Senin, 24 Maret 2014

WAJAH DAMAI ISLAM



Ust. Hefni Zain

Secara teoritik, kehadiran semua agama dimaksudkan untuk memberikan perasaan aman dan sejahtera kepada para pemeluknya serta membimbing mereka kearah kesempurnaan hidup baik didunia maupun di aherat. Tidak ada satu agamapun di dunia ini yang secara teologis mengajarkan keburukan atau membenarkan pemeluknya untuk memusuhi pemeluk agama lain. Doktrin teologis semua-agama yang kemudian dipertegas melalui keputusan majelis ulama’, keputusan konsili, atau juga hasil kesepakatan sidang dewan gereja sedunia pada intinya menganjurkan pemeluknya mengembangkan sikap akseptasi (kesediaan menerima keanekaragaman), apresiasi (menghargai keyakinan yang dianut kelompok lain) dan ko-eksistensi (kesediaan untuk hidup berdampingan secara damai dengan membiarkan kelompok lain ada) dalam rangka membangun hubungan antar umat beragama yang harmonis.
Namun suatu ironi bahwa di beberapa wilayah di Indonesia sangat berbeda antara doktrin teologis dengan kenyataan empiris. Masih ditemukan fakta bahwa terdapat sejumlah faktor kepentingan politis-ekonomis-sosial, dan kepentingan pragmatis lainnya yang juga ikut mewarnai dinamika pasang surut hubungan antar umat beragama, bahkan pada batas-batas tertentu kencangnya arus kepentingan pragmatis tersebut telah memposisikan doktrin teologis mandul, kering, dan tidak mampu lagi menggugah nurani para pemeluk agama untuk membangkitkan semangat kebersamaan dan harmonisasi sebagaimana didambakan.
Campur aduknya aspek doktrin teologis ajaran agama dengan aspek kultural-historis-sosiologis yang merupakan hasil tafsir manusia atas ajaran agama, kian menambah rumitnya penataan harmonisasi umat beragama pada wilayah empiris. Dalam banyak kasus, umat beragama masih sulit membedakan mana doktrin agama yang bersifat normatif (dilandasi teks-teks suci) dan mana pula yang tafsir terhadap teks-teks suci (yang sarat bias kepentingan politis, kultural dan sosiologis). Tumpang tindih antara yang konsepsional normatif dengan yang operasional interpretatif  pada wilayah keagamaan pada gilirannya memunculkan stigma bahwa agama-agama yang bukan Islam adalah agama yang tidak diridloi Allah swt yang dalam tafsir teologis disebut kafir.  Stigma seperti diatas kemudian menghegemoni di masyarakat karena terus diperkokoh melalui tafsir kepentingan dan kuasa oleh para pembela agama dan terus diwariskan secara turun-temurun kepada setiap generasi. Kondisi semacam  inilah yang  pada sisi-sisi tertentu menjadi embrio terjadinya disharmonisasi dikalangan umat beragama.
Dalam konteks yang lebih makro, berbagai kericuhan kemanusiaan berlatar belakang agama yang terjadi di berbagai belahan Indonesia mengindikasikan bahwa potensi konflik antar penganut agama belum sepenuhnya dapat diatasi. Arus prasangka etnis, faham, aliran, sosial dan ekonomis, ditambah lagi dengan adanya berbagai arogansi dan ketidak adilan, bila meminjam bahasa Arkoun, seakan seperti  “sabbu al zait ‘ala al-nar” menyemprot minyak pada kobaran api.
Kemajemukan Agama dan pemahaman keagamaan serta adat istiadat di indonesia disatu sisi memang merupakan suatu kekayaan tersendiri, tetapi disisi lain juga menyimpan potensi konflik kepentingan antar kelompok yang berbeda tersebut.
Wilayah agama adalah wilayah yang paling sensitif dalam kehidupan masyarakat, sebab ia berhubugan erat dengan pandangan hidup, spirit dan ideologi. Karena itu isu agama bila diekploitasi akan menjadi hal yang sangat peka memunculkan berbagai konflik, lebih-lebih dalam masyarakat majemuk seperti Indoensia, agama disatu sisi dapat mejadi suatu faktor pemersatu (uniting factor) namun disisi lain agama juga dapat dengan mudah disalah gunakan sebagai alat  pemisah dan pemecah belah. (deviding dan devising factor).
Terlepas dari doktrin teologis semua agama yang menganjurkan toleransi dan perdamaian, ditangan pembelanya, agama acapkali ditampilkan dalam wajah yang garang dan menyeramkan seolah  telah kehilangan senyum sendunya sebagai rahmah bagi sekalian umat manusia .  Merebaknya  berbagai bentuk kekerasan berbingkai agama, telah memaksa banyak pihak menelaah kembali wacana “Kekerasan dalam agama”, apakah bentuk seperti itu mempunyai akar teologis keagamaan yang kuat,  atau sekedar pemanfaatan  nama agama untuk kepentingan yang non agamis.
Arus kekerasan atas nama agama terus berlanjut dari waktu ke waktu, saat ini ditengah meluasnya anjuran sikap toleran dan saling pengertian inter dan antar umat beragama, kekerasan bernuansa agama termasuk di Indonesia masih sulit dibendung. Salah satu faktor pememicunya adalah ketika masing-masing pemeluk agama merasa dirinya yang paling absah (trut claim) dan menganggap kelompok lain sebagai sesat yang harus dimusnahkan, ditambah lagi faktor ketidak adilan dan profokasi pihak-pihak tertentu demi kepentingan tertentu.
Sikap apriori, prasangka, praduga teologis yang tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat yang kemudian diperkuat oleh pada da’i, missionaris dan zending dengan landasan kitab suci masing-masing, juga telah menjadi embrio bagi pembiakan potensi kekerasan berbingkai agama dimasa selanjutnya. Disamping itu, kekerasan berlatar agama juga disebabkan oleh kegagalan penganut agama memahami makna dan prinsip-prinsip asasi agamanya secara konprehensip, kepentingan sesaat sekelompok orang yang di dorong oleh hawa nafsu dengan menjadikan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu.
Teks-teks yuridis kebangsaan yang menegaskan bahwa setiap warga negara harus membangkan sikap saling  menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan yang maha esa, membina kerukunan hidup diantara sesama umat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan yang maha esa, menghormati kebebasan memilih dan menjalankan agama dan kepercayaannya masing masing, Mengembangkan sikap tepo sliro, menjunjung tinggi nilai-nilai  kemanusiaan, adalah bentuk penegasan bahwa negara secara yuridis menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing sesuai hati nuraninya. Karena itu kekerasan berlatar agama disamping merupakan bentuk penyelewengan terhadap fungsi agama juga merupakan bentuk penentangan terhadap pancasila dan budaya bangsa Indonesia. 
Sesungguhnya penataan hubungan umat beragama yang berbasis toleransi demi tegaknya harmonisasi telah lama di rintis di negeri ini, misalnya dengan dikeluarkannya Instruksi Menteri Agama No. 3 tahun 1981 tentang pelaksanaan kerukunan hidup umat beragama di daerah. Juga keputusan Menteri Agama No.84 tahun 1996 tentang petunjuk pelaksanan penanggulangan kerawanan kerukunan hidup umat beragama. Bahkan departemen kementerian Agama RI dari tahun ke tahun selalu mengeluarkan buku pedoman dasar mengenai pembinaan kerukunan hidup beragama yang memuat penanaman pengertian akan nilai dan kehidupan bermasyarakat yang mampu mendukung kerukunan hidup beragama.   Namun karena banyak pihak yang tidak konsisten melaksanakan aturan-aturan tersebut, maka disharmonisasi umat beragama secara sporadis selalu muncul  bahkan kadang sambil membawa bawa nama Tuhan.
Dikalangan sebagian internal umat beragama sejatinya telah muncul semangat untuk membebaskan diri dari kebosanan dalam hidup saling curiga. Semangat demikian  hampir selalu dikaitkan dengan penegasan bahwa ada persoalan yang jauh lebih penting dan mendasar  untuk  dihadapi dan ditangani bersama, ketimbang menonjol-nonjolkan perbedaan, yaitu masalah kemanusiaan universal seperti kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Namun semangat itu kalah kencang dengan arus gerakan sporadis  sekelompok orang atau organisasi yang membenarkan tindak kekerasan atas nama agama.
Kesadaran seperti diatas mestinya mendapat dukungan yang lebih riil dari semua pihak, sebab tantangan keagamaan saat ini bukan lagi muncul dari semacam “Beuty contest” dari doktrin-dokrin normatif, yang lebih diperlukan adalah respon kemanusiaan yang relevan dengan tantangan-tantangan yang ada. Survival agama esensinya tidak hanya terletak pada usaha keras menjaga kemurnian doktrin doktrinnya, tetapi yang lebih mendasar adalah pada kemampuannya menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan global. Oleh karena itu sudah saatnya para penganut agama mencurahkan semua potensinya untuk merumuskan  hal-hal yang merupakan keprihatinan kemanusiaan  bersama. Namun demikian, yang dimaksud kerukunan hidup antar umat beragama bukan berarti kompromi aqidah, tetapi kerukunan yang bersandar pada persaudaraan sebagai sesama mahluk Tuhan. #

Minggu, 23 Maret 2014

ISLAM : AGAMA INKLUSIF



Ust. Hefni Zain

Dalam Islam beragama secara inklusif dengan menampilkan wajah agama yang sejuk, santun dan ramah sangat dianjurkan. Islam bahkan memerintahkan umat Islam untuk dapat berinteraksi dengan agama lain  sehingga dapat menggali nilai-nilai keagamaan melalui diskusi dan debat intelektual/teologis secara bersama-sama dan dengan cara yang sebaik-baiknya (QS al-Ankabut/29: 46), tentu saja tanpa harus menimbulkan prejudice atau kecurigaan di antara mereka.  Karena menurut al-Qur’an sendiri, sebagai sumber normatif bagi suatu teologi inklusif. Karena bagi kaum muslimin, tidak ada teks lain yang menempati posisi otoritas mutlak dan tak terbantahkan selain Alqur’an. Maka, Alqur’an merupakan kunci untuk menemukan dan memahami konsep persaudaraan Islam-terhadap agama lain---pluralitas  adalah salah satu kenyataan objektif komunitas umat manusia, sejenis hukum Allah atau Sunnah Allah, sebagaimana firman Allah SWT: “ Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui  Lagi Maha Mengenal” (Al Hujurat 49: 13). 
Kalau kita membaca dari ayat tersebut, secara kritis dan penuh keterbukaan, pastilah kita akan menemukan suatu kesimpulan bahwa Allah SWT sendiri sebenarnya secara tegas telah menyatakan bahwa ada kemajemukan di muka bumi ini. Perbedaan  laki-laki dan perempuan, perbedaan suku bangsa; ada orang Indonesia, Jerman, Amerika, orang Jawa, Sunda atau bule, adalah realitas pluralitas yang harus dipandang secara positif dan optimis. Perbedaan itu, harus diterima sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin atas dasar kenyataan itu. Bahkan kita disuruh untuk menjadikan pluralitas tersebut, sebagai instrumen untuk menggapai kemuliaan di sisi Allah SWT, dengan jalan mengadakan interaksi sosial antara individu, baik dalam konteks pribadi atau bangsa.     
Kenapa kita diperintah untuk saling mengenal dan berbuat baik sama orang lain, meskipun berbeda agama, suku dan kulit dan dilarang untuk memperolok-olok satu sama lain? Jawabannya adalah bahwa hanya Allah yang tahu dan dapat menjelaskan, di hari akhir nanti, mengapa manusia berbeda satu dari yang lain, dan mengapa jalan manusia berbeda-beda dalam beragama: “Untuk masing-masing dari kamu (umat manusia) telah kami tetapkan Hukum (Syari’ah) dan jalan hidup (minhaj). Jika Tuhan menghendaki, maka tentulah ia jadikan kamu sekalian umat yang tunggal (monolitk). Namun Ia jadikan kamu sekalian berkenaan dengan hal-hal yang telah dikarunia-Nya kepada kamu. Maka berlombalah kamu sekalian untuk berbagai kebajikan. Kepada Allah-lah tempat kalian semua kembali; maka Ia akan menjelaskan kepadamu sekalian tentang perkara yang pernah kamu perselisihkan” (Q.S. Al Maaidah: 48).
Bahkan konsep unity in diversity, dalam Islam telah diakui keabsahanya dalam kehidupan ini. Untuk mendukung pernyataan ini, kita dapat melacak kebenaranya dalam perjalanan sejarah yang telah ditunjukkan oleh al-Qur’an, bahwa Islam telah memberi karaketer positif kepada komunitas non-Muslim, Ini bisa dilihat, misalnya, dari berbagai istilah eufemisme, mulai dari ahl al-kitab, shabih bi ah al-kitab, din Ibrahim sampai dinan hanifan. Dan secara spesifik, Islam malahan mengilustrasikan karakter para pemuka agama Kristen sebagai manusia dengan sifat rendah hati (la yastakbirun)  serta pemeluk agama Nasrani sebagai kelompok dengan jalinan emosional (aqrabahum mawaddatan) terdekat dengan komunitas Muslim (Q.S. Al Maidah: 82).
Dalam kaitannya yang langsung dengan prinsip untuk dapat menghargai agama lain dan dapat menjalin persahabatan dan perdamaian dengan ‘mereka’ inilah Allah, di dalam al-Qur’an, menegur keras Nabi Muhammad SAW ketika ia menunjukkan keinginan dan kesediaan yang menggebu untuk memaksa manusia menerima dan mengikuti ajaran yang disampaikanya, sebagai berikut: “Jika Tuhanmu menghendaki, maka tentunya manusia yang ada di muka bumi ini akan beriman. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia, di luar kesediaan mereka sendiri? (Q.S. Yunus: 99).
Dari ayat tersebut tergambar dengan jelas bahwa persoalan kemerdekaan beragama dan keyakinan menjadi “tanggungjawab” Allah SWT, dimana kita semua dituntut toleran terhadap orang yang tidak satu dengan keyakinan kita. Bahkan nabi sendiri dilarang untuk memaksa orang kafir untuk masuk Islam. Maka dengan begitu, tidaklah dibenarkan “kita” menunjukkan sikap kekerasan, paksaan, menteror dan menakut-nakuti orang lain dalam beragama. Apalagi kalau kita mau memahami secara benar, bahwa pada dasarnya menurut al-Qur’an, pokok pangkal kebenaran universal Yang Tunggal itu ialah paham Ketuhanan Yang Maha Esa, atau tauhid. Tugas para Rasul adalah menyampaikan ajaran tentang tauhid ini, serta ajaran tentang keharusan manusia tunduk dan patuh hanya kepada-Nya saja (Q. S. al-Ambiya’: 92) dan justru berdasarkan paham tauhid inilah, al-Qur’an mengajarkan paham kemajemukan keagamaan. Dalam pandangan teologi Islam, sikap ini menurut Budy Munawar Rahman (2001: 15), dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan kepada semua agama yang ada; bahwa semua agama itu pada mulanya menganut prinsip yang sama, dan persis karena alasan inilah al-Qur’an mengajak kepada titik pertemuan (kalimatun sawa’): “Katakanlah olehmu (Muhammad): Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimatun sawa’) antara kami dan kamu: yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak mempersekutukan-Nya kepada apapun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah” (Q.S. al-Maidah: 64).
Implikasi dari kalimatun sawa’ ini menurut Alqur’an adalah: siapapun dapat memperoleh “keselamatan” asalkan dia beriman kepada Allah, kepada hari kemudian, dan berbuat baik”. Jadi, dalam prespektif ini, al-Qur’an tidak mengingkari kasahihan pengalaman transendensi agama, semisal Kristen bukan? Islam malah mengetahui dan bahkan mengakui daya penyelamatan kaum lain (termasuk Kristen) itu dalam hubunganya dengan lingkup monoteisme yang lebih luas: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan yang beragama Yahudi, Kristen, dan Shabiin, barang siapa dari mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan mengerjakan amal baik, maka mereka akan dapat ganjaran dari Tuhan mereka; dan tidak ada ketakutan dan tidak ada duka cita atas mereka” (Q.S 2: 62).
Hal itu sejalan dengan ajaran bahwa monoteisme merupakan dogma yang diutamakan dalam Islam. Monoteisme, yakni percaya kepada Tuhan yang Maha Esa, dipandang jalan untuk keselamatan manusia. Dalam al-Qur’an ayat 48 dan 116 surah al-Nisa’ menerangkan  bahwa Allah tidak mengampuni dosa orang yang mempersekutukan Tuhan tetapi mengampuni dosa selainya bagi barang siapa yang dikehendaki Allah. Kedua ayat ini mengandung arti bahwa dosa dapat diampuni Tuhan kecuali dosa sirk atau politeis. Inilah satu-satunya dosa yang tak dapat diampuni Tuhan.
Alqur’an, dengan demikian, sebagaimana ditegaskan oleh Abdulaziz Sachedina dalam bukunya The Islamic Roots of Democratic Pluralism (2002: 59), adalah jelas memandang dirinya sebagai mata rantai kritis dalam pengalaman pewahyuan umat manusia—satu jalan universal yang dimaksudkan untuk semua makhluk. Secara khusus, Islam juga memiliki etos biblikal dan Kristen, dan Islam memiliki sikap yang luar biasa inklusif terhadap Ahli Kitab, yang dengan merekalah Islam terhubungkan melalui manusia pertama di muka bumi. Sedangkan secara umum, pandangan Islam terhadap agama lain (Ahli Kitab—pen) sangat positif dan sangat kontruktif. Hal ini dapat dilihat dari nilai dan ajarannya yang memberikan peluang dan mendorong kepada umat Islam untuk dapat melakukan interaksi sosial, kerja sama dengan mereka. Tentang hal ini, Farid Asaeck (2000: 206-207)), telah menunjukkan bukti-bukti sebagai berikut; Pertama, Ahli  Kitab, sebagai penerima wahyu, diakui sebagai bagian dari komunitas. Ditujukan kepada semua nabi, al-Qur’an mengatakan: “Dan sungguh inilah umatmu, umat yang satu” (QS al-Mu’miunun: 52). Sehingga konsep Islam tentang para pengikut Kitab Suci atau Ahli Kitab yaitu konsep yang memberikan pengakuan tertentu kepada para penganut agama lain, yang memiliki Kitab Suci dengan memberikan kebebasan menjalankan ajaran agamanya masing-masing.
Kedua, dalam dua bidang sosial terpenting, makanan dan perkawinan, sikap murah hati al-Qur’an terlihat jelas, bahwa makanan “orang-orang yang diberi Alkitab” dinyatakan sebagai sah (halal) bagi kaum muslim dan makanan kaum muslim sah bagi mereka (QS al-Maidah: 5). Demikian juga, pria muslim diperkenankan mengawini “wanita suci dari Ahli Kitab” (QS al-Maidah: 5). Jika kaum Muslim diperkenankan hidup berdampingan dengan golongan lain dalam hubungan yang seintim hubungan perkawinan, ini menunjukkan secara eksplisit bahwa permusuhan tidak dianggap sebagai norma dalam hubungan Muslim-kaum lain. Ketiga, dalam bidang hukum agama, norma-norma dan peraturan kaum Yahudi dan Nasrani diakui (QS al-Maidah: 47) dan bahkan dikuatkan oleh Nabi ketika beliau diseru untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka (QS al-Maidah: 42-43). Keempat, kesucian kehidupan religius penganut agama wahyu lainya ditegaskan oleh fakta bahwa izin pertama yang pernah diberikan bagi perjuangan bersenjata dimaksudkan untuk menjamin terpeliharanya kesucian ini, “Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagai manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja dan sinagog-sinagog orang Yahudi, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak di sebut nama Allah” (QS al-Hajj: 40).
Perintah Islam agar umatnya bersikap toleran, bukan hanya pada agama Yahudi dan Kristen, tetapi juga kepada agama-agama lain. Ayat 256 surat al-Baqarah mengatakan bahwa tidak ada paksaan dalam soal agama karena jalan lurus dan benar telah dapat dibedakan dengan jelas dari jalan salah dan sesat. Terserahlan kepada manusia memilih jalan yang dikehendakinya. Telah dijelaskan mana jalan benar yang akan membawa kepada kesengsaraan. Manusia merdeka memilih jalan yang dikehendakinya. Kemerdekaan ini diperkuat oleh ayat 6 surah al-Kafirun yang mengatakan: Bagimulah agamamu dan bagiku agamaku.    
Demikianlah beberapa prinsip dasar al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah pluralisme dan anjuran untuk dapat menunjukkan sikap saling menghormati, ramah dan bersahabat dengan agama Kristen, secara khusus. Dengan begitu, jauh-jauh hari, al-Qur’an sesungguhnya telah mensinyalir akan munculnya bentuk “truth claim” (Abdullah, 1999: 68). Baik itu dalam wilayah intern umat beragama maupun wilayah antar-umat beragama. Kedua-duanya, sama-sama tidak favourable dan tidak kondusif bagi upaya membangun tata pergaulan masyarakat pluralistik yang sehat.
Oleh al-Qur’an, kecendrungan manusia untuk mengantongi “truth claim” yang potensial untuk ekplosif dan destruktif itu, kemudian dinetralisir dalam bentuk anjuran untuk selalu waspada terhadap bahaya ektrimitas dalam berbagai bentuknya. Dan manusia Muslim sendiri dituntut untuk senantiasa merendahkan hati dan bersedia dengan “kebenaran” (al-haq) dan kesabaran (al-Shabar) dalam setiap langkah dalam perjalanan hidupnya (surat al-Ashr: 1-3). 
Paling tidak, dalan dataran konseptual, al-Qur’an telah memberi resep atau arahan-arahan yang sangat diperlukan bagi manusia Muslim untuk memecahkan masalah kemanusiaan universal, yaitu realitas pluralitas keberagamaan manusia dan menuntut supaya bersikap toleransi terhadap kenyataan tersebut demi tercapainya perdamaian di muka bumi. Karena Islam menilai bahwa syarat untuk membuat keharmonisan adalah pengakuan terhadap komponen-komponen yang secara alamiah berbeda.Dengan begitu, dapat pula dikatakan konsepsi pluralisme dalam Islam sudah terbawa pada misi awal agama ini diturunkan, yakni membawa kasih terhadap seluruh alam tanpa batas-batas atau benturan-benturan dimensi apapun. Semua orang yang mengaku Islam haruslah menunjukkan sikap saling “mengasihi” kepada sesama manusia. Karena seseorang bisa disebut sebagai seorang muslim, menurut kanjeng nabi adalah Al-Muslimu man salima Al-muslimuna min lisanihi wa yadihi. Maksudnya adalah seorang muslim yang senantiasa menebarkan sikap damai dan rasa aman dihati masyarakatnya.

Jumat, 14 Maret 2014

SURVEI TOHEDI



Seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Jogjakarta bernama Tohedi suatu hari iseng melakukan survei (tepatnya : survei iseng), dia ingin tahu bagaimana pendapat rakyat jelata tentang anggota DPR. Tohedi sengaja pergi ke kuburan karet di Jakarta, menemui beberapa orang untuk diwawancarai. Tentang mengapa kuburan yang dipilih sebagai lokasi surveinya, dengan cengar-cengir mahasiswa sableng ini bilang, “hanya orang-orang yang selalu ingat mati yang layak dipercaya omongannya”, mahasiswa semester VI Fisip ini memang isengnya tujuh turunan, tapi walau begitu dia cukup pintar dan kritis.
Beberapa meter dari pintu masuk kuburan, dia menghampiri tukang kembang. “Mbah, saya mau tanya, bagaimana pendapat mbah tentang anggota DPR?” Dengan lugas, seperti di kuis-kuis TV, Mbah itu langsung menyahut, “Tidak Beres!”. Si Tohedi masuk ke dalam. Tidak lama ia berpapasan dengan tukang sabit. Dia melontarkan pertanyaan yang sama. Tukang sabit menjawab, Anak saya ada empat. Saya bolehkan mereka jadi apa saja, kecuali jadi satpol PP, polisi, jaksa, hakim dan anggota DPR…” lho kok gitu, Bapak itu nyerocos lagi. “Satpol PP itu orang kecil, tapi kerjanya menindas orang kecil demi gaji yang nggak seberapa. Polisi, jaksa dan hakim… ya adik tahu sendirilah… dan anggota DPR, yah itu sama saja… Amit-amit!. ”.  Walau tidak setuju seratus prosen dengan pendapat si Tukang Sabit, Tohedi diam saja dan mencatatnya baik-baik. Namanya saja survei iseng atau iseng survei.
Bagi Tohedi, dua pendapat diatas merupakan otokritik tajam atas fenomena umum sosial politik di negeri ini.  Sambil telunjuknya di tempel di kepalanya (seakan berfikir kertas) Tohedi menjelaskan “Dalam leteratur ilmu sosial, ada teori yang disebut Dramaturgi yang dikembangkan Ervin Goffman yakni sebuah teori yang menjelaskan bahwa sangat jauh berbeda antara lakon yang diperankan seseorang diatas panggung dengan realitas yang sebenarnya di balik panggung. Hari-hari ini kita tengah hidup di sebuah peradaban yang teorinya mirip dramaturgi, maka jangan heran kalau penegak hukum malah melanggar hukum, pemberantas korupsi malah melakukan korupsi,  pejuang moral malah bertindak amoral. Dipanggung-panggung publik mereka berteriak agar keadilan ditegakkan padahal sesungguhnya mereka sendiri yang mesti diadili. Mereka selalu meneriakkan pengentasan kemiskinan tapi pada waktu yang sama mereka sendiri melakukan pemiskinan terhadap orang-miskin.  
Tohedi meyakinkan kita bahwa dalam konteks Indonesia  saat ini, pemimpim belum tentu pemimpin, bisa juga ia seorang pendendam, pemberang dan culas, tokoh belum tentu tokoh, bisa juga ia seorang eksploitator yang penuh nafsu, Cendekiawan belum tentu cendekiawan, bisa juga ia pelacur intelektual, Ustad belum tentu ustad, bisa juga dia seorang penipu atau pemeran video mesum. Bahkan dalam konteks yang lebih luas,  manusiapun belum tentu instiqomah berprilaku sebagai manusia, bisa juga pada momentum tertentu, pada kondisi psikologis tertentu, pada situasi soaial politik tertentu, pada peristiwa tertentu, berprilaku seperti monster.
Dulu simbol kemusliman dan kesolehan adalah diwakili oleh surban, gamis, sajadah dan sejenisnya, sekarang  siapa saja boleh mengenakan pakaian yang biasa dikenakan para habib dan ulama kendati yang bersangkutan seorang bandit atau non muslim sekalipun. Jilbab juga tidak boleh dibatasi untuk hanya dipakai seorang muslimah. Jilbab bebas di pakai oleh seorang germo atau hostes sekalipun. Seseorang boleh pakai sorban meskipun sehari-harinya pekerjaannya nyopet, seseorang boleh menyelempangkan sajadah atau sorban di tubuhnya meskipun yang bersangkutan seorang koruptor kakap. Karena itu, jangan tertipu oleh kostum, Sebab Kostum orang sekarang sama sakali tidak mewakili keperibadiannya dan tidak memiliki relevansi dengan keyataan hati dan realitas  prilakunya.
Ada sebuah kisah yang relevan disampaikan disini, pernah suatu  hari sang penguasa secara resmi berbicara dihadapan rakyatnya “Wahai rakyatku !, kalian semua mesti bersyukur kepada Tuhan karena sejak aku menjadi penguasa, negeri ini bebas dari wabah penyakit  tha’un, akunya. Tiba-tiba ditengah halayak, seorang rakyat jelata memberanikan diri intrupsi, maaf paduka, Tuhan kasihan kepada kami sehingga tidak mungkin memberi kami dua bencana sekaligus,. Apa yang kamu maksud dengan dua bencana ? Tanya si penguasa itu  penasaran,  yaa wabah penyakit tha’un dan anda sendiri,  jawabnya lirih.
Bangsa ini memang lucu, kalau di Amerika dan banyak negara Eropa mensyaratkan seseorang harus cerdas dan kaya dulu untuk diterima menjadi anggota parlemen, coba lihat di Indonesia, yang terjadi justru sebaliknya, menjadi anggota parlemen dulu baru menjadi kaya, kemudian mengangkat beberapa staf ahli. Bisa jadi karena sebelumnya mereka tidak punya pekerjaan tetap dan tidak memiliki keterampilan, tetapi tatkala kran multipartai terbuka untuk siapa saja, merekapun berlomba memasukinya menjadi aktivis parpol, jadinya ya begitu. “lembaga DPR dan DPRD telah menjadi semacam basis mata pencaharian yang menggiurkan”.

Tetapi jangan salah sangka dulu, sebetulnya profesi apapun adalah sah salama yang bersangkutan konsisten terhadap nilai-nilai moral, seperti jujur, amanah dan terhindar dari kebohongan bublik. Rakyat bukan membenci profesi mereka, yang dibenci rakyat adalah penyamun yang berjubah kesholehan #

Senin, 10 Maret 2014

ENSIKLOPEDI PENGOBATAN KARYA IBNU SINA

Ust.Hefni Zain

Al Qanun fi al-Jibb
Al Qanun fi al-Tibb atau Norma-norma Kedokteran adalah sumbangan terbesar Ibnu Sina yang di Barat dikenal dengan Avicenna, terhadap ilmu pengetahuan. Karya yang mampu bertahan selama enam abad ini diterjemahkan ke bahasa Latin oleh Gerard dari Cremena pada abad ke-12. Sejak saat itu Qanun menjadi buku wajib di sekolah-sekolah medis di Eropa. Pada abad ke-15 buku ini mengalami cetak ulang sebanyak enam belas kali. Lima belas cetakan dalam bahasa Latin, satu cetakan dalam bahasa Yahudi. Sedangkan pada abad berikutnya, Qanun mengalami cetak ulang sebanyak dua puluh kali.
Kitab ini yang di Barat dikenal dengan Canons, boleh dikata merupakan 'kitab suci' ilmu kesehatan pada masanya. Tanpa merujuk ke buku tersebut, ilmu obat-obatan dan farmakologi dirasakan tidak akan sempurna. Tidak heran bila Ibnu Sina, pengarang buku tersebut begitu dihargai kejeniusan dan kontribusinya dalam ilmu kedokteran, sampai sekarang. Bahkan potret Ibnu Sina, hingga kini menjadi salah satu pajangan dinding besar gedung Fakultas Kedokteran Universitas Paris.
Cameron Gruner pada tahun 1930 menerjemahkan sebagian isi buku itu ke bahasa Inggris dengan judul Risalah atas Norma Medis Avicenna. Dan selama lebih dari lima abad, Qanun menjadi pemandu bagi ilmu kedokteran di Barat. Tidak heran bila Dr. William Osier, penulis buku Evolution of Modern Science, mengatakan bahwa Qanun telah menjadi semacam 'kitab suci' kesehatan yang bertahan lebih lama dibanding karya mana pun.
Qanun boleh dikata merupakan Ensiklopedi Pengobatan yang sangat lengkap. Buku ini menelaah ulang pengetahuan kedokteran, baik dari sumber Islam maupun sumber-sumber kuna. Ibnu Sina tidak hanya menggabungkan pengetahuan yang telah ada tapi juga menciptakan karya-karya orisinal yang meliputi beberapa pengobatan umum, obat-obatan (760 macam), penyakit-penyakit mulai dari kepala hingga kaki, khususnya Patologi (ilmu tentang penyakit) dan Farmakopeia (Farmakope).
Di antara kontribusinya yang merupakan pengembangan besar adalah identifikasinya terhadap sifat-sifat penyakit menular seperti Pththsis dan Tuberculosis (TBC), penyebaran penyakit melalui air dan tanah, dan interaksi antara ilmu psikologi dan kedokteran. Ibnu Sina pula yang pertama kali menjelaskan tentang Meningitis (radang selaput otak) serta memberi penjelasan yang padat tentang anatomi, ginekologi, kesehatan anak, serta menemukan perawatan untuk Lachrymal Fistula, disusul dengan penyelidikan medis terhadap saluran pembuluh darah.
Hingga kini Qanun masih menjadi acuan para pakar untuk penyelidikan anatomi, karena buku ini mampu menjelaskan deskripsi secara gratis maupun penjelasan rinci mengenai Sclera, Kornea, Koroid, Iris, Retina, Lensa, Urat syaraf, juga Optic Chiasma. Dalam mendalami anatomi, Ibnu Sina menentang sikap praduga atau prakiraan. Dia mengimbau para pakar ilmu fisik dan ilmu bedah untuk kembali mendasarkan pengetahuannya pada studi tentang tubuh manusia. Dia mengamati bahwa Aorta sebenarnya terdiri dari tiga saluran yang terbuka saat darah mengalir dari dan di dalam jantung selama kontraksi, dan tertutup selama relaksasi, sehingga tidak akan terjadi luapan aliran darah ke dalam jantung
Dia juga menegaskan bahwa otot dapat digerakkan karena adanya syaraf yang terdapat di dalamnya. Demikian pula rasa sakit yang dirasakan pada bagian otot, juga disebabkan adanya urat syaraf yang menerima rangsangan rasa sakit tersebut. Lebih jauh dia mengadakan observasi dan menemukan bahwa ternyata di dalam organ hati, limpa dan ginjal, tidak ditemukan urat syaraf. Sebab urat syaraf justru tertanam pada lapisan luar organ-organ itu.
Karya-karya Lainnya
Ibnu Sina yang memiliki nama lengkap Abu Ali al-Hussein Ibn Abdallah, lahir di Afshana dekat Bukhara (Asia Tengah) pada tahun 981. Pada usia sepuluh tahun, dia telah menguasai dengan baik studi tentang Al Quran dan ilmu-ilmu clasar. Ilmu logika, dipelajarinya dari Abu Abdallah Natili, seorang filsuf besar pada masa itu. Filsafatnya meliputi buku-buku Islam dan Yunani yang sangat beragam.
Kemampuannya dalam bidang pengobatan sudah begitu mumpuni di usianya yang masih belia. Bahkan ketika usianya baru tujuhbelas tahun, dia sudah berhasil menyembuhkan penguasa Bukhara, Nun Ibn Manshur. Padahal sebelumnya para pakar kesehatan kerajaan sudah menyerah, tak satu pun yang mampu mengatasi penyakit sang raja. Atas jasanya itu, Manshur bermaksud memberinya hadiah. Namun Ibnu Sina justru lebih memilih izin dari sang raja untuk diperkenankan meggunakan perpustakaan kerajaan yang dikenal memiliki koleksi buku-buku yang unik.
Setelah ayahnya meninggal, Ibnu Sina merantau ke Jurjan, dan bertemu dengan Abu Raihan al-Biruni, yang kala itu sangat termashur. Setelah itu dia pindah ke Rayy, dan melanjutkan perjalanan ke Hamadan, tempat yang memberinya inspirasi untuk bukunya yang terkenal, Al Qanun 11 al-Tibb.  Di Hamadan dia juga menyembuhkan sang penguasa, Syams al-Daulah, dari penyakit perut yang akut, sebelum melanjutkan lagi perjalanannya menuju Isfahan (kini Iran) untuk menyelesaikan karya-karyanya yang monumental.
Selain ilmu pengobatan dan kesehatan, Ibnu Sina juga menyumbangkan pemikirannya pada ilmu matematika, fisika, musik, dan bidang-bidang lain. Penyelidikannya dalam bidang astronomi membuatnya berhasil merancang perangkat semacam Vernier yang meningkatkan ketepatan pengukuran suatu alat. Di bidang fisika, sumbangan pemikirannya mengenai bermacam bentuk energi, kalori, cahaya, mekanika, konsep gaya, ruang hampa udara, dan bilangan tak terhingga.
Dalam bidang kimia, Ibnu Sina adalah salah satu dari sekian banyak orang yang tidak percaya pada transmutasi kimia logam. Pandangan ini ditentang secara radikal pada masa itu. Risalahnya mgngenai mineral merupakan salah satu sumber utama geologi yang digunakan oleh para ensiklopedis Kristen pada abad ke-13.
Penemuannya di bidang musik merupakan perbaikan dari karya Farabi (al-Pharabius), yakni dengan menemukan suatu rumus bahwa jika serangkaian konsonan dirumuskan (n + 1) / n, maka telinga tidak dapat membedakan konsonan tersebut pada n - 45. Lebih jauh dia mengatakan, penggandaan terhadap satuan seperempat dan seperlima pada konsep ini merupakan langkah benar menuju sistem harmonisasi.
Karya Ibnu Sina dalam bidang filsafat yang terkenal adalah Al-Najat, Isyarat, dan al-Shifa (buku yang berisi tentang penyembuhan penyakit) merupakan ensiklopedi filosofis. Di dalamnya berisi jangkauan pengetahuan yang luas, dari filsafat hingga ilmu pengetahuan. Filsafat Ibnu Sina merupakan penggabungan tradisi Aristotelian, pengaruh Neoplatonic dan teologi Islam.

Ibnu Sina mengelompokkan seluruh bidang ilmu ke dalam dua kategori besar, yakni: pengetahuan teoritis dan pengetahuan praktis. Pengetahuan teoritis meliputi fisika, matematika, dan metafisika, sedangkan pengetahuan praktis meliputi etika, ilmu ekonomi, dan ilmu politik. Jenius yang satu ini tidak pernah berhenti mengembara, baik secara fisik maupun secara batin. Secara fisik, dia terus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, untuk memuaskan rasa ingin tahunya terhadap segala hal, serta untuk dapat belajar, belajar, dan belajar. Karena terlalu banyak memeras otak dan diperparah oleh gejolak politik pada masa itu, kesehatannya semakin memburuk. Akhirnya, pada tahun 1037 dia kembali ke Hamadan, dan meninggal di sana # (dikutip dari beberapa sumber)