Senin, 24 Maret 2014

WAJAH DAMAI ISLAM



Ust. Hefni Zain

Secara teoritik, kehadiran semua agama dimaksudkan untuk memberikan perasaan aman dan sejahtera kepada para pemeluknya serta membimbing mereka kearah kesempurnaan hidup baik didunia maupun di aherat. Tidak ada satu agamapun di dunia ini yang secara teologis mengajarkan keburukan atau membenarkan pemeluknya untuk memusuhi pemeluk agama lain. Doktrin teologis semua-agama yang kemudian dipertegas melalui keputusan majelis ulama’, keputusan konsili, atau juga hasil kesepakatan sidang dewan gereja sedunia pada intinya menganjurkan pemeluknya mengembangkan sikap akseptasi (kesediaan menerima keanekaragaman), apresiasi (menghargai keyakinan yang dianut kelompok lain) dan ko-eksistensi (kesediaan untuk hidup berdampingan secara damai dengan membiarkan kelompok lain ada) dalam rangka membangun hubungan antar umat beragama yang harmonis.
Namun suatu ironi bahwa di beberapa wilayah di Indonesia sangat berbeda antara doktrin teologis dengan kenyataan empiris. Masih ditemukan fakta bahwa terdapat sejumlah faktor kepentingan politis-ekonomis-sosial, dan kepentingan pragmatis lainnya yang juga ikut mewarnai dinamika pasang surut hubungan antar umat beragama, bahkan pada batas-batas tertentu kencangnya arus kepentingan pragmatis tersebut telah memposisikan doktrin teologis mandul, kering, dan tidak mampu lagi menggugah nurani para pemeluk agama untuk membangkitkan semangat kebersamaan dan harmonisasi sebagaimana didambakan.
Campur aduknya aspek doktrin teologis ajaran agama dengan aspek kultural-historis-sosiologis yang merupakan hasil tafsir manusia atas ajaran agama, kian menambah rumitnya penataan harmonisasi umat beragama pada wilayah empiris. Dalam banyak kasus, umat beragama masih sulit membedakan mana doktrin agama yang bersifat normatif (dilandasi teks-teks suci) dan mana pula yang tafsir terhadap teks-teks suci (yang sarat bias kepentingan politis, kultural dan sosiologis). Tumpang tindih antara yang konsepsional normatif dengan yang operasional interpretatif  pada wilayah keagamaan pada gilirannya memunculkan stigma bahwa agama-agama yang bukan Islam adalah agama yang tidak diridloi Allah swt yang dalam tafsir teologis disebut kafir.  Stigma seperti diatas kemudian menghegemoni di masyarakat karena terus diperkokoh melalui tafsir kepentingan dan kuasa oleh para pembela agama dan terus diwariskan secara turun-temurun kepada setiap generasi. Kondisi semacam  inilah yang  pada sisi-sisi tertentu menjadi embrio terjadinya disharmonisasi dikalangan umat beragama.
Dalam konteks yang lebih makro, berbagai kericuhan kemanusiaan berlatar belakang agama yang terjadi di berbagai belahan Indonesia mengindikasikan bahwa potensi konflik antar penganut agama belum sepenuhnya dapat diatasi. Arus prasangka etnis, faham, aliran, sosial dan ekonomis, ditambah lagi dengan adanya berbagai arogansi dan ketidak adilan, bila meminjam bahasa Arkoun, seakan seperti  “sabbu al zait ‘ala al-nar” menyemprot minyak pada kobaran api.
Kemajemukan Agama dan pemahaman keagamaan serta adat istiadat di indonesia disatu sisi memang merupakan suatu kekayaan tersendiri, tetapi disisi lain juga menyimpan potensi konflik kepentingan antar kelompok yang berbeda tersebut.
Wilayah agama adalah wilayah yang paling sensitif dalam kehidupan masyarakat, sebab ia berhubugan erat dengan pandangan hidup, spirit dan ideologi. Karena itu isu agama bila diekploitasi akan menjadi hal yang sangat peka memunculkan berbagai konflik, lebih-lebih dalam masyarakat majemuk seperti Indoensia, agama disatu sisi dapat mejadi suatu faktor pemersatu (uniting factor) namun disisi lain agama juga dapat dengan mudah disalah gunakan sebagai alat  pemisah dan pemecah belah. (deviding dan devising factor).
Terlepas dari doktrin teologis semua agama yang menganjurkan toleransi dan perdamaian, ditangan pembelanya, agama acapkali ditampilkan dalam wajah yang garang dan menyeramkan seolah  telah kehilangan senyum sendunya sebagai rahmah bagi sekalian umat manusia .  Merebaknya  berbagai bentuk kekerasan berbingkai agama, telah memaksa banyak pihak menelaah kembali wacana “Kekerasan dalam agama”, apakah bentuk seperti itu mempunyai akar teologis keagamaan yang kuat,  atau sekedar pemanfaatan  nama agama untuk kepentingan yang non agamis.
Arus kekerasan atas nama agama terus berlanjut dari waktu ke waktu, saat ini ditengah meluasnya anjuran sikap toleran dan saling pengertian inter dan antar umat beragama, kekerasan bernuansa agama termasuk di Indonesia masih sulit dibendung. Salah satu faktor pememicunya adalah ketika masing-masing pemeluk agama merasa dirinya yang paling absah (trut claim) dan menganggap kelompok lain sebagai sesat yang harus dimusnahkan, ditambah lagi faktor ketidak adilan dan profokasi pihak-pihak tertentu demi kepentingan tertentu.
Sikap apriori, prasangka, praduga teologis yang tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat yang kemudian diperkuat oleh pada da’i, missionaris dan zending dengan landasan kitab suci masing-masing, juga telah menjadi embrio bagi pembiakan potensi kekerasan berbingkai agama dimasa selanjutnya. Disamping itu, kekerasan berlatar agama juga disebabkan oleh kegagalan penganut agama memahami makna dan prinsip-prinsip asasi agamanya secara konprehensip, kepentingan sesaat sekelompok orang yang di dorong oleh hawa nafsu dengan menjadikan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu.
Teks-teks yuridis kebangsaan yang menegaskan bahwa setiap warga negara harus membangkan sikap saling  menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan yang maha esa, membina kerukunan hidup diantara sesama umat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan yang maha esa, menghormati kebebasan memilih dan menjalankan agama dan kepercayaannya masing masing, Mengembangkan sikap tepo sliro, menjunjung tinggi nilai-nilai  kemanusiaan, adalah bentuk penegasan bahwa negara secara yuridis menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing sesuai hati nuraninya. Karena itu kekerasan berlatar agama disamping merupakan bentuk penyelewengan terhadap fungsi agama juga merupakan bentuk penentangan terhadap pancasila dan budaya bangsa Indonesia. 
Sesungguhnya penataan hubungan umat beragama yang berbasis toleransi demi tegaknya harmonisasi telah lama di rintis di negeri ini, misalnya dengan dikeluarkannya Instruksi Menteri Agama No. 3 tahun 1981 tentang pelaksanaan kerukunan hidup umat beragama di daerah. Juga keputusan Menteri Agama No.84 tahun 1996 tentang petunjuk pelaksanan penanggulangan kerawanan kerukunan hidup umat beragama. Bahkan departemen kementerian Agama RI dari tahun ke tahun selalu mengeluarkan buku pedoman dasar mengenai pembinaan kerukunan hidup beragama yang memuat penanaman pengertian akan nilai dan kehidupan bermasyarakat yang mampu mendukung kerukunan hidup beragama.   Namun karena banyak pihak yang tidak konsisten melaksanakan aturan-aturan tersebut, maka disharmonisasi umat beragama secara sporadis selalu muncul  bahkan kadang sambil membawa bawa nama Tuhan.
Dikalangan sebagian internal umat beragama sejatinya telah muncul semangat untuk membebaskan diri dari kebosanan dalam hidup saling curiga. Semangat demikian  hampir selalu dikaitkan dengan penegasan bahwa ada persoalan yang jauh lebih penting dan mendasar  untuk  dihadapi dan ditangani bersama, ketimbang menonjol-nonjolkan perbedaan, yaitu masalah kemanusiaan universal seperti kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Namun semangat itu kalah kencang dengan arus gerakan sporadis  sekelompok orang atau organisasi yang membenarkan tindak kekerasan atas nama agama.
Kesadaran seperti diatas mestinya mendapat dukungan yang lebih riil dari semua pihak, sebab tantangan keagamaan saat ini bukan lagi muncul dari semacam “Beuty contest” dari doktrin-dokrin normatif, yang lebih diperlukan adalah respon kemanusiaan yang relevan dengan tantangan-tantangan yang ada. Survival agama esensinya tidak hanya terletak pada usaha keras menjaga kemurnian doktrin doktrinnya, tetapi yang lebih mendasar adalah pada kemampuannya menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan global. Oleh karena itu sudah saatnya para penganut agama mencurahkan semua potensinya untuk merumuskan  hal-hal yang merupakan keprihatinan kemanusiaan  bersama. Namun demikian, yang dimaksud kerukunan hidup antar umat beragama bukan berarti kompromi aqidah, tetapi kerukunan yang bersandar pada persaudaraan sebagai sesama mahluk Tuhan. #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar