Selasa, 04 Maret 2014

DAKWAH ISLAM & HARMONI PERADABAN


Ust. Hefni Zain
Abstrak
Islam bukan serentetan keyakinan yang memfosil, juga bukan sekedar ajaran ritus spiritualitas yang bersifat individual, ia merupakan ideologI universal yang bergerak dinamis membentang melampaui sekat tempat dan zaman dan terus berkembang sesuai denyut nadi perkembangan peradaban manusia untuk menjawab persoalan kemanusian yang terus berubah dan memberikan harmoni bagi peradaban, karena itu misi utama dakwah Islam adalah memberikan keselamatan dan rahmah  bagi seluruh mahluk di jagad makrocosmos (rahmatan lil alamin)
Sorotan terhadap dakwah Islam yang mengemuka akhir-akhir ini adalah  bahwa pada ranah empirik implementasi dakwah Islam belum banyak memberikan implikasi signifikan terhadap perubahan prilaku masyarakat sasaran dakwah, padahal salah satu tujuan utama dakwah Islam adalah terjadinya perubahan, baik pola fikir (way of thinking), perasaan dan kepekaan (way of felling), maupun pandangan hidup (way of life) pada masayarakat sasaran dakwah. Hingga kini strategi dakwah Islam masih cenderung dogmatis serta kurang mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif sehingga melahirkan pemahaman agama yang eksklusif serta lemah dalam memahami kearifan budaya, akibatnya dakwah Islam belum berhasil membangun manusia Islami yang berkarakter.
Bahkan ditengah meluasnya anjuran sikap toleran dan saling pengertian inter dan antar umat beragama, kekerasan bernuansa agama masih saja terjadi. Agama, yang semestinya bersemangat menebarkan kedamaian bagi sesama manusia, justru kerap memicu keresahan, banyak faktor yang menjadi pemicunya, antara lain : ketika masing-masing kelompok agama menganggap kelompok lain sebagai sesat yang harus dimusnahkan, Sikap apriori dan praduga teologis yang tumbuh subur dalam masyarakat yang kemudian diperkuat oleh para elit agama dengan landasannya masing-masing. Kegagalan penganut agama dalam memahami prinsip-prinsip asasi agamanya secara konprehensip. Faktor-faktor diatas pada gilirannya berimplikasi pada terabaikannya misi agama untuk mewujudkan harmoni peradaban yang damai dan menentramkan, bahkan sebaliknya menjadi embrio bagi munculnya benih-benih kebencian antar sesama mahluk Tuhan.
Berbagai fenomena diatas jelas merupakan indikator nyata dari belum efektifnya strategi, model dan fungsi dakwah Islam yang selama ini dijalankan, karena itu mendesak untuk “membumikan” dakwah Islam berbasis marhamah sebagai perekat baru integrasi umat yang sekian lama tercabik-cabik. Tugas kita hari ini adalah mereingkarnasi pesona marhamah dalam kehidupan masyarakat yang berdiri tegak diatas sikap kasih sayang terhadap sesama, sehingga permusuhan berubah menjadi persaudaraan dan sikap saling mencela akan berganti menjadi sikap saling mencinta.  Dakwah Islam berbasis marhamah dapat menjadi fondasi dan pilar penyangga bagi keberagaman yang hakiki sehingga terwujud harmoni peradaban sebagaimana dicita-citakan.
Keywords :  Dakwah Islam, Marhamah dan Harmoni Peradaban.



Pendahuluan
Tidak disangsikan bahwa dalam Islam, eksistensi dakwah menempati posisi sentral, utama dan strategis. Karena itu Al-Qur'an secara inperatif menyuruh setiap muslim untuk menyeru umat manusia kejalan  Tuhan dengan cara yang  bijaksana, dengan nasihat yang memukau serta dengan agumentasi  logis dan tak terbantahkan. (Qs. 16:125). Predikat  khoiru ummah  disematkan oleh Allah swt  hanya kepada orang atau kelompok umat yang  aktif melakukan kegiatan dakwah (Qs. 3:110). Hadits yang diriwayatkan Turmudi menyebutkan “Orang yang paling tinggi kedudukannya disisi Allah pada hari kiamat ialah yang paling banyak berkeliling dimuka bumi dengan memberi nasehat kepada manusia mahluk Allah” Bahkan Yusuf Qordawi menegaskan maju mundurnya kaum muslimin sangat ditentukan oleh efektifitas dakwah yang dilakukan umatnya[1].   
Sebagai  proses berkesinambungan dalam mengarahkan manusia mengikuti al fitroh al ghaiziyah[2] yang  dipandu oleh nurani dan akal rasio dalam etos mujahadah yang tak kenal henti,  dakwah bukan poses insidentil, melainkan harus benar-benar direncanakan secara sistematik dan metodologik serta dievaluasi secara terus menerus agar tujuan dakwah untuk mewujudkan harmoni peradaban dapat dicapai secara efektif. Artinya sudah bukan waktunya dakwah dilakukan asal jalan tanpa  planning yang  matang  baik  menyangkut  strategi, model, matei  maupun metode yang  digunakannya. Memang benar sudah menjadi sunnatullah bahwa yang  haq pasti menghancukan yang  bathil (Qs. al-Isra’:81) tetapi sunnatullah tersebut berkaitan pula dengan sunnatullah yang lain, yaitu bahwasanya Allah sangat mencintai dan meridhoi kebenaran yang diperjuangkan dalam sebuah barisan yang rapi dan teratur (Qs. Ash Shaf : 4).
Upaya  pengembangan dakwah Islam, dalam arti i’adah, ibanah dan ihya dengan maksud  reaktualisasi, revitalisasi dan reevektifity  sesungguhnya telah lama dirintis oleh banyak pihak, namun hingga kini berbagai upaya tersebut belum sepenuhnya mencapai tujuan sebagaimana diharapkan.  Sorotan terhadap dakwah Islam yang mengemuka akhir-akhir ini adalah  bahwa pada ranah empirik implementasi dakwah Islam belum banyak memberikan implikasi signifikan terhadap perubahan prilaku masyarakat sasaran dakwah, padahal salah satu tujuan utama dakwah Islam adalah terjadinya perubahan, baik pola fikir (way of thinking), perasaan dan kepekaan (way of felling), maupun pandangan hidup (way of life) pada masayarakat sasaran dakwah[3].
Banyak kalangan menilai bahwa hingga kini strategi dakwah Islam masih cenderung dogmatis serta kurang mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif sehingga melahirkan pemahaman agama yang tekstual dan eksklusif serta lemah dalam memahami konsep kearifan budaya, akibatnya dakwah Islam belum berhasil membangun manusia Islami yang berkarakter. Fenomena maraknya kekerasan, eksklusifisme dan lemahnya toleransi yang berkembang di masyarakat dalam segala bentuknya merupakan indikator nyata dari belum efektifnya strategi, model dan fungsi dakwah Islam yang selama ini dijalankan. Terkikisnya semangat ke-bhineka tunggal ika-an bangsa, tergerusnya semangat saling menghargai antar-suku, etnis, ras, dan antar-pemeluk agama saat ini mengindikasikan bahwa tujuan dakwah Islam untuk memberikan harmoni bagi peradaban manusia masih jauh dari harapan. 
Maka tak heran jika banyak pihak mulai mempertanyakan sejauhmana efektifitas dakwah Islam bagi peningkatan kesadaran dan perubahan prilaku masyarakat baik secara individual maupun sosial kultural. Pertanyaan ini wajar, mengingat secara teoritis, dakwah Islam diyakini sebagai sistem rekayasa sosial yang paling berpengaruh mewarnai, mengontrol dan membentuk pola fikir dan prilaku seseorang dalam hidup kesehariannya.
Dari fenomena ini kemudian dipandang perlu mereaktualisir  model dakwah Islam berbasis marhamah sebagaimana dipraktekkan Nabi saw selama puluhan tahun dan diikuti oleh  salafunas  sholeh yang mampu mengantarkan Islam pada masa kejayaan. Sejarah mencatat bahwa gerakan dakwah pada masa Nabi saw banyak diorientasikan pada gerakan pembebasan masyarakat dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam segala aspeknya. Karena itu dalam dakwahnya,  Nabi saw tidak langsung menawarkan Islam sebagai sebuah ideologi normatif, melainkan dengan akhlaq yang agung berbasis kasih sayang dan hikmah Nabi saw memperjuangkan secara serius penyelesaian atas problem bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia dengan  merekonstruksi tatatan yang ada menjadi tatanan yang adil, egaliter dan tidak eksploitatif[4]. Para pakar dakwah menyebut ini sebagai dakwah berbasis rahmatan lil alamin, yakni sebuah model dakwah Islam yang fokus pada pentingnya penghormatan terhadap keragaman dan pengakuan kesederajatan terhadap semua orang (equal for all) serta penghapusan berbagai bentuk diskriminasi demi membangun kehidupan yang damai, toleran, humanis, inklusif, tentram dan sinergis tanpa melihat latar belakang kehidupannya, apapun etnik, status sosial, agama dan jenis kelaminnya[5].
Dakwah Islam berbasis marhamah adalah proses penanaman sejumlah nilai islami yang dilandasi kasih sayang agar masyarakat sasaran dakwah dapat hidup berdampingan secara damai dan harmonis dalam realitas kemajemukan dan berperilaku positif, sehingga dapat mengelola kemajemukan menjadi kekuatan untuk mencapai kemajuan, tanpa mengaburkan dan menghapuskan nilai-nilai agama, identitas diri dan budaya[6]. Dengan model dakwah ini, outputnya jelas, yakni terwujudnya konstruk  masyarakat welas asih yang didalamnya sarat muatan the smiling general dan the smiling soldiers, the sensous, the play full, the calm and the beuty. Tatanan masyarakat seperti inilah yang kemudian dikenal dengan masyarakat madani.

Spirit dakwah Islam berbasis marhamah
Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa dakwah Islam berbasis marhamah adalah proses penanaman sejumlah nilai universal islam yang dilandasi kasih sayang atas sesama mahluk Tuhan  sehingga mereka dapat hidup berdampingan secara damai dan harmonis dalam realitas kemajemukan, saling menentramkan dalam kebersamaan tanpa mengaburkan dan menghapuskan nilai-nilai agama, identitas diri dan budaya.
Sebagai ajaran yang bertekad mewujudkan harmoni peradaban, dakwah Islam mendorong  pemeluknya menata masyarakat diatas landasan rasa aman, keadilan dan harmonisasi yang terbebas dari berbagai bentuk ancaman, ketidak amanan dan hidup saling curiga.  Salah satu misi utama dakwah Islam dalah terwujudnya relasi kehidupan marhamah dan saling menentramkan[7]. yakni pola kehidupan yang didalamnya sarat kasih sayang,  tumbuh solidaritas kebersamaan dan kekeluargaan dalam menyelesaikan soal-soal kemanusiaan melampaui sekat primordial dan sektarian, kehidupan yang didalamnya ada etos saling menolong dengan “sungguh-sungguh menolong”, yakni menolong tanpa tujuan apapun selain menolong itu sendiri, bukan menolong demi interes konsesif yang menyandera nasib orang yang ditolongnya, bukan mengutangi jasa orang lain untuk mengikat kebebasan orang yang diutangi tersebut, bukan membantu orang lain sambil merasa dirinya lebih tinggi derajatnya karena dia telah mambantu, sehingga sesungguhnya yang dia lakukan adalah merendahkan orang yang seakan-akan dibantunya tersebut.
Di Indonesia, model dakwah Islam semacam ini, selain sejalan dengan nafas orisinilitas ajaran Islam, juga relevan dengan entitas keberadaan masyarakat Indonesia yang multikultur.  Sebagai risalah profetik, dakwah Islam pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia menuju satu cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan (unity of mankind) tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan, dan agama, hal ini secara tegas disinyalir al-Qur’an: ”Katakanlah: Wahai semua penganut agama (dan kebudayaan)! Bergegaslah menuju dialog dan perjumpaan multikultural (kalimatun sawa’) antara kami dan kamu… Dengan demikian, kalimatun sawa’ bukan hanya mengakui pluralitas kehidupan, Ia merupakan manifesto dan gerakan yang mendorong kemajemukan (plurality) dan keragaman (diversity) sebagai prinsip inti kehidupan dan mengukuhkan pandangan bahwa semua kelompok diperlakukan setara (equality) dan sama martabatnya (dignity).  
Bahkan jauh sebelum adanya istilah multikultural di Barat, secara konseptual dan realitas sejarah, Islam adalah agama yang terbukti berhasil mewujudkan masyarakat multikultur di Madinah, Baghdad, Palestina, Andalusia dan sebagainya. Di Madinah, Nabi Muhammad saw memelopori satu negara dengan konstitusi tertulis pertama di dunia. Di Palestina, Khalifah Umar bin Khathab adalah pemimpin pertama di dunia yang memberikan kebebasan beragama dalam perspektif Islam di kota Jerusalem, tahun 636 M[8].
Musa Al-Kadzim menyebutkan, dakwah Islam berbasis marhamah menjadi penting dan mendesak dikembangkan  karena terjadinya konflik sosial yang bernuansa SARA (suku, agama, dan ras) yang acapkali melanda negeri ini ditengarai berkaitan erat dengan lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep kearifan budaya. Berbagai konflik sosial yang terjadi disebabkan oleh kurangnya kemauan untuk menerima dan menghargai perbedaan, ide dan pendapat orang lain, karya dan jerih payah orang lain, melindungi yang lemah dan tak berdaya, menyayangi sesama, kurangnya kesetiakawanan sosial, dan tumbuhnya sikap egois serta kurang kepekaan sosial. Untuk mencegah atau meminimalkan konflik tersebut perlu dikembangkan dakwah berbasis marhamah[9].
Senada dengan pendapat diatas, Rauheli[10]  menyatakan salah satu tujuan dakwah berbasis marhamah dimaksudkan sebagai langkah preventif dan pencegahan dini, agar berbagai bentuk dekadensi moral dan kekerasan tidak terulang lagi di masa yang akan datang. Dalam konteks ini, dakwah dipandang sebagai faktor penting dalam menumbuh kembangkan kesadaran kebersamaan dalam keragaman untuk hidup berdampingan dengan individu lain dalam suasana saling menghormati, saling toleransi dan saling memahami. Lebih jauh, dakwah islam berbasis marhamah dapat menjadi  salah satu pilar penyangga bagi kerukunan umat yang beraneka ragam (uniting factor), sehingga tidak saja berfungsi sebagai fondasi integritas nasional yang kokoh tetapi juga menjadi fondasi pengayom keberagaman yang hakiki. Bahkan menurut  Muhaimin[11] mendesak sekali “membumikan” pendidikan dan dakwah Islam berbasis rahmatal lil alamin sebagai perekat baru integrasi bangsa yang sekian lama tercabik-cabik.
Dakwah Islam berbasis marhamah menuju harmoni peradaban mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : Pertama, berorientasi pada prinsip-prinsip keadilan, demokrasi, dan kesetaraan. Basis-basis doktrinal yang mendukung prinsip-prinsip ini dapat ditemukan dalam Al-Qur’an surat as-Syura, al-Hadid, dan al-A’raf. Selain itu prinsip keadilan dan kesetaraan dalam berinteraksi sesama manusia ini dipraktekkan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya. Dalam satu kesempatan Rasulullah saw. bersabda: “tidak ada keutamaan orang Arab atas orang bukan Arab, tidak ada keutamaan orang bukan Arab atas orang Arab, kecuali karena takwanya.” (Hr. Imam Ahmad).
Dengan menempatkan semua manusia pada derajat yang sama, menegaskan bahwa Islam memberikan ruang, kesempatan dan hak yang sama kepada semua manusia untuk  eksis dengan keragaman budaya, adat dan keyakinan masing-masing. Rasulullah saw bersama para sahabatnya membangun negari Madinah berlandaskan  demokratisasi dan kesetaraan yang sarat kasih sayang. Dalam pasal-pasal Piagam Madinah sangat kental spirit demokrasi , keadilan dan kesetaraan. Pada pasal 16 disebutkandan bahwa orang Yahudi yang mengikuti kami akan memperoleh hak perlindungan dan hak persamaan tanpa ada penganiayaan dan tidak ada orang yang membantu musuh mereka.” Dan Pada pasal 46 dinyatakandan bahwa Yahudi al-Aus, sekutu mereka dan diri (jiwa) mereka memperoleh hak seperti apa yang terdapat bagi pemilik shahifat ini serta memperoleh perlakuan yang baik dari pemilik shahifat ini.” Hal ini menjadi fakta tak terbantahkan bahwa spirit dakwah Islam adalah spirit kasih kasih yang menjunjung tinggi demokrasi, kesetaraan, anti-rasisme, keadilan antar etinis, ras, dan agama.
Kedua, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian atas dasar kesatuan kemanusiaan (the unity of humankind)”. Dakwah Islam berbasis marhamah, adalah dakwah damai, mengajarkan damai, dan menghendaki damai. Inilah konsep as-Salam dalam Islam. Konsep as-Salam menemukan basis doktrinalnya dalam surat an-Nahl dan Fushshilat. Al-Qur’an mengajarkan teknik-teknik dakwah bagaimana mengatasi permusuhan dan menciptakan perdamaian, yaitu dengan cara yang penuh hikmah, bijaksana, dan memenuhi standar kebaikan. Dalam pandangan al-Qur’an, perdamaian dan kerukunan bukan idealisme utopis melainkan goals yang menunggu diraih.  Kebersamaan dan perdamaian tidak mungkin mewujud tanpa disertai kehendak terdalam manusia untuk hidup rukun, tolong menolong, dan menghargai perbedaan demi mewujudkan integrasi. Solusi-solusi semacam ini tergambar dalam konsep saling mengenal (ta’aruf) dan tolong-menolong (ta’awun) yang digemakan oleh Islam. Kedua konsep ini diabadikan dengan jelas oleh al-Qur’an dalam surat al-Hujurat dan al-Maidah. Dorongan al-Qur’an untuk tolong-menolong dan menghindari konflik tak lain bertujuan untuk menciptakan kerukunan, kedamaian dan harmoni peradaban.
Ketiga, Mengembangkan sikap sosial yang positif dan terbuka  mengakui, menerima, dan menghargai keragaman. Harmoni peradaban akan sulit terwujud apabila manusia bersikap ekslusif terhadap keragaman. Ia tidak mungkin direalisasi oleh manusia-manusia yang berjiwa tertutup. Karenanya, dakwah Islam berjuang keras membuka “jeruji-jeruji” besi yang memenjarakan kesadaran kognitif manusia di ruangan yang begitu sempit. Ekslufisme dan egoisme merupakan jeruji-jeruji besi yang mengkerangkeng kesadaran manusia untuk bersikap terbuka, menerima, dan menghargai yang lain (the others).
Namun ironi, belakangan pola dakwah berbasis marhamah  sebagaimana dicontohkan Rasul saw dan sholafunas sholeh tidak konsisten diikuti oleh kaum muslimin, sehingga lambat laun pola hidup masyarakat yang saling menentramkan mulai redup bahkan hilang sama sekali terkubur  oleh debu kotor perselisihan faham dan tersekat oleh baju-baju firqoh serta  kepentingan sektarian lainnya.  Bahkan ditengah meluasnya anjuran sikap toleran dan saling pengertian inter dan antar umat beragama, kekerasan bernuansa agama masih saja terjadi. Agama yang semestinya bersemangat mewujudkan harmoni peradaban dengan  menebarkan kedamaian bagi sesama manusia, justru kerap memicu keresahan dan pertentangan, bahkan mengusik keutuhan bangsa yang majemuk ini.  Banyak faktor yang menjadi pemicunya, antara lain, pertama ketika masing-masing kelompok agama menganggap kelompok lain sebagai sesat dan berbahaya yang harus dimusnahkan, kedua, Sikap apriori dan praduga teologis yang tumbuh subur dalam masyarakat yang kemudian diperkuat oleh para elit agama dengan landasannya masing-masing. Ketiga, kegagalan penganut agama dalam memahami prinsip-prinsip asasi agamanya secara konprehensip. Keempat, faktor ketidak adilan dan profokasi pihak-pihak tertentu yang menjadikan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu[12].
Faktor-faktor diatas pada gilirannya berimplikasi pada terabaikannya  misi dakwah Islam untuk mewujudkan pola relasi yang damai dan menentramkan  diantara sesama mahluk Tuhan, bahkan sebaliknya faktor-faktor diatas justru menjadi embrio bagi munculnya benih-benih kebencian diantara umat beragama, yang pada gilirannya berdampak pada disharmonisasi peradaban.  Karena itu merupakan tugas kaum muslimin, terlebih para juru dakwah untuk  mereingkarnasi pesona marhamah dalam kehidupan masyarakat yang berdiri tegak diatas sikap lemah lembut, kasih sayang, bil-hikmah dan penghormatan terhadap sesama mahluk Tuhan sehingga terwujud harmoni peradaban sebagaimana dicita-citakan.

Universalitas dakwah Islam sebagai rahmah bagi sekalian alam
Islam bukan sekedar serentetan keyakinan yang memfosil, juga bukan sekedar ajaran ritus spiritualitas yang bersifat individual, ia merupakan ideologI universal yang bergerak dinamis membentang melampaui sekat tempat dan zaman dan terus berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan peradaban manusia untuk menjawab persoalan kemanusian yang terus berubah dan memberikan harmoni bagi peradaban[13], karena itu misi utama dakwah Islam adalah memberikan keselamatan dan pencerahan dan rahmah  bagi seluruh mahluk di jagad makrocosmos, ini yang dalam Al-Qur’an  disebut rahmatan lil alamin [14]
Salah satu kelemahan yang tidak disadari para da’i selama ini adalah kegagalannya dalam  memahami spirit dan prinsip-prinsip asasi agamanya secara universal. Padahal pemahaman parsial atas agama sering menjadikan peran agama bergeser dari fungsi orisinilnya yang menentramkan menjadi mencemaskan, dari wajah yang teduh dan sendu menjadi sangar dan garang, dari madani berubah meddeni. Padahal tidak ada satu agamapun di dunia ini yang secara teologis membenarkan pemeluknya untuk memusuhi pemeluk agama lain. Doktrin teologis semua agama adalah menganjurkan pemeluknya  untuk memberikan perasaan aman kepada yang lain dengan cara mengembangkan sikap akseptasi (kesediaan menerima keanekaragaman), apresiasi (menghargai keyakinan yang dianut kelompok lain) dan ko-eksistensi (kesediaan untuk hidup berdampingan secara damai dengan membiarkan kelompok lain ada) dalam rangka membangun hubungan antar umat beragama yang harmonis.
Pemahaman parsial atas agama juga telah melukir peran agama dari membela kaum lemah menjadi elitis, agama telah menjadi alat dan justifikasi bagi pihak pihak tertentu untuk bertindak kejam pada sejumlah komunitas masyarakat yang lain, ditangan mereka, agama telah dikurung dalam ruang teologis yang kering dan hampa, akibatnya agama diposisikan berdiri di pentas megah,kosmopolit, toesentris, menjadi fetishisme dan kurang  menyentuh  realitas antrophosentris. Untuk menyudahi ini semua, para da’i perlu mendekatkan agama pada sengketa sosial. Ibadah agama tidak sekedar sholat, tetapi juga perlu melakukan ibadah advokasi, pembelaan serta ibadah melawan ketidak adilan. Tuhan rasanya setuju jika agama tidak diparkir hanya untuk memuji-mujiNya, tetapi juga bertindak untuk membela umatnya yang lemah. 
Diantara karakteristik  Islam yang menonjol, selain ilahiyah dan insaniyah, adalah syumuliyah dan washotiyah[15]. Karakteristik tersebut menegaskan bahwa Islam adalah ajaran tunduk patuh kepada Allah swt yang aturan-aturannya didesain dengan memperhatikan  basic need   fitrah manusia.  Itulah sebabnya Allah menyebut Islam sebagai agama fitroh[16].  Pun demikian, disebut universal, karena Islam sebagai sikap tunduk patuh kepada Allah dan sikap harmoni terhadap makrokosmik merupakan pola wujud (mode of existence) dari seluruh alam semesta, sehingga siapapun yang menempuh jalan hidup selain sikap tunduk patuh kepada penciptanya atau hidup yang tidak harmonis dengan makhluk yang lain oleh Islam dianggap sebagai pihak yang nyata-nyata menentang hukum universal yang menguasai seluruh alam semesta.  
Namun karena Islam juga bersifat moderat, maka manusia diberi kebebasan untuk menerima atau menolak petunjuk agama, yang diinginkan Islam adalah ketulusan dan bukan keterpaksaan dalam beragama. Disinilah dapat dimengerti mengapa Islam tidak membenarkan pemaksaan agama dalam segala bentuknya, termasuk pemaksaan dalam pemahaman ajaran agama. Dengan demikian, manhaj apapun yang berkembang dari kreatifitas manusia dalam memahami agamanya  adalah  sah karena merupakan sunnatulloh.  Masalahnya menjadi lain, tatkala masing-masing manhaj itu  secara  ex cathedra menganggap bahwa hanya dirinya yang paling benar dan orang lain dianggap salah.  Al-Qur’an menggambarkan ”orang-orang yang memecah belah agamanya menjadi bergolong-golongan adalah termasuk kategori musyrik”. Yang dimaksud memecah belah agama dalam konteks ini bukan tumbuhnya berbagai manhaj fikr dalam Islam, melainkan permutlakan fahamnya sendiri sebagai yang paling benar sehingga yang lain dianggap sesat dan harus dibasmi, dari sini lalu timbul iftiraq (perpecahan) [17].
Setiap model pemahaman tentang sesuatu hakikinya bersifat relatif yang didalamnya mengandung probabilitas benar disamping probabilitas salah, ditegaskan dalam Qs 49 : 11 “Janganlah satu golongan merendahkan yang lain karena bisa jadi yang direndahkan itu justru lebih baik dari yang merendahkan”. Karena itu mesti ada kesediaan dengan kesadaran penuh untuk menerima kelompok  lain yang berbeda sebagai sebuah realitas dan kemestian. Dalam Qs. 5 : 48 ditegaskan “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu ummat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberiannya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan “  Pada ayat lain disebutkan Dan masing-masing akan memperoleh derajat yang sesuai dengan amalnya”.
Spektrum diatas menegaskan bahwa semangat Islam adalah semangat perdamaian dan harmoni peradaban, ia tampil dengan sejumlah prinsip jalan tengah seperti tawasuth, tawazun, tatsamuh, i’tidal dan iqtisod sebagai jalan untuk mengakomodir berbagai keenekaragaman yang ada, dengan sejumlah prinsip tersebut sesungguhnya tidak dapat dibantah bahwa Islam secara sistematis dan metodologis telah mengembangkan dengan sungguh-sungguh sebuah cara beragama  yang “al hanifiyyah al samhah” yaitu cara beragama yang inklusif, responsif, dialektif (kalimah sawa’), lapang, terbuka dan toleran terhadap yang lain. Ini jelas kesadaran pluralistik yang berarti kesediaan dan kesadaran penuh untuk menerima orang atau kelompok  lain sebagai suatu keniscayaan[18].
Hal ini penting, mengingat keanekaragaman yang ada hanyalah keanekaragaman “jalan”, sedangkan yang dituju hanyalah satu dan sama yakni : keridhaan Allah swt  semata. Kemajemukan fenomena alam semesta sejatinya merupakan tajalli atau penampakan asma-asma dan sifat-sifat Allah yang amat indah. Imam Syafi’i menyebutkan “semua relitas kehidupan adalah syarah bagi  As Sunnah, sedangkan semua As Sunnah merupakan syarah bagi Al-Qur’an, dan semua isi Al-Qur’an adalah syarah bagi asmaul husna dan sifat sifat luhurnya, sedangkan semua asmaul husna merupakan syarah bagi al ism al a’dzam Allah rabbul alamin”.

Dakwah Islam untuk harmoni peradaban
Sebagai agama rahmah bagi sekalian alam yang bertekad mewujudkan harmoni peradaban, fokus dakwah Islam adalah mentransfigurasikan pesan dan nilai-nilai orisinil Islam kedalam realitas sosial agar terwujud konstruk komonitas yang marhamah dan saling menentramkan.  Tugas ini mendesak, mengingat  saat ini  tantangan keagamaan bukan lagi muncul dari semacam “Beuty contest” dari doktrin-dokrin dogmatis normatifnya, yang lebih diperlukan adalah respon kemanusiaan yang relevan dengan berbagai tantangan yang ada, maka, survival Islam yang paling fundamental adalah terletak pada kemampuannya menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan global. Oleh karena itu sudah saatnya para juru dakwah  mencurahkan segenap potensinya untuk merumuskan  hal-hal yang merupakan keprihatinan kemanusiaan universal seperti kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. 
Dalam konteks ini dibutuhkan keterbukaan kepada yang lain (an openees towards the other) khususnya dalam mengambil hikmah, ditegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah “Khudzil hikmah wa la yadhurruka min ayyi wia-in kharajat.(Ambillah hikmah dan jangan kamu risaukan dari mana hikmah itu keluar). Anjuran inilah yang menyebabkan umat Islam terdahulu tidak ragu menghirup ilmu dari Yunani, Cina, Persia dan India.  Syarat terwujudnya harmoni peradaban adalah persatuan dalam keragaman. Said Ramadhan al-Buthi dalam Fiqh al-Siroh nya menjelaskan bahwa tidak ada satu agamapun  yang bangkit dan maju tanpa berasaskan kesatuan umat dan saling bekerjasama.  Selanjutnya, kata dia,  kebersamaan dan kesatuan itu tidak dapat dicapai kecuali dimulai oleh dorongan kecintaan antar sesama[19],
Dengan semangat  itu misi  harmoni peradaban akan diraih, dimana semua agama bisa bertemu, mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama dengan mengkaji apa yang bisa kita sumbangkan bagi kemanusiaan dan peradaban. Wacana dakwah dan harmoni peradaban berpusat pada kasih sayang kepada sesama manusia sehingga menjadi rahmat bagi sekalian alam. Disini kesalehan diukur dari kadar cinta seseorang kepada sesama. Setiap pemeluk agama bisa memberikan makna dalam kehidupannya dengan berkhidmat pada kemanusiaan. Dalam hadits qudsi Allah swt berfirman : Sayangilah mereka yang di bumi, niscaya kalian akan disayangi oleh yang dilangit dan barang siapa tidak menyayangi manusia maka dia tidak akan disayangi Allah.
Ironisnya, kadang kita hanya dekat dengan orang yang sepaham dengan kita, dan seringkali menghindari orang yang tidak sepaham dengan kita, padahal dari  orang yang tidak sepaham itulah kita akan mengenal sudut pandang yang baru.  Tuhan maha adil sehingga pasti memberi pahala bagi siapa pun yang berbuat baik, apa pun agamanya. Hukuman diberikan kepada yang berbuat jahat, apa pun agamanya. Apakah menolong orang menjadi amal saleh karena pelakunya muslim, dan menjadi amal salah karena pelakunya orang bukan Islam?
Pada sebagian juru dakwah, masih dijumpai fenomena tindakan yang didasarkan pada kondisi jiwa seperti diatas. Salah satu penyebabnya adalah pengaruh pikiran populer, yakni pikiran yang memang hampir semua orang menerimanya sebagai suatu kebenaran, ini yang oleh psikolog disebut Group Think atau pikiran kelompok.  Ini pulalah yang menyebabkan para juru dakwah merasa tidak perlu lagi melihat dan belajar dari orang lain, lalu hilanglah daya kritis dan semangat perubahan. Bahayanya, perasaan yang kuat untuk mempertahankah pentingnya konsensus tidak saja mengabaikan kelemahan-kelemahan yang ada pada diri mereka, tetapi lebih jauh mereka selalu berupaya mencegah munculnya pikiran baru yang kritis. Siapapaun yang berani keluar dari konsensus, dianggap sesat, menyimpang bahkan dianggap membahayakan sehingga perlu diupayakan penyingkirannya.
Dari kecenderungan ini,  mereka mengkotakkan dirinya secara ketat dalam kelompok tertentu,  mengurung dirinya dalam aliran tertentu, serta memborgol atau memenjara fikirannya dalam faham tertentu. Dari sini muncul istilah atau klaim : minna-minhum, Ana khairan minhu, khuwi japemethe, iku bocahe dhewe dan sejenisnya. Kecenderungan seperti inilah yang oleh Yusuf Qordhowi disebut ”Al-Islamu mahjubun bil-muslimin”. Cahaya Islam ditutupi dan digelapkan oleh orang Islam sendiri[20]. Bukankah telah cukup menjadi pelajaran bagi kita bahwa salah satu penyebab masa kegelapan Islam adalah terperosoknya umat Islam pada kotak-kotak sektarian yang sempit. Pikiran kritis dibungkam, paham baru dianggap bid’ah, perbedaan paham dianggap tabu, paham yang berbeda dari maenstrem dianggap berbahaya dan sesat.
Menurut Din Syamsuddin[21].  hal yang perlu mendapat perhatian dari  juru  adalah kecen­derungan absolutistik yaitu kecenderungan untuk memutlakkan keyakinan keagamaannya sebagai kebenaran tunggal. Akibatnya muncul rejeksionis yaitu penolakan terhadap kebenaran agama lain  yang dianggap berbeda dari dan berlawanan. Akar konflik keagamaan yang terjadi selama ini  karena para juru dakwah mengambil sikap untuk memandang agama dari sudut pandangnya sendiri.  Sehingga yang lebih mencuat ke permukaan bukannya esensi kebenaran yang hendak ditawarkan oleh agama, melainkan semangat untuk menegasikan yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa dakwah Islam masih dijalankan dengan cara menafikan hak hidup agama yang lainnya . Semangat dakwah keagamaan yang sempit ini, sudah barang tentu berlawanan secara fundamental dengan semangat dan jiwa  dakwah Islam.
Para da’i semestinya memahami bahwa seluruh manusia berasal dari dari Tuhan yang esa, dengan demikian seluruh manusia adalah ber­saudara karena sama-sama makhluk Tuhan. Pandangan ini membawa pada ke­simpulan bahwa seluruh jagad raya (universe) termasuk di dalamnya seluruh umat manusia apapun bangsa dan bahasanya adalah merupa­kan makhluk Tuhan juga, meskipun agama dan keyakinannya ber­beda. Dan semua agama mempunyai satu tujuan yaitu keselamatan, dengan konsep dan jalan berbeda-beda. Lewat perbedaan ini, agama-agama bisa memperkaya satu sama lain.  Melalui pemahaman mendalam terhadap nilai-nilai etik yang fundamental ini dapat menjadi entri point untuk mencari titik temu ( kalimat sawâ)
Saat ini dakwah agama yang apologetik, reaktif dan tidak afirmatif terhadap umat beragama akan menjadi bumerang bagi pemeluk agama yang bersangkutan. Kekhawatiran dan kemasygulan beberapa kalangan bahwa penghormatan terhadap keberagaman  akan mendegradasi keimanan dan tidak sesuai dengan tuntutan fundamental dalam Islam, adalah kekhawatiran yang berlebihan. Karena dalam konteks ini, masyarakat sasaran dakwah tidak diajarkan untuk menihilkan atau merelatifkan semua nilai, melainkan tetap meyakini kebenaran yang dianutnya sembari tidak menutup kemungkinan adanya kebenaran lain di luar dirinya. Karena itu jangan saling membenci, ini  ditegaskan oleh Nabi kita “Janganlah kalian saling membenci, saling dengki dan saling menyindir, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara, (Hr Bukhori Muslim)

Catatan Penutup.
Jalan menuju kebenaran tidaklah tunggal, dan setiap jalan memiliki standar kebenaran sendiri-sendiri, oleh karena itu boleh saja seseorang menganggap jalan yang ditempuhnya adalah jalan yang benar tetapi jangan serta merta menganggap jalan orang lain salah. Karena itu, perbedaan tidak serta merta menjadi alasan untuk berpecah belah. Justru dengan perbedaan, akan muncul ketegangan kreatif  yang akan memotivasi kita untuk berlomba-lomba menuju berbagai kebaikan[22]. Maka jangan melihat orang lain dari manhaj, mazhab atau agama yang mereka anut melainkan dari akhlak dan amal mereka, dari kontribusi mereka bagi kemanusiaan. Dalam sebuah hadits Rasul saw bersabda “Yang paling baik diantara kamu ialah yang paling bermanfaat bagi sesamanya.
Kesadaran semacam ini akan menghantarkan manusia pada kedewasaan sikap yang dengan lapang dada menerima keanekaragaman sebagai sunnatullah, terbuka kepada yang lain (an openees towards the other) yang pada gilirannya selain memberi arahan untuk membangun suatu sikap, etos dan  pandangan dunia yang egaliter  guna membentuk horizon kehidupan yang dilandaskan atas prinsip saling menghargai keberadaan yang lain, juga akan menjadi tumpuan manusia akan harapan keselamatan hakiki dan harmoni peradaban.  Dengan kesadaran diatas manusia akan termotivasi untuk saling memberi, setelah sebelumnya saling bersaing, saling menuntut, saling mengambil dan saling mengalahkan. Al-hasil, hanya dengan itu  masyarakat marhamah dapat terwujud, hanya dengan masyarakat marhamah, persaudaraan sejati dapat terbentuk, dan hanya dengan persaudaraan sejati, harmoni peradaban yang menentramkan dapat diraih #.




         [1]  Yusuf Qordawi, Pengantar kajian Islam (Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1995), 9             
         [2] Tentang  al-fitrah al-ghaiziyah, juga ditegaskan dalam Qs.30 ayat 30 ditegaskan “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang  telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Periksa juga Qs.Ali Imran : 83-85

            
       [3] Mohammad Ali Mansur. Dakwah Islam dalam masyarakat transformatif  (Bandung, Topika Press, 2007), 48
          [4]Abdul  Wasi’, Tarikhul  Islam  (Kairo, Darr Al-Sya’bie, 1992), 162.
          [5]Afifuddin’, Dakwah berwawasan kasih sayang  (Jogjakarta: Rihlah Group, 2012), 45.
          [6]Abd Rahman Asegaf . Dakwah tanpa kekerasan, (Jogjakarta, Tiara wacana, 2007), 56. Bandingkan pula dengan Tim Kemenag RI. Panduan Integrasi Nilai Multikultur dalam Pendidikan Agama Islam (Jakarta, PT Kirana Cakra Buana bekerjasama dengan Kementerian Agama RI, Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII), TIFA Foundation dan Yayasan Rahima, 2012), 18
[7] Abdullah Sidek Baba, Islam dan Harmoni Kemanusiaan. (Slangor, Gemilang Press, 2012), 16
        [8]Abdul  Wasi’, Tarikhul  Islam  (Kairo, Darr Al-Sya’bie, 1992), 165.
        [9]Musa Al-Kdzim. Masyarakat Madani : Cross Culture Understanding untuk demokrasi dan keadilan (Jogjakarta, Pilar Media, 2009), 19
       [10]Ahmad Rauheli. Berdakwah pada masyarakat plural (Jakarta, Gramedia, 2006), 28
        [11]Prof.Dr. H.Muhaimin,MA dalam pengantar buku Pluralisme dan Multikulturalisme, Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia (Jakarta, Rineka Cipta, 2011), xiv
        [12]Tentang hal ini secara rinci tertuang dalam Hefni Zain, Islam dan Wacana Kontemporer : Refleksi terhadab berbagai masalah sosial keagamaan (Jember, STAIN Press, 2013), 17 - 20
[13] Abdullah Sidek Baba, Islam dan Harmoni Kemanusiaan. (Slangor, Gemilang Press, 2012), 21
[14] Periksa Al-Qur’an, Surah  34 : 28, Qs,21 : 107 dan Qs.7 : 158.
[15] Yusuf Qordawi, Pengantar kajian Islam (Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1995) hal.12
            16 Dalam QS.30 ayat 30 ditegaskan “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang  telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Periksa juga Qs.Ali Imran : 83-85

[17] Nur Kholis Madjid. Islam dan Doktrin Peradaban (Jakarta, Paramadina, 2004), 66
            18  Machasin, Islam dinamis, Islam harmonis : Lokalitas pluralisme (Jogjakarta, LkIS, 2012), 21

                [19] Said Ramadhan al-Buthi, Fiqih Siroh  (Bairut, Darr al-ilm, 2007), 130
         [20]  Yusuf Qordawi, Pengantar kajian Islam (Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1995), 21             
         [21]  Din Syamsudin,  dinamika dakwah Islam  Dalam Husien Musawa, Manajemen dakwah Modern (Jakarta, Cahaya Press, 2005), 11             
[22] Dalam Qs. 5 : 48 ditegaskan Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu ummat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberiannya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar