Kamis, 25 September 2014

REAKTUALISASI KIPRAH MAHASISWA

Oleh : Hefni Zain

Jati diri mahasiswa boleh jadi memang kompleks dan kaya dimensi, sehingga status dan perannya sering dilukiskan sebagai  calon untuk peran penting didalam sistem  kehidupan masa depan.  Hal tersebut didasarkan pada konsederasi bahwa : (1) Dari sisi usia, mahasiswa tergolong  elit pemuda  yang penuh vitalitas, memiliki motivasi dan idealisme tinggi yang jika potensi ini mendapatkan  pembinaan yang kondusif  akan melahirkan sumber daya yang dahsyat dan produktif  guna mendobrak stagnasi sosial dilingkungannya.  (2)  Dari sisi sosial, mahasiswa mempunyai kewajiban untuk berperan efektif dalam menjalankan tugasnya sebagai moral force dan social control disamping –yang terpenting- sebagai pengusul cara cara alternatif bagi  penyelesaian pelbagai problematika yang datang secara fluktuatif.  (3) Dari sisi ekonomi, mahasiswa dianggap calon tenaga profesional yang diharapkan mampu membuka dan menyiapkan lapangan kerja secara mandiri, bukan manusia  konsumtif yang  bermental buruh, apalagi hanya menjadi beban pembangunan sebagai penganggur elit. (4) Dari sisi politik, mahasiswa menempati middle class yang berfungsi sebagai mediator dan fasilitator antara aspirasi wong alit dengan elit pemerintah, juga sebagai presure group yang istiqomah melakukan control kritis terhadap pelbagai penyimpangan yang terjadi. (5) Dari sisi keilmuan, mahasiswa adalah komunitas yang sangat dinamis dalam melakukan pengajian, pengkajian dan pengujian sehingga melahirkan eksplorasi intelektual yang up to date, karena keterdidikan dan trade marknya itulah mereka sering disebut sebagai intelektual muda yang digambarkan sebagai nations asset yang prospektif dan strategis baik dimasa kini sebagai change designer pembangunan  maupun di masa yang akan datang sebagai pewaris cita-cita perjuangan bangsa.
Legitimasi ini bukan sebuah otopia, melainkan didasarkan pada fakta historis yang menunjukkan bahwa dinamika kiprah mahasiswa dari berbagai perspektifnya mulai dekade 1908, 1928, 1930, 1945, 1966  hingga era reformasi  1998  terlihat begitu dominan sehingga menjadi kekuatan anomi yang mampu mengantarkan rakyat indonesia pada babak baru sejarah dibawah episode kepeminpinan nasional yang menekankan pada god goverman dan bersih dari berbagai bentuk penyimpangan.
Namun kiprah yang membanggakan tersebut kini mulai melemah, ada dua faktor yang menjadi penyebabnya, yakni faktor eksternal berupa kebijakan pemerintah yang menerapkan konsep normalisasi kehidupan kampus dengan istilah come back to campus, kebijakan tersebut menempatkan mahasiswa sebagai man of rationing dan bukan man of public meeting, kiprah mahasiswa dalam ranah politik praktis oleh pemerintah dianggap tidak relevan dengan tri darma perguruan tinggi, bahkan dalam batas batas tertentu dianggap mengganggu stabilitas nasional. Kebijakan ini telah membuat ruang gerak mahasiswa menjadi terpasung, sebab gerakan mahasiswa harus tetap berada dalam line distribusi program yang telah terpaketkan, dan bukan lagi pada ideologi yang independen. Mahasiswa semakin tak berdaya setelah ada aksi penangkapan, penculikan, sangsi akademis, skorsing bahkan pemecatan. Episode inilah yang oleh mayoritas aktivis mahasiswa dianggap sebagai longceng kematian bagi masa depan gerakan kemahasiswaan.
Kondisi ini kian diperparah oleh faktor internal mahasiswa sendiri , yakni berupa  kurang matangnya sikap mental, prangkat nilai, kualitas keilmuan dan skill mereka dalam merespon perkembangan sosial yang kian vulgar, sebagian besar dari mereka apatis dan cuek, bahkan mereka lebih suka pada hal-hal yang bersifat pragmatis, rekreatif dan masa bodoh, yang mereka fikirkan adalah bagaimana cepat selesai kuliah dengan IPK tinggi, cepat dapat kerja dan cepat makmur.  Realitas inilah yang kemudian menjadi penyebab utama hancurnya mitos kewibawaan mahasiswa di pentas global, bila dulu mahasiswa sering digambarkan sebagai macan kampus yang disegani, kini macam itu hanya berasal dari kebun binatang yang terkesan sebagai tontonan dan hiburan.
Tugas dan tanggung jawab mahasiswa saat ini adalah mengembalikan pamornya pada posisi semula, yakni sebagai intelektual muda yang membanggakan. Sebagai man of rationing, mahasiswa diharapkan tampil dengan kekuatan logika dan bukan logika kekuatan. Eksistensinya secara prosentase harus lebih banyak ditunjukkan melalui unjuk karya bukan unjuk rasa. Kalaupun terpaksa harus unjuk rasa, aksinya mesti berbasis otak sehingga berbeda dengan aksi tukang becak yang berbasis otot. Aksi mahasiswa berbeda dengan yang lain karena berbasis idealisme dengan data yang valid, argumentasi yang kokoh, dan varian yang solutif serta disampaikan dengan pikiran yang matang dan tenang. Bukan “logika pokoknya” yang disampaikan dengan tensi tegang, wajah garang dan emosi meletup-letup. tipologi aksi mahasiswa sejak dulu adalah membakar semangat, idealisme dan menawarkan solusi cerdas sehingga aksinya berkelas, bukan bakar ban bekas.

Maka minimal terdapat berberapa prinsip yang harus dipegang mahasiswa  untuk mewujudkan kelasnya tersebut, antara lain  : kembali pada gerakan keilmuan, gerakan kemanusiaan, artinya, suatu gerakan yang berpihak pada nilai nilai humanisme, mengusung muatan nilai rahmatan lil alamin melampaui sekat ego sektarian, gerakan yang dilakukan berorientasi pada kemaslahatan, yakni keberpihakan gerakan mahasiswa terhadap nilai-nilai kebenaran dan keadilan.  gerakan yang berorientasi pada pembebasan, yakni pembebasan manusia dari kebodohan, kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan. Semua gerakan diatas harus selalu berada dalam bingkai terapiotik, solutif, efektif, efisien, santun dan terutama nir kekerasan., bila itu yg dilakukan publik akan berteriak  hidup “MAHA-siswa”, bukan  hidupi “maha-SISWA”#