Minggu, 11 Januari 2015

KAJIAN AGAMA BERBASIS MULTIDISIPLINER

Hefni Zain
Dewasa ini, peran agama dalam konstelasi global semakin banyak dipertanyakan, karena itu agama kembali menjadi kajian yang menarik minat banyak pihak.. Telah menjadi kebutuhan mendesak bahwa agama harus mampu berdialektika dengan semua perkembangan ilmu pengetahuan, tanpa itu ajaran agama dikhawatirkan tenggelam dalam kubangan dogmatisnya. Hal ini menuntut agama bukan sekedar difahami hanya dalam pengertian historis dan doktrinal, sebab ia telah menjadi fenomena yang komplek. Agama bukan hanya terdiri dari serangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu harus memaknai kehidupannya. Agama telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas sosial, politik, ekonomi dan bagian tak terpisahkan dari perkembangan dunia. Agama bukan lagi sekedar serentetan keyakinan yang memfosil, juga bukan sekedar ajaran spiritualitas yang bersifat individual, ia merupakan ideologi universal yang bergerak dinamis membentang melampaui sekat tempat dan  zaman dan  terus berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia untuk menjawab sejumlah persoalan kemanusian yang terus berubah, karena itu mendekati agama tidak mungkin lagi hanya dengan satu aspek saja, diperlukan multi disiplin ilmu pengetahuan untuk mengurai berbagai fenomenanya yang kompleks.
Mengatasi problem kemiskinan dalam Islam misalnya, tidak cukup hanya dengan pendekatan teologis seperti doktrin qona’ah, zuhud, sabar dan tawakkal, tetapi perlu juga doktrin tentang kerja keras dan pengembangan kreativitas, dan yang lebih penting adalah fasilitas untuk itu, seperti : pemerataan kesempatan, penyediaan lapangan kerja, pengembangan kemampuan dan skill, tanpa itu pengentasan kemiskinan hanyalah otopia.  Rendahnya mutu pendidikan juga tidak mungkin diselesaikan dengan hanya mengacu pada doktrin ”tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina” tetapi diperlukan juga langkah kongkrit menyangkut pembaharuan sistem pendidikan, pengembangan kompetensi dan profesionalitas tenaga pengajar, sarana prasarana, aspek manajerial dan semacamnya. Bukan berarti aspek eskatalogis diabaikan tetapi bagaimana pesan agama diterjemahkan secara praktis sebagai solusi membebaskan umatnya dari problematika kesehariannya. Kesadaran seperti ini penting, mengingat tantangan keagamaan saat ini bukan lagi muncul dari semacam “Beuty contest” doktrin-dokrin normatif, yang lebih diperlukan adalah respon kemanusiaan yang relevan dengan tantangan-tantangan yang ada. Survival agama esensinya tidak hanya terletak pada usaha keras menjaga kemurnian doktrin normatifnya, yang lebih mendasar adalah kemampuannya menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan global.
Mengkaji agama secara akademis memang tidak mudah, ada beberapa persoalan mendasar yang sebelumnya harus dituntaskan, misalnya, jika benar “studi agama” bermaksud mencari kebenaran,  bukankah  agama merupakan sumber kebenaran ?  bagaimana mungkin kebenaran mencari kebenaran ?. Ini jeruk makan jeruk. Dan kalau studi agama dimaksudkan demi suatu hasrat yang normatif,  bukankah agama adalah sumber segala norma ?.
Dalam realitasnya  agama ternyata mempunyai banyak wajah (multifaces), yakni tidak hanya semata-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, keimanan, krido, ritus, norma, pedoman hidup, ultimate concern dan seterusnya, tetapi juga terkait erat dengan persoalan-persoalan historis kultural yang juga merupakan keniscayaan manusiawi. Nah campur aduk yang sulit dipilah antara agama dengan kepentingan sosial kemasyarakatan pada tataran historis empirik  kiranya kian menambah rumitnya upaya studi agama. Kekurang cermatan memilah dengan tegas mana wilayah murni agama dan mana wilayah “kepentingan” historis kultural yang juga melekat didalamnya, akan mengakibatkan kekeliruan dalam mendefferensiasi mana wilayah pure sciences yang bersifat ta’aqquli, terbuka dan iklusif dan mana wilayah applied sciences yang bersifat ta’abbudi dan eksklusif ?. Sebab dalam wacana agama terdapat wilayah yang disebut normativitas dan sakralitas  dan pada saat yang sama ada pula wilayah historitas dan provanitas.
Disamping itu, kesulitan lain adalah berawal dari dua hal : Pertama, mengkaji berarti melakukan objektifity (mengambil jarak terhadap objek kajiannya). Dalam kajian agama, tentu objektifitas bukan hanya kepada pihak lain, tetapi juga pada diri sendiri. Untuk benar-benar mampu melakukan objektifitas terhadap kesadaran diri sendiri, tentu tidak hanya memerlukan keseriusan, latihan dan ketekunan, melainkan dibutuhkan juga keberanian. Kedua, secara tradisional, agama difahami sebagai sesuatu yang sakral, suci dan agung.  Menempatkan hal-hal semacam itu sebagai objek netral  akan dianggap mereduksi, mendistorsi atau bahkan merusak nilai tradisional agama.  Disamping sifat agama sendiri yang sangat luas dan kompleks yang hingga saat ini belum ada kesepakatan final mengenai batasan atau rumusan pengertiannya,  hal semacam ini jelas menambah panjangnya pergulatan -untuk tidak menyebut- keruwetan dalam usaha menjadikan agama sebagai subjeck matter  studi akademis.
Kendati demikian  bukan berarti tidak ada solusi. Sejarah cukup jelas membuktikan bahwa jauh sebelum Friedrick Muller (1823 – 1900 ) menseriusi agama sebagai bahan studi dan penelitian pada abad  14 M, Imam Bukhori telah memperkenalkan tradisi penelitian, yakni ketika dia mengidentifikasi, mengumpulkan, memetakan, menganalisis dan menentukan tingkat keabsahan hadits. Demikian juga Imam Syafi’i sebelum menentukan hukum tentang sesuatu, ia terlebih dahulu  memperkenalkan metode ushul fiqh dalam usaha penentuan hukum tersebut. Juga Imam Al-Ghazali sebelum membantah ajaran para filosuf yang dianggapnya tergelincir dalam kesesatan, ia terlebih dahulu meneliti metode pemikiran filsafat dan membandingkannya dengan kesadaran aqidah. Nah kalau ulama terdahulu telah merintis tradisi keilmuan penelitian dan mampu keluar dari berbagai kesulitan yang dihadapi, lalu kenapa kita tidak merujuk pada semangat mereka ?
Tetapi memang tidak dipungkiri bahwa studi agama memiliki konsep yang mendua, yakni studi sebagai cara mencari kebenaran agama dan studi sebagai usaha merumuskan dan memahami “kebenaran”  dari realitas empiris. Pada titik ini ada perbedaan antara Imam Al-Ghazali yang ingin mendapatkan ajaran yang benar dan ingin merumuskan sikap hidup beragama yang benar dengan Ibnu Kholdun yang berusaha melukiskan, menguraikan dan menerangkan realitas yang sebenarnya. Kalau yang pertama ingin mendapatkan pesan hakiki dari keabadian ajaran, maka yang kedua ingin memahami struktur dan dinamika realitas yang fana. Oleh karena itu guna memperoleh hasil kajian yang objektif dan akurat, seorang peneliti harus menyadari adanya jarak metodologis antara dirinya (yang meneliti) dengan masyarakat (objek) yang diteliti, meskipun secara normatif dia adalah bagian dari masyarakat dan nilai sosial yang diteliti itu.
Dengan demikian pada tahap awal mesti disadari bahwa “studi agama” sebagai usaha akademis, berarti menjadikan agama sebagai sasaran studi dan penelitian. Artinya betapapun agama bersifak abstrak dan sakral, tapi dalam konteks metodologis, agama harus dijadikan sebagai system fenomena yang riil. Untuk menghindari kesulitan-kesulitan fundamental pada tataran operasional, fenomena agama yang menjadi subjeck matter kajian akademis dapat dikategorikan menjadi : (a) Agama sebagai doktrin, (b) Agama sebagai produk sejarah, budaya dan sosial, (c) Dinamika dan struktur masyarakat “dibentuk” oleh agama, (d) Sikap masyarakat pemeluk agama terhadap doktrin. Dan (e) Hal-hal lain yang menyangkut pengalaman dari ajaran agama. Dengan kategorisasi ini, fenomina agama menjadi tidak terlalu sukar untuk dipelajari, diamati, diukur, dibuktikan dan dilukiskan secara sistimatis dan meyakinkan yang merupakan streotipe dari studi akademis.
Metodologi keilmuan yang bertugas mengkaji fenomena keberagamaan manusia merupakan sesuatu yang vital, sebab hanya dengan itu akan diketahui secara jelas seperti apa ajaran agama yang semestinya dan seperti apa pula pengalaman ajaran agama yang sudah terjadi. Dengan metodologi yang akurat akan terungkap persoalan-persoalan agama dan keagamaan yang belum tereksplorasi dan sekaligus terbersihkan nilai-nilai agama yang sudah tercemar dan diselewengkan. Dengan  itu semua diharapkan terjadi klarifikasi segala macam citra yang sempit akan agama karena beberapa ajaran dasarnya telah tereduksi dan terpolusi oleh sejumlah opini, sejarah dan kepentingan kepentingan  tertentu.
Konsep studi agama bisa menimbulkan beberapa pengertian. Pertama, studi agama berarti mencari kebenaran substansi agama sebagaimana dilakukan para Nabi, pendiri atau pembaharu suatu agama. Kedua, studi agama berarti studi atau usaha untuk menemukan dan memahami kebenaran agama sebagai realitas empirik dan bagaimana penyikapan terhadap realitas tersebut. Disini agama dijadikan sebagai fenomena yang riil dan sebagai subjeck matter studi akademis. Ketiga, Studi agama berarti menelaah fenomena sosial yang ditimbulkkan oleh agama dan penyikapan masayarakat terhadapnya.  Dengan demikian maka studi agama adalah pengkajian akademis terhadap agama sebagai realitas sosial, baik berupa teks, pranata sosial maupun prilaku sosial yang lahir atau sebagai perwujudan kepercayaan suci. Dengan kata lain studi agama adalah pengkajian akademis terhadap ajaran dan keberagamaan (Religiosity).   
Dari rumusan diatas, maka ada perbedaan antara :  studi sebagai usaha mencari kebenaran agama  dan studi sebagai usaha untuk merumuskan dan memahami “kebenaran” dari realitas empiris. Kalau yang pertama ingin mendapatkan pesan yang hakiki dari keabadian ajaran, maka yang kedua ingin memahami struktur dan dinamika realitas yang fana. Dalam krangka ini, ada juga para pakar studi agama yang membedakan antara studi agama dengan studi keagamaan. Misalnya Middleton (guru besar antropologi di New York University) menegaskan bahwa kalau studi agama (Study on religion) lebih menekankan pada materi agama, sehingga sasarannya menyangkut ritus, mitos dan magik, ia bisa dikaji  dari metodologi teologis, historis, komparatif dan psikologis. Sementara studi keagamaann (Religious studys) lebih menekankan pada agama sebagai sistem, atau sistem keagamaan. Karena itu ia bisa dikaji  dari metodologi sosiologis karena menyangkut sistem sosiologis atau suatu aspek organisasi sosial.
Jika pendapat Middleton disepakati, maka sasaran studi agama adalah agama sebagai doktrin, sedangkan sasaran studi keagamaan adalah agama sebagai gejala sosial. Perbedaan ini penting, sebab akan membedakan jenis metodologi yang hendak digunakan. Kalau yang pertama pasti memerlukan  metodologi tersendiri  yang khusus, sedangkan yang kedua, cukup meminjam metodologi penelitian sosial yang telah ada. Berbeda dengan Rahmat yang mengatakan bahwa agama dapat dikaji dengan menggunakan berbagai paradigma, sebab realitas keagamaan yang diungkapkan memiliki nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya, karena itu bagi Rahmat, tidak persoalan apakah dalam metodologinya harus khusus atau meminjam yang sudah ada. Sebab studi agama disebut studi agama sesungguhnya bukan karena metodenya melainkan karena bidang kajiannya. Karena itulah Bagi Rahmat posisi dan kedudukan studi agama adalah sejajar dengan studi-studi lainnya, yang membedakan hanyalah objek kajiannya.
Agama sebagai objek kajian akademis sudah lama menjadi wacana yang diperdebatkan. Ada yang mengatakan bahwa agama merupakan ajaran Tuhan yang bersifat ghoib dan transendental serta berdasarkan wahyu, karena itu ia tidak dapat  dijadikan sasaran studi ilmu sosial. Dan kalaupun dipaksakan, maka mesti  menggunakan metodologi khusus yang berbeda dengan sejumlah metodologi yang lazim di gunakan dalam ilmu-ilmu sosial. Tapi ada juga yang berpendapat bahwa secara substansial, agama mengandung dua sisi ajaran. Sisi pertama menyangkut  ajaran dasar yang merupakan wahyu dari Tuhan. Ia bersifat absolut, mutlaq benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Ajaran dasar yang demikian terdapat dalam kitab suci, ranah konsepsional atau aras langit.

Ajaran dasar dalam kitab suci itu kemudian memerlukan interpretasi dan penjelasan tentang makna, maksud dan cara pelaksanaannya dalam ranah operasional. Dan tafsir atau penjelasan ulama atau para pakar mengenai ajaran dasar yang ada dalam kitab suci tersebut pada gilirannya membentuk ajaran agama sisi kedua yang bersifat relatif, nisbi, berubah dan dapat dirubah sesuai dengan perkembangan zaman. Pada sisi inilah yang dapat menjadi wilayah kajian akademis. Dengan demikian, kajian akademis agama bukanlah meneliti hakekat agama dalam arti wahyu, melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini, memahami dan memperoleh pengaruh dari agama. Dengan kata lain, studi agama bukan meneliti kebenaran konsepsional, tetapi bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan fakta atau realitas sosio kultural.# Bersambung....

Jumat, 09 Januari 2015

GOLONGAN YANG DIJAUHI RASULULLOH

Hefni Zain

Adalah obsesi setiap muslim untuk selalu mendapatkan syafaat Nabi Muhammad saw, selalu dekat dengan beliau, diakui sebagai pengikut setianya dan dikumpulkan bersamanya di akherat kelak, dan tidak ada seorangpun diantara kita yang menghendaki jauh dari beliau, sebab sejatinya tidak ada yang dapat kita andalkan dari amal kita dihadapan Allah tanpa syafaat beliau, terlalu banyak dosa dan kelemahan kita  dan terlalu sedikit amal sholeh kita untuk dipamerkan di hadapan Allah swt, maka satu satunya harapan kita yang masih tersisa untuk memperoleh kehidupan yang baik adalah kasih sayang Allah swt juga syafaat Rasululloh saw. 
Namun demikian, terdapat lima perkara yang apabila kita kita lakukan  menurut beliau dapat menyebabkan posisi pelakunya jauh dari beliau, dan beliau jauh dari mereka. Dalam sebuah hadits, Nabi saw bersabda : Akan datang suatu masa pada umatku, mereka menncintai lima hal dan melupakan lima hal lainnya. Mereka mencintai dunia tapi melupakan akibatnya (di akherat). Mencintai kemewahan tapi melupakan siksa kubur, Mencintai harta benda tapi melupakan hisab Allah,  Mencintai keluarganya tapi melupakan kebenaran, Mencintai dirinya tapi  melupakan  Allah swt.  Kata Nabi mereka lepas dari syafatku dan syafaatku lepas dari mereka.
Pertama, orang yang mencintai dunia tapi melupakan akherat. 
Islam merupakan agama yang mengajarkan keseimbangan, seimbang dalam urusan lahir dan bathin, material spiritual dan seimbang duniawi ukhrawi.  Dilukiskan dalam Qs. 28 :  77 Carilah olehmu kebahagiaan akhirat, dan jangan lupakan kebahagiaan dunia dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
 Nabi saw mengecam orang orang yang mencintai dunia hingga melupakan akheratnya, karena sejatinya dunia ini hanyalah tempat transit sementara guna mempersiapkan bekal untuk kita bawa ke negeri asal kita, yakni negeri akherat.  Diriwayatkan oleh ibnu majah, Nabi saw bersabda “Aku dan dunia ibarat orang dalam perjalanan menunggang kendaraan, lalu berteduh dibawah pohon untuk beristirahat dan setelah itu meninggalkannya”. Islam mengajarkan umatnya hidup didunia tetapi tidak meletakkan hatinya didunia, bekerja di dunia tetapi semata mata untuk kepentingan akherat. Barang siapa pulang ke kampung akherat tanpa bekal, maka seakan akan mereka mengarungi samudera tanpa kapal.
Kedua, orang yang mencintai kemewahan tapi melupakan siksa kubur. 
Dalam sebuah  hadits rasululloh saw bersabda : Demi Allah bukanlah kemelaratan yang aku takuti bila menimpa kalian, tetapi yang kutakuti adalah bila dilapangkannya harta bagi kalian sebagaimana pernah dilapangkan bagi orang orang sebelum kalian, lalu kalian berlomba sebagaimana mereka berlomba berebut kemewahan dan menumpuk numpuknya, lalu kalian dibinasakan oleh Allah sebagaimana mereka dibinasakan (Hr. Ahmad)
Dalam riwayat lain Nabi saw bersabda Hiduplah sesukamu tapi sadarlah bahwa engkau akan  mati, Cintailah apa  yang dapat engkau cintai tapi sadarlah  bahwa engkau akan berpisah dengannya.
Ketiga, orang yang mencintai harta benda tapi melupakan hisab Allah. 
Islam adalah agama yang memberikan kebebasan kepada umatnya untuk memilih pola hidup yang diinginkan, tetapi apapun pilihan yang diambil pasti akan dimintai pertanggungan jawab di hadapan Allah swt, “Berbuatlah sekehendakmu tetapi sadarlah bahwa engkau akan dibalas menurut perbuatanmu itu”.Dalam banyak riwayat disebutkan “Tiap sesuatu terdapat ujian dan ujian terhadap umatku ialah kecintaan terhadap harta benda” (Hr. Ibnu majah) “Sesungguhnya kecintaan terhadap uang dinar dan dirham telah membinasakan orang orang sebelum kamu dan dimasa yang akan datangpun tetap akan membinasakan (Hr. Tabrani) “Barang siapa yang mencintai dan  mengumpulkan harta dengan tidak sewajarnya, maka Allah akan memusnahkannya dengan adzab (Hr. baihaqi).
Islam bukan mengajarkan umatnya menolak harta dan  tidak boleh  memilikinya, yang dianjurkan Islam adalah jangan sampai seseorang terlalu mencintainya sehingga menjadikan dirinya diperbudak oleh hartanya itu. Bagi Islam manusia yang baik  adalah seseorang yang tidak meletakkan kebahagiannya pada apa yang dimiliki melainkan pada pemanfaatannya,
Keempat, orang yang mencintai keluarganya tapi  melupakan kebenaran.
kadang  manusia kuat menahan godaan  yang datang dari luar, tetapi tidak kuat bila godaan itu berasal dari dalam. Kita kuat berperang melawan musuh yang kita benci, tetapi tidak kuat ketika melawan yang dicinta. Dalam hidup keseharian, betapa sering keinginan dan tuntutan keluarga mengalahkan nalar, pikiran dan akal sehat. Bahkan tak jarang melaggar perintah Tuhan. 
Kelima, orang yang mencintai dirinya tapi melupakan  Allah swt. 
Apa yang membuat Iblis enggan bersujud pada Adam  tak lain adalah bentuk kecintaan terhadap dirinya yang berlebihan, ia memandang dirinya lebih utama dari yang lain. Karena itu termasuk kafilah iblis pihak pihak yang memandang lebih terhormat diri dan kelompoknya dari orang dan kelompok lain, baik karena derajat, pangkat atau martabat, juga karena silsilah, golongan darah atau trah.
Tidak jarang kecintaan terhadap diri, mencelakakan seseorang karena yang bersangkutan akan menempatkan kehendak dirinya diatas kehendak yang lain, termasuk kehendak Allah sekalipun. Dalam Qs. 2 : 165), Allah berfirman: Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dalam Hadits Qudsi ditegaskan :“Barang siapa yang mendahulukan kehendakKu diatas kehendaknya, maka akan Aku pelihara dirinya, Aku atur urusan dunianya dan akan Aku  luaskan rizkinya. Tetapi barang siapa yang mendahulukan kehendaknya diatas kehendakKu, maka Aku akan cerai beraikan segala urusannya”

Kini kendati beliau telah wafat, tetapi hingga kini Beliau terus  mengawasi apa yang kita lakukan dalam kehidupan ini. Dalam Qs At-Tawbah : 105 ditegaskan: Dan katakanlah ! Beramallah kalian, maka Allah akan melihat amal kalian, juga Rasululloh #

KLASIFIKASI MANUSIA

Hefni Zain

            Di dunia ini tidak ada seorangpun yang menginginkan hidupnya sengsara. Semua manusia pasti mendambakan kehidupan yang bahagia, baik di dunia dan lebih-lebih di akherat. Karena itu, dalam setiap kesempatan berdoa, kita tidak pernah meninggalkan doa sapujagat, Rabbana atina fiddunya hasahah wafil akherati hasanah waqina adzabannar. Namun demikian, berdasarkan amalnya, menurut sebuah riwayat, manusia dibedakan menjadi empat kelompok
Pertama, kelompok yang bahagia di dunia dan bahagia pula di akherat (sa’idun fiddun-ya wa sai’dun fil akherah). Yang termasuk kelompok ini adalah : (1) Mereka beriman dan mampu mmpertahankan imannya ditengah berbagai godaan dan goncangan  hidup yang kian dahsyat, mereka konsisten dalam ketaatan kepada Allah, konsisten pula dalam menjauhi larangan Allah, apapun kondisinya dan bagaimanapun situasinya. (2) Mereka berilmu dan mengamalkan ilmunya untuk pencerahan masyarakat, untuk membebaskan masyarakat dari kebodohan dan keterbelakangan, kompetensi dan skill yang dimilikinya hanya digunakan untuk kepentingan agama dan masyarakat, (3) Mereka juga memiliki harta kekayaan yang dioperoleh dengan cara halal, serta digunakan untuk kian mendekatkan diri kepada Allah dan kepada sesama manusia. (4) Makin banyak hartanya, makin banyak pula sodaqohnya, serta makin dermawan pada yatim dan fakir miskin, makin tinggi pangkat, kekuasaan dan popularitasnya, makin tawadu’ dan makin banyak pula kemanfaatannya bagi agama dan kemanusiaan.  Kelompok seperti ini memperoleh kehidupan yang baik karena mengisinya dengan iman dan amal sholeh. Ditegaskan dalam Al-Qur’an :  Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik
Kedua, kelompok yang  bahagia di dunia tetapi sengsara di akherat (sa’idun fiddun-ya wa saqiyyun fil akherah). Yang termasuk kelompok ini adalah : (1) Mereka kaya harta, tetapi diperoleh dengan jalan bathil, makin kaya makin serakah dan makin kikir. Makin berkuasa semakin membuat banyak orang menderita, makin tinggi popularitasnya makin sombong dan makin tak peduli dengan sesame, (2) Harta yang banyak, jabatan yang tinggi dan kekuasaan yang luas hanya menjadikannya semakin jauh dari Allah dan jauh dari masyarakat. Suatu hari Kholifah Al-Mansur secara resmi berbicara dihadapan rakyatnya “Wahai rakyatku, kalian semua mesti bersyukur kepada Allah, sebab sejak aku memimpin, negeri ini bebas dari bencana paceklik. Tiba-tiba seseorang intrupsi, maaf paduka, Allah kasihan pada kami sehingga tidak mungkin memberi kami dua bencana sekaligus. Apa yang kamu maksud dua bencana ? Tanya Al Manshur  penasaran, yaa paceklik dan anda sendiri .. jawabnya lirih.
Ketiga, kelompok yang  sengsara di dunia tetapi bahagia di akherat (saqiyyun fiddun-ya wa sa’idun fil akherah). Yang termasuk kelompok ini adalah : (1) Mereka memang serba kekurangan dan menderita, tetapi tidak menyurutkan langkahnya untuk berbakti kepada Allah, rajin berzikir, gemar menolong orang lain (2) hidup mereka memang pas-pasan, tetapi tetangganya banyak merasakan manfaatnya, kehadirannya begitu berarti pada orang lain, begitu dia pergi semua orang merasa kehilangan. (3) Mereka memang  bukan orang penting, tetapi lebih orang baik, dan bukan besarnya pekerjaan yang memuliakan mereka, melainkan besarnya dampak dari apapun yang mereka kerjakan bagi kebaikan orang lain.
Keempat, kelompok yang  sengsara di dunia dan sengsara pula di akherat (saqiyyun fiddun-ya wa saqiyyun fil akherah). Kelompok ini  sudah miskin hidup di dunia, masih jauh dari Allah, sudah melarat masih enggan beribadah. Boleh saja kita miskin di dunia, tapi jangan sampai miskin pula di akherat, Biarlah kita tidak mempunyai apa apa, asal masih punya  harga diri. Bukankah telah banyak diantara kita yang telah memiliki barang  mewah dengan harga yang sangat mahal, tapi apalah artinya kalau harga dirinya sendiri sangat murah. Biarlah kita tidak mempunyai apa apa, asal masih punya  rasa malu. Kehidupan seseorang akan punya makna ketika yang bersangkutan memiliki rasa malu, jika rasa malu itu  hilang dari seseorang,  secara otomatis  ia tidak dihitung sebagai hidup meskipun masih masih hidup, ia dianggap mati kendati belum mati.

Bukankah Tidak sedikit diantara kita yang telah memiliki segalanya, tapi apalah arti itu semua kalau dirinya tidak punya  rasa malu, Sekaya apapun seseorang, setinggi apapun jabatannya, bila ia kehilangan  rasa malu dan harga diri, maka tidak akan ada artinya dihadapan manusia, dan lebih lebih dihadapan Allah swt. Memang kita boleh memilih cara hidup, tetapi yang pasti semuanya akan ada pertanggung jawabannya  Berbuatlah apa saja yang kamu sukai tetapi engkau akan dibalas sesuai perbuatanmu itu. Famay ya’mal mitsqola dzarrotin khoiran yaroh. Wamay ya’mal mitsqola dzarrotin Syarran yaroh #

BUTUH ORANG-ORANG ANEH

Hefni  Zain

Suatu ketika, Rasulullah saw bermimpi mimbarnya dikrubuti banyak kera, sejak mimpi itu Rasul saw begitu sedih, sebab ta’wil mimpi itu adalah sepeninggal beliau akan ada fitnah menggunung yang mencemari ajaran beliau, Lalu Rasulullah saw mengingatkan kepada para sahabatnya bahwa orang yang berpegang teguh pada ajaran Rasul saw, sama dengan memegang bara api, dan akan dicap asing (aneh) oleh orang-orang disekitarnya. Kini kehawatiran Nabi saw menjadi kenyataan,  agama, kini dimainkan oleh orang yang memiliki kewenangan, ajaran beliau banyak diubah oleh kaum yang mengaku umat beliau, ungkapan cinta yang semestinya menjadi sunnah dan ungkapan tauhid tak jarang disebut bid’ah atau bahkan syirik, Dan kesedihan Nabi saw semakin mendalam, ketika berbagai prilaku tak terpuji itu justru diatasnamakan membela ajaran beliau
Dalam kesempatan lain Rasulullah saw. bersabda Islam dimulai dalam kondisi asing (aneh), dan akan kembali sebagaimana ia dimulai (sebagai sesuatu yang aneh); maka berbahagialah bagi orang- orang aneh. [H.R.Muslim].  Siapakah Al-ghuraba’ atau orang-orang aneh itu? Dalam beberapa riwayat, dinyatakan bahwa makna al-Ghuraba’ adalah orang yang istiqomah baik dan lurus ditengah kondisi manusia yang berkecenderungan atau sudah rusak. Juga terdapat makna; mereka adalah orang yang memperbaiki apa yang telah dirusak oleh manusia. Mereka adalah orang-orang yang secara konsisten menjadi pelopor untuk melakukan perbaikan akhlaq ditengah arus dekadensi moral yang begitu dahsyat. Orang-orang aneh adalah mereka yang selalu menghidupkan sunnah Rasul saw, tatkala begitu banyak manusia berupaya mematikannya. Mengapa disebut aneh? Sebab pola fikir dan pola lakunya dianggap melawan arus oleh kebanyakan orang. Seorang pejabat tinggi yang tidak mau korup akan dianggap aneh oleh masyarakat yang biasa korup. Orang waras akan dianggap aneh oleh komunitas masyarakat gila. Seorang kiai yang tetap bertahan hidup sederhana akan dianggap aneh oleh komunitas yang biasa hedonistik.
Secara maknawi, kata aneh juga asing adalah sejajar dengan kata luar biasa yang bisa diartikan menjadi dua macam.  Pertama : adalah di luar kebiasaan. Jadi, ada suatu kebiasaan yang memang telah berlaku dalam masyarakat, kemudian kita berbuat sesuatu yang di luar kebiasana itu, sehingga dipandang aneh. Agama yang dibawa Nabi Muhammad saw dipandang aneh, karena tidak sesuai dengan tradisi yang berlaku di masyarakat Arab saat itu. Tetapi Nabi saw juga mengatakan : fa thuba li’l ghuraba’ (maka, berbahagialah orang yang dipandang aneh), karena keanehan itu bisa menarik perhatian bila kita tetap memiliki pendirian dan watak mandiri.  Kedua : benar.-benar artinya luar biasa, dalam arti kita mencapai sesuai dengan hebat atau dahsyat, karena melebihi dari pada umumnya manusia berbuat.
Guna meraih dan memperoleh kedudukan  ghuraba’, yakni manusia yang aneh dan luar biasa, tentu harus berjuang mencari ruang dan peluang hingga menang, dengan memperbaiki segala yang kurang, yakni selalu mengevaluasi dan mengaca diri terhadap berbagai ancaman yang menghampiri. Karena itu kita harus mengamati atau mengawasi, yang dalam bahasa Inggris disebut CARE
Pertama : C (Comitment). Agar kita bisa komitmen, kita harus berpadu atau bersatu dengan prinsip, pendirian dan kemandirian. Orientasinya adalah keyakinan  akan sesuatu yang diperjuangkan dan bukan pada lingkungan  yang menjerumuskan kita pada sesuatu yang kurang menguntungkan. Meski kita dipandang aneh oleh lingkungan, tetapi kalau mampu menjadi teladan, akhirnya orang lain mengakui juga. Ibarat ikan, meski di laut yang jelek, rasanya tetap tidak berubah. Itulah pendirian, meski lentur dalam bergaul, akan tetapi tidak luntur.
Kedua :A (Achievement). Orang yang luar biasa tidak pernah mempersoalkan kepada atau dengan siapa dia bekerja, karena senantiasa berorientasi pada “task oriented”yakni orientasi pada tugas. Kenikmatan bukan atas dasar gaji, akan tetapi saat menjalankan tugas. Itulah “achievement”, yang berorientasi pada tugas. Kenikmatan bukan atas dasar gaji, akan tetapi saat menjalankan tugas. Itulah “achievement”,yang berorientasi pada tugas. Apakah tugas itu bisa mencapai hasil yang diinginkan atua tidak, tidaklah menjadi persoalan karena sukses bukan tujuan, tetapi sukses adalah sebuah perjalanan (success is not destination but it is a journey)
Ketiga :R (Responsibilty) Orang yang aneh atau luar biasa senantiasa memiliki rasa tanggungjawab (responsibility)  tinggi. Lebih-lebih bila dikaitkan dengan kepemimpinan. Pada istilah responsibility  ada dua kata, yaitu  respons dan abilty, kemampuan dalam merespon. Kemampuan dalam merespon ini juga ada dua macam, yakni kemampuan dalam merespon positif dan kemampuan dalam merespon negative. Kemampuan merespon positif disebut proaktif, sedangkan kemampuan dalam merespon negative disebut reaktif.
Keempat : E (Enthusiastic). Orang aneh, luar biasa atau hebat adalah orang yang memiliki tekad dan semangat, rela bermandi keringat, serta didorong oleh kemauan yang kuat. Disamping semangat yang tinggi, ia memiliki strategi dan enerji, memiliki vitalitas dan dinamika, tak pernah berhenti meski segala kesuksesan seakan-akan telah didapati. Bekerja adalah ibadat, bila diniatkan semata-mata karena Allah. Yang menjadi patokan adalah niat yang ikhlas. Sumber motivasi yang menjadi Inspirasi mengapa senantasa memiliki tekad, semangat serta kemauan yang kuat adalah firman Tuhan :Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Maka, apabila engkau sudah selesai (dalam suatu pekerjaan) Tetapkanlah bekerja keras (untuk urusan yang lain) dan Hanya kepada Tuhanmulah engkau sudah selesai (dalam suatu pekerjaan) Tetapkanlah bekerja keras (untuk urusan yang lain) dan Hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap “(Qs.Al-Insyirah:6-8)
Dalam sebuah hadits diceritakan : Dari Huzaifah bin Yaman ra, katanya :  Saya bertanya kepada Rasululloh saw Sesungguhnya kami dahulu dalam masa jahiliyah dan keburukan, lalu Allah mendatangkan kepada kami kebaikan, Adakah sesudah kebaikan ini akan terjadi keburukan ? Ya , Jawab Rasul. Saya bertanya, Adakah sesudah keburukan itu ada kebaikan ? Ya, Jawab Rasul, tetapi ada yang merusaknya. Siapa perusak itu ya Rasul ? Kata nabi : Sekumpulan orang yang memimpin bukan menurut jalan yang benar. Terangkanlah kepada kami ciri ciri mereka ya rasul ? Rasul berkata :  kulit mereka sama dengan kulit kita dan mereka berbicara dengan bahasa kita.  Sahabat bertanya :Apa yang engkau perintahkan kepada kami, jika seandainya kami menjumpai mereka ya rasul ?,  Rasul bersabda : jauhilah mereka biarpun karena itu engkau sampai menguyah urat urat kayu, sehingga engkau meninggal dunia dalam keadaan seperti itu.
Zaman memang terus berubah, lain dahulu lain sekarang.  Jika  dulu  Rasul  memilih hidup sederhana , saat ini banyak yang mengaku pengikut Rasul  bersedia melakukan apa saja,  termasuk mengorbankan harga dirinya hanya untuk  berlomba, berebut mengejar kekayaan dan jabatan atau menjadi tim sukses dalam  kekuasaan.  Maka jangan  heran kalau saat ini banyak para pinpinan umat yang gemuk gemuk tidak malu menjadikan istana para sultan sebagai kiblat mereka, mempermegah tempat tinggal mereka dan memperkaya diri dari sumbangan dan bantuan  para sultan. Maka implikasi selanjutnya, jangan salahkan bila  banyak orang menutup telinganya bila mendengar kata kata lembut  yang penuh ajaran, Sebab terlalu sering mereka melihat  banyaknya  hemar yang berjubah Resi.

Dalam suasana peradaban kehidupan yang mulai kehilangan nilai luhurnya, adalah suatu niscaya menghadirkan kembali nilai nilai kemuhammadan dalam  realitas keseharian kita.  Rekonstruksi ideologi Muhammadi  telah menjadi kebutuhan mendesak dan tidak dapat ditunda untuk menyelamatkan peradaban manusia dari kehancuran #