Hefni Zain
Dalam rangka meningkatkan mutu dan performa Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI),
Kemenag RI mencanangkan program 1000 Doktor pada 2015, sejalan dengan itu dalam
2 tahun terakhir STAIN Jember (saat ini
bertransformasi status menjadi IAIN) telah menyelenggarakan program Gerakan
Limaratus Buku yang disingkat GELARKU, hal tersebut merupakan salah satu trobosan
nyata dalam upaya optimalisasi kontribusi PTAI sebagai produsen IPTEK menuju
PTAI ideal.
Sejatinya,
sebagaimana sering diungkap para aktivis, kebesaran perguruan
tinggi Islam tidak cukup hanya dilihat dari keindahan gedung dan tamannya,
kelengkapan sarana dan prasarananya, jumlah dosen dan mahasiswanya, jumlah wisudawan pada setiap semester, dan
sejenisnya. Ukuran kehebatan perguruan tinggi Islam yang sebenarnya bukan
sekedar berupa hal-hal yang bersifat fisik itu. Memang benar, bahwa
aspek-aspek yang bersifat fisik itu penting untuk dipenuhi. Akan tetapi
sebenarnya ada hal lain yang lebih mendasar yang seharusnya dicapai oleh
perguruan tinggi Islam, yakni tradisi
akademik yang khas, yang tidak bisa diraih dalam waktu singkat, melainkan harus
melewati proses panjang dan berliku.
Secara sederhana, sebuah
perguruan tinggi disebut ideal apabila perguruan tinggi dimaksud mampu
menjalankan tri dharmanya secara benar, menjalankan penelitian secara benar, menjalankan
pendidikan dan pengajaran secara benar, serta melakukan pengabdian kepada
masyarakat secara benar. Sebutan benar yang dimaksudkan adalah bahwa
kegiatan itu bukan dilakukan sebatas memenuhi tuntutan formal, tetapi atas
dasar kecintaan dan pengabdian sepenuhnya terhadap ilmu. Orang yang telah
mencintai sesuatu selalu dibarengi dengan kesediaan berkorban dan bahkan berani
menanggung resiko apa saja dari kegiatannya itu.
Perguruan tinggi yang
didalamnya terdapat para dosen, mahasiswa, dan siapa saja lainnya, yang mereka
itu sehari-hari sangat mencintai ilmu dan oleh karena itu hidupnya secara total
dan tulus diabdikan untuk ilmu, maka perguruan tinggi Islam itu baru bisa
disebut ideal. Atas dasar kecintaan dan pengabdian secara tulus dan total dari
seluruh warganya terhadap ilmu, maka di dalam perguruan tinggi itu sehari-hari
yang dipikirkan, dibicarakan, dan dilakukan adalah tentang ilmu pengetahuan.
Suasana atau iklim akademik seperti itu, maka PTAI akan menghasilkan banyak
buku, jurnal, hasil penelitian, karya ilmiah bermutu yang diterbitkan, dan
prestasi itu akan selalu dibicarakan, bukan karena jumlah dosen dan
mahasiswanya, keindahan dan kewibawaan gedungnya, melainkan oleh karena
kehebatan karya para guru besar dan dosennya, dan ditambah kualitas para alumni
dan mahasiswanya.
Namun demikian, membangun
perguruan tinggi Islam ideal selain memerlukan waktu lama serta energi yang
cukup juga masih harus ditambah lagi dengan persoalan kemanusiaan yang selalu
muncul. Dalam pengembangan perguruan tinggi Islam, di samping ada kekuatan
pendorong atau pemicu kemajuan, tetapi juga sebaliknya, selalu muncul kekuatan
yang memperlemah dan bahkan merusak. Akhirnya, kehidupan kampus kadang menaik,
tetapi sebaliknya juga turun tajam. Kekuatan perusak kehidupan perguruan
tinggi Islam yang dimaksudkan itu, bisa saja berasal dari luar dan juga sangat
mungkin sebaliknya, ialah justru dari dalam. Sebagai perusak suasana kampus
atau iklim akademik yang berasal dari dalam misalnya saja adalah permainan
politik di kampus, munculnya kelompok kelompok yang tidak ada kaitannya dengan
pengembangan ilmu, semangat hedonis, dan sejenisnya. Akan tetapi apapun
hamabatan dan adanya kekuatan perusak apapaun bentuknya, maka perguruan tinggi
Islam harus semakin maju.
Banyak orang menyatakan,
sekedar menjadikan para dosennya berpendidikan dan berjabatan akademik puncak,
yakni bergelar Doktor dan profesor tidak terlalu sulit. Asalkan tersedia dana
yang cukup semua itu bisa dicapai. Apalagi sekedar memenuhi kebutuhan sarana
fisik seperti gedung dan peralatan lainnya, jika anggarannya tersedia, maka
dalam waktu singkat bisa dipenuhi. Hal itu berbeda dengan upaya menjadikan para
guru besar dan dosennya agar semakin mencintai ilmu dan menghasilkan
karya-karya ilmiah yang bermutu, maka tugas atau pekerjaan itu pasti tidak
mudah. Membangun iklim akademik memerlukan waktu dan upaya-upaya yang
membutuhkan kesabaran, ketulusan, integritas yang tinggi, istiqomah dan tak
kenal lelah.
Pernyataan diatas tidak
sepenuhnya benar walau tidak sepenuhnya salah. Artinya -sebagai sebuah contoh saja-, untuk
menyelesaikan disertasi misalnya, sangat terkait atau diperlukan kepemimpinan, yaitu
kepemimpinan terhadap dirinya sendiri. Tentu ini tidak mudah, diperlukan waktu,
tenaga, biaya dan semangat yang selalu prima. Pada kenyataannya, sekalipun
seseorang merasa bisa memimpin orang lain, tetapi masih gagal tatkala harus
memimpin dirinya sendiri. Memimpin diri sendiri, ternyata bukan persoalan
mudah, karena pada kenyataannya memimpin diri sendiri itu lebih sulit daripada
memimpin orang lain.
Faktanya, tidak sedikit
orang yang gagal menyelesaikan disertasi. Mereka sudah mengikuti berbagai
kegiatan yang dibebankan, seperti kuliah, seminar, penyusunan makalah yang
jumlahnya tidak sedikit dengan batas waktu yang ketat, serta ujian-ujian yang
harus diikuti. Semua sudah dijalani. Akan tetapi, tatkala sudah memasuki proses
penelitian dan penulisan disertasi, ternyata tidak kunjung selesai. Disertasi
tidak segera ditulis. Mereka selalu menunggu dalam waktu yang tidak jelas,
kapan tulisan ilmiah itu akan dimulai. Seolah-olah disertasi akan selesai
dengan sendirinya dengan cara ditunda-tunda itu. Sesungguhnya mereka sadar
bahwa kewajiban itu harus ditunaikan. Mereka juga tahu bahwa jika terlalu lama
tidak selesai akan mendapat teguran dari pergutruan tinggi penyelenggara
program doctor. Setelah sekian lama tidak konsentrasi pada tugasnya itu, mereka
sadar kembali tatkala mendengar bahwa teman-teman seangkatannya sudah maju
ujian dan dinyatakan lulus doktor. Semangat menulispun muncul dan akan segera
memulai menyelesaikan tugasnya itu. Akan tetapi, tidak lama berselang kenikmatan
tidak menulis masih memenangkan semangat untuk menulis.
Agak terasa aneh, jika
seorang dosen yang sudah tergolong senior belum bisa menyelesaikan karya
ilmiahnya dengan segera. Sebab bukankah yang bersangkutan setiap waktu selalu
berhasil mendorong mahasiswanya menyusun makalah dan juga karya ilmiah berupa
skripsi atau tesis. Sebab biasanya setiap dosen selain bertugas untuk memberi
kuliah juga ditugasi membimbing penulisan karya ilmiah. Semestinya, jika mereka
berhasil membimbing mahasiswanya, tidak akan mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan tugasnya sendiri. Toh antara menulis skripsi, tesis dan
disertasi, sesungguhnya tidak banyak berbeda. Perbedaan itu hanya sebatas
keluasan dan kedalam serta kemantapan teori yang digunakan serta bobot analisis
serta rumusan yang dihasilkan. Jika para dosen ini benar-benar gagal dalam
menyusun disertasnya, maka benar statemen yang mengatakan bahwa memimpin diri
sendiri ternyata lebih sulit daripada memimpin orang lain.
Menulis bagi orang yang
berstatus dosen atau peneliti harus menjadi kegemarannya. Mereka semestinya
merasa kehilangan waktu jika sehari saja tidak menorehkan buah pikirannya dalam
bentuk tulisan. Tugas sebagai dosen yang utama semestinya adalah meneliti dan
kemudian hasilnya ditulis dalam bentuk karya ilmiah. Hasil penelitian dan
pemikirannya itu kemudian dijadikan bahan kuliah untuk para mahasiswanya. Oleh
karena itu jika dosen tidak meneliti dan juga tidak menulis, sesungguhnya perlu
dipertanyakan, apa sebetulnya yang diperbincangkan sehari-hari di depan ruang
kuliah. Tanpa kegiatan penelitian dan juga menulis seorang dosen akan selalu
tersiksa tatkala menjalankan tugasnya. Tuntutan meneliti dan menulis bagi dosen
juga terkait dengan kenaikan jabatan akademik. Seorang dosen, menurut
ketentuan, hanya bisa naik jabatan akademik jika yang bersangkutan berhasil
memenuhi persyaratan, berupa karya ilmiah seperti hasil penelitian, buku yang
berhasil ditulis, makalah, dan lain-lain. Jika syarat itu tidak dapat dipenuhi,
maka tidak akan mungkin seorang dosen jabatan akademiknya naik. Karena itu
lagi-lagi menulis adalah sebagai keharusan bagi setiap dosen.
Tuntutan selalu menulis
bagi dosen juga terkait dengan sejarah hidup masing-masing. Semua orang, tak
terkecuali para dosen menghendaki agar dalam akhir perjalanan hidupnya berhasil
meninggalkan karya monumental yang berumur panjang. Karya itu akan menjadi
jejak, tanda-tanda atau bukti-bukti kehidupannya. Seseorang dikenal sebagai
pemikir dan peneliti -karena profesinya sebagai dosen, hanya jika ia berhasil
meninggalkan karya-karya yang bisa dibaca oleh generasi ke generasi berikutnya.
Tentu seorang dosen dan termasuk keluarganya akan bangga jika karya-karyanya
menjadi bahan rujukan, sumber motivasi dan sekaligus inpirasi oleh generasi ke
generasi yang tidak henti. Kita mengenal nama-nama ilmuwan besar tingkat
nasional dan bahkan dunia. Maka, jika prestasi itu juga diraih oleh para dosen PTAI,
maka kampus yang bersangkutan akan menjadi kebanggaan umat yang sesungguhnya.
Persoalannya adalah
bagaimana menjadikan kegiatan menulis, bagi dosen menjadi suatu kebutuhan dan
sekaligus kegemaran. Alasan yang lazim diungkap, mengapa tidak menulis dan disertasinya
sampai terlambat adalah sederhana. Misalnya tidak ada waktu menulis dan atau
tidak memiliki kelengkapan seperti komputer, buku literatur dan lain-lain.
Alasan ini sifatnya klasik, dan jika alasan itu diuangkap 20 tahun yang lalu,
mungkin masih bisa diterima akal sehat. Tetapi saat ini, masing-masing dosen
telah disediakan kantor lengkap dengan komputer dan bahkan tidak sedikit dosen
sudah dilengkapi dengan laptop. Buku di perpustakaan sudah sedemikian banyak,
internet bisa digunakan di berbagai tempat, maka alasan itu menjadi tidak
relevan lagi.
Maka hal yang perlu
ditumbuhkan adalah bagaimana berlatih agar semua dosen berhasil mampu memimpin
diri sendiri. Bagaimana setiap dosen bisa memaksa dirinya sendiri, misalnya
setelah pulang dari sholat subuh berjamaah dari masjid, membaca al Qur’an
beberapa halaman, dan kemudian segera melanjutkannya mengambil komputer dan
memulai menulis. Pada fase awal memang berat memulainya. Tetapi jika berhasil
dicoba dilakukan selama sebulan, dua bulan dan akhirnya berhasil bertahan
dilakukan tiga bulan, maka akan menjadi kebiasaan dan seterusnya berlanjut
menjadi kesenangan, yaitu kesenangan menulis, termasuk menulis disertasi.
Kelambatan menyelesaikan disertasi, yang dialami oleh banyak kandidat doktor,
menurut hemat saya hanya karena faktor kegagalan dalam memimpin dirinya sendiri
yang perlu mendapat atensi dari kemenag dan PTAI yang bersangkutan. #
(dielaborasi dengan sedikit modifikasi dari ceramah Prof.Dr.Imam Suprayogo UIN
Malang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar