bila ingin mencontoh atau menjadikan
MIN Malang sebagai model pengembangan madrasahnya. Sebab, sebagai madrasah
negeri gaji guru dan kebutuhan yang lain sudah disiapkan pemerintah, sedangkan MI
swasta harus mengusahakannya sendiri. Oleh karena itulah, selanjutnya akan
dijelaskan bagaimana jalan terjal nan mendaki yang dilalui MI atau SD Islam
swasta untuk mengembangkan dirinya sehingga bisa dipercaya oleh masyarakat.
Catatan Penutup
Uraian di muka menegaskan bahwa sebagian besar MI swasta yang
berada di pedesaan tengah tertidur pulas. Meskipun ada riak-riak kecil
perubahan. itu hanya terjadi di permukaan dan dalam jumlah yang sangat terbatas
sehingga belum mampu membangunkannya. Diperlukan ombak dan gelombang besar untuk
membangunkan tidur pulasnya tersebut. Gelombang besar akan muncul bila ada
angin kencang yang mendorongnya. Hadirnya jurusan PGSD dan PGMI belakangan ini
bisa menjadi kekuatan inti untuk menggerakkan kemajuan MI. Hal itu bisa terjadi
manakala sistem perkuliahan mampu membekali calon guru SD/MI memiliki kemampuan
teoritis sekaligus praktis secara memadai. Tanpa kemampuan itu, pembukaan
jurusan baru tersebut kurang bermakna dalam pengembangan MI
Harapan pemupukan MI
unggulan banyak dialamatkan kepada lulusan PGMI dan PGSD sebagai tenaga
pendidik professional, mandiri, dan kompeten. Pengembangan jejaring (networking),
seperti JSM, juga menjadi pupuk organik yang mampu menumbuh-suburkan MI
Belajar dengan teman sederajat memungkinkan keterbukaan dan kemudahan
komunikasi. MI unggulan bisa menjadi pelopor bagi MI dan MI lain berperan
sebagai pemantap pengembangan. Dengan cara demikian, maka seluruh MI dapat
bergerak maju menyongsong masa depan yang lebih cerah.
Sebagaimana telah disinggung di muka, sebagian MI adalah milik masyarakar
di bawah payung yayasan atau organisasi keagamaan. Tangan yayasan dan organiasi
keagamaan harus bergerak dan curun tangan mengatasi hambatan yang muncul di
lapangan. Terutama terkait dengan masalah pendanaan dan penyediaan fasilitas
belajar sehingga MI benar-benar layak dan memadai sebagai tempat belajar yang
ramah bagi anak-anak bangsa. Apabila tiga pupuk MI berperan optimal, maka
pertumbuhan MI semakin cepat dan bisa benar-benar berproses menjadi MI
unggulan. Ketiga pupuk tersebut adalah ketersediaan guru
professional-mandiri-kompeten, jejering antara sekolah yang kokoh dan dinamis,
dan peran aktif yayasan ataupun organisasi keagamaan yang menaunginya.
Keunggulan MI menjadi kata kunci untuk memainkan sekali lagi kepeloporannya
dalam derap pendidikan nasional sebagaimana yang dilakukan pada awal abad ke-20
melalui gerakan modernisasi pendidikan Islam.
Daftar P ustaka
Abdullah, Syamsuddin, (1997). Agama dan Masyarakat
Pendekatan Sosiologi Agama, Jakarta: Logos Wacana ilmu.
Adzim, Zaini, (2010), Dinamika pengembangan madrasah di tengah arus perubahan, Tulung Agung,
Jurnal Episteme, Vol 5 No.2, 2010.
Ali,
Muhammad, (2009). Memupuk keunggulan
madrasah ibtidaiyah", Majalah Prisma No. 2/XV.
Azra,
Azyumardi (1999). "The Rise of Muslim Elite School: A New Patern of Santrinization
in Indonesia" Al-Jamiah Journal of Islamic Studies VoLXII/ No. 64.
Agustia,
Ary Ginanjar, 2003. Rahasia Sukses
Membangkitkan ESQ Power: Sebuah Inner Journey Melalui Ihsan, Jakarta: Arga.
Al-Mawardi, Imam Abu al-Hasan, tt. Adab ad-dunya wa-addin . Bairut, Darr al
ikhsan,
Al-Munawar, Said Agiel, (1999), Madrasah Masa Depan, Wacana
Pemberdayaan dan Transformasi Madrasah, Jakarta: LP3ES.
Alim, Muhammad (2006).
Pendidikan Agama Islam: Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim .
Bandung: Remaja Rosda Karya
Ancok,
Djamaluddin, (1995). Psikologi Islam, Solusi Islam atas Problem-Problem
Psikologi , Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,
Azra ,Azyumardi (1999), Pendidikan Islam, tradisi dan modernisasi menuju
mellinium baru, Jakarta, Wacana ilmu
Daradjat,
Zakiyah (1978). "Pendidikan di Indonesia" MajalahMimbar Ulama. No.
24 /III
Dhofier,Zamkhsyari
(1993). "Lembaga Pendidikan Islam dalam Perspektif Pendidikan
Nasional" Majalah Prisma No. 9/X1I
El-Mubarok, Zaim , (2008).
Membumikan Pendidikan Nilai, Mengumpulkan yang Terserak, Menyambung yang
Terputus dan Menyatukan yang Tercerai, Bandung: Alfabeta.
Fajar, Malik, (2005). Holistika Pemikiran
Pendidikan. Bandung: Raja Grafindo Persada,
Fadjar,
Malik (1998) Madrasah dan Tantangan Modernitas Bandung: Mizan
Furchan,
Arif (2004). Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia: Anatomi keberadaan
Madrasah dan PTAI. Yogyakarta: Gama Media
Jajat
Burhanudin & Dina Afrianty [ed.]. (2006). Mencetak Muslim Modern:Peta
Pendidikan Islam Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Kuntowijoyo. (1991) Paradigma Islam :
Interpretasi untuk aksi, Banndung, Mizan,
Madjid , Nur Cholis, (1997). Masyarakat Religius , Jakarta: Paramadina
Mahfudh,
Sahal (2007). Nitansa Fiqih SosiaL Yogyakarta: LKiS.
Maksum
(1999). Madrasah Sejarah & Perkembangannya. Jakarta: Logos
Munir
Mulkhan, Abdul (1993). Paradigama Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat
Pendidikan dan Dakwah. Yogyakarta: Sipress.
Peacock,
James L. (1983). Pembaharu dan Pembaharuan Agama. Yogyakarta:Hanindita.
Qomar.Mujammil (2002).
Manajemnen Pendidikan Islam : Strategi Baru Pengelolaan Pendidikan Islam,
Jakarta: Erlangga.
Rahim,
Husni (2001) Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos.
Saridjo,
Marwan (1986). Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kemenag.
Sirozi,
Muhammad (2004). Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-Tokoh
Islam dalam Penyusunan UU No. 2/1989. Leiden- Jakarta: IMS.
Suryohadiprojo,
Sayidiman (2002), "Pendidikan Dasaryang Bermutu" dalam Ikhwanuddin
Syarief & Dodo Murtadlo (ed.), Pendidikan untuk Indonesia Baru 70 Tahun
HAR Tilaar. Jakarta: Grasindo
Steenbrink,
Karel A. (1984). Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19. Jakarta:
Bulan Bintang.
Steenbrink,
Karel A. (1994). Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun
Moderen. Jakarta: LP3ES.
Van Bruinessen, Martin, (1994), NU Tradisi Relasi-Relasi
Kuasa Pencarian Wacana Baru, terj.Yogyakarta; LKIS,
Wahid, KH Abdurrahman, (1989), Menggerakkan Tradisi : esai-esai pesantren
Jogjakarta, LkiS
Zuhri
, Saifuddin (2007). Guruku Orang-orangdari Pesantren. Yogyakarta: LKiS.
[3]Dalam pasal
3 UU tahun 2003 tentang Sikdisnas
disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Jakarta, Tim Diknas RI, Undang-undang
nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, ; Pustaka
Ofsett, 2004), hal. 6
[8]Lihat hasil penelitian Moh.Nasir tentang Pengembangan Pendidikan
Karakter di Lembaga Pendidikan : Studi Multikasus di SMUN O4 dan SMU Al-Hidayah Malang, (Malang,
Disertasi UNM, 2012) hal, 66. Periksa pula : Abd.Kohar, Kepemimpinan kepala
sekolah dalam pengembangan budaya agama di SMP Nurul Falah Semarang (Semarang, Laporan Penelitian
Balai Litbang Agama Semarang, Juli 2012) hal 115
Tidak ada komentar:
Posting Komentar