Kamis, 27 Februari 2014

GURU NGAJI : PROFESI MULIA

Guru merupakan ujung tombak yang memegang peranan penting dan strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, membentuk watak serta menentukan keberhasilan pendidikan secara umum, karena itu kehadirannya tidak tergantikan oleh unsur lain, lebih-lebih  guru ngaji yang secara ikhlas berjuang  lahir  bathin  mengajarkan baca tulis Al-Qur’an demi terwujudnya masyarakat qur’ani ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam sebuah hadits, Nabi saw  bersabda “Sebaik-baik kalian semua adalah seseorang yang belajar dan mengajar Al-Qur’an” [1].
Dalam pandangan Imam Al-Ghazali guru adalah seseorang yang memberikan apapun yang bagus, positif, kreatif atau bersifat membangun kepada manusia yang sangat menginginkan, di dalam tingkat kehidupan yang manapun, dengan jalan apapun, dengan cara apapun, tanpa mengharapkan balasan uang kontan setimpal apapun[2].
Pada awalnya, para pendiri (the founding father) guru ngaji yang meliputi kyai, ulama, masyayekh, dan asatid membangun dan mengembangkan lembaga ini secara khusus sebagai lembaga tafakuh fiddin (pendalaman ilmu-ilmu keislaman) bagi santri dan masyarakat sekitarnya, untuk menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam, dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan sekaligus mempertahankan khazanah tradisi keilmuan, karena itu pendidikan diniyah (pondok pesantren) sebagai institusi yang memberikan doktrin sunni terhadap para santri khususnya, masyarakat Indonesia pada umumnya.
Istilah guru ngaji yang kita dengar di masyarakat  pada umumnya adalah seseorang yang bisa meberikan pelajaran agama dan identik adalah seseorang tokoh masyarakat yang berjuang dengan ikhlas untuk mengamalkan ilmu, tanpa mengaharap imbalan apapun.
Guru ngaji adalah profesi mulia yang mengemban misi agung dalam menyebar luaskan  Al-Qur’an sebagai  pedoman hidup yang membimbing masyarakat menuju keselamatan dunia akherat. Karena itu Ja’far Subhani[3] dengan tegas menyatakan bahwa  jatuh bangunnya umat Islam pada dasarnya sangat ditentukan oleh optimal tidaknya mereka mengamalkan kitab sucinya tersebut. Al-Qur’an bagi umat Islam adalah petunjuk dan terapi kehidupan serta sumber konsep atas segala hal.  (Qs. 2 : 185, Qs. 17 : 82) . Bila kaum muslimin benar-benar menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, petunjuk dalam pola fikir dan pola laku, sumber  dari segala sumber hukum yang ada, niscaya mereka akan maju melebihi  seluruh kemujuan peradaban yang pernah dicapai sebuah komunitas yang pernah ada.
Karena itu, sudah saatnya umat Islam mendayagunakan Al-Qur’an secara optimal sebagai pedoman hidup baik teoritik manupun praktis, lebih-lebih tatkala umat Islam tengah memasuki suasana peradaban yang dinamis, dimana tantangan kemanusiaan semakin menemukan dimensinya yang kompleks, maka menjadikan Al-Qur’an sebagai alat pertahanan yang kokoh sungguh merupakan hal yang mendesak dan tidak bisa ditunda-tunda lagi.  Dalam sebuah hadits Rasululloh saw  bersabda:   Kutinggalkan kepadamu dua perkara, jika kalian berpegang teguh kepada keduanya, niscaya kalian tidak akan tersesat untuk selamanya, yakni Al-Qur’an  dan  Al-Hadits”.
Dalam pandangan Muhaimin, guru ngaji yang baik adalah mereka yang memiliki kecakapan, keterampilan dan keahlian khusus sehingga mampu melaksanakan tugas, peran dan fungsinya sebagai guru ngaji secara optimal[4]. Karakteristik  ideal yang musti dimiliki seorang  guru  ngaji antara lain adalah : (1) Mempunyai wawasan keislaman yang luas khususnya bidang Ulumul Qur’an, (2) Keilmuannya semakin hari semakin meningkat (3) Meyakini bahwa yang disampaikan adalah sesuatau yang benar dan bermanfaat (4) Senantiasa berfikir objektif dalam menghadapi dan menyelesaikan setiap masalah (5) Memiliki dedekasi, motivasi dan loyalitas (6) Bertanggung jawab terhadap kwalitas dan kepribadian moral (7) Mampu merubah sikap peserta didik kepada yang lebih baik  (8) Menjauhkan diri dari bentuk perbuatan tercela dan (9) Kaya inovasi, kreasi dan inisiatif[5].
 Keberhasilan guru ngaji dalam proses pembelajaran dapat  ditinjau dari dua segi, yakni segi proses dan segi hasil. Dari segi proses, guru ngaji dapat disebut berhasil, apabila mampu melibatkan secara aktif sebagian besar santrinya dalam proses pembelajaran. Sedangkan dari segi hasil, guru ngaji dikatakan berhasil apabila proses pembelajaran yang dilakukannya mampu mengembangakan kretifitas para santri sekaligus mampu memberikan perubahan perilaku pada sebagian besar santri kearah yang lebih baik[6].  Dengan demikian  guru ngaji  yang baik adalah bukan saja yang menguasai materi pembelajaran Al-Qur’an dengan baik, tetapi juga menguasai berbagai macam strategi pembelajaran dan mampu menerapkannya secara variatif, terampil menggunakan berbagai macam media pembelajaran, mampu memahami karakter masing-masing peserta didiknya dan menguasai manajemen kesiswaan dengan baik.
Mengingat begitu pentingya posisi dan peran guru ngaji ditengah kehidupan masyarakat, maka pemerintah memberikan perhatian serius kepada upaya peningkatan kompetensi mereka dengan cara memberikan insentif tahunan, memberikan ijin oprasional mendirikan lembaga dan kucuran progam bantuan lain.
UU No. 20 tahun 2003 tentang sikdiknas yang telah disahkan oleh DPR RI Juni 2003 dan di undangkan tanggal 8 juli 2003 membawa angin segar bagi pendidikann agama Islam  baik pendidikan formal maupun non formal dimana diberikan keluasaan untuk menyelengarakan pendidikan agama Islam. Salah satu bentuk legalitas formal pendidikan agama islam adalah adanya payung hukum pendidikan agama islam yang meliputi: UUD 1945, UU Sikdiknas No 20 Tahun 2003, Pemerintah daerah dalam PP no. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan, pemerintah daerah dalam PP No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan.
Dengan adanya legalitas dan bantuan dari pemerintah menyebabkan potensi menjamurnya guru ngaji. Di mana yang semua guru ngaji niat awalnya adalah fisabililah dengan adanya progam bantuan ini banyak dianatara mereka berharap mendapatkan bantuan.
Kabupaten Jember yang merupakan kabupaten dengan mayoritas penduduk 99% Islam, berdasarkan data Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Kabupaten Jember jumlah guru ngaji di kabupaten Jember sampai dengan tahun ini mencapai 25.271. Jumlah ini meningkat di bandingkan dengan jumlah guru ngaji sebelum mendapat bantuan dari pemerintah yang hanya ada 8.000 saja.
Berdasarkan data di atas menarik untuk di kaji dengan adanya peningkatan jumlah guru ngaji ini, jika di lihat dari berapa jumlah guru ngaji sebelum dan sesudah mendapat bantuan dari pemerintah. Selain itu kajian ini juga akan melihat dampak dari bantuan pemerintah terhadap guru ngaji. 



           [1] Ibnu Hajar Al-Asqolani,  Bulughul Marom, (Bairut, Markaz al-Dirasat al-Wahdah al-Arabiyah,1941), 107
           [2] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ayyuhal Walad, (Kairo, Darul ikhsan , tt), 94
           [3] Ja’far Subhani. Keutamaan Mengajar Al-Qur’an, Terj. Moh. Naufal. (Jakarta, Pustaka Setia, 2006),  19
           [4] Lihat Prof.Dr. Muhaimin, MA. Pemikiran & Aktualisasi Pengembangan Pendidikan islam, (Jakarta, Grafindo Persada, 2011), 87
           [5] Sulaiman Basyir, Pendidikan Al-Qur’an, (Jogjakarta, Pustaka Marwa, 2009), 25
            [6]Muhaimin,  Pemikiran & Aktualisasi Pengembangan Pendidikan islam, (Jakarta, Grafindo Persada, 2011), 102

Rabu, 19 Februari 2014

BERAGAMA YANG INKLUSIF



Sekiranya  Allah swt menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu ummat (saja), tetapi Allah hendak menguji  kamu  terhadap  pemberianNya kepadamu,  maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah  kembali kamu semuanya, lalu diberitahukannya kepadamu apa yang telah kamu  perselisihkan itu. (Qs. 5:48).


Pendahuluan
Jalaluddin Rumi, seorang sufi besar dan masyhur pengarang kitab “Matsnawi”, pernah berkisah mengenai orang-orang India yang berupaya menebak sosok seekor gajah dalam kegelap gulitaan. Karena mustahil bagi mereka menggunakan indra penglihatan, mereka kemudian hanya menggunakan indra peraba dengan telapak tangan masing-masing. Orang pertama ketika meraba  menyetuh belalai gajah, ia kemudian bekata bahwa gajah laksana pipa air. Orang kedua menyentuh telinga gajah, lalu bependapat bahwa binatang itu seperti sebuah kipas, orang ketiga mengenai  kaki gajah, sehingga gajah tersebut baginya seperti pilar, Orang keempat mengenai punggung gajah dan spontanitas berpendapat bahwa gajah itu bagaikan sebuah singgasana. Tidak lama kemudian salah seorang diantara mereka mengambil lampu yang terang benderang, kini segalanya menjadi jelas, akhirnya mereka menyadari bahwa kendati pendapat mereka tidak sepenuhnya salah tetapi juga tidak seluruhnya benar.
Kisah diatas sengaja dikutip untuk menggambarkan kecenderungan umum yang terjadi dikalangan kaum muslimin dalam menghampiri atau memahami agamanya. Sebagian dari mereka menekankan pada dimensi intelektual, untuk menjustifikasi kecenderungan ini mereka tak jarang memfosir sejumlah ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits. Sebagian lagi mempunyai kecenderungan pada dimensi mistikal, seperti kelompok sebelumnya, mereka juga sibuk mencari berbagai dalil sebagai pembenar. Baginya yang terpenting adalah dzikrullah. Ada juga yang lebih tertarik pada dimensi sosial Islam. Fokus mereka adalah bagaimana menerjemahkan Islam kedalam realitas sosial praktis, sehingga menurut kelompok ini Islam harus menjadi kekuatan pembebas (liberating force) kaum muslimin dari berbagai belenggu yang membelitnya, seperti: kebodohan, kemiskinan, depresi, ketidak adilan, ketertindasan, dsb. Bagi mereka kalau ada Islam teoritis harus ada Islam praktis, kalau ada Islam konseptual, maka harus  ada juga Islam aktual. Kecuali itu, ada lagi sebagian yang beragama lebih menitik beratkan pada dimensi ritual, dan agaknya, golongan inilah yang terbesar di banding lainnya, bahkan diantara merekapun terbelah kedalam berbagai mazhab pemikiran yang berbeda.
Keanekaragaman diatas mengingatkan kita pada usaha putra-putri Nabi Ya’qub as tatkala mereka mencari saudaranya yang bernama Yusuf. Mereka memasuki negeri Mesir melalui pintu gerbang yang berbeda dan berlainan sesuai dengan petunjuk ayahnya “Wahai... putra-putriku! Janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang. Tetapi masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlainan.”(Qs.12:67).
Pluralitas dan keanekaragaman seperti ini, sesungguhnya tidak perlu dirisaukan sepanjang hal itu dipandang sebagai proses yang terus-menerus dan berkesinambungan menuju pemahaman Islam yang lebih kaffah. Masalahnya akan menjadi lain, jika masing-masing kelompok kecenderungan itu secara sepihak menganggap bahwa dirinya atau kelompoknyalah yang paling benar dan orang lain atau kelompok lain dianggap salah, sesat dan tidak berhak mendapatkan sorga, maka jika itu yang terjadi tidak ada bedanya kita dengan kaum Yahudi atau Nasrani, sebagaimana dilukiskan  Qs. 2 : 113  ”Dan orang-orang Yahudi berkata: "Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan", dan orang-orang Nasrani berkata: "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan," padahal mereka (sama-sama) membaca Al Kitab. demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili diantara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya.
Oleh karena itu Al-Qur’an menggambarkan”orang-orang yang memecah belah agamanya menjadi bergolong-golongan adalah termasuk kategori musyrik. Yang dimaksud memecah belah agama dalam konteks ini bukan tumbuhnya berbagai aliran atau manhaj al fikr dalam Islam, melainkan permutlakan faham atau mazhabya sendiri sebagai yang paling benar sehingga yang lain dianggap sesat dan harus dibasmi, dari sinilah lalu timbul iftiraq (perpecahan).

Memasuki agama dari berbagai pintu
Banyak jalan menuju roma, dan setiap jalan memiliki standart kebenaran (language game) sendiri-sendiri, oleh karena itu tidak bisa seseorang menganggap hanya jalan dirinya yang memiliki kebenaran, sementara jalan orang lain salah samua. Sebagai umat Islam, tentu kita tidak ingin seperti kaum yahudi atau kaum nasrani yang disindir bahkan dikecam  Al-qur’an sebagai kaum yang terus berselisih padahal mereka sama-sama merujuk pada kitab suci yang sama-sama bersumber dari Allah swt. Maka agar kita tidak terjebak dalam ekslusifisme destruktif semisal kaum yahudi dan nasrani diatas, ada baiknya jika masing-masing pihak menyadari sepenuhnya bahwa pemahamannya tentang Islam belumlah sempurna dan bersifat relatif. Yang absolut hanyalah Islam pada tataran langit atau wahyu, sementara interpretasi terhadap Islam (tataran bumi) adalah bersifat relatif.
Janganlah satu golongan merendahkan yang lain karena bisa jadi yang direndahkan itu justru lebih baik dari yang merendahkan (Qs. 49 : 11), karenanya kita harus bersedia dengan kesadaran penuh untuk menerima kelompok lain yang berbeda sebagai sebuah realitas dan kemestian. Perbedaan tidak serta merta dijadikan alasan untuk saling berpecah belah dan bermusuhan. Justru sebaiknya dengan  perbedaan, akan muncul ketegangan kreatif yang pada akhirnya akan memotivisir kita untuk berlomba-lomba menuju berbagai kebaikan.
Ada tiga sikap yang harus dikembangkan dalam menghadapi perbedaan : 1. Akseptasi (kesediaan menerima keberadaan dan kehadiran mazhab pemikiran lain). 2. Apresiasi (menghargai keyakinan yang dianut kelompok lain) dan yang ketiga. 3. adalah ko eksistensi  (kesediaan untuk hidup berdampingan secara damai dengan kelompok muslim manapun atau bahkan dengan kelompok non muslim). Hal ini sangat penting, mengingat keanekaragaman yang ada hanyalah keanekaragaman ‘jalan’. Sedangkan yang dituju adalah sama dan satu yakni : keridhaan Allah swt semata.



Persatuan dalam keseragaman : sebuah ilusi
Sejarah Islam telah mencatat bahwa perbedaan dalam menafsirkan Islam sudah berlangsung hanya sesaat setelah Rasulullah saw wafat dan terus berlangsung hingga hari ini. Itu artinya, bahwa Islam sebagaimana ditunjukkan oleh sejarahnya adalah berwarna. Telah berabad-abad seiring menyebarnya Islam ke berbagai pelosok dunia, kita menyaksikan pemahaman Islam yang demikian beragam. Dalam bidang aqidan dan teologi terdapat puluhan firqoh dan sekte, dalam bidang syariah dan fiqh terdapat puluhan mazhab, juga dalam bidang akhlaq tasawwuf terdapat puluhan tariqoh dan aliran. Namun demikian, bukan berarti masing-masing firqoh, mazhab dan aliran tidak bisa bekerjasama atau bersatu.  Persatuan tidak harus dimaknai sebagai keseragaman, lebih-lebih dalam masyarakat majmuk yang multi ideologi dan multi kultur.
Hari ini mendambakan persatuan dalam arti keseragaman adalah ilusi dan isapan jempol, persatuan hanya betul-betul terjadi dalam arti keberagaman melalui kesediaan menerima ambiguitas manusia. Artinya, kita mempercayai sesuatu yang mutlak, tetapi pada saat yang sama mentoleransi kemungkinan orang lain mempercayai kemutlakan berbeda." Menerima kemutlakan sekaligus mengakui relativitas adalah keniscayaan dalam beragama seraya bisa hidup berdampingan secara damai dengan kelompok lain.
Memaksakan "satu pemahaman Islam" kepada semua penganut Islam, tentulah menyalahi watak toleransi Islam. Obsesi seseorang atau suatu kelompok terhadap  "satu model pemahaman" hanya mungkin dilakukan lewat pemaksaan, kekerasan, penindasan atau bahkan senjata, dan itu menyalahi konsep dasar Islam tentang "tidak ada paksaan dalam beragama".
Jangankan dalam beragama, dalam konteks bernegara saja jargon persatuan telah berulangkali menjadi sarana untuk menindas. Pada zaman demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno yang terobsesi dengan persatuan telah menjadikan slogan "persatuan dan kesatuan" menjadi dalih untuk memberangus partai politik. Begitu pula dengan Rezim Soeharto yang memanfaatkan "asas tunggal Pancasila" untuk membungkam suara-suara berbeda. Dan pada tahun-tahun terakhir, slogan yang sama dipakai pula oleh kelompok nasionalis dan kelompok militer untuk menolak federalisme. Negeri kita memang mengenal konsep "Bhinneka Tunggal Ika" atau "berbeda-beda tetapi tetap satu". Namun dalam berbagai zaman, kita cenderung memakai "ika" untuk memberangus "kebhinnekaan"; menggunakan keseragaman untuk membunuh beragam aspirasi politik dan budaya. Seperti dalam agama, penyeragaman interpretasi terhadap ideologi negara hanya dimungkinkan lewat pemaksaan, penahanan, pembunuhan, dan penindasan budaya.
Persatuan bukanlah peleburan, dan sekali lagi persatuan hakiki hanya mungkin berlangsung jika difahami dalam keberagamaan, yakni ketika masing-masing pihak mengakui perbedaan seraya menyadari pentingnya bekerja sama untuk mewujudkan kepentingan bersama. Bukanlah pelangi menjadi indah karena beragam warna, dan ekosistem alam menjadi kuat karena dipelihara oleh keragaman "spesies"-nya. Makin beragam spesies di dalamnya, makin stabil ekosistem itu. Hutan tropis akan segera punah jika semua lumut dan ganggang dipaksa menjadi pohon jati yang seragam. Hal serupa juga berlaku untuk Islam,  juga untuk Indonesia.

Kesadaran akan spektrum diatas pada gilirannya akan menghantarkan kita pada satu tahap kedewasaan dengan lapang dada menerima keanekaragaman sebagai sunnatullah. Keterbukaan kepada yang lain (an openees towards the other) yang pada ujungnya selain memberi arahan untuk membangun suatu sikap, etos dan  pandangan dunia yang egaliter guna membentuk satu horizon kehidupan yang dilandaskan atas prinsip ko eksistensi (prinsip dsaling menghargai keberadaan yang lain), juga akan menjadi tumpuan manusia akan harapan keselamatan dan kebahagiaan hakiki. Maka mungkin anda benar dengan apa yang anda nyatakan. Tapi yang anda ingkari, kiranya perlu di fikirkan kembali. #

BERBAGAI PARADIGMA DALAM PENELITIAN AGAMA.


Istilah paradigma pertamakali dikemukakan oleh Thomas S Khun dalam The Structure of scientific Revolutions yang diterbitkan untuk edisi  kedua tahun 1970. Kuhn Mendefinisikan paradigma sebagai World view atau Weltanscauung (pandangan hidup) yang dimiliki oleh para ilmuan dalam suatu disiplin tertentu. Robert  Friedrichs dalam bukunya “ Sociology of sociology (1970) mendefinisikan  paradigma sebagai suatu gambaran yang mendasar mengenai pokok permasalahan yang dipelajari dalam suatu disiplin. Sementara Bogdan dan Bikllen dalam Qualitative Research for education : An introduction to theory and methods (1982) mengartikan paradigma sebagai  kumpulan  lepas dari asumsi, konsep atau proposisi yang disatukan secara logis yang mengarahkan pikiran dan jalannya penelitian.
Dari ketiga pendapat diatas, kiranya dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan paradigma adalah pandangan dunia (world view) yang dimiliki seorang peneliti yang dengan itu ia memiliki krangka berfikir (frame), asumsi, teori atau proposisi dan konsep terhadap suatu permasalahan penelitian yang dikaji.
Beberpa pakar lain menyebutkan paradigma adalah pandangan dunia yang dimiliki oleh seorang peneliti terdiri dari konsep, krangka fikir, asumsi, teori dan proposisi terhadap focus atau permasalahan penelitian yang dilakukan. Konsep  merupakan rancangan  (bahan mentah)  bangunan teori yang paling dasar yang digunakan oleh akal budi untuk memahami  hal  hal  lain. Asumsi  adalah anggapan dasar yang tidak memerlukan  pengujian, tetapi berfungsi sebagai dasar pemilihan masalah penelitian. Teori dalam konteks penelitian diartikan sebagai  seperangkat pernyataan, asas, dan hukum umum yang disusun secara sistimatis (Mantja, 1997 : 6).  Sedangkan Proposisi adalah ide logis atau dalil dalam rancangan penelitian sosial (termasuk Keagamaan) yang digunakan untuk mencari atau mendapatkan fokus penelitian (Imam Suprayogo, 2001 : 92)
Dalam konteks penelitian, Menurut Patton (1980 : 203) paradigma adalah metode yang dipakai oleh seorang peneliti ketika dirinya berupaya untuk sampai kepada suatu realitas hasil cerapannya ( Perceived reality). A paradigm is a world view, a general perspective, a way of breaking down the complexity of the real world. As such, paradigms are deeply embedded in the  in the sociazation of edherents and practicioners; paradigm tell them what is important, legitimate.
Dalam penelitian kwalitatif yang bersifat naturalistik, fungsi paradigma bukan dalam rangka membentuk fakta, melakukan prediksi dan menunjukkan hubungan dua variable sebagaimana dalam penelitian kwantitatif, melainkan lebih banyak untuk mengembangkan konsep dan pemahaman serta kepekaan (sensibelitas) peneliti.
Agama, sebagai fenomina sosial budaya bersifat multi fased. Karena itu untuk memahami fenomina tersebut dapat digunakan salah satu atau beberapa paradigma yang umumnya digunakan dalam penelitian sosial. Ia dapat menggunakan berbagai perspektif, baik makro ataupun mikro, subjektif maupun subjektif, kwalitatif ataupun kwantitatif atau bisa juga gabungan dari berbagai perspektif yang ada.
Terdapat beberapa model paradigma yang lumrah digunakan dalam penelitian sosial, antara lain :
1.    Paradigma positivistik. Paradigma ini disebut juga dengan paradigma fakta sosial. Dalam paradigma ini fenomina sosial difahami sebagaimana fenomina alam, cara kerja ilmu sosial menggunakan metode ilmu alam yang disebut fisika sosial. Dalam mengkaji fenomina sosial, digunakan pendekatan positivisme  August Comte. Yakni fenomina sosial difahami dari perspektif luar (other perspective) berdasarkan teori – teori yang ada. Penelitian dengan menggunakan paradigma positivistik ini biasanya bertujuan untuk menjelaskan (eksplanasi), penjajakan (eksplorasi), penggambaran (deskripsi) dan Pengujian (verivikasi) tentang fenomena mengapa suatu peristiwa terjadi, bagaimana frekwensinya (intensitasnya), proses kejadiannya, hubungan antar variable, rekaman perkembangan, diskripsi, bentuk dan polanya.
Istilah “positif” sebagai sebuah paradigma. Lahir dari August Comte, yang dijuluki “Bapak Positivisme” adalah faham filsafat yang cenderung membatasi kebenaran pengetahuan kepada hal hal yang dapat diperoleh dengan memakai metode Science. Sesuatu dianggap positif (a positive fact) adalah hal yang mesti dibenarkan oleh setiap orang yang mempunyai kesempatan sama untuk menilainya. Positivisme mengajarkan bahwa hanya fakta atau hal yang dapat ditinjau dan diuji yang dapat melandasi penghetahuan yang sah. Dalam Filsafat Sains, positivisme biasanya ditandai dengan system MERK (Materialistis, empiris, rasional dan kwantitatif).
Dalam memahami realitas sosial, paradigma positivistik identik dangan perspektif makro, yaitu : pertama, realita adalah fenomina yang keberadaannya ditentukan oleh fenomina lain ( Investigasi ilmiyah ), karena itu ditandai oleh bangunan  hubungan sebab akibat. Kedua, positivisme yakin bahwa realitas sosial dapat diklasifikasi dan keberadaannya dapat digambarkan dalam sebuah simbol dengan atribut tertentu. Positivisme yakin bahwa kategori yang dilekati  simbol tersebut dianggap sesuatu yang riil dan dapat digali secara empirik dengan cara membuat hipotesis dalam bentuk hubungan sebab akibat antar variabel.  Untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan, variabel  - variabel tersebut dikonsep sedemikian rupa  sehingga dapat diukur, langkahnya adalah membuat definisi nominal, definisi  operasional, kemudian melakukan pengukuran dengan tehnik statistik. Hasilnya ditemukan adanya derajat korelasi yang bisa dikemas dalam bentuk angka.

2.    Paradigma naturalistik.Disebut juga paradigma definisi sosial, paradigma non positivistik dan paradigma mikro atau pemberdayaan. Walaupun istilahnya berbeda beda, keempat istilah tersebut pada umumnya memiliki pengertian yang sama dan merupakan rumpun paradigma dalam penelitian kwalitatif. Paradigma ini dikembangkan oleh Max weber dengan mengembangkan sosiologi interpretatif.. Bagi kelompok ini  sosiologi adalah  suatu ilmu pengetahuan yang mencoba memberikan pemahaman interpretative mengenai tindakan social, dan dimaksud dengan tindakan sosial adalah  semua prilaku manusia  sejauh individu yang bertindak itu memberikannya suatu arti yang subjektif (lihat Jonson,1994 :54).  Aliran aliran yang tercakup dalam paradigma ini adalah : fenomenologi, intraksionisme simbolik dan etnometodologi. Fenomina sosial tidak sama dengan fenomina alam. Karena itu tidak dapat menggunakan metode metode ilmu alam dalam ilmu sosial. Fenomena sosial harus difahami dari perspektif dalam (inner perspective) berdasarlan subjek pelaku. Penelitian dengan paradigma naturalistik bertujuan untuk memahami (understanding) makna prilaku, simbol simbol dan fenomena fenomena.
Bagi Paradigma Naturalistik / non positivistic, realitas sosial yang menjadi objek penelitian tidajk mesti bersifat prilaku prilaku social yang kasat mata sebagaimana pandangan positivistik, melainkan keseluruhan makna cultural yang simbolik yang ada dibalik semua gerak tindakan manusia yang kasat mata itu. Sedangkan sumber dari prilaku sosial tidak berasal dari luar individu sebagai aktor dan semata mata mengikuti hukum sebab akibat, melainkan bersumber dari dalam diri subjek (inner perspektif of human bahavior) dan makna pengalaman individu ( the meaning of an individual’s experience of the world). Dengan kata lain, realitas (konsep) dalam paradigma  makro ditentukan oleh  peneliti berdasarkan perspektif teori yang digunakan, sedangkan dalam paradigma mikro ditentukan sendiri oleh subjek yang diteliti.
Sekurang kurangnya terdapat tiga prinsip dasar yang dikembangkan oleh aliran non positivistik dalam membaca fenomena social : Pertama , Individu menyikapi sesuatu atau apa saja di lingkungannya berdasarkan makna sesuatu tersebut bagi dirinya. Kedua, makna tersebut diberikan berdasar intraksi social yang dijalin dengan individu lain. Dan ketiga, makna tersebut difahami  dan dimodoivikasi oleh individu melalui proses interpretative yang berkaitan dengan hal hal lain yang dijumpainya.
Mengenai masalah objektifitas, paradigma Mikro berpendapat bahwa yang objektif tidak  ditentukan oleh peneliti bersdasarkan teori atau asumsi tertentu yang telah diyakini kebenarannya, karena hal itu  justru mengandung bias cultural, yang disebut objektif adalah  realitas sebagaimana difahami  oleh subjek, sehingga bukan sembarang subjektif  melainkan justru objektif menurut para subjek (objectivied subjectivities), sementara menurut  paradigma makro, yang disebut objektif adalah The subjectivied objectivies.
Tentang hubungan peneliti dengan yang diteliti, bagi kaum Strukturalis, peneliti mempelajari masyarakat (To learn about the people) sehingga masuyarakat uyang diteliti diperlakukan sebagai objek. Sedangkan bagi kaum non strukturalis, peneliti justru belajar kepada masyarakat (to learn from the people) dan hubungan peneliti dengan yang diteliti merupakan hubungan antar subjek.
Tujuan Penelitian dengan menggunakan paradigma mikro sangat bergantung pada perspektif yang digunakan serta permasalahan yang diteliti, yang pada umumnya dalam rangka melakukan deskripsi (penggambaran), pemahaman atau pemaknaan, interpretasi (penafsiran), pengembangan, eksplorasi (pengungkapan dan penemuan) serta komparasi (perbandingan).

3.    Paradigma rasionalistik, disebut juga  paradigma verstehen. Ia memandang realitas sosial sebagaimana difahami oleh peneliti berdasarkan teori  teori yang ada dan didialogkan dengan pemahaman subjek yang diteliti/data empirik. Paradigma rasionalistik ini bisa juga disebut gabungan dari dua paradigma yang ada atau paradigma strukturasi menurut Gidden. Paradigma penelitian ini banyak digunakan antara lain dalam penelitian filsafat, bahasa, agama dan komonikasi. Metode yang digunakan biasanya verstehen, hermeneutika (filologi), analisis isi (content analysis)
Metode penelitian sosial agama dengan menggunakan paradigma Rasionalitistik  identik dengan penelitian dengan menggunakan pendekatan filsafat. Yakni sebuah metode penelitian yang focus pada substansi pemikiran. Ia lebih menekankan penampilan argumentasi penalaran keilmuan yang memaparkan hasil kajian pustaka dan hasil olah fikir peneliti mengenai suatu masalah atau topik kajian.
Sebagian pakar penelitian, seperti :  Bakar, Zubair dan Krippendorff, menyamakan metode penelitian filsafat dengan metode hermeneutika atau filologi dan content analysis. Menurut mereka, sebuah penelitian dikatakan menggunakan meteode flsafat apabila mampu menerapkan salah satu atau beberapa analisis, seperti : interpreatasi, pola fikir induksi deduksi, koherensi intern, holistika kesinambungan histories, idealidsasi, komparasi, heuristika, bahasa inklusia dan analogal dan deskripsi (1992 : 41).
4.    Paradigma Teologis
Sejak pertengahan abad dua puluh berbagai paradigma sebagaimana diurai diatas, mulai banyak dipertanyakan, bahkan mulai dikritik, karena dianggap belum memuaskan para ilmuwan sosial, lebih lebih bagi mereka yang meyakini wahyu sebagai suatu kebenaran. Bagi mereka , realitas social bukan hanya terdiri dari realitas  emperik, realitas logis, dan realitas etis, tetapi Wahyu juga merupakan sebuah realitas, yakni realitas normatif.  Realitas universal bagui mereka terdiri dari fenomina (ayat, tanda, symbol) yang tercipta (ayat ayat kauniyah) seperti fenomena alam dan fenomena social, juga fenomena ayat yang terucap yaitu wahyu (ayat qauliyah).
Menurut mereka paradigma yang ada ternyata belum sepenuhnya representatif mengakomodir persoalan – persoalan penelitian agama atau keagamaan. Karena itu Perlu paradigma khusus ( tersendiri)  bagi penelitian agama dan keagamaan. Mereka menawarkan perspektif ontologi, epistimologi dan aksiologi yang bereferensi dari nilai nilai dan kaidah kaidah agama yang secara empirik ada dalam wahyu sebagai paradigma tersendiri. Artinya bahwa Wahyu Tuhan adalah benar benar realitas yang diyakini dapat ditempatkan sebagai referensi dalam membaca fenomena fenomena sosial keagamaan yang nampak pada saat ini.
Untuk rincinya dapat dilihat pada tabel berikut :
Paradigma
Pendekatan Ilmiyah
Teori/metodologi
Digunakan untuk
Positivistik/
Strukturalis/
Fakta sosial
Sosiologi
Struktural/Konflik
Sejarah/Psikologi
Teori,
Struktural,Konflik,
Bahaviorisme, Kolektivisme, organisme,

Metode :
survey,Study kasus,
Operation research
Memahami individu,kelompok,hubungan antara variable, rekaman perkembangan, deskripsi, dll
Naturalisme/
Fenomenologi/
Etnometodologi
Sosiologi
(interpretative)
Antropologi
Sejarah Sosial
Filologi
Psikologi
Teori:
Fenomenologi,
Interasionalisme simbolik, Everiday live,
Metode :
Survey,Studi kasus,
Grounded research.

Memahami
makna, prilaku, budaya, fenomina, intraksi, symbol symbol, karakteristik, keunikan, fenomina social, teori baru
Rasionalistik
(verstehen)
Sosiologi(kognitif)
Antropologi
Filsafat,teologi,
Filologi
Content analyis
Hermeneutika,
Verstehen

Memahami
idealisasi, mengkritisi, komparasi antar teks, naskah, simbol, budaya, dsb
Wahyu/Teologis
Ilmu ilmu agama
(tafsir,Hadits,Fiqih,
Tasawuf,Ilmu kalam, Sejarah)
Metode tafsir
Content analysis,
Hermeneutika,
Verstehen

Pemahaman, idealisasi, komparasi antara teks, naskah, dsb

Namun beberapa pakar penelitian Agama yang lain mengatakan bahwa Agama dalam pengertiannya yang universal, dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma, tetapi tentu saja, realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya.  Karena itu  penerapan paradigma yang satu dengan yang lain, akan mendatangkan hasil kebenaran yang berlainan pula. Sebab bisa jadi, masalah tertentu hanya dapat dijawab oleh paradigma tertentu pula. Misalnya Menurut jalaluddin Rahmat (1989 : 84) : Apakah kawin Mut’ah dapat dibenarkan oleh agama ? hanya dapat dijawab oleh paradigma logical. Apakah fungsi ulama’ sudah tergeser oleh ilmuan ? hanya dapat dijawab oleh paradigma ilmiyah. Bagaimana kondisi batin seseorang ketika dirinya tajarrud dan tawjih ? hanya bisa dijawab oleh paradigma mistikal.
Guba dan Lincoln (1983 : 53 – 55) menunjukkan tujuh paradigma penelitian, yang setiap paradigma itu mempunyai tehnik utama sendiri sendiri serta menghasilkan jenis kebenaran sendiri sendiri pula :
Paradigma
Tehnik utama
Jenis Kebenaran
Contoh
Logis
Analisis
Demonstrable
Matematika, filsafat
Positivistik
Eksprimen
Confirmable
Fisika, biologi
Naturalistik
Study lapangan
Inclutable
Etnografi, antropologi
Judgemental
Pengindraan
Recognizable
Musik.Seni rupa, arsitektur
Adversarial
Eksaminasi silang
Trianggulasi
Energent
Hukum, Jurnalistik
Modus operandi
Uji sekuenes
Trackable
Diagnosis medis,
Metodologi forensik
Demographic
Indikator
Macroscopically
determinable
Demografi,ekonomi, geografi

Ketujuh paradigma yang ditawarkan Guba dan Lincoln diatas tampak belum menyinggung secara mendalam tentang penelitian agama dan penelitian keagamaan, sebab tujuh paradigma tersebut jika diringkas hanya terbagi dalam dua paradigma besar, yakni  paradigma aqliyah untuk paradigma logis dan paradigma ilmiyah untuk paradigma sisanya. Rahmat memberikan bandingan, bahwa untuk penelitian agama minimal harus mencakup tiga paradigma besar, yakni : Paradigma  ilmiyah (empirikal), paradigma aqliyah (logikal)  dan paradigma irfaniyah (mistikal).
Paradigma ilmiyah dan aqliyah, menurut Rahmat, dalam perakteknya bisa menggunakan metode  positifistk, naturalistik dan Rasionalistik, sedangkan paradigma irfaniyah harus menggunakan metode tasawwuf melalui Takhliyah, tahliyah dan Tajliyah, riyadah, tariqah dan ijazah. Rahmat memberi contoh dalam penelitian Nash, paradigma ilmiyah dapat digunakan untuk meneliti : a) apakah alqur’an lebih menitik beratkan pada aspek social atau aspek teologis ?  b). apakah naskah shoheh bukhari yang ada sekarang masih otentik atau tidak ?.  Sedangkan paradigma aqliyah dapat digunakan untuk meneliti : a) bagaimana pola penafsiran al Ghazali tentang manusia ?  b). apakah terdapat konsistensi logis dalam beberapa teks hadits tentang sifat sifat Allah ?  Sementara Paradigma Irfaniyah dapat digunakan untuk meneliti : a) Apakah ada dan seberapa banyak aspek esoteris dari makna ayat ayat Alqur’an atau al Hadits ?
Uraian Rahmat untuk lebih jelasnya digambarkan dalam table berikut :
Bidang kajian    :                      :                                Dimensi Keagamaan
Paradigma
Ajaran
Ideologis
intelektual
eksperensial
ritualistik
Konsekuensial
Ilmiyah
Aqliyah
Irfaniyah
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X

Bagi Simuh, sebagaimana dikuti Amin Abdullah (1992 : 63) apa yang ditawarkan Rahmat mengenai paradigma irfaniyah, sesungguhnya tidak harus  didekati dengan metode tasawuf saja, tetapi juga bisa menggunakan pendekatan verstehen atau fenomenologi. Sebab dengan fenomenologi dapat mengungkap empat kebenaran empiris agama, yakni empirik sensual, empirik logic, empirik etik dan empirik transcendental. Menurutnya, pendekatan fenomenologi yang digunakan Imron Arifin ketika meneliti tentang Dabus dalam tarekat Rifa’iyah (1993) dan gerakan misianik darul arqom bangsa Melayu (1995) menunjukkan akurasi yang cemerlang dari pendekatan verstehen bagi penelitian irfaniyah.