Selasa, 04 Maret 2014

SPIRIT PIAGAM MADINAH DAN RESOLUSI KONFLIK (Sebuah Model Peace Building Community)


Oleh : Hefni Zain

ABSTRAK
Piagam Madinah merupakan instrument legal-konstitusional bagi pencarian formulasi resolusi konflik dalam Islam. Substansi dari Piagam Madinah menggambarkan adanya proses pelembagaan kesadaran masyarakat Madinah untuk meletakkan fondasi relasi masyarakat yang majemuk dengan spirit berdampingan dan damai (peace building community). Piagam Madinah merupakan manifesto resolusi konflik sosial yang telah diletakkan fondasinya oleh Nabi Muhammad saw untuk masyarakat yang heterogen. Pemahaman yang utuh dan komprehensif  tentang Piagam Madinah mampu menjadi sumber inspirasi konseptual-akademik dalam membangun penataan model keberagamaan dalam komunitas yang majemuk bagi pengembangan masyarakat yang inklusif yaitu masyarakat yang mampu menghargai dan menghormati pluralisme dan keragaman agama, etnik dan budaya. Kontribusi teoritik yang bersifat akademik dari penelitian ini adalah merumuskan konsep peace building community sebagai alternatif model dalam menciptakan tatanan hubungan keberagamaan masyarakat yang beradab dan penuh dengan kedamaian atas dasar persaudaraan sejati.
Kata knuci: Piagam Madinah,  resolusi konflik dan peace building community.
PENDAHULUAN
Islam hadir di tengah masyarakat yang tidak hampa budaya. Jazirah Arab sebagai tempat agama Islam mulai dikenalkan oleh Nabi saw merupakan daerah dengan tingkat heterogenitas yang sangat kompleks baik dari sisi etnik, budaya, agama dengan berbagai system sosial yang melingkupinya. Oleh karena itu kemajemukan agama dan suku sudah lama ada, dan diakui eksistensinya. Dari sisi pluralitas agama, di Madinah misalnya, hidup dan berkembang tiga kelompok masyarakat yaitu Muslim, Yahudi dan Paganis[1]
Dilihat dari sosiopolitik, -sebelum kelahiran Nabi Muhammad-, semenanjung Arab secara geografis dan cultural terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Arab Utara dan Arab Selatan. Masing-masing mempunyai struktur sosial dan politik yang berbeda. Masyarakat Arab Selatan menganut sistem kerajaan (monarchy). Sedangkan masyarakat Arab Utara menganut sistem kesukuan (tribalism). Karakter dominan kedua masyarakat Arab tersebut adalah adanya pembatasan kekuasaan seorang pemimpin. Kekuasaan raja bagian selatan dibatasi oleh sebuah council of notables yaitu sebuah dewan yang beranggotakan tokoh-tokoh terkemuka. Sedangkan pemimpin wilayah Utara berada pada seorang kepala suku (syaikh) yang kekuasaannya dibatasi oleh council of elders yaitu dewan yang beranggotakan para tokoh sepuh (tua) yang disebut dengan majelis[2]. Masing-masing anggota suku diikat oleh hubungan darah (bloods ties). Setiap individu haruslah mempunyai suku demi perlindungan dan keamanan mereka. Deskripsi situasi objektif masyarakat Arab pra Islam tersebut menandakan bahwa system social-politik Arab pra Islam belum terstruktur karena memang tidak adanya pusat kekuasaan (centralized authority) [3]
Kepindahan (hijrah) Nabi Muhammad dari Makkah ke Yatsrib (Madinah) menandai babak baru perjalanan karirnya sebagai Nabi dan Rasul sekaligus sebagai pemimpin politik. [4] Dengan prestise moral dan kecakapan politik yang beliau miliki, menjadikan komunitas Madinah tertarik pada sosok beliau yang merindukan sang arbritator untuk mengatasi konflik yang berkepanjangan di Madinah. [5] Peran strategis Nabi Muhammad sebagai arbitrator dan negoisator di kalangan masyarakat Madinah dibuktikan dengan disepakatinya sebuah perjanjian bersama yang disebut dengan Piagam Madinah atau Perjanjian Madinah. [6]
Dengan demikian posisi Piagam Madinah dapat disebut sebagai konstitusi sebuah Negara sekaligus sebagai resolusi konflik[7] untuk mengakhiri konflik dengan damai di antara anggota masyarakat Madinah. Piagam Madinah juga menjadi starting point bagi penataan hubungan antar ummat beragama di Madinah untuk hidup berdampingan (coexistence) secara bermartabat yang sangat signifikan dijadikan model dalam membangun hubungan antar ummat beragama sekaligus hubungan inter ummat beragama. Tulisan ini ingin membuktikan bahwa Piagam Madinah merupakan eksperimen politik Rasulullah sebagai desain resolusi konflik untuk mewujudkan peace building commonity. Piagam Madinah dalam konteks tulisan ini tidak sekedar diposisikan sebagai sumber tekstual, tetapi juga sebagai fakta historis kemampuan Nabi saw dalam membaca local wisdom masyarakat Madinah sehingga beliau mampu mengambil peran strategis dalam melakukan negoisasi kompromi terutama dalam penataan hubungan antar umat beragama.
PEMBAHASAN
Kerangka Teoritis Konflik dan Integrasi Sosial
Watak dasar manusia (human nature) pada hakikatnya menginginkan harmoni dalam kehidupan. Hampir semua pakar menegaskan bahwa konflik bukanlah watak dasar manusia. Konflik lahir karena struktur sosial ekonomi yang melingkupi kehidupan manusia. Faktor itualah yang menjadi pemicu bagi lahirnya konflik, terutama ketika kebutuhan dasar yang ia perlukan tidak terpenuhi. Pola relasi yang tidak imbang dalam proses sosial antar individu inilah yang kerap melahirkan gesekan kepentingan yang ujungnya memunculnya suasana disharmoni dalam wujud konflik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konflik akan ada sebagai bagian dari proses perubahan social yang lahir karena adanya heteroginitas kepentingan seperti kepentingan nilai-nilai keyakinan[8] Konflik adalah polarisasi berbagai kepentingan atau keyakinan dari suatu kelompok yang tidak terwadahi aspirasinya secara terus menerus[9]
Manusia hidup tidak lepas dari konflik, sehingga dapat dipastikan bahwa usia konflik seumur dengan peradaban manusia. Konflik disebabkan karena adanya perbedaan, persiggungan dan pergerakan. Sistem nilai, budaya dan keyakinan lebih cenderung mengelompokkan masyarakat dalam sekat-sekat kelompok yang bersifat kompetitif dan dominatif daripada hubungan yang bersifat koperatif. Hubungan sosial yang  bersifat dominatif pada akhirnya akan melahirkan hukum tradisional dan primitive, yaitu siapa yang kuat itulah yang menang dan berkuasa serta dialah yang membuat hukum[10]
Konflik atau pertentangan mempunyai hubungan erat dengan integrasi. Hubungan ini disebabkan karena proses integrasi sekaligus merupakan suatu proses disorganisasi dan disentragrasi. Makin tinggi derajat konflik suatu kelompok maka makin kecil derajat integrasinya. Secara teoritis, solidaritas antar kelompok (in group solidarity) dan pertentangan dengan kelompok luar (outgroup conflict) terdapat hubungan yang saling pengaruh mempengaruhi[11]
Salah satu teori yang berpengaruh dalam membaca konflik dan mendesain resolusi konflik adalah teori kebutuhan yang digagas oleh John Burton. Menurutnya, kebutuhan yang tidak terpenuhi merupakan sebab yang paling sering terjadi dan sangat serius dalam konflik. Resolusi tidak akan terjadi tanpa terpenuhinya kebutuhan tersebut[12]. Jika setiap pihak yang bertikai dapat mengetahui kebutuhanya masing-masing, mereka mungkin akan dapat melihat bahwa kebutuhan tersebut tidak perlu dicapai melalui konflik, namun bisa melalui cara lain dengan cara mempertemukan kebutuhan dari setiap pihak. Cara ini lebih dikenal dengan pendekatan win win solution (sama-sama menang)
Ada beberapa strategi yang biasa digunakan dalam menyelesaikan konflik. Pertama, strategi yang disebut dengan contending (bertanding) yaitu upaya untuk mencari penyelesaian konflik dengan cara bertarung. Kedua, strategi yang disebut yielding (mengalah) yaitu strategi dengan menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia kurang dari yang sebetulnya diinginkan. Ketiga, strategi yang disebut dengan problem solving yaitu mencari alternative yang memuaskan kedua belah pihak. Keempat, strategi yang disebut dengan with drawing (menarik diri) yaitu memilih meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik maupun psikologis. Kelima, strategi yang disebut dengan inaction (diam) strategi menghindari konflik dengan cara tidak melakukan apapun [13]
Dialog merupakan pusat dari resolusi konflik dalam rangka membangun kepercayaan, pengertian dan hubungan kerja sama, atau berfokus pada pencarian kesepakatan yang digambarkan sebagai negoisasi. Sebuah negoisasi merupakan proses tawar menawar yang kadang secara teknis tidak selalu gampang, sebab para protagonist selalu berkecenderungan memanfaatkan kekuatanya untuk saling mengeruk keuntungan, namun hal tersebut harus diambil sebagai jalan mencari kompromi. Tujuan dasar dari resolusi konflik adalah mencari dan mengembangkan dasar yang umum demi mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan, melalui proses kerjasama daripada persaingan.
Dalam proses negoisasi dalam konteks desain resolusi konflik, peran pihak ketiga sebagai negoisator, arbitrator, mediator menjadi sangat sentral sebagai penengah dan fasilitator sebuah gagasan kompromi diantara para pihak yang terlibat konflik. Sosok negoisator merupakan pihak yang dipercaya oleh pihak-pihak yang berkonflik. Tujuan pokok mediasi adalah menemukan solusi praktis dalam menyelesaikan masalah[14]


Secara teoritik, resolusi konflik dilakukan dengan menggunakan empat tahap yang dilakukan secara berkesinambungan menjadi satu kesatuan yang koheren: Pertama, Tahap Mencari De-eskalasi Konflik. Tahap ini merupakan tahap penurunan ketegangan (tension) dari eskalasi konflik. Kedua, Tahap Intervensi Kemanusiaan dan Negoisasi Politik. Langkah ini lebih ditekankan pada upaya rehabilitasi social korban konflik diiringi dengan membuka ruang-ruang dialog untuk melakukan negoisasi politik diantara pihak yang terlibat konflik. Ketiga, Problem Solving Approach. tahapan ini lebih berorientasi social yang diarahkan pada penciptaan kondisi yang kondusif bagi pihak-pihak yang konflik untuk melakukan transformasi konflik kearah resolusi. Keempat, Peace-Building. tahap ini merupakan rangkaian dari tahapan transisi, rekonsialiasi dan tahap konsolidasi. Tahap ini memerlukan waktu yang lama karena memiliki orientasi structural dan cultural menuju perdamaian yang hakiki[15].
Dengan menggunakan kerangka teori di atas didukung dengan analisis hermeneutis kita dapat memahami apa dan mengapa Piagam Madinah lahir sebagai sebuah kesepakatan social. Kelahiran Piagam Madinah tidak pada waktu dan ruang yang kosong (space and time) sesuai dengan teori continuity and change. Dengan pendekatan kesejarahan (historical approach) Piagam Madinah lahir sebagai bagian dari tuntutan sejarahnya. Ketika Yatsrib didera krisis kepemimpinan yang melahirkan situasi penuh dengan konflik horizontal dengan multi kepentingan yang mengitarinya, penduduk kota Yatsrib (Madinah) merindukan seorang pemimpin yang mampu mengeluarkan mereka dari kubangan konflik yang tak berkesudahan, Pada kondisi inilah Nabi Muhammad tampil sebagai mediator yang mampu mengakomodir kepentingan berbagai kelompok komunitas yang ada di Madinah untuk membangun kesadaran kolektif sebagai kesadaran kritis mereka untuk menemukan common platform sebagai cita-cita bersama yang dituangkan dalam narasi  teks konstitusi yang disebut Piagam Madinah.

Karakteristik khas masyarakat Yastrib (Madinah) berbeda dengan masyarakat Makkah baik secara sosial, ekonomi, politik dan agama. Penduduk Madinah secara social dihuni oleh dua kelompok masyarakat (emigrant) yang berbeda asal usul dan tradisinya. Kelompok pertama mereka yang berasal dari Utara yaitu bangsa Yahudi. Sedangkan kelompok kedua, adalah mereka yang berasal dari Selatan yaitu masyarakat suku-suku Arab[16]. Dari sekian suku Arab yang ada di Madinah terdapat dua suku besar yaitu suku Aus dan Khazraj. Kedua kelompok masyarakat Madinah yaitu kelompok Yahudi dan suku Arab selalu bermusuhan. Namun demikian, di internal suku Arab sendiri terutama Aus dan Khazraj juga terlibat konflik yang terus menerus[17]. Kelompok Yahudi pada umumnya menguasai lahan-lahan perekebunan yang subur.[18]
Madinah merupakan sebuah komunitas majemuk dan multi etnik, suku dan agama dengan identitas politik, kultural dan identitas keagamaan. Konsekuensi dari heterogenitas tersebut adalah lahirnya gesekan dan konflik yang berkepanjangan antar suku yang ada dalam komunitas Madinah terutama konflik antar dua suku besar yaitu Khazraj dan Aus. Hampir tidak mungkin sebuah masyarakat yang plural tidak terlibat dan mengalami konflik. Konflik disini memang tidak identik dengan kerusuhan atau kecamuk pertikaian yang berkepanjangan.
Dalam kebudayaan Arab pra Islam, hubuangan kesukuan diatur dengan semangat pembalasan secara adil sebagai solusi bagi kejahatan. Hubungan antar suku di Arab diwarnai oleh pertikaian berdarah dimana langkah retributif selalu melebihi kadar sepantasnya. Tradisi mekanisme “legal-punishment“ nyawa balas nyawa” acapkali justeru menimbulkan eskalasi kekerasan dan korban nyawa yang jauh lebih dahsyat karena terjadinya kevakuman otoritas legal yang diakui secara bersama. Siklus yang tak berksudahan dari kejahatan nyawa di balas nyawa adalah konteks sosial cultural turunya al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 178. Ayat ini memberikan jalan damai dengan cara menganjurkan memberi maaf dengan memberi konpensasi materiil (diyat) dan ditinggalkanya balas dendam sebagai titik sentral mencegah kekerasan dengan solusi damai dengan prinsip keadilan. Secara jelas al-Qur’an menawarkan sebuah gagasan resolusi konflik menuju masyarakat yang damai.
Sebagaimana kota-kota lain dibelahan Jazirah Arab, masyarakat Madinah tidak memiliki penguasa tunggal yang bisa menjamin ketentraman bersama. Posisi Yahudi di Madinah di hadapan suku Arab menjadi musuh, namun pada saat yang sama posisi Yahudi justru kadang menjadi penengah pada konflik yang terjadi antara suku Arab Aus dan Khazraj[19]. Kehidupan ekonomi Madinah banyak didominasi oleh masyarakat Yahudi khususnya di bidang pertanian. Mereka mempunyai kelebihan kemampuan dalam megolah tanaman. Relasi ekonomi Yahudi dan Arab sangat timpang. Kelompok yahudi menjadi superior, sementara suku Arab di Madinah menjadi kelompok yang tersubordinasikan karena kekalahan dalam pengelolaan potensi sumber daya alam. Situasi inilah yang melahirkan kebencian orang Arab yang seringkali terjadi konflik antara Yahudi dan suku Arab. Orang-orang Arab sangat merindukan seorang tokoh yang bisa membebaskan keterbelengguan mereka secara ekonomis dibawah tekanan dominasi Yahudi. Inilah yang menjadi salah satu faktor ketertarikan sebagian suku Arab Madinah terhadap Rasulullah yang kelak diharapkan menjadi pembebas dari kungkungan dominasi Yahudi, disamping mereka jenuh dengan konflik internal sesama suku Arab[20].
Dari perspektif sosial politik, masyarakat Yatsrib (Madinah) masih mengunakan system kesukuan yang tidak diperintah oleh seorang raja sebagaimana layaknya sebuah Negara. Situasi inilah yang kemudian disebut ‘jahiliyah’ (kebodohan) sebagaimana yang disifatkan Islam terhadap orang-orang Arab sebelum diutusnya Muhammad saw[21]. Kebodohan yang tidak hanya berarti ketiadaan ilmu, namun karena tidak adanya kondisi yang mendukung dan menjadi prasyarat bagi tumbuhnya ilmu, khususnya ketiadaan ikatan dengan undang- undang atau aturan. Demikian juga tidak adanya pandangan menyeluruh yang menganggap kemaslahatan sebagai sesuatu yang berada di atas segala pertimbangan apapun.
Dengan memperhatikan beberapa data literature di atas maka jelaslah bahwa situasi objektif masyarakat Arab umumnya, dan Madinah khususnya sebelum kedatangan Islam dalam situasi anomaly baik secara sosial, politik dan moral keagamaan. Oleh karena berbagai konflik atas nama identitas etnik dan agama menjadi proses yang terus menerus berlangsung tanpa ada harapan untuk mereka tampil sebagai masyarakat yang damai dan hidup berdampingan secara wajar dan bermartabat.
Piagam Madinah sebagai Resolusi Konflik
Agenda penting yang pertama kali Nabi Muhammad lakukan setelah berada di tengah-tengah komunitas Madinah adalah membangun masjid Quba dan menata kehidupan sosial politik masyarakat kota itu yang bercorak mejemuk. Pembangunan masjid dimaksudkan sebagai tempat aktivitas ritual keagamaan dilaksanakan sekaligus sebagai media Nabi dan komunitas muslim untuk membicarakan masalah-maslah social, politik dan ekonomi. Sebagai kota yang heterogen, Madinah dihuni oleh tiga komunitas yang berbeda yaitu komunitas Muslim, Yahudi dan komunitas Paganis. Penataan internal ummat Islam yang dilakukan oleh Nabi adalah mempersatukan visi dan misi kehidupan keberagamaan kelompok Ansor dan Muhajirin dengan identitas kesatuan teologis. Setelah penataan internal selesai adalah dengan melakukan berbagai negoisasi politik untuk membuat bingkai kehidupan dalam kebersamaan sebagai komunitas Madinah secara umum, khususnya dengan komunitas Yahudi dengan disepakatinya Piagam Madinah.
Hijrahnya Nabi Muhammad menandai tidak hanya perubahan dramatik dalam pertumbuhan jumlah ummat Islam dan pembentukan masyarakat politik di Madinah, tetapi juga peralihan yang signifikan dalam materi pokok dan missi Nabi. Secara umum dapat disepakati bahwa periode Makkah, ajaran Islam lebih banyak berbicara persoalan moral keagamaan dan tidak menyinggung persolan hukum dan sosial politik secara luas. Persoalan hukum dan sosial politik baru banyak disinggung ketika periode Madinah. Hal ini disebabkan karena pada periode Madinah al-Qur’an as-Sunnah harus memberikan respon terhadap kebutuhan sosial politik yang konkrit di suatu komunitas[22].
            Dalam konteks negara Madinah Nabi Muhammad sendiri memainkan peran kunci dalam perkembangan komunitas muslim. Di samping beliau seorang pemimpin keagamaan, beliau juga tampil sebagai kordinator utama persoalan-persoalan politik administrative dan komandan militer. Semua dimensi kehidupan Nabi adalah subyek pesan wahyu Allah. Nabi telah menunjukkan ketundukan yang kuat terhadap wahyu dan pada saat yang sama, beliau fleksibel dalam menghadapi     persoalan-persoalan baru. Kemampuannya untuk dapat menyesuaikan secara tepat adalah faktor pemersatu bagi komunitas muslim.    Realitas: social Madinah yang penuh dengan komflik secara politis sangat menguntungkan posisi Nabi Muhammad untuk melakukan gerakan politik (dakwah al-siyasy) dan mengambil peran dalam proses rekonsiliasi di antara masyarakat Yatsrib.
Rivalitas suku Arab Aus dan Khazraj dalam konteks perebutan ruang dominasi antara keduanya membuat mereka masing-masing membuat scenario berebut untuk berinisiatif menemui Nabi Muhammad dalam rangka masuk Islam dan memperoleh legitimasi yang kuat dan ini mereka butuhkan sebagai bagian cara meningkatkan dominasinya. Langkah kongkrit yang mereka lakukan adalah dengan membangun komitmen dengan Nabi Muhammad sebagai tokoh fenomenal yang terus bersinar. Dukungan orang Madinah terhadap Rasulullah dituangkan dalam sebuah penyataan kesetiaan pada Rasulullah yang kemudian peristiwa sejarah ini dikenal dengan bai’at aqabah. Peristiwa ini terjadi dua kali yaitu terjadi pada tahun 621 dan 622 yang kemudian disebut baiat aqabah I dan II[23]. Baiat  aqabah merupakan “persekutuan politik” dan bagi Nabi merupakan investasi politik yang luar biasa dalam konteks pembumian Islam
Implikasi dari bai’at aqabah adalah proteksi untuk kerjasama yang saling menguntungkan. Dalam tradisi suku Arab, proteksi menjadi suatu hal yang penting untuk sebuah jaminan perlindungan di tengah system kesukuan yang saling berebut dominasi dengan parameter kekuatan. Dari sini jelas bahwa lahirnya Piagam Madinah bukanlah kecelakaan sejarah (historical accidence) tetapi perjalanan sejarah yang sudah direncanakan (by desain) sebagai sebuah skenario untuk membumikan dakwah Islamiyah. Sebagai sebuah kontrak sosial, Piagam Madinah secara keseluruhan memuat 47 pasal itu  menggambarkan semangat kebersamaan, toleransi antar umat beragama dan dialog dengan prinsip kesetaraan.
Dari semua pasal yang termuat dalam piagam Madinah menurut Munawir Sjadzali[24] prinsip dasarnya memuat dua hal pokok, yaitu:
1.    Semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari banyak suku merupakan satu komunitas
2.    Hubungan antar sesama anggota komunitas Islam dengan anggota komunitas lain didasarkan pada nilai-nilai, (a)  bertetangga baik, (b) saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, (c) membela yang teraniaya, (d) saling menasihati, dan (e) menghormati kebebasan beragama.


Perjanjian ini merupakan upaya Nabi Muhammad melakukan pembaharuan secara cermat dan bijaksana terkait dengan berbagai konflik di Madinah. Tentang hal ini R.A Nicholson yang dikutip Asghar Ali Engenerr menyatakan:
”Tak seorangpun dapat mengkaji dokumen ini tanpa terkesan oleh kejeniusan politik penyusunnya. Perjanjian ini merupakan buah pikiran yang arif dan bijaksana sekaligus merupakan terobosan baru. Muhammad tidak secara terbuka menyerang kemandirian para suku yang ada, namun sesungguhnya beliau menghantamkanya dengan cara memindahkan pusat kekuasaan yang ada di kepala suku ke tangan masyarakat. Komunitas muslim adalah mitra aktif yang dalam waktu dekat akan mendominasi negara baru yang baru saja dibentuk” [25]

Posisi Nabi sebagai negoisator dalam proses pencarian formulasi resolusi konflik, oleh Hugh Miall[26] digambarkan sebagai berikut :
 












Perubahan struktur yang radikal dari Piagam Madinah adalah mengubah konfederasi kesukuan menjadi masyarakat baru yang dikendalikan oleh ajaran-ajaran moral dengan instrumentasi hukum yang jelas. Ajaran Yahudi lebih memfokuskan pada ajaran hukum, sementara Nasrani hanya mendakwahkan persaudaraan spiritual saja. Dengan demikian, ajaran Islam dibangun diatas hukum dan moral secara beriringan. Dari sisi politik, Piagam Madinah menggambarkan sebuah doktrin politik religius (politico-religious doctrine) yang didasarkan pada persaudaran universal. Negara ideal Islam adalah komunitas iman atau ummah, tanpa memandang ras, atau pertimbangan geografis.

Melalui dialog, Islam memberi ruang dan kesempatan besar bagi terjadinya pencerahan umat karena nilai-nilainya selalu kontekstual. menyapa kehidupan sesuai karakter kehidupan yang sangat beragam. Dialog akan meletakkan: umatnya kepada kondisi untuk selalu memahami kehidupan dan umat manuasia secara utuh dan menyikapinya berdasarkan watak asalnya. Konsekuensinya, pluralisme dalam keberagamaan umat Islam menjadi kemestian untuk dikembangkan.
Dialog sebagai proses untuk menelanjangi diri sendiri, sekaligus upaya melihat orang, kelompok, atau subyek lain sebagaima apa adanya akan mengantarkan umat Islam untuk memahami segala sesuatu yang ada luar diri sendiri secara arif. Dengan demikian hal itu akan menjauhkan mereka dari sikap mereduksi keberadaan yang lain dalam kepentingan sempit mereka sendiri. Pada gilirannya hal itu akan menumbuhkan secara kokoh sikap menghormati subyek lain dalam bentuk perwujudan perilaku yang dapat membawa kebaikan dalam kehidupan. Piagam Madinah telah mengganti ikatan kekeluargaan dan kesukuan yang individual menjadi ikatan persaudaraan. Piagam Madinah juga mengakui eksistensi Yahudi sebagai komunitas yang berdiri sendiri dan hidup berdampingan dengan umat Islam.
Pluralisme keagamaan bagi syari’at Islam bukanlah sekedar masalah mengakomodasi berbagai klaim kebenaran agama dalam wilayah keimanan pribadi seseorang. Pluralisme religius secara inheren selalu merupakan masalah kebijakan publik dimana setiap pemerintahan Islam harus mengakui dan melindungi hak pemberian Tuhan kepada setiap pribadi untuk menentukan sendiri nasib spiritualnya tanpa paksaan. Pengakuan terhadap kebebasan hati nurani dalam hal keimanan adalah titik utama konsep al-Qur’an mengenai pluralisme religius, pluralisme antar agama maupun intra agama.
Beberapa diktum pasal dalam Piagam Madinah yang menggambarkan penghormatan hak beragama antara lain tercermin pada pasal 2 dan 25. Sedangkan pasal yang secara eksplisit menjelaskan hubungan yang koeksistensi secara social antara lain tergambar pada pasal 37. Dalam Pasal 2 ditegaskan bahwa Kaum muslimin adalah ummat yang satu utuh, mereka hidup berdampingan dengan kelompok-kelompok masyarakat yang lain.
Pada pasal 25 tergambar bahwa sebagai satu kelompok, Yahudi bani Auf hidup berdampingan dengan kaum muslimin. Kedua belah pihak memiliki agama masing-masing. Demikian pula halnya dengan sekutu dan diri masing-masing. Bila diantara mereka ada yang melakukan aniaya dan dosa dalam hubungan ini, maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya sendiri. Sedangkan pada Pasal 37 disebutkan Kaum Yahudi dan kaum muslimin membiayai pihaknya masing-masing. Kedua belah pihak akan membela satu dengan yang lain dalam menghadapi pihak yang memerangi kelompok-kelompok masyarakat yang menyetujui perjanjian piagam Madinah ini. Kedua belah pihak juga saling memberi saran dan nasihat dalam kebaikan tidak dalam perbuatan dosa.
Piagam Madinah merupakan salah satu bukti histories yang terdokumentasikan secara tekstual sebagai sumber normative sekaligus model actual bagaimana masyarakat muslim mendesain pola hubungan antar ummat beragama. Melalui Piagam Madinah penataan hubungan antar agama dalam Islam telah diberi tauladannya oleh Rasulullah saw setelah hijrah dari Makkah ke Madinah ( al-Madinah, kota par excellence) [27]. Dari nama yang dipilih oleh Nabi sebagai kota hijrahnya, menunjukan rencana Nabi dalam rangka mengemban misi sucinya dari Tuhan, yaitu menciptakan masyarakat yang berbudaya tinggi, yang kemudian menghasilkan suatu entitas sosial politik sebuah negara. Negara Madinah yang dipimpin oleh Nabi saw adalah model bagi hubungan antara agama dalam Islam. Sedangkan substansi dari Piagam Madinah menggambarkan adanya proses pelembagaan kesadaran masyarakat Madinah untuk meletakan fondasi relasi masyarakat yang majemuk dengan spirit hidup berdampingan dan damai (peace building community).
Fenomena pengkafiran  (takfir) dan menilai sesat (tadhlil) oleh satu kelompok Islam kepada kelompok lain atau antara muslim dengan non muslim tentang klaim keselamatan akhirat seringkali terjadi dan menjadi realitas yang kadang ada di sekitar masyarakat yang seringkali melahirkan konflik yang bersifat fisik. Fakta ini menguatkan adanya pola pemahaman keislaman yang intoleran dan eksklusif yang mengancam budaya ‘ukhuwwah’ antar sesama warga bangsa atau sesama ummat Islam.
Eksplorasi gagasan dasar Piagam Madinah sebagai manifesto resolusi konflik sangat signifikan bagi perumusan model-model relasi sosial untuk komunitas yang secara sosial heterogen seperti Indonesia. Oleh karena itu kontribusi teoritik yang bersifat akademik dari penelitian ini adalah merumuskan konsep peace building community sebagai alternatif model dalam menciptakan tatanan hubungan keberagamaan masyarakat yang beradab dan penuh dengan kedamaian di bumi Indnesia.
Pemahaman yang utuh dan komprehensif  tentang Piagam Madinah sebagai konsep dan fakta sejarah dalam membangun penataan model keberagamaan dalam komunitas yang majemuk sangat berguna bagi pengembangan masyarakat muslim yang inklusif yaitu masyarakat yang mampu menghargai dan menghormati pluralisme keagamaan. Pluralisme dimaknai sebagai sebuah keniscayaan sejarah atau bahkan pluralisme diposisikan sebagai karya Tuhan. Kesadaran masyarakat akan realitas pluralisme akan melahirkan cara penyikapan perbedaan secara arif dan tidak mudah memberikan stigma- stigma negatif dan mengedepankan truth claim ketika berhadapan dengan kelompok lain yang berbeda yang seringkali menyebabkan lahirnya gesekan-gesekan secara sosial.
Untuk memahami Piagam Madinah sebagai sebuah hasil dari ruang dialog antar komunitas agama yang menghasilkan pola relasi sosial yang coexistence, dapat dilihat dari teori Hans Kung tentang dialog yang mengarahkan situasi ko-eksistensi ke pro-eksistensi, yaitu:
1.    Dialog dimaksudkan untuk memahami kepercayaan dan nilai-nilai ritus dan simbol- simbol orang lain atau sesama kita, maka kita akan dapat memahami orang lain secara sungguh-sungguh.
2.    Dengan memahami kepercayaan orang lain, maka kita dapat memahami iman sendiri secara sungguh-sungguh, kekuatan dan kelemahan, segi-segi yang konstan dan yang berubah.
3.    Dengan memahami kepercayaan orang lain, maka kita dapat menemukan dasar yang sama -meskipun terdapat perbedaannya- dapat menjadi landasan untuk hidup bersama dunia ini secara damai.
Dengan dialog seperti ini maka tidak hanya akan melahirkan toleransi tetapi pengalaman transformatif bagi pihak-pihak yang terlibat. Tujuan dialog tidak hanya berhenti pada ko-eksistensi, melainkan pro eksistensi, tidak hanya membiarkan orang ada, tetapi juga juga ikut mengadakanya secara aktif demi kebaikan bersama dan dengan belajar bersama. Butir-butir Piagam Madinah sangat menggambarkan proses trasformasi dari ko-eksistensi menjadi pro-eksistensi yang sangat berguna bagi perumusan model pentaan hubungan antar ummat beragama Indonesia.
PENUTUP
Piagam Madinah merupakan manifesto kesadaran baru komunitas Madinah dalam menata hubungan antar ummat beragama untuk hidup berdampingan (coexistence) secara damai dan bermartabat. Dalam posisi ini, Piagam Madinah dapat dijadikan model dalam membangun hubungan antar umat beragama sekaligus hubungan inter umat beragama. Temuan penelitian ini membuktikan bahwa Piagam Madinah merupukan eksperimen politik Rasulullah saw sebagai desain resolusi konflik untuk mewujudkan peace building community. Tawaran teoritik sebagai model resolusi konflik yang Rasulullah lakukan dengan meminjam teori Jeffrey Z. Rubin, Dean G. Pruit dan Sung Hee Kim adalah dengan problem solving. Metode problem solving adalah suatu upaya keluar dari konflik dengan mencoba untuk mengakhiri konflik yang memuaskan para pihak yang terlibat konflik dengan cara mencari upaya rekonsiliasi antar aspirasi para pihak yang berkonflik.
Dengan memposisikan Piagam Madinah tidak sekedar sebagai sumber normatif tetapi juga sebagai fakta historis yang membuktikan kemampuan Rasulullah dalam membaca local wisdom masyarakat Madinah secara cerdas sehingga beliau mampu mengambil peran strategis dalam melakukan kompromi terutama dalam penataan hubungan umat beragama masyarakat multikultural. Dengan menggunakan teori continuity and change. posisi piagam Madinah lahir tidak pada waktu dan ruang kosong (space and time). Dari sini jelas bahwa lahirnya Piagam Madinah bukanlah kecelakaan sejarah (historical accidence) tetapi perjalanan sejarah yang sudah direncanakan (by desain) sebagai sebuah skenario untuk membumikan misi dakwah Islam sebagai rahmah bagi sekalian alam.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis, Taufiq,1425 h,  Al-Islam Wa al-Dustur, Riyadh, Wizarat al-Syu’un al Islamiyah wa al-Auqof
Abid Al-Jabiri. Muhammad , 1996. Ad-Din wa al-Dawlah wa-al Tathbiq al-Syariah, Bairut, Markaz al-Dirasat al-Wahdah al-Arabiyah
Ahmad An-Naim, Abdulloh , 1994. Toward an Islam Reformation Civil Liberties : Human Right and  international Law, Terj. A Suaidi . Dekonstruksi Syariah : Wacana kebebasan sipil, HAM dan hubungan internasional dalam Islam,  Jogjakarta, LKiS
D. Paige, Glenn, 1998.  Islam Tanpa Kekerasan, Jogjakarta: LKiS.
Enginerr,  Asghar Ali, 2000 : Islamic State, Jogjakarta, LKiS
Eugence Smith, Donald, 1970 . Religion Political Development, Canada:Litle Brown and Company
Francis,  Diana , 2005. Teori Dasar Transformasi Konflik Sosial, Jogjakarta, Quilis
J Roshenthal, Erwin, 1958 Political Thought an Mediavel Islam, Canbridge at the University Press
Liliweri, Alo, 2005. Prasangka dan Konflik : Komunikasi lintas budaya Masyarakat Multikultural, Jogjakarta, LKiS
Luwis, Bernat, 1994. The Political Language Of Islam, Terj. Ihsan Ali Fauzi Jakarta, Gramedia
Miall, Hugh, Oliver Rombos & Tom Tom woodhouse. 1999. Contemporary Conflict Resolution, USA: Polity Press
Obert Voli, John, 1999.  Islam Continuity and Change, terj. Ajat Sudrajat, Jogyakarta: Titian Ilahi Press.
Paydar, Manoucher, 2003.  Aspects of the Islamic State : Relegious Norm and Polical Realities : terj: Maufur Al-Khoiri, Jogjakarta, Fajar Pustaka
Pulungan, Suyuti, 1977, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta, Grafindo
Raharjo, Dawam , 1993. Enskiklopedi Al-Qur’an  Madinah, Jurnal Ulumul Qur’an No 5 Vol IV th 1993
Rahman,  Fazlur , 1984. Islam .  terj  Ahsin Muhammad, Bandung, Pustaka
Ridwan, 2004. Paradigma Politik NU : Relasi Sunni  NU dalam Pemikiran Politik Jogjakarta, Pustaka Pelajar
Rubin, Jeffry Z. Dean G. Pruit dan Sung Hee Kim,1994.  Sesial Conflict: Escalation, Stalemate and Settlement, United States of America: McGraw-Hill, Inc
Sachedina, Abdul Aziz, 2004. The Islamic Roots of DemocraticPluralism, terj. Satrio Wahono, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta
Sjadzali, Munawir, 1993, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran Jakarta, UI Press
Susanto, Astrid, 1985. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Jakarta, Bina Cipta
Syalabi,Ahmad. 1983. Al- Tarikh al-Islamy wa al-Khadharah al-IsLamiyyah, terj. Mukhtar Yahya, Jakarta; Pustaka al-Khusna
Theria Wasim, Alief (ed) , 2005. Harmoni Kehidupan Beragama : Problem, Praktek dalam Pendidikan, Jogjakarta, Oasis Publisher
Watt, Montgomery, 1998. Bell’s Introduction to The Qur’an. Terj,Lilian Tejha Sudhana, Jakarta, INIS
Watt, Montgomery, 1965, Muhammad at Madinah. Oxford : Clarendon Press
Widjajanto,  Andi , 2009. Resolusi Konflik, Jakarta, Hafana Press
Zuhri.Muhamad, 2004. Potret Keteladanan Kiprah Politik Nabi Muhammad  Rasululloh Saw , Jogjakarta, LESFI





         [1]A.Syalabi. al- Tarikh al-Islamy wa al-Khadharah al-IsLamiyyah, terj. Mukhtar Yahya, (Jakarta; Pustaka al-Khusna, 1983) hal 102-103. Lihat pula, Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta, UI Press, 1993) Hal. 9-10
         [2]Penjelasan tentang setting sosio kultur dan tradisi masyarakat Arab pra Islam dapat dilihat pada Manoucher Paydar, Aspects of the Islamic State : Relegious Norm and Polical Realities : terj: Maufur Al-Khoiri (Jogjakarta, Fajar Pustaka, 2003) hal, 2-3. Periksa Pula : A.Syalabi. al- Tarikh al-Islamy wa al-Khadharah al-IsLamiyyah, terj. Mukhtar Yahya, (Jakarta; Pustaka al-Khusna, 1983) hal  32-33
         [3]Erwin J Roshenthal, Political Thought an Mediavel Islam (Canbridge at the University Press, 1958)  hal 21, lihat pula : Montgomery Watt, Bell’s Introduction to The Qur’an. Terj Lilian Tejha Sudhana (Jakarta, INIS, 1998) hal 5-6
         [4]Dalam kapasitasnya sebagai pemimpin, Nabi Muhammad  saw  tidak saja berperan sebagai pimpinan spiritual (Imam Sholat) tetapi juga sebagai hakim yang memberi keputusan hukum, sebagai panglima perang dan sebagai pimpinan politik, disini terlihat jelas bahwa sistem politik Islam dimasa-masa awal adalah kesatuan religio-politik yang bersifat organis, Lihat, Donald Eugence Smith : Religion Political Development (Canada:LitleBrown and Company, 1970) hal 266. Atau bandingkan pula dengan Taufiq Abdul Azis, Al Islam Wa Al Dustur (Riyadh, Wizarat al-Syu’un al Islamiyah wa al-auqof, 1425 h) hal 65
         [5]Fazlur Rahman,  Islam .  terj  Ahsin Muhammad (Bandung, Pustaka, 1984)  hal 13
         [6]Ridwan, Paradigma Politik NU : Relasi Sunni  NU dalam Pemikiran Politik (Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2004)  hal 50
         [7]Diana Francis,  Teori Dasar Transformasi Konflik (Jogjakarta, Quilis, 2005)  hal 139-140
 [8]Hugh Miall, Oliver Rombos, Tom Tom woodhouse. Contemporary Conflict Resolution, (USA: Polity Press,1999) hal 5.  Bahasan serupa terdapat juga dalam Alo Lilliweri, Prasangka dan Konflik : Komunikasi lintas budaya Masyarakat Multikultural (Jogjakarta, LkiS, 2005) hal 249
 [9]Jeffry Z. Rubin, Dean G. Pruit dan Sung Hee Kim, Sesial Conflict: Escalation, Stalemate and Settlement, (United States of America: McGraw-Hill, Inc, 1994)  hal 5
         [10]Diana Francis,  Teori Dasar Transformasi Konflik (Jogjakarta, Quilis, 2005)  hal : 7
         [11]Astrid Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial (Jakarta, Bina Cipta, 1985)  hal :104
         [12]Diana Francis,  Teori Dasar Transformasi Konflik (Jogjakarta, Quilis, 2005)  hal : 60
[13]Jeffry Z. Rubin, Dean G. Pruit dan Sung Hee Kim, Sesial Conflict: Escalation, Stalemate and Settlement, (United States of America: McGraw-Hill, Inc, 1994)  hal 4-7
         [14]Alief Theria Wasim (ed) , Harmoni Kehidupan Beragama : Problem, Praktek dalam Pendidikan (Jogjakarta, Oasis Publisher, 2005)  hal :5
         [15]Andi Widjajanto,  Resolusi Konflik (Jakarta, Hafana Press, 2009)  hal :14
         [16]Kelompok Yahudi Madinah berasal dasri suku bani Nadhir dan bani Quraidhah. Sedangkan suku Arab adalah suku Aus dan Khazraj yang berasal dari Yaman, tentang ini secara rinci dapat dilihat pada Asghar Ali Enginerr : Islamic State (Jogjakarta, LKiS, 2000)  hal :31
         [17]A.Syalabi. al- Tarikh al-Islamy wa al-Khadharah al-IsLamiyyah, terj. Mukhtar Yahya, (Jakarta; Pustaka al-Khusna, 1983) hal : 104
         [18] Montgomery Watt, Muhammad at Madinah. (Oxford : Clarendon Press, 1956) hal  192

         [19]Asghar Ali Enginerr : Islamic State (Jogjakarta, LKiS, 2000)  hal :32
         [20]Moh. Zuhri.  Potret Keteladanan Kiprah Politik Nabi Muhammad  rasululloh Saw (Jogjakarta, LESFI, 2004)  hal :30
         [21]Muhammad Abid Al-Jabiri. Ad-Din wa al-Dawlah wa-al Tathbiq al-Syariah (Bairut, Markaz al-Dirasat al-Wahdah al-Arabiyah, 1996) hal.8
         [22]Abdulloh Ahmad An-Naim. Toward an Islam Reformation Civil Liberties : Human Right and  international Law, Terj. A Suaidi . Dekonstruksi Syariah : Wacana kebebasan sipil, HAM dan hubungan internasional dalam Islam  (Jogjakarta, LKiS, 1994)  hal :28
         [23] Makna awal Bai’at  adalah melalukan barter yang mengandung arti membeli dan menjual sebagaimana lazim dalam hukum Islam yang berdimensi kontraktual, Namun dalam konteks politik  kata bai’at difahami sebagai kesepakatan kontraktual antara yang berkuasa dengan rakyatnya yang melahirkan hak dan kewajiban sesuai kesepakatan bersama. Sementara Kata Aqabah diderivasi dari nama tempat dimanaperjanjian itu terjadi, bai’at aqabah I diikuti oleh 13 orang yang terdiri dari 12 pria dan 1 wanita yang bernama Afra’ ibn abidin ibn Tsa’bah, karena itu Bai’at aqabah I dikenal dengan istilah perjanjian wanita. Sedangkat Bai’at Aqabah II diikuti oleh  73 orang Madinah, Inti Bai’at Aqabah adalah orang-orang Madinah berjanji tidak akan menyembah selain Allah, akan meningkalkan segala perbuatan dosa, menta’ati segala perintah Rasululloh sbg pemimpin mereka, melindungi Rasululloh seperti melindungi keluarganya sendiri, berjuang bersama Rasululloh baik untuk berperang maupun untuk perdaiaman. Lihat Suyuti Pulungan.  Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta, Grafindo, 1977) hal. 79. Juga Bernat Luwis, The Political Language Of Islam, Terj. Ihsan Ali Fauzi (Jakarta, Gramedia, 1994) hal.83
         [24]Munawir Sjadzali. Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta, UI Press, 1993) hal.15
         [25]Asghar Ali Enginerr : Islamic State (Jogjakarta, LKiS, 2000)  hal :34
 [26]Hugh Miall, Oliver Rombos, Tom Tom woodhouse. Contemporary Conflict Resolution, (USA: Polity Press,1999) hal 17  
         [27] Madinah selain nama sebuah kota, yakni Madinah al-Nabi dan madinah al-Munawwarah, ia juga merupakan potret dari sebuah tatanan peradaban, karena kata Madinah yang juga jamaknya menjadi Madain berasal dari kata m-d-n  yang berarti membangun berdekatan dengan kata tamaddun  yang berarti peradaban. Beberapa pakar menyebut Madinah yang dibangun Nabi saw  sebagai tatanan peradaban yang disinari oleh agama.  Lihat Dawam Raharjo, Enskiklopedi Al-Qur’an  Madinah, Jurnal Ulumul Qur’an No 5 Vol IV th 1993 hal. 25-29

Tidak ada komentar:

Posting Komentar