Senin, 22 Desember 2014

MENUJU EXCELLENCE PTAI

Hefni Zain

Dalam rangka meningkatkan mutu dan performa Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), Kemenag RI mencanangkan program 1000 Doktor pada 2015, sejalan dengan itu dalam 2 tahun terakhir  STAIN Jember (saat ini bertransformasi status menjadi IAIN) telah menyelenggarakan program Gerakan Limaratus Buku yang disingkat GELARKU, hal tersebut merupakan salah satu trobosan nyata dalam upaya optimalisasi kontribusi PTAI sebagai produsen IPTEK menuju PTAI ideal.
Sejatinya, sebagaimana sering diungkap para aktivis, kebesaran perguruan tinggi Islam tidak cukup hanya dilihat dari keindahan gedung dan tamannya, kelengkapan sarana dan prasarananya, jumlah dosen dan mahasiswanya,  jumlah wisudawan pada setiap semester, dan sejenisnya. Ukuran kehebatan perguruan tinggi Islam yang sebenarnya bukan sekedar berupa hal-hal yang bersifat fisik itu.  Memang benar, bahwa aspek-aspek yang bersifat fisik itu penting untuk dipenuhi. Akan tetapi sebenarnya ada hal lain yang lebih mendasar yang seharusnya dicapai oleh perguruan tinggi Islam,  yakni tradisi akademik yang khas, yang tidak bisa diraih dalam waktu singkat, melainkan harus melewati proses panjang dan berliku.
Secara sederhana, sebuah perguruan tinggi disebut ideal apabila perguruan tinggi dimaksud mampu menjalankan tri dharmanya secara benar, menjalankan penelitian secara benar, menjalankan pendidikan dan pengajaran secara benar, serta melakukan pengabdian kepada masyarakat secara benar. Sebutan benar yang dimaksudkan adalah bahwa kegiatan itu bukan dilakukan sebatas memenuhi tuntutan formal, tetapi atas dasar kecintaan dan pengabdian sepenuhnya terhadap ilmu. Orang yang telah mencintai sesuatu selalu dibarengi dengan kesediaan berkorban dan bahkan berani menanggung resiko apa saja dari kegiatannya itu. 
Perguruan tinggi yang didalamnya terdapat para dosen, mahasiswa, dan siapa saja lainnya, yang mereka itu sehari-hari sangat mencintai ilmu dan oleh karena itu hidupnya secara total dan tulus diabdikan untuk ilmu, maka perguruan tinggi Islam itu baru bisa disebut ideal. Atas dasar kecintaan dan pengabdian secara tulus dan total dari seluruh warganya terhadap ilmu, maka di dalam perguruan tinggi itu sehari-hari yang dipikirkan, dibicarakan, dan dilakukan adalah tentang ilmu pengetahuan. Suasana atau iklim akademik seperti itu, maka PTAI akan menghasilkan banyak buku, jurnal, hasil penelitian, karya ilmiah bermutu yang diterbitkan, dan prestasi itu akan selalu dibicarakan, bukan karena jumlah dosen dan mahasiswanya, keindahan dan kewibawaan gedungnya, melainkan oleh karena kehebatan karya para guru besar dan dosennya, dan ditambah kualitas para alumni dan mahasiswanya. 
Namun demikian, membangun perguruan tinggi Islam ideal selain memerlukan waktu lama serta energi yang cukup juga masih harus ditambah lagi dengan persoalan kemanusiaan yang selalu muncul. Dalam pengembangan perguruan tinggi Islam, di samping ada kekuatan pendorong atau pemicu kemajuan, tetapi juga sebaliknya, selalu muncul kekuatan yang memperlemah dan bahkan merusak. Akhirnya, kehidupan kampus kadang menaik, tetapi sebaliknya juga turun tajam. Kekuatan perusak kehidupan perguruan tinggi Islam yang dimaksudkan itu, bisa saja berasal dari luar dan juga sangat mungkin sebaliknya, ialah justru dari dalam. Sebagai perusak suasana kampus atau iklim akademik yang berasal dari dalam misalnya saja adalah permainan politik di kampus, munculnya kelompok kelompok yang tidak ada kaitannya dengan pengembangan ilmu, semangat hedonis, dan sejenisnya. Akan tetapi apapun hamabatan dan adanya kekuatan perusak apapaun bentuknya, maka perguruan tinggi Islam harus semakin maju.
Banyak orang menyatakan, sekedar menjadikan para dosennya berpendidikan dan berjabatan akademik puncak, yakni bergelar Doktor dan profesor tidak terlalu sulit. Asalkan tersedia dana yang cukup semua itu bisa dicapai. Apalagi sekedar memenuhi kebutuhan sarana fisik seperti gedung dan peralatan lainnya, jika anggarannya tersedia, maka dalam waktu singkat bisa dipenuhi. Hal itu berbeda dengan upaya menjadikan para guru besar dan dosennya agar semakin mencintai ilmu dan menghasilkan karya-karya ilmiah yang bermutu, maka tugas atau pekerjaan itu pasti tidak mudah. Membangun iklim akademik memerlukan waktu dan upaya-upaya yang membutuhkan kesabaran, ketulusan, integritas yang tinggi, istiqomah dan tak kenal lelah.
Pernyataan diatas tidak sepenuhnya benar walau tidak sepenuhnya salah. Artinya               -sebagai sebuah contoh saja-, untuk menyelesaikan disertasi misalnya, sangat terkait atau diperlukan kepemimpinan, yaitu kepemimpinan terhadap dirinya sendiri. Tentu ini tidak mudah, diperlukan waktu, tenaga, biaya dan semangat yang selalu prima. Pada kenyataannya, sekalipun seseorang merasa bisa memimpin orang lain, tetapi masih gagal tatkala harus memimpin dirinya sendiri. Memimpin diri sendiri, ternyata bukan persoalan mudah, karena pada kenyataannya memimpin diri sendiri itu lebih sulit daripada memimpin orang lain. 
Faktanya, tidak sedikit orang yang gagal menyelesaikan disertasi. Mereka sudah mengikuti berbagai kegiatan yang dibebankan, seperti kuliah, seminar, penyusunan makalah yang jumlahnya tidak sedikit dengan batas waktu yang ketat, serta ujian-ujian yang harus diikuti. Semua sudah dijalani. Akan tetapi, tatkala sudah memasuki proses penelitian dan penulisan disertasi, ternyata tidak kunjung selesai. Disertasi tidak segera ditulis. Mereka selalu menunggu dalam waktu yang tidak jelas, kapan tulisan ilmiah itu akan dimulai. Seolah-olah disertasi akan selesai dengan sendirinya dengan cara ditunda-tunda itu. Sesungguhnya mereka sadar bahwa kewajiban itu harus ditunaikan. Mereka juga tahu bahwa jika terlalu lama tidak selesai akan mendapat teguran dari pergutruan tinggi penyelenggara program doctor. Setelah sekian lama tidak konsentrasi pada tugasnya itu, mereka sadar kembali tatkala mendengar bahwa teman-teman seangkatannya sudah maju ujian dan dinyatakan lulus doktor. Semangat menulispun muncul dan akan segera memulai menyelesaikan tugasnya itu. Akan tetapi, tidak lama berselang kenikmatan tidak menulis masih memenangkan semangat untuk menulis. 
Agak terasa aneh, jika seorang dosen yang sudah tergolong senior belum bisa menyelesaikan karya ilmiahnya dengan segera. Sebab bukankah yang bersangkutan setiap waktu selalu berhasil mendorong mahasiswanya menyusun makalah dan juga karya ilmiah berupa skripsi atau tesis. Sebab biasanya setiap dosen selain bertugas untuk memberi kuliah juga ditugasi membimbing penulisan karya ilmiah. Semestinya, jika mereka berhasil membimbing mahasiswanya, tidak akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugasnya sendiri. Toh antara menulis skripsi, tesis dan disertasi, sesungguhnya tidak banyak berbeda. Perbedaan itu hanya sebatas keluasan dan kedalam serta kemantapan teori yang digunakan serta bobot analisis serta rumusan yang dihasilkan. Jika para dosen ini benar-benar gagal dalam menyusun disertasnya, maka benar statemen yang mengatakan bahwa memimpin diri sendiri ternyata lebih sulit daripada memimpin orang lain. 
Menulis bagi orang yang berstatus dosen atau peneliti harus menjadi kegemarannya. Mereka semestinya merasa kehilangan waktu jika sehari saja tidak menorehkan buah pikirannya dalam bentuk tulisan. Tugas sebagai dosen yang utama semestinya adalah meneliti dan kemudian hasilnya ditulis dalam bentuk karya ilmiah. Hasil penelitian dan pemikirannya itu kemudian dijadikan bahan kuliah untuk para mahasiswanya. Oleh karena itu jika dosen tidak meneliti dan juga tidak menulis, sesungguhnya perlu dipertanyakan, apa sebetulnya yang diperbincangkan sehari-hari di depan ruang kuliah. Tanpa kegiatan penelitian dan juga menulis seorang dosen akan selalu tersiksa tatkala menjalankan tugasnya. Tuntutan meneliti dan menulis bagi dosen juga terkait dengan kenaikan jabatan akademik. Seorang dosen, menurut ketentuan, hanya bisa naik jabatan akademik jika yang bersangkutan berhasil memenuhi persyaratan, berupa karya ilmiah seperti hasil penelitian, buku yang berhasil ditulis, makalah, dan lain-lain. Jika syarat itu tidak dapat dipenuhi, maka tidak akan mungkin seorang dosen jabatan akademiknya naik. Karena itu lagi-lagi menulis adalah sebagai keharusan bagi setiap dosen. 
Tuntutan selalu menulis bagi dosen juga terkait dengan sejarah hidup masing-masing. Semua orang, tak terkecuali para dosen menghendaki agar dalam akhir perjalanan hidupnya berhasil meninggalkan karya monumental yang berumur panjang. Karya itu akan menjadi jejak, tanda-tanda atau bukti-bukti kehidupannya. Seseorang dikenal sebagai pemikir dan peneliti -karena profesinya sebagai dosen, hanya jika ia berhasil meninggalkan karya-karya yang bisa dibaca oleh generasi ke generasi berikutnya. Tentu seorang dosen dan termasuk keluarganya akan bangga jika karya-karyanya menjadi bahan rujukan, sumber motivasi dan sekaligus inpirasi oleh generasi ke generasi yang tidak henti. Kita mengenal nama-nama ilmuwan besar tingkat nasional dan bahkan dunia. Maka, jika prestasi itu juga diraih oleh para dosen PTAI, maka kampus yang bersangkutan akan menjadi kebanggaan umat yang sesungguhnya. 
Persoalannya adalah bagaimana menjadikan kegiatan menulis, bagi dosen menjadi suatu kebutuhan dan sekaligus kegemaran. Alasan yang lazim diungkap, mengapa tidak menulis dan disertasinya sampai terlambat adalah sederhana. Misalnya tidak ada waktu menulis dan atau tidak memiliki kelengkapan seperti komputer, buku literatur dan lain-lain. Alasan ini sifatnya klasik, dan jika alasan itu diuangkap 20 tahun yang lalu, mungkin masih bisa diterima akal sehat. Tetapi saat ini, masing-masing dosen telah disediakan kantor lengkap dengan komputer dan bahkan tidak sedikit dosen sudah dilengkapi dengan laptop. Buku di perpustakaan sudah sedemikian banyak, internet bisa digunakan di berbagai tempat, maka alasan itu menjadi tidak relevan lagi. 

Maka hal yang perlu ditumbuhkan adalah bagaimana berlatih agar semua dosen berhasil mampu memimpin diri sendiri. Bagaimana setiap dosen bisa memaksa dirinya sendiri, misalnya setelah pulang dari sholat subuh berjamaah dari masjid, membaca al Qur’an beberapa halaman, dan kemudian segera melanjutkannya mengambil komputer dan memulai menulis. Pada fase awal memang berat memulainya. Tetapi jika berhasil dicoba dilakukan selama sebulan, dua bulan dan akhirnya berhasil bertahan dilakukan tiga bulan, maka akan menjadi kebiasaan dan seterusnya berlanjut menjadi kesenangan, yaitu kesenangan menulis, termasuk menulis disertasi. Kelambatan menyelesaikan disertasi, yang dialami oleh banyak kandidat doktor, menurut hemat saya hanya karena faktor kegagalan dalam memimpin dirinya sendiri yang perlu mendapat atensi dari kemenag dan PTAI yang bersangkutan. # (dielaborasi dengan sedikit modifikasi dari ceramah Prof.Dr.Imam Suprayogo UIN Malang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar