Hefni Zain
Khazanah
ilmu tasawuf mengenal seorang perempuan yang dianggap sebagai salah satu dari
para tokoh sufi terbesar sepanjang sejarah. Namanya Rabiah Al-Adawiyah. Konon,
suatu hari Rabiah pernah diketemukan berlari-lari ke pasar dengan membawa
seember air di tangan kanannya dan sebilah obor di tangan kirinya. Orang-orang keheranan. Mereka
bertanya, Hai Rabiah, apa yang kau lakukan? Rabiah menjawab, Dengan air ini,
aku ingin memadamkan neraka dan dengan api ini aku ingin membakar surga; supaya
setelah ini orang tidak lagi menyembah Tuhan karena takut akan neraka dan
karena berharap akan surga. Aku ingin setelah ini hamba-hamba Tuhan akan
menyembah-Nya hanya karena cinta.
Tidak
dipungkiri, banyak orang menyembah Tuhan karena mengharapkan sesuatu. Ibadat
mereka lakukan sebagai suatu investasi agar
suatu saat Tuhan membayar hasil ibadat itu kepada mereka. Imam Ali menyebut
ibadat mereka yang mengharapkan pahala sebagai ibadat para pedagang. Ada juga
orang yang menyembah Tuhan karena takut akan siksa-Nya. Mereka takut menghadapi
azab Tuhan. Ibadat semacam itu adalah seperti pengabdian seorang budak belian
kepada tuannya. Ibadat yang sebenarnya adalah ibadat karena cinta. Itulah
ibadat orang-orang merdeka.
Tasawuf
adalah ilmu yang mempelajari cara menyembah Tuhan, bukan karena mengharapkan
pahala-Nya atau takut karena siksa-Nya. Para sufi ingin mengabdi kepada Tuhan
karena kecintaan kepada-Nya. Seorang
tokoh sufi yang lain, Junaid Al-Baghdadi, mendefinisikan tasawuf sebagai Engkau
berusaha untuk selalu bersama Allah tanpa ada persyaratan apa-pun. Engkau ingin
selalu bergabung dengan Allah tanpa pamrih apa-pun selain kebersamaan
bersama-Nya.
Sejak
saat itu, para ulama dan orang-orang salih mengembangkan kiat-kiat agar kita
menyembah Allah karena cinta semata, bukan karena siksa atau pahala. Cinta yang
disebut Junaid sebagai cinta tanpa prasyarat; unconditional love.Sesungguhnya
kalau kita kembali kepada ajaran Islam, kita akan menemukan cinta tanpa pamrih
itu. Jibril pernah datang menemui Rasulullah saw dan bertanya, Apakah Islam
itu? Rasulullah saw menjawabnya dengan menjelaskan tentang rukun Islam. Jibril
kembali bertanya, Apakah Iman itu? Rasulullah saw kembali menjawab dengan
menjelaskan tentang rukun Iman. Dan ketika Jibril mengajukan pertanyaan
terakhir, Apakah Ihsan itu? Rasulullah saw menjawab, Ihsan adalah kau beribadat
kepada Tuhan seakan-akan kau melihat Dia. Dan apabila kau tak melihatnya, maka
rasakanlah bahwa Tuhan melihatmu.
Yang
dipelajari dalam tasawuf adalah upaya menghadirkan Tuhan dalam ibadat-ibadat
kita. Sekiranya kita tak sanggup melihat-Nya, maka setidaknya kita bisa merasa
kehadiran Tuhan dalam ibadat-ibadat kita. Hal ini mengingatkan kita akan sebuah
cerita klasik dari tanah Jawa: Konon, seseorang pernah datang untuk belajar
tasawuf kepada Sunan Kalijaga. Sunan mengajaknya terlebih dulu untuk salat
bersama. Orang itu pun salat pada barisan pertama, tepat di belakang sang sunan
yang menjadi imam. Ketika salat, murid baru itu melihat bahwa sarung yang
dipakai sunan telah robek. Pada waktu salat ia berfikir bahwa salatnya tidak
begitu sah karena sarung yang dipakai imam salat ada lubangnya.
Seusai salat ia datang menemui
Sunan Kalijaga dan berkata, Wahai Sunan, ketika aku salat, aku lihat ada lubang
di kain sarungmu. Sunan menjawab, Kau belum pantas untuk menjadi muridku karena
ketika kau salat, perhatianmu tidak kau tujukan kepada Allah swt. Padahal dalam
salat, kau mengucapkan, Inni wajahtu wajhiya lilladzi fatharas samawati wal
ardh, Sesungguhnya aku hadapkan wajahku
kepada Dia yang menciptakan langit dan bumi. Sementara ketika kau salat, yang
kau perhatikan hanyalah sobekan di sarungku....
Seorang
sufi adalah ia, yang ketika melakukan ibadat, berusaha merasakan seakan Tuhan
memperhatikannya. Ia memusatkan segala perhatiannya kepada Allah dan memutuskan
seluruh ikatannya kepada apa pun selain Allah swt. Sebelum kita belajar
tasawuf, biasanya kita dianjurkan untuk belajar fikih. Apa yang membedakan
fikih dengan tasawuf? Fikih mempelajari bagian-bagian lahiriah dari agama. Para
ahli fikih menyebutkan, Hukum itu ditetapkan berdasarkan bentuk-bentuk
lahirnya. Bila fikih membicarakan salat, yang dibahas adalah gerakan-gerakan
salat yang bisa kita lihat dengan mata dan bisa kita dengar dengan telinga.
Para sufi mengajarkan kita untuk memelihara adab-adab batiniah dari setiap
ibadat yang kita lakukan. Tasawuf tidak lagi membicarakan salat seperti apa
yang kita lihat atau dengar. Tasawuf ingin mengajarkan kita cara-cara
memelihara adab-adab batiniah dalam salat.
Salat,
sebagaimana seluruh benda di dunia ini, memiliki dua bentuk, lahiriah dan
batiniah. Para sufi mengatakan bahwa untuk setiap maujud, selain mereka
memiliki bentuk di alam mulk, juga memiliki bentuk di alam malakut. Al-Quran
mengatakan: Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah terdapat malakut segala
sesuatu. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Mulk; 1). Dalam
tasawuf, diajarkan upaya untuk mencapai alam malakut dari ibadat-ibadat kita.
Oleh sebab itu, apabila fikih yang kita pelajari membicarakan ibadat dari segi
lahiriah, tasawuf membicarakan ibadat dari segi batiniahnya. Secara ilmiah,
orang mengatakan fikih berkaitan dengan dimensi eksoteris dari ajaran Islam
sementara tasawuf berkaitan dengan dimensi esoteris dari ajaran Islam.
Seluruh agama tentu memiliki
dimensi esoteris. Karenanya, kita sering menemukan apa yang diajarkan tasawuf
juga terdapat dalam ajaran-ajaran agama lain. Tasawuf mengajarkan cara-cara
mencapai pertemuan dengan Tuhan sementara mistisisme ajaran agama lain juga
berusaha mempertemukan kita dengan Allah swt.
Terakhir,
saya ingin menyebutkan satu lagi definisi dari tasawuf. Ada orang yang
mengatakan bahwa Islam berkaitan dengan syariat, Iman berkaitan dengan akidah,
dan Ihsan berkaitan dengan akhlak. Tasawuf, dengan mengesampingkan aspek-aspek
filsafatnya, adalah sebuah ajaran etika, sebuah ajaran akhlak. Tasawuf pada
intinya berusaha mendekatkan diri kita dengan Allah swt. Dan Allah swt hanya
dapat didekati dengan akhlak yang baik. Abu Muhammad Al-Jariri, dalam Awrihul
Maarif, menulis: Yang disebut tasawuf adalah memasuki semua akhlak yang mulia
dan meninggalkan semua akhlak yang tecela.
Dahulu,
hidup seorang gembala yang bersemangat bebas. Ia tidak punya uang dan tidak
punya keinginan untuk memilikinya. Yang ia miliki hanyalah hati yang lembut dan
penuh keikhlasan; hati yang berdetak dengan kecintaan kepada Tuhan. Sepanjang
hari ia menggembalakan ternaknya melewati lembah dan ladang melagukan jeritan
hatinya kepada Tuhan yang dicintainya, Duhai Pangeran tercinta, di manakah
Engkau, supaya aku bisa persembahkan seluruh hidupku pada-Mu? Di manakah
Engkau, supaya aku bisa menghambakan diriku pada-Mu? Wahai Tuhan, untuk-Mu aku
hidup dan bernapas. Karena berkat-Mu aku hidup. Aku ingin mengorbankan domba-Ku
ke hadapan kemuliaan-Mu.
Suatu
hari, Nabi Musa as melewati padang gembalaan tersebut dalam perjalanannya
menuju kota. Ia memperhatikan sang gembala yang sedang duduk di tengah
ternaknya dengan kepala yang mendongak ke langit.. Sang gembala menyapa Tuhan,
Ah, di manakah Engkau, supaya aku bisa menjahit baju-Mu, memperbaiki kasut-Mu,
dan mempersiapkan ranjang-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku bisa menyisir
rambut-Mu dan mencium kaki-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku bisa mengilapkan
sepatu-Mu dan membawakan air susu untuk minuman-Mu?
Musa
mendekati gembala itu dan bertanya, Dengan siapa kamu berbicara? Gembala
menjawab, Dengan Dia yang telah menciptakan kita. Dengan Dia yang menjadi Tuhan
yang menguasai siang dan malam, bumi dan langit. Musa murka mendengar jawaban
gembala itu, Betapa beraninya kamu bicara kepada Tuhan seperti itu! Apa yang
kamu ucapkan adalah kekafiran. Kamu harus menyumpal mulutmu dengan kapas supaya
kamu bisa mengendalikan lidahmu. Atau paling tidak, orang yang mendengarmu
tidak menjadi marah dan tersinggung dengan kata-katamu yang telah meracuni seluruh
angkasa ini. Kau harus berhenti bicara seperti itu sekarang juga karena nanti
Tuhan akan menghukum seluruh penduduk bumi ini akibat dosa-dosamu!
Sang
gembala segera bangkit setelah mengetahui bahwa yang mengajaknya bicara adalah
seorang nabi. Ia bergetar ketakutan. Dengan air mata yang mengalir membasahi
pipinya, ia mendengarkan Musa yang terus berkata, Apakah Tuhan adalah seorang
manusia biasa, sehingga Ia harus memakai sepatu dan kaus kaki? Apakah Tuhan
seorang anak kecil, yang memerlukan susu supaya Ia tumbuh besar? Tentu saja
tidak. Tuhan Mahasempurna di dalam diri-Nya. Tuhan tidak memerlukan siapa pun.
Dengan berbicara kepada Tuhan seperti yang telah engkau lakukan, engkau bukan
saja telah merendahkan dirimu, tapi kau juga merendahkan seluruh ciptaan Tuhan.
Kau tidak lain dari seorang penghujat agama. Ayo, pergi dan minta maaf, kalau
kau masih memiliki otak yang sehat!
Gembala
yang sederhana itu tidak mengerti bahwa apa yang dia sampaikan kepada Tuhan
adalah kata-kata yang kasar. Dia juga tak mengerti mengapa Nabi yang mulia
telah memanggilnya sebagai seorang musuh tapi ia tahu betul bahwa seorang Nabi
pastilah lebih mengetahui dari siapa pun. Ia hampir tak bisa menahan
tangisannya. Ia berkata kepada Musa, Kau telah menyalakan api di dalam jiwaku.
Sejak ini aku berjanji akan mengatupkan mulutku untuk selamanya. Dengan keluhan
yang panjang, ia berangkat meninggalkan ternaknya menuju padang pasir.
Dengan
perasaan bahagia karena telah meluruskan jiwa yang tersesat, Nabi Musa as
melanjutkan perjalanannya menuju kota. Tiba-tiba Allah Yang Mahakuasa
menegurnya, Mengapa engkau berdiri di antara Kami dengan kekasih Kami yang
setia? Mengapa engkau pisahkan pecinta dari yang dicintainya? Kami telah
mengutus engkau supaya engkau bisa menggabungkan kekasih dengan kekasihnya,
bukan memisahkan ikatan di antaranya. Musa mendengarkan kata-kata langit itu
dengan penuh kerendahan dan rasa takut. Tuhan berfirman, Kami tidak menciptakan
dunia supaya Kami memperoleh keuntungan daripadanya. Seluruh makhluk diciptakan
untuk kepentingan makhluk itu sendiri. Kami tidak membutuhkan pujian atau
sanjungan. Kami tidak memerlukan ibadah atau pengabdian. Orang-orang yang
beribadah itulah yang mengambil keuntungan dari ibadah yang mereka lakukan.
Ingatlah bahwa di dalam cinta, kata-kata hanyalah bungkus luar yang tidak
memiliki makna apa-apa. Kami tidak memperhatikan keindahan kata-kata atau
komposisi kalimat. Yang Kami perhatikan adalah lubuk hati yang paling dalam
dari orang itu. Dengan cara itulah Kami mengetahui ketulusan makhluk Kami,
walaupun kata-kata mereka bukan kata-kata yang indah. Buat mereka yang dibakar
dengan api cinta, kata-kata tidak mempunyai makna.
Suara
dari langit selanjutnya berkata, Mereka yang terikat dengan basa-basi bukanlah
mereka yang terikat dengan cinta. Dan umat yang beragama bukanlah umat yang
mengikuti cinta. Karena cinta tidak mempunyai agama selain kekasihnya sendiri.
Tuhan kemudian mengajarkan Musa rahasia cinta. Setelah Musa memperoleh
pelajaran itu, ia mengerti kesalahannya. Sang Nabi pun merasa menderita
penyesalan yang luar biasa. Dengan segera, ia berlari mencari gembala itu untuk
meminta maaf. Berhari-hari Musa berkelana di padang rumput dan gurun pasir,
menanyakan orang-orang apakah mereka mengetahui gembala yang dicarinya. Setiap
orang yang ditanyainya menunjuk arah yang berbeda. Hampir-hampir Musa
kehilangan harapan tetapi akhirnya Musa berjumpa dengan gembala itu. Ia tengah
duduk di dekat mata air. Pakaiannya compang-camping, rambutnya kusut masai. Ia
berada di tengah tafakur yang dalam sehingga ia tidak memperhatikan Musa yang
telah menunggunya cukup lama.
Akhirnya,
gembala itu mengangkat kepalanya dan melihat kepada sang Nabi. Musa berkata,
Aku punya pesan penting untukmu. Tuhan telah berfirman kepadaku, bahwa tidak
diperlukan kata-kata yang indah bila kita ingin berbicara kepada-Nya. Kamu
bebas berbicara kepada-Nya dengan cara apa pun yang kamu sukai, dengan
kata-kata apa pun yang kamu pilih. Karena apa yang aku duga sebagai kekafiranmu
ternyata adalah ungkapan dari keimanan dan kecintaan yang menyelamatkan dunia.
Sang gembala hanya menjawab sederhana, Aku sudah melewati tahap kata-kata dan
kalimat. Hatiku sekarang dipenuhi dengan kehadiran-Nya. Aku tak dapat
menjelaskan keadaanku padamu dan kata-kata pun tak bisa melukiskan pengalaman
ruhani yang ada dalam hatiku. Kemudian ia bangkit dan meninggalkan Musa.
Nabi
Musa menatap gembala itu sampai ia tak kelihatan lagi. Setelah itu Musa kembali
berjalan ke kota terdekat, merenungkan pelajaran berharga yang didapatnya dari
seorang gembala sederhana yang tidak berpendidikan.
Cerita di atas melukiskan kepada
kita bahwa ada sekelompok orang yang mengambil cinta sebagai agamanya. Kalau
seseorang telah meledakkan kecintaannya kepada Tuhan, dia tidak lagi bisa
menemukan kata-kata yang tepat untuk melukiskan seluruh kecintaannya kepada
Allah swt. Di dalam cinta, kata-kata menjadi tidak punya makna.
Dari
kisah ini juga kita belajar bahwa untuk bisa mendekati Allah swt, tidak
diperlukan kecerdasan yang tinggi atau ilmu yang sangat mendalam. Salah satu
cara utama untuk mendekati Tuhan adalah hati yang bersih dan tulus. Tidak
jarang pengetahuan kita tentang syariat membutakan kita dari Tuhan. Tidak
jarang ilmu menjadi hijab yang menghalangi kita dengan Allah swt. Kita akhiri
kisah ini dengan sabda Nabi saw, Innallha l yanzhuru ill shuwarikum
walakinallha yanzhuru ill qulbikum. Ketahuilah, sesungguhnya Tuhan tidak
memperhatikan bentuk-bentuk luar kamu. Yang Tuhan perhatikan adalah hati kamu #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar