Selasa, 23 Desember 2014

BERAGAMA DENGAN TULUS

Hefni Zain

               Khazanah ilmu tasawuf mengenal seorang perempuan yang dianggap sebagai salah satu dari para tokoh sufi terbesar sepanjang sejarah. Namanya Rabiah Al-Adawiyah. Konon, suatu hari Rabiah pernah diketemukan berlari-lari ke pasar dengan membawa seember air di tangan kanannya dan sebilah obor di tangan kirinya.            Orang-orang keheranan. Mereka bertanya, Hai Rabiah, apa yang kau lakukan? Rabiah menjawab, Dengan air ini, aku ingin memadamkan neraka dan dengan api ini aku ingin membakar surga; supaya setelah ini orang tidak lagi menyembah Tuhan karena takut akan neraka dan karena berharap akan surga. Aku ingin setelah ini hamba-hamba Tuhan akan menyembah-Nya hanya karena cinta.
               Tidak dipungkiri, banyak orang menyembah Tuhan karena mengharapkan sesuatu. Ibadat mereka lakukan sebagai suatu investasi  agar suatu saat Tuhan membayar hasil ibadat itu kepada mereka. Imam Ali menyebut ibadat mereka yang mengharapkan pahala sebagai ibadat para pedagang. Ada juga orang yang menyembah Tuhan karena takut akan siksa-Nya. Mereka takut menghadapi azab Tuhan. Ibadat semacam itu adalah seperti pengabdian seorang budak belian kepada tuannya. Ibadat yang sebenarnya adalah ibadat karena cinta. Itulah ibadat orang-orang merdeka.
               Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari cara menyembah Tuhan, bukan karena mengharapkan pahala-Nya atau takut karena siksa-Nya. Para sufi ingin mengabdi kepada Tuhan karena kecintaan kepada-Nya.         Seorang tokoh sufi yang lain, Junaid Al-Baghdadi, mendefinisikan tasawuf sebagai Engkau berusaha untuk selalu bersama Allah tanpa ada persyaratan apa-pun. Engkau ingin selalu bergabung dengan Allah tanpa pamrih apa-pun selain kebersamaan bersama-Nya.
               Sejak saat itu, para ulama dan orang-orang salih mengembangkan kiat-kiat agar kita menyembah Allah karena cinta semata, bukan karena siksa atau pahala. Cinta yang disebut Junaid sebagai cinta tanpa prasyarat; unconditional love.Sesungguhnya kalau kita kembali kepada ajaran Islam, kita akan menemukan cinta tanpa pamrih itu. Jibril pernah datang menemui Rasulullah saw dan bertanya, Apakah Islam itu? Rasulullah saw menjawabnya dengan menjelaskan tentang rukun Islam. Jibril kembali bertanya, Apakah Iman itu? Rasulullah saw kembali menjawab dengan menjelaskan tentang rukun Iman. Dan ketika Jibril mengajukan pertanyaan terakhir, Apakah Ihsan itu? Rasulullah saw menjawab, Ihsan adalah kau beribadat kepada Tuhan seakan-akan kau melihat Dia. Dan apabila kau tak melihatnya, maka rasakanlah bahwa Tuhan melihatmu.
               Yang dipelajari dalam tasawuf adalah upaya menghadirkan Tuhan dalam ibadat-ibadat kita. Sekiranya kita tak sanggup melihat-Nya, maka setidaknya kita bisa merasa kehadiran Tuhan dalam ibadat-ibadat kita. Hal ini mengingatkan kita akan sebuah cerita klasik dari tanah Jawa: Konon, seseorang pernah datang untuk belajar tasawuf kepada Sunan Kalijaga. Sunan mengajaknya terlebih dulu untuk salat bersama. Orang itu pun salat pada barisan pertama, tepat di belakang sang sunan yang menjadi imam. Ketika salat, murid baru itu melihat bahwa sarung yang dipakai sunan telah robek. Pada waktu salat ia berfikir bahwa salatnya tidak begitu sah karena sarung yang dipakai imam salat ada lubangnya.
Seusai salat ia datang menemui Sunan Kalijaga dan berkata, Wahai Sunan, ketika aku salat, aku lihat ada lubang di kain sarungmu. Sunan menjawab, Kau belum pantas untuk menjadi muridku karena ketika kau salat, perhatianmu tidak kau tujukan kepada Allah swt. Padahal dalam salat, kau mengucapkan, Inni wajahtu wajhiya lilladzi fatharas samawati wal ardh,  Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Dia yang menciptakan langit dan bumi. Sementara ketika kau salat, yang kau perhatikan hanyalah sobekan di sarungku....
               Seorang sufi adalah ia, yang ketika melakukan ibadat, berusaha merasakan seakan Tuhan memperhatikannya. Ia memusatkan segala perhatiannya kepada Allah dan memutuskan seluruh ikatannya kepada apa pun selain Allah swt. Sebelum kita belajar tasawuf, biasanya kita dianjurkan untuk belajar fikih. Apa yang membedakan fikih dengan tasawuf? Fikih mempelajari bagian-bagian lahiriah dari agama. Para ahli fikih menyebutkan, Hukum itu ditetapkan berdasarkan bentuk-bentuk lahirnya. Bila fikih membicarakan salat, yang dibahas adalah gerakan-gerakan salat yang bisa kita lihat dengan mata dan bisa kita dengar dengan telinga. Para sufi mengajarkan kita untuk memelihara adab-adab batiniah dari setiap ibadat yang kita lakukan. Tasawuf tidak lagi membicarakan salat seperti apa yang kita lihat atau dengar. Tasawuf ingin mengajarkan kita cara-cara memelihara adab-adab batiniah dalam salat.
               Salat, sebagaimana seluruh benda di dunia ini, memiliki dua bentuk, lahiriah dan batiniah. Para sufi mengatakan bahwa untuk setiap maujud, selain mereka memiliki bentuk di alam mulk, juga memiliki bentuk di alam malakut. Al-Quran mengatakan: Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah terdapat malakut segala sesuatu. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Mulk; 1). Dalam tasawuf, diajarkan upaya untuk mencapai alam malakut dari ibadat-ibadat kita. Oleh sebab itu, apabila fikih yang kita pelajari membicarakan ibadat dari segi lahiriah, tasawuf membicarakan ibadat dari segi batiniahnya. Secara ilmiah, orang mengatakan fikih berkaitan dengan dimensi eksoteris dari ajaran Islam sementara tasawuf berkaitan dengan dimensi esoteris dari ajaran Islam.
Seluruh agama tentu memiliki dimensi esoteris. Karenanya, kita sering menemukan apa yang diajarkan tasawuf juga terdapat dalam ajaran-ajaran agama lain. Tasawuf mengajarkan cara-cara mencapai pertemuan dengan Tuhan sementara mistisisme ajaran agama lain juga berusaha mempertemukan kita dengan Allah swt.
               Terakhir, saya ingin menyebutkan satu lagi definisi dari tasawuf. Ada orang yang mengatakan bahwa Islam berkaitan dengan syariat, Iman berkaitan dengan akidah, dan Ihsan berkaitan dengan akhlak. Tasawuf, dengan mengesampingkan aspek-aspek filsafatnya, adalah sebuah ajaran etika, sebuah ajaran akhlak. Tasawuf pada intinya berusaha mendekatkan diri kita dengan Allah swt. Dan Allah swt hanya dapat didekati dengan akhlak yang baik. Abu Muhammad Al-Jariri, dalam Awrihul Maarif, menulis: Yang disebut tasawuf adalah memasuki semua akhlak yang mulia dan meninggalkan semua akhlak yang tecela.
               Dahulu, hidup seorang gembala yang bersemangat bebas. Ia tidak punya uang dan tidak punya keinginan untuk memilikinya. Yang ia miliki hanyalah hati yang lembut dan penuh keikhlasan; hati yang berdetak dengan kecintaan kepada Tuhan. Sepanjang hari ia menggembalakan ternaknya melewati lembah dan ladang melagukan jeritan hatinya kepada Tuhan yang dicintainya, Duhai Pangeran tercinta, di manakah Engkau, supaya aku bisa persembahkan seluruh hidupku pada-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku bisa menghambakan diriku pada-Mu? Wahai Tuhan, untuk-Mu aku hidup dan bernapas. Karena berkat-Mu aku hidup. Aku ingin mengorbankan domba-Ku ke hadapan kemuliaan-Mu.
               Suatu hari, Nabi Musa as melewati padang gembalaan tersebut dalam perjalanannya menuju kota. Ia memperhatikan sang gembala yang sedang duduk di tengah ternaknya dengan kepala yang mendongak ke langit.. Sang gembala menyapa Tuhan, Ah, di manakah Engkau, supaya aku bisa menjahit baju-Mu, memperbaiki kasut-Mu, dan mempersiapkan ranjang-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku bisa menyisir rambut-Mu dan mencium kaki-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku bisa mengilapkan sepatu-Mu dan membawakan air susu untuk minuman-Mu?
               Musa mendekati gembala itu dan bertanya, Dengan siapa kamu berbicara? Gembala menjawab, Dengan Dia yang telah menciptakan kita. Dengan Dia yang menjadi Tuhan yang menguasai siang dan malam, bumi dan langit. Musa murka mendengar jawaban gembala itu, Betapa beraninya kamu bicara kepada Tuhan seperti itu! Apa yang kamu ucapkan adalah kekafiran. Kamu harus menyumpal mulutmu dengan kapas supaya kamu bisa mengendalikan lidahmu. Atau paling tidak, orang yang mendengarmu tidak menjadi marah dan tersinggung dengan kata-katamu yang telah meracuni seluruh angkasa ini. Kau harus berhenti bicara seperti itu sekarang juga karena nanti Tuhan akan menghukum seluruh penduduk bumi ini akibat dosa-dosamu!
               Sang gembala segera bangkit setelah mengetahui bahwa yang mengajaknya bicara adalah seorang nabi. Ia bergetar ketakutan. Dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya, ia mendengarkan Musa yang terus berkata, Apakah Tuhan adalah seorang manusia biasa, sehingga Ia harus memakai sepatu dan kaus kaki? Apakah Tuhan seorang anak kecil, yang memerlukan susu supaya Ia tumbuh besar? Tentu saja tidak. Tuhan Mahasempurna di dalam diri-Nya. Tuhan tidak memerlukan siapa pun. Dengan berbicara kepada Tuhan seperti yang telah engkau lakukan, engkau bukan saja telah merendahkan dirimu, tapi kau juga merendahkan seluruh ciptaan Tuhan. Kau tidak lain dari seorang penghujat agama. Ayo, pergi dan minta maaf, kalau kau masih memiliki otak yang sehat!
               Gembala yang sederhana itu tidak mengerti bahwa apa yang dia sampaikan kepada Tuhan adalah kata-kata yang kasar. Dia juga tak mengerti mengapa Nabi yang mulia telah memanggilnya sebagai seorang musuh tapi ia tahu betul bahwa seorang Nabi pastilah lebih mengetahui dari siapa pun. Ia hampir tak bisa menahan tangisannya. Ia berkata kepada Musa, Kau telah menyalakan api di dalam jiwaku. Sejak ini aku berjanji akan mengatupkan mulutku untuk selamanya. Dengan keluhan yang panjang, ia berangkat meninggalkan ternaknya menuju padang pasir.
               Dengan perasaan bahagia karena telah meluruskan jiwa yang tersesat, Nabi Musa as melanjutkan perjalanannya menuju kota. Tiba-tiba Allah Yang Mahakuasa menegurnya, Mengapa engkau berdiri di antara Kami dengan kekasih Kami yang setia? Mengapa engkau pisahkan pecinta dari yang dicintainya? Kami telah mengutus engkau supaya engkau bisa menggabungkan kekasih dengan kekasihnya, bukan memisahkan ikatan di antaranya. Musa mendengarkan kata-kata langit itu dengan penuh kerendahan dan rasa takut. Tuhan berfirman, Kami tidak menciptakan dunia supaya Kami memperoleh keuntungan daripadanya. Seluruh makhluk diciptakan untuk kepentingan makhluk itu sendiri. Kami tidak membutuhkan pujian atau sanjungan. Kami tidak memerlukan ibadah atau pengabdian. Orang-orang yang beribadah itulah yang mengambil keuntungan dari ibadah yang mereka lakukan. Ingatlah bahwa di dalam cinta, kata-kata hanyalah bungkus luar yang tidak memiliki makna apa-apa. Kami tidak memperhatikan keindahan kata-kata atau komposisi kalimat. Yang Kami perhatikan adalah lubuk hati yang paling dalam dari orang itu. Dengan cara itulah Kami mengetahui ketulusan makhluk Kami, walaupun kata-kata mereka bukan kata-kata yang indah. Buat mereka yang dibakar dengan api cinta, kata-kata tidak mempunyai makna.
               Suara dari langit selanjutnya berkata, Mereka yang terikat dengan basa-basi bukanlah mereka yang terikat dengan cinta. Dan umat yang beragama bukanlah umat yang mengikuti cinta. Karena cinta tidak mempunyai agama selain kekasihnya sendiri. Tuhan kemudian mengajarkan Musa rahasia cinta. Setelah Musa memperoleh pelajaran itu, ia mengerti kesalahannya. Sang Nabi pun merasa menderita penyesalan yang luar biasa. Dengan segera, ia berlari mencari gembala itu untuk meminta maaf. Berhari-hari Musa berkelana di padang rumput dan gurun pasir, menanyakan orang-orang apakah mereka mengetahui gembala yang dicarinya. Setiap orang yang ditanyainya menunjuk arah yang berbeda. Hampir-hampir Musa kehilangan harapan tetapi akhirnya Musa berjumpa dengan gembala itu. Ia tengah duduk di dekat mata air. Pakaiannya compang-camping, rambutnya kusut masai. Ia berada di tengah tafakur yang dalam sehingga ia tidak memperhatikan Musa yang telah menunggunya cukup lama.
               Akhirnya, gembala itu mengangkat kepalanya dan melihat kepada sang Nabi. Musa berkata, Aku punya pesan penting untukmu. Tuhan telah berfirman kepadaku, bahwa tidak diperlukan kata-kata yang indah bila kita ingin berbicara kepada-Nya. Kamu bebas berbicara kepada-Nya dengan cara apa pun yang kamu sukai, dengan kata-kata apa pun yang kamu pilih. Karena apa yang aku duga sebagai kekafiranmu ternyata adalah ungkapan dari keimanan dan kecintaan yang menyelamatkan dunia. Sang gembala hanya menjawab sederhana, Aku sudah melewati tahap kata-kata dan kalimat. Hatiku sekarang dipenuhi dengan kehadiran-Nya. Aku tak dapat menjelaskan keadaanku padamu dan kata-kata pun tak bisa melukiskan pengalaman ruhani yang ada dalam hatiku. Kemudian ia bangkit dan meninggalkan Musa.
               Nabi Musa menatap gembala itu sampai ia tak kelihatan lagi. Setelah itu Musa kembali berjalan ke kota terdekat, merenungkan pelajaran berharga yang didapatnya dari seorang gembala sederhana yang tidak berpendidikan.
Cerita di atas melukiskan kepada kita bahwa ada sekelompok orang yang mengambil cinta sebagai agamanya. Kalau seseorang telah meledakkan kecintaannya kepada Tuhan, dia tidak lagi bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk melukiskan seluruh kecintaannya kepada Allah swt. Di dalam cinta, kata-kata menjadi tidak punya makna.

               Dari kisah ini juga kita belajar bahwa untuk bisa mendekati Allah swt, tidak diperlukan kecerdasan yang tinggi atau ilmu yang sangat mendalam. Salah satu cara utama untuk mendekati Tuhan adalah hati yang bersih dan tulus. Tidak jarang pengetahuan kita tentang syariat membutakan kita dari Tuhan. Tidak jarang ilmu menjadi hijab yang menghalangi kita dengan Allah swt. Kita akhiri kisah ini dengan sabda Nabi saw, Innallha l yanzhuru ill shuwarikum walakinallha yanzhuru ill qulbikum. Ketahuilah, sesungguhnya Tuhan tidak memperhatikan bentuk-bentuk luar kamu. Yang Tuhan perhatikan adalah hati kamu #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar