Selasa, 04 Maret 2014

ATAS NAMA CINTA


Ust. Ach. Hefni Zain

       Sebagaimana disampaikan pada tulisan sebelumnya bahwa “cinta kepada Allah” adalah tujuan akhir dan inti dari seluruh maqom spiritual seseorang, kalau ada maqom yang harus dilewati sebelum cinta, seperti : taubat, sabar, zuhud, dan sejenisnya, itu hanyalah pengantar kearah cinta, Dan bila ada maqom sesudah cinta, seperti  syauq (kerinduan), uns (kemesraan), ridla dan sejenisnya, itu hanyalah buah dari cinta saja. Yang pasti, cinta adalah  ruh dan badan  dari proses keagamaan seseorang.
       Namun demikian, sulit dipungkiri dalam ranah empirik kata cinta lebih sering diatas namakan ketimbang dipraktekkan, bahkan acapklali kata itu dibuat justifikasi untuk sejumlah tindakan kontra cinta. Karena itu dzauq, isyq, bashirah, mukasyafah, ru’ya dan semacamnya bukan hanya catch word yang mesmeric (menyihir sampai melumpuhkan) melainkan mesti memiliki algoritme yang teridentifikasi.  Begitu juga kecintaan seseorang kepada sesuatu  yang disebabkan oleh faktor kenikmatan dan kegunaannya semata seperti kecintaan manusia pada harta atau lain jenisnya sejatinya bukanlah disebut cinta, melainkan pemanfaatan dan manefestasi egoisme yang dikemas atas nama cinta. 
       Memang berucap cinta amatlah mudah, tetapi berkorban untuk cinta membutuhkan bukti nyata, maka jangan pernah berkata cinta, bila  masih berharap sesuatu dari sang tercinta. Jangan berharap melihat bulan bila tak mau melihat malam, sebab tak mungkin ada cahaya kalau tak ada gulita, seorang sufi bertanya “Tuhanku, cara apa yang efektif untuk sampai kepadaMu?, Tuhan menjawab : tinggalkan dirimu dan datanglah, jika kamu mampu menghilangkan sifat sifat kemanusiaanmu, maka kamu akan mampu memiliki (menyerap) sifat sifatKu.
    Menghilangkan sifat sifat kemanusiaan adalah menghilangkan keterikatan dan ketergantungan pada sesuatu selain Allah swt, “Tarku syaiin illalloh” meninggalkan sesuatu (dan segalanya) menuju Allah, hijrah dari perhatian kepada kepentingan pribadinya menuju perhatian sepenuhnya kepada Allah, dari keterikatan pada materi kepada ketergantungan pada Allah. Dalam hadits qudsi disebutkan “Beruntunglah kaum yang menyembahKu karena cintanya padaKu, menghabiskan malam dan siangnya untuk beribadah  padaKu, memfokuskan semua perhatiannya padaku dengan cara memutuskan segala sesuatu selain aku”.
      Cinta sejati adalah datang dari seseorang yang tidak berharap apapun bagi dirinya, bagaimana mungkin seseorang masih menginginkan pemberian ketika dirinya sudah memiliki  sang pemberi, maka seseorang bisa disebut mencintai ketika ia menyingkirkan semua yang ada di kepalanya, meninggalkan semua kehendak dirinya, memberikan semua yang ada ditangannya dan tidak takut terhadap apapun yang menimpanya, Cinta sejati adalah mencintai sesutu karena sesuatu itu layak dicintai, mencintai keindahan karena keindahan itu  semata mata indah.

       Adakah orang yang telah merasakan manisnya cinta Tuhan masih menginginkan penggati selainNya, adakah orang yang telah bersanding dengan Tuhan masih mencari penukar selainNya. masih adakah kekurangan bagi orang yang telah mendapatkan Tuhan? Maka pencinta sejati hanyalah menghanyutkan dirinya dalam Tuhan dan mencintai sepenuh hati  dan sekujur jasadnya, ia memberikan tempat dihatinya dan tak mempedulikan apapun yang terjadi dalam urusan dunia.
Karena itu dalam  konteks cinta sejati tidak ada lagi konsep aku dan engkau, bila masih ada aku adalah aku dan engkau adalah engkau, atau bila seseorang masih memperdulikan jiwa dan  raganya, belumlah ia sampai pada terminal cinta. Sebab bila seseorang masih menganggap dirinya ada, sebenarnya ia masih berkutat dengan dirinya sendiri, ia tidak berjalan menuju Tuhan, ia hanya berputar putar disekitar egonya sendiri, ia tidak mencari ridlo Tuhan, ia mengejar ridlo dirinya sendiri.
Suatu hari seorang murid mengadu kepada Bayazid  Busthomi, wahai guru ! saya sudah 30 tahun beribadah kepada Allah, sholat malam tiada henti dan berpuasa setiap hari, tetapi saya belum memperoleh pengalaman ruhani seperti yang guru alami, Bayazid menjawab, sekiranya kau beribadah 300 tahun lagi  kau takkan mencapai satu butirpun debu mukasyafah dalam hidupmu, si murid heran , mengapa begitu, karena kau tertutup oleh dirimu sendiri, jawab Bayazid.
Dapatkah guru mengobatinya agar hijab itu tersingkap?. Bisa ! tetapi kau takkan mau melakukannya. Subhanalloh, MasyaAllah, Lailaha illalloh…tentu  aku akan melakukannya  tegas si murid.  Bayazid berkata, jika kalimat kalimat suci itu di ucapkan orang kafir, ia akan berubah mukmin, Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh orang sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi kafir. Mengapa bisa begitu si murid heran, karena kelihatannya kau sedang memuji Allah, padahal sebenarnya kau sedang memuji dirimu sendiri, ketika kau sebut Subhanalloh seakan akan kau mensucikan Tuhan padahal sesungguhnya kau sedang menonjolkan dirimu sendiri.Cerita ini mengajarkan bahwa selama ego kecil masih bersarang, ego besar tidak akan berlabuh
Pencinta sejati hanya memberi bukan meminta, hanya berfikir what can I do for you, hidupnya ditegakkan diatas “giving” dan  bukan “taking”. Dan mereka  hanya ingin terkenal dilangit dan bukan dibumi, mereka  ibarat  pohon buah di pinggir jalan, meskipun dilempari dengan batu, ia tetap menghadiahkan buah yang matang kepadanya. Abbas meriwayatkan, telah sampai kepadaku kisah tentang ibrahim, Allah bertanya kepadanya, tahukan kamu kenapa Aku mengambil kamu sebagai kekasihku (kholili)? Ibrahim menjawab tidak, Allah berfirman, Aku temukan dihatimu, bahwa kamu lebih senang memberi daripada mengambil. Mereka adalah Hum qoumun aatsarahumullohu ‘alaa kulli syai’in, komunitas yang mendahulukan Allah diatas segalanya sehingga Allah pun mendahulukan mereka diatas segalanya.  Hum qoumun al akhdzu bil haqoiq wal ya’su mim maa fii aidil kholiq, komonitas yang mengambil hakekat kehidupan dengan membuang segala bentuk kepalsuan yang ada pada selain Allah. 
Dalam Qs. 9 :  24  disampaikan “Katakanlah jika bapak, anak, saudara, istri, keluarga, harta yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian takutkan kebangkrutannya dan tempat tinggal yang kalian cintai itu lebih kalian cintai daripada  Allah dan RasulNya, dan jihad fi sabilillah, maka tunggulah sehingga Allah mendatangkan urusannya”
Pencinta sejati menghabiskan hidupannya hanya untuk memburu al haqq, bukan selainnya, bagi mereka makna terdalam dari tauhid adalah menyatukan diri dengan Allah, atau proses transformasi dari kesementaraan menuju kekekalan, dari kesemuan menuju kesejatian, dari posisi berjarak menuju jumbuh atau kebersatuan dengan al haq al mahbubah, Suatu waktu tatkala malaikat maut hendak mencabut nyawa Nabi ibrahim as, nabi Ibrahim sempat bertanya, apakah seorang kekasih akan mematikan kekasihnya?  lalu Tuhan melalui malaikat maut menjawab, apakah pencinta tidak ingin berjumpa dengan kekasihnya?, Ibrahim  kemudian berkata, jika begitu segeralah ambil nyawaku ini, karena itu dalam  Qs. 62 : 6  disebutkan “Maka harapkanlah kematian jika kalian betul betul cinta”. Jadi  bila seseorang sudah mencintai kematian, berarti ia sudah memiliki kecintaan kepada  Allah swt.
      Seseorang belum bisa disebut mencintai  bila ia masih suka memperhitungkan atau mempertanyakan yang dicintainya, sebab cinta sejati itu bukan cinta “karena” tetapi cinta “walaupun”. maka bila seseorang masih bertanya untuk apa mencintai Tuhan  berarti  dia masih berada dalam tahap cinta “karena” dan belum sampai pada cinta “walaupun”.
As Syibli menegaskan bila seseorang mencintai Allah hanya karena kebaikanNya, mungkin suatu saat cinta mereka akan berkurang ketika ia merasa  Tuhan tidak berlaku baik padanya, atau bahkan berhenti mencintaiNya ketika ia merasa keputusan Tuhan tidak seperti yang diharapkan dirinya. Itu model “cinta karena”.
      Cinta sejati, --bila meminjam bahasa psikologi komonikasi—adalah model  kecintaan internalitatif dan kecintaan identifikatif, yakni model kecintaan yang didalamnya terdapat pengabdian dan kepatuhan sejati, model kecintaan seperti itu mendorong si pencinta bukan saja ingin meniru semua karakteristik dan kepribadian yang dicinta, tetapi juga ingin menjadi foto copy dari sang tercinta tersebut, bukan saja ingin menyerap nilai nilai  sang tercinta tetapi juga ingin menjadi nilai itu sendiri, bukan saja to be like him  tetapi juga to be him.

Maka, sungguh berdusta orang yang mengaku cinta kepada Allah, ketika yang bersangkutan masih (1)  belum menyerap sifat sifat sang dicinta (2)  lebih suka meminta dari pada memberi. (3) menggunakan malam malamnya untuk lebih banyak tidur  dan melalaikan panggilan Allah swt, (4) mendahulukan kehendaknya diatas kehendak Allah, (5) belum memutuskan hubungan dengan segala sesuatu selain  Allah, (6) menuntut sesuatu sesuai kemauan dirinya sendiri dan bukan sesuai kemauan Allah. Mereka semua kendati mengaku mencintai Allah, realitasnya hanya mengatas namakan cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar