Selasa, 11 April 2017

POLITIK AYAT
Hefni Zain*

Setelah “politik uang” menjadi kategori baru dalam kamus politik kontemporer, kita mulai heboh dengan “politik ayat”. “Ayat” adalah serapan Arab yang berarti tanda atau simbol. Dalam al-Quran kata “ayat” digunakan untuk aneka arti dan konteks. Secara kebahasaan, “ayat” terbagi dua; 1) ayat qauliyah, yaitu tanda-tanda verbal; 2) ayat kauniyah, yaitu tanda-tanda kosmik berupa entitas-entitas dan kejadian-kejadian alam.
Disebut “ayat suci” karena tidak sembarang mulut dan tangan bisa menafsirkan dan mengutipnya. Penambahan “suci” demi membedakannya dari butir-butir undang-undang, surat kontrak dan sebagainya. Disebut “Kalam Tuhan” karena setiap kata yang tertera di dalamnya adalah wahyu. Disebut wahyu karena kebenarannya mutlak. Penafsiran dan persepsi setiap umat tetaplah relatif. Namun itu tidak berarti setiap orang berhak menafsirkannya lalu menerapkannya begitu saja.
Satu hal penting yang perlu diketahui, siapapun, bahkan selain Muslim boleh mengutip teks terjemahan resmi/benar ayat suci al-Quran, tapi tak boleh menafsirkannya apalagi menjadikan bahan justifikasi sikap yang belum dipastikan benar. Muslim yg tak kompeten pun demikian. Untuk menafsirkannya, diperlukan sejumlah ilmu supaya aplikatif, relevan dan selaras dengan akal sehat. Begitu sakral kitab ini hinggaannya. Para ulama sejati alias agamawan dengan kualifikasi intelektual dan spiritual prima tidak gampang mengutip ayat al-Quran karena menghormatinya dengan kerendahan hati dan menyadari keterbatasan pemahamannya.
Seperti biasa menjelang pemilu, pilpres, pilgub dan pilkada, selain politik uang, politik ayat juga marak. Sentimen sektarian dan kampanye hitam bermuara SARA selalu mewarnai kompetisi politik. Sayangnya, yang menentang calon tak seagama menghamburkan ayat, riwayat dan hikayat. Yang mendukungnya juga tak kalah gencar menggelar ayat, hadis dan mengutip sahabat terpandai Nabi. Masing-masing mengobral teologi kekuasaan dengan sampul konsistensi atau dengan dalih toleransi. Inilah politik ayat.
Menolak pemimpin yg kebetulan non Muslim tak berarti menolak ke-nonmusliman-nya. Mendukung calon yang kebetulan beragama Islam tak niscaya intoleran dan anti non Muslim. Sebagian orang yang indepeden dalam sikap politik dan toleran tidak merisaukan agama calon pemimpin, namun yang mereka persoalkan adalah kebijakan yang dianggap tidak manusiawi atau alasan-alasan logis lainnya.
Untuk dapat memahami makna lahir Quran diperlukan intelektualitas prima dan untuk menangkap batinnya perlu spiritualitas maksimal supaya tafsirnya komprehensif. Saat masyarakat awam dibodohi dengan opini bahwa pilgub adalah pertarungan agama, maka yang menjadi korban adalah agama, ayat suci dan rakyat yang lugu. Siapapun, yang memperalat ayat suci yang sengaja diarahkan tafsirnya demi mengambil kekuasaan atsu melucutinya, dan pihak meresponnya secara emosional, karena dideskreditkan, bisa dianggap mempermainkannya. Saat itu yang terjadi adalah kompetisi jorok dan perkelahian bebas dengan pembunuhan karakter, pemelintiran, intimidasi dan semua kreasi kenistaan.
Al-Quran bagi yang mengerti maknanya adalah ilmu dan hikmah, dan bagi yang tidak mengerti maknanya adalah sumber inspirasi, ketenangan dan berkah. Disebut Quran karena bisa dibaca. Disebut Kitab karena bisa ditulis. Disebut Dzikr karena bisa diingat. Disebut Furqan karena jadi pembeda kebenaran dan kepalsuan. Al-Quran adalah petunjuk bagi semua manusia (هدى للناس) sebagai aturan yang ditafsirkan, dan pedoman bagi yang bertaqwa (هدى للمتقين) sebagai penafsir.
Al-Quran bukan buku yang bisa ditafsirkan setiap orang. Untuk menafsirkannya, diperlukan sejumlah ilmu supaya aplikatif, relevan dan selaras dengan akal sehat. Ilmu-ilmu yang diperlukan sebagai bekal menggali isi al-Quran disebut ulumul-Quran yang menghimpun sekitar 10 ilmu dan sejumlah ilmu penunjang lainnya. Ilmu-ilmu Al-Quran meliputi tafsir, takwil asbabunnuzul, qiraat dan tajwid, filologi, morfologi, sejarah pencatatan Quran & rasm, khath, gramatika dan lain sebagainya. Begitu sakral kitab ini hingga mengomentari/menafsirkannya tanpa kompetensi dan kehati-hatian bisa dianggap menodainya dan berdusta atas nama Tuhan.
Al-Quran mempunyai 2 dimensi; eksotetik (lahir) yang harus dipahami secara rasional, dan esoterik (batin) yang mesti dieksplorasi secara intuitif.
Sayangnya, tidak sedikit orang yang tidak mematuhi asas kompetensi menafsirkan al-Quran secara literal dengan bekal ala kadarnya hingga membonsainya dengan penafsiran yang justru mereduksi isinya dan menampilkannya seolah karya manusia. Untuk dapat memahami makna lahir Quran diperlukan intelektualitas prima dan untuk menangkap batinnya perlu spiritualitas maksimal supaya tafsirnya komprehensif.
Agamawan dengan kewaraan intelektual tidak gampang mengutip ayat al-Quran karena menghormatinya dengan kerendahan hati dan mnyadari keterbatasan pemahamannya. Karena Quran ditafsirkan dan dijelaskan secara literal, ia kadang terkesan tidak up to date dan tidak aplikatif, muslim modern lebih menyimak motivator ketimbang ulama. Bahkan karena mindset skripturalisme yang menjangkiti orang orang ekstremis, ayat suci yang dikutip serampangan bisa dijadikan justifikasi pengkafiran dan agresi.
Sejarah melaporkan bahwa al-Quran sering dimanipulasi dan dieksploitasi demi kepentingan status quo dan hasrat sektarianisme dan tribalisme. Khawarij dan para penguasa gemar menjadikan Quran sebagai alat represi. Kini banyak modus radikalisasi berkedok program agama dan aktivitas keagamaan dengan dukungan dana berlimpah dari kekuasaan asing yang secara faktual terbukti menjadi penyebar radikalisme dan ekstremisme melalui paham keagamaan yang kaku, intoleran dan mengagungkan kekerasan berbungkus salaf.

Umat Islam terutama di Tanah Air sedang mengalami fase krusial karena menjadi target radikalisasi. Indikasi-indikasinya kian tampak. Propaganda pengkafiran, penyesatan, pensyirikan, pembid’ahan dan segala ujaran kebencian disebarkan melalui media sosial dan situs-situs yang secara terang-terangan menyebarkan doktrin yang hanya mengakui hak hidup orang orang yang sekeyakinan.

Senin, 07 Maret 2016

ULAMA PEREMPUAN

Dr. H. Hefni Zain, S.Ag, MM

Di pentas sejarah, keberadaan kaum perempuan dalam mengambil peran intelektual diantara kaum laki-laki adalah benar-benar nyata adanya, keterlibatan mereka dalam khazanah intelektual Islam, terutama dalam bidang hadits, fiqh dan tasawuf adalah fakta yang tak terbantahkan. Mereka telah berjasa besar dan memainkan peran penting dalam pengembangan keilmuan Islam. Tidak itu saja, dalam konteks sosialpun, ulama perempuan sebagaimana juga ulama pria telah ikut berkontribusi yang tidak sedikit dalam proses pemberdayaan masyarakat terutama dari problem kebodohan dan keterbelakangan.
            Ketika Nabi saw masih hidup, perempuan dan laki-laki berjalan setara. Kaum perempuan biasa keluar masuk rumah dan masjid untuk mendapatkan pendidikan dari Nabi saw sebagaimana halnya laki-laki. Hasilnya bermunculan ulama-ulama perempuan, seperti Siti Aisyah ra yang tidak kalah hebatnya dibanding ulama laki-laki. Pernah suatu saat beberapa sahabat Muslimah menemui Nabi saw, mereka “memprotes” banyaknya kesempatan akses bagi Muslim laki-laki untuk bisa beribadah dan berprestasi. Mendapat pertanyaan seperti itu, Allah swt menurunkan wahyunya kepada Nabi saw sebagaimana tertuang dalam surat al-Ahzab ayat 35 yang mensejajarkan peluang dan akses antara kaum perempuan dan laki-laki.
            Tidak berhenti disitu, saat Nabi saw melaksanakan haji wada’ pada tahun ke-9 H, dengan tegas beliau mengumandangkan pesan-pesan kesetaraanya. Beliau bersabda “Wahai manusia sesungguhnya perempuan memiliki hak terhadap laki-laki dan juga laki-laki memiliki hak yang sama dengan perempuan, Sesungguhnya perempuan itu adalah kawan bagi kaum laki-laki, sekali-kali tidaklah kaum laki-laki memiliki hak sedikitpun terhadap kaum perempuan, (kecuali) jika kalian meminta mereka dengan amanah Allah (nikah). Setelah berpesan seperti itu, Nabi saw kemudian melanjutkan pesannya bahwa kaum Muslim Laki-laki dan Perempuan adalah bersaudara, dan Nabi secara tegas menyatakan bahwa sesungguhnya umat manusia dihadapan Allah swt adalah sama, yang membedakan hanyalah kadar ketaqwaannya.
            Bahkan dalam sebuah riwayat ditegaskan : wanita itu adalah tiang negara, apabila wanitanya baik maka baik pula negara itu, dan bila wanitanya rusak, maka rusak pula negara itu. Dari riwayat ini jelas tergambar bahwa kaum perempuan menempati posisi sentral dalam kehidupan. Eksistensi dan perannya diklaim dapat menentukan baik dan buruknya sebuah negara. Karena itu pantas jika konvensi PBB tahun 1979 menegaskan pentingnya persamaan hak bagi laki-laki dan perempuan dengan cara menghilangkan diskrimininasi terhadap kaum perempuan disemua bidang kehidupan demi tercapainya kesejahteraan negara dan perdamaian dunia, yang kemudian diratifikasi oleh pemerintah Indonesia menjadi undang- undang  nomor 7 tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Dengan demikian sesungguhnya urgensi perempuan dalam proses pembangunan tidak saja mendapat legitimasi lokal, tapi juga regional dan internasional. Hal tersebut dapat dilihat pada sidang umum PBB tahun 1979 yang mengeluarkan resolusi tentang pentingnya partisipasi perempuan dalam pembangunan internasional, ini juga tercermin dalam strategi pembangunan internasional PBB baik yang pertama tahun 1961-1970, kedua  tahun 1971-1980 maupun yang  ketiga tahun 1981-1990 .
            Mengingat posisi dan peranan perempuan sangat sentral dalam kehidupan, maka semua pihak musti memberikan space yang lebih luas bagi mereka. Pemberdayaan perempuan, pertama-tama harus dimulai dari paradigma yang memandang perempuan sebagai pribadi mandiri dan sumber insani yang mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk mengembangkan potensinya melalui partisipasi aktif disemua bidang pembangunan mulai dari tingkat pelaksana sampai tingkat pengambilan keputusan. Paradigma ini memuat beberapa esensi, pertama kaum perempuan mempunyai hak, kewajiban  dan kesempatan yang sama dengan laki-laki disemua bidang kehidupan. Kedua, pengakuan terhadap  kodrat dan harkat kaum perempuan yang perlu dijunjung tinggi. Ketiga, perlunya peningkatan kualitas kompetensi kaum perempuan, Dan Keempat, perlunya pengembangan iklim sosial budaya yang menopang kemajuan kaum perempuan.
Namun begitu, kendati dentum kesetaraan telah diledakkan, tetapi keadilan peran bagi kaum perempuan belum sepenuhnya terwujud. Banyak perempuan mengalami peran ganda dalam wilayah domestik dan publik. Banyak pula perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, seperti cerai, perselingkuhan, dan pemukulan. Sekali lagi, kesetaraan gender belum terjadi. Hal ini dapat ditelusuri dari : (1) angka partisipasi perempuan dalam ranah publik masih sangat minim terutama bila dibandingkan dengan populasi mereka. (2) Terjadinya marginalisasi kaum perempuan dari sumber-sumber informasi.(3)Terjadinya sub ordinasi yakni menempatkan kaum perempuan sebagai second choice. (4) Terjadinya Streotyping Burden yaitu pembelaan terhadap perempuan hanya menyangkut soal-soal domistik, dan (5) Terjadinya veolence dalam berbagai bentuknya.
Bahkan kendati secara dejure telah terdapat pengakuan akan vitalnya kedudukan kaum perempuan, namun secara  defacto, perempuan masih diposisikan minor dan dipandang nigatif oleh struktur budaya, politik dan peradaban. Mereka didefinisikan sebagai mahluk lemah baik secara fisik maupun fsikis, citra tersebut kemudian diwariskan secara turun-temurun kepada setiap generasi. Dari proses budaya historis yang demikian, kemudian masyarakat memberikan lebel dan perlakuan yang khusus bagi perempuan yang pada umumnya merugikan kaum perempuan, stigma dan pencitraan perempuan dengan bebagai aspek negatifnya tersebut akhirnya menghegemoni di masyarakat sejalan dengan langgam sejarah manusia karena terus diperkokoh melalui tafsir budaya, kuasa dan agama.
Tak terkecuali dalam diskursus keislaman, kaum perempuan masih ditempatkan sebagai second class, sehingga acapkali termarjinalkan, terutama untuk memegang posisi sebagai penafsir agama. Hal ini pada gilirannya berimplikasi pada pengakuan publik terhadap ketokohan mereka menjadi setengah hati. Padahal secara empirik ditengah komunitas masyarakat terdapat sejumlah perempuan yang dikenal keilmuan, ketokohan dan pengabdiannya serta diakui luas oleh publik akan kontribusinya bagi pembangunan masyarakat, baik yang dilakukan secara individu sebagai pendidik, penyuluh dan da’iyah maupun melalui berbagai aktivitas organisasi sosial keagamaan.
            Atas dasar itulah, beberapa pihak memandang perlu kesepakatan sosial baru untuk menegaskan kembali  konstruk kedudukan perempuan ditengah dunia laki-laki, posisi ruang gerak dan hak-hak kaum perempuan,  tugas dan tanggung jawab perempuan dalam kajian dan gerakan keislaman serta  peranan perempuan dalam pembangunan. Pemberdayaan perempuan setidaknya bertolak dari dua prinsip dasar, yakni : Pertama, bahwa kaum perempuan perlu diterima dan dihargai sebagai sesama manusia yang mempunyai potensi untuk berkembang, Kedua, Stigma bahwa perempuan adalah mahluk lemah, emosional, tidak kompeten, tidak mandiri dan nigatif lainnya sesungguhnya hanyalah konstruk budaya yang tidak adil dan perlu dimbangi oleh gambaran tentang perempuan yang cerdas, mandiri, sukses dan ciri lain yang positif.

JIHAD YANG DISALAH FAHAMI

Dr. H. Hefni Zain, S.Ag, MM

Seiring dengan perkembangan geopolitik internasional, isu dan wacana tentang jihad kembali actual. Saat ini tema jihad selain menjadi mahluk sexy yang dibincang di berbagai media, juga paling sering disalah fahami, diatas namakan atau bahkan ditunggangi demi interes tertentu. Oleh karenanya, agar tidak terjadi distorsi terhadap makna jihad, maka penting difahami secara benar apa itu jihad? siapa yang mesti melakukannya? bagaimana caranya?, kapan dilaksanakan? dimana dilaksanakan dan mengapa harus dilaksanakan?
Secara sederhana, jihad diartikan sebagai mencurahkan segenap kemampuan untuk mendapatkan kebaikan dan menolak keburukan, yang dengannya agama dan kemanusiaan dapat terpelihara. Dengan bahasa lain, jihad adalah segala usaha keras yang mengandung perlawanan terhadap semua musuh agama dan kemanusiaan seperti kebathilan, kesewenang-wenangan, agresi, penjajahan, penindasan dan semacamnya. Dalam al-Qur’an kata jihad disebut 35 kali yang tersebar di 15 surat. Tiga diantaranya merupakan ayat makkiyah dan selebihnya adalah ayat madaniyah. Dari ayat-ayat jihad diatas yang menggunakan lafazd qital adalah ayat yang turun di Madinah, sedangkan yang turun di Mekkah sama sekali tidak menggunakan lafadz qital, hal ini menegaskan bahwa jihad dalam arti perang baru diidzinkan di Madinah untuk membela diri.
Pada Qs. Al-hajj : 39-40 disebutkan “Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan sesungguhnya Allah, benar-benar maha kuasa menolong mereka itu,  (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dari sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar maha kuat lagi maha perkasa”.
Dari sini jelas bahwa jihad tidak selalu berarti perang, sebab jihad telah diserukan Allah dan dilaksanakan oleh Rasululloh bersama kaum muslimin sejak periode Mekkah, sedangkan peperangan baru diidzinkan bagi kaum muslimin pada periode Madinah pada tahun ke dua setelah hijrah. Pun demikian, jihad dalam arti qital hanya dibolehkan untuk membela diri karena diperangi dan dianiaya dan sama sekali bukan untuk agresi atau pemaksaan sistem nilai karena superioritas atau kekuasaan, itupun masih ada kode etik yang harus dita’ati secara ketat sebagaimana disebutkan dalam Qs. Al-Baqarah : 190 “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”
Islam sebagaimana watak dasarnya lebih mencintai perdamaian, yang oleh al-Qur’an disebut “was shulhu khoir” (damai itu lebih baik), akan tetapi ketika lawan tidak mau hidup berdampingan secara terhormat dan malah menginjak kemerdekaan dan harga diri kelompok lain yang gilirannya mengancam kedamaian masa depan kemanusiaan secara global, maka tentu saja panggilan jihad terpaksa berlaku sebagai respon logis atas terjadinya bentuk kermungkaran. Ditegaskan dalam Qs.Al-Baqarah:251 “Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia atas sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini,  tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam”
Propaganda yang dilontarkan musuh-musuh Islam tentang jihad adalah : bagaimana mungkin Islam menyatakan diri sebagai agama rahmatal lil ‘alamin kalau didalamnya masih mewajibkan jihad? Bukankah paradoks bila disatu sisi menginginkan perdamaian tetapi disisi lain mewajibkan peperangan? bukankah peperangan selalu bertentangan dengan tujuan perdamaian? Proganda ini muncul akibat mereka gagal memahami jihad dalam arti yang sebenarnya. Padahal jihad tidak identik dengan qital (perang), perang hanyalah salah satu instrument kecil dari universalitas jihad, itupun dimaksudkan untuk sebuah pembelaan karena diperangi, dianiaya dan dirampas hak-haknya. Itu semua kalau tidak segera direspon akan terjadi kerusakan di muka bumi dan mengancam nilai-nilai kemanusiaan.
Perdamaian adalah hidup berdampingan secara terhormat, sementara penyerahan terhadap kedzoliman, ketidak adilan dan penindasan adalah kenistaan, oleh karena itu tidak sama antara peperangan dengan maksud menjajah dengan peperangan melawan penjajah. Berbeda jauh antara peperangan untuk imprealis dan kolonialis dengan peperangan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri.
Islam adalah gerakan revolusioner berskala global yang bertujuan membawa manusia kearah yang ideal, dan untuk mewujudkan gasasan ideal tersebut, diatas pundak setiap muslim terpikul kewajiban jihad sebagai bakti universal kepada agama dan kemanusian. Gerakan tersebut dimaksudkan memunculkan sebuah masyarakat yang mempunyai persamaan mutlak dan tidak mentolelir setiap pembagian kelas secara diskriminatif. Disamping itu jihad dalam Islam berorientasi kepada sebuah sosialisasi dan internalisasi amar ma’ruf nahi munkar yang dalam Islam merupakan kewajiban agama bukanlah sesuatu yang pasif, melainkan harus bersikap aktif dan mengandung upaya keras demi terwujudmnya kebaikan umat manusia di muka bumi ini.
Dengan demikian sangat jelas bahwa dalam Islam jihad dimaksudkan menentang segala bentuk kemungkaran, yang dengan itu perdamaian dan kebajikan umat manusia dapat ditegakkan secara baik, Rasululloh saw bersabda : Senantiasa ada segolongan umatku yang tegak membela kebenaran hingga datang kepada mereka keputusan Allah dan mereka menang. Maka orientasi utama jihad adalah agar manusia hanya mengabdi kepada Allah semata dan membebaskan manusia dari segala tindakan yang melampaui batas, serta menghilangkan  segala tindak kerusakan dan keonaran di muka bumi, ditegaskan dalam Qs al-baqarah : 193 “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu Hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
Walhasil, jihad sama sekali tidak paradoks dengan perdamaian, bahkan sebaliknya jihad dimaksudkan untuk menumpas perusak-perusak perdamaian  seperti para tiran, taghut, kezhaliman, penindasan dan kemungkaran-kemungkaran lainnya. Dalam pelaksanaannya, damai harus didahulukan, akan tetapi jika mereka mengingkari, maka tidak ada jalan lain kecuali perlawanan. Yang terpenting jihad dilakukan semata-mata demi tujuan kemanusiaan dan demi menegakkan kalimah Allah, bukan karena alasan-alasan subjektif, dan itu harus dimulai dari dalam dirinya sendiri, oleh karena itu Rasul saw pernah bersabda bahwa jihad yang paling besar adalah jihad an-nafs, yakni perang melawan dirinya sendiri, dan mujahid yang paling agung adalah mereka yang mampu memenangkan peperangan melawan dirinya sendiri.

Tidak ada yang salah pada konsep jihad, jika terjadi ketidak baikan pada ranah empiris kemanusiaan atas nama harakah jihad, dapat dipastikan hal tersebut adalah prilaku oknum yang salah faham terhadap konsep jihad atau menggunakan faham yang salah dalam memahami jihad. Tetapi menimpakan kesalahan itu pada konsep jihad, tentu bukan tindakan yang bijaksana. #

SEKALI LAGI MENDUDUKKAN RADIKALISME

Dr. H. Hefni Zain, S.Ag, MM

Dalam Islam terdapat sejumlah term seperti : ushuliyyun (Fundamentalis), atau Asliyyun (Kaum otentik, asli) untuk menyebut orang orang yang berpegang kepada fundamen fundamen pokok Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits, atau kembali kepada  fundamen-fundamen keimanan, penegakan kekuasaan politik ummah dan pengukuhan dasar dasar otoritas yang absah (Syar’iyyah al hukm).  Juga ada sejumlah term lain, misalnya muta’assib atau mutatarrif yang digunakan secara sinis oleh kelompok diluar Islam untuk menyebut kelompok ekstrimis, militan dan radikal yang biasa menggunakan cara kekerasan  dalam usaha  mengubah orde sosial politik secara drastis .
Terdapat beberapa karakteristik pada penganut radikalisme,  pertama, prinsip utama adalah oppositionalism (paham perlawanan). Mengambil bentuk perlawanan radikal terhadap berbagai ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agamanya. Kedua, memagang kokoh agama dalam bentuk harfiah (literal) dan menganggap akal tidak representatif memberikan interpreatasi yang tepat terhadap teks. Ketiga, menganggap bahwa pluralisme dan relativisme merupakan hasil dari pemahaman yang keliru terhadap teks suci, karena itu keduanya harus ditolak. Keempat, perkembangan masyarakat dalam sejarah dipandang sebagai  “as it should be” dan bukan “as it is”, karena itu bagi mereka masyarakat yang harus menyesuaikan diri dengan teks suci dan bukan sebaliknya, (teks suci ditarik tarik dan dipaksa menyesuaikan diri dengan perkembangan masyaakat). Menurutnya Islam sudah lengkap dan tidak perlu sumbang saran sebagaimana kotak saran.
Secara hiostoris, radikalisme  dapat dilihat dalam dua episode : Pertama, radikalisme  pra modern. Muncul disebabkan situasi dan kondisi tertentu dikalangan umat Islam sendiri, karena itu, ia lebih genuine dan inward oriented. Bagi mereka tidak ada hukum kecuali hukum  Allah (la hukmu illa lillah).  Radikalisme Islam pra modern   dipelopori oleh  tokoh hawarij dan tokoh jabariah  dan  kelompok ini yang banyak mengilhami konsep bagi munculnya radikalisme kontemporer.  Dan Kedua, radikalisme kontemporer. Bangkit sebagai reaksi  terhadap panetrasi sistem dan nilai  sosial budaya, politik dan ekonomi barat yang dianggap skularistik, kapitalistik  dan westernistik. Hasan Al Banna,  Sayid Qutb, dan  al  Maududi, adalah sederet tokoh yang punya andil signifikan membesarkan radikalisme kontemporer.
Ideologi Islam radikal adalah menekankan kemampuan Islam sebagai idiologi yang komprehensip dan holistik. Ini didasarkan pada  beberapa hal, pertama, Islam adalah sistem komprehensip yang mampu berkembang sendiri (mutakamil bi dzatihi), ia merupakan jalan mutlak kehidupan dalam seluruh aspeknya. Kedua Islam memancar dari dua sumber dasarnya, yakni qur’an dan Hadits, ketiga Islam berlaku untuk segala waktu dan tempat.
Ada dua program utama dalam Islam radikal, Pertama, internasionalisasi organisasi guna membebaskan seluruh wilayah muslimin dari kekuasaan dan pengaruh asing. Kedua membangun di wialayah kaum muslimin  yang telah dibebaskan itu sebuah pemerintahan Islam yang mempraktekkan prinsip prinsip dan sistem Islami secara menyeluruh. Tujuannya adalah untuk membentuk kekhalifahan yang terdiri dari negara negara muslim yang merdeka dan berdaulat, kekhalifahan ini harus didasarkan sepenuhnya pada ajaran alqur’an, guna menjamin keadilan sosial  dan menjamin kesempatan yang memadai bagi seluruh individu muslim.
Gerakan Islam radikal menganggap modernitas yang cenderung materialistik dan leberalis merupakan barbaritas baru (jahiliyah modern) yang bertentangan dengan ajaran Islam. Jahiliyah modern menurut mereka adalah  situasi dimana nilai-nilai fundamental  yang diturunkan Allah kepada manusia diganti dengan nilai nilai palsu (artificial) yang berdasarkan hawa nafsu duniawi. Menurut mereka jahilyah modern menunjukkan dominasi (hakimiyyah) manusia atas manusia, atau ketundukan manusia terhadap manusia melebihi ketundukan manusia kepada Tuhannya.
Bagi mereka, untuk menumpas jahiliyah modern, umat Islam harus melakukan taghyir al-aqliyyah, yakni perubahan fundamental yang radikal, bermula dari dasar dasar kepercayaan, moral dan etiknya, dominasi (hakimiyah) atas manusia harus dikembalikan semata mata kepada Allah. Untuk melakukan itu semua tidak cukup hanya dengan membaca ayat-ayat suci, melainkan pesan itu harus di transfigurasikan lewat sebuah harakah atau gerakan yang sistimatik dan metodologik guna membangun kembali kedaulatan Tuhan dimuka bumi, dimana syareah dalam arti yang luas (termasuk : cara hidup menyeluruh sebagaimana yang digariskan Allah)  harus memegang supremasi. Sehingga tercipta kominitas ideal (al-madinat al fadhilah). Dengan konsep harakah (Jihad), maka tak terelakkan benturan antara Islam radikalis dengan kekuatan jahiliyah modern (apakah itu barat atau sekutu muslimnya).
Sesungguhnya Islam adalah sebuah proklamasi bagi kemerdekaan manusia dimuka bumi ini, pembebesan system penghambaan manusia atas manusia dan pembebasan manusia atas hawa nafsunya. Ini  proklamasi rububiyah yang berarti mengembalikan kekuasaan Allah yang hendak dirampas serta menghalau para perampasnya yang menghukumi manusia dengan hukum mereka sendiri sehingga mereka menempati kedudukan sebagai tuhan-tuhan kecil, sementara manusia lainnnya yang berada dalam kekuasannya berstatus sebagai hamba-hambanya, ini disinggung Allah dalam Qs At-tawbah : 31Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah. Padahal dalam Qs. Yusuf : 40 Allah swt menegaskan keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". Dengan demikian misi substansial radikalisme menurut mereka adalah rehumanisasi menuju revolusi social untuk mengikis habis orang-orang yang menjadi tuhan kecil dan menguasai manusia dengan segala tipu dayanya. Dan pada tataran operasionalnya mengambil bentuk harakah (gerakan) untuk menghadapi musuh-musuh Allah dan kemanusiaan.
Dalam Islam, pertumbuhan kelompok radikal, tidak bisa dipisahkan dengan terjadinya kebangkitan Islam, khususnya setelah kejayaan revolusi Iran tahun 1979, ephoria yang muncul dari keberhasilan Khomaeni menumbangkan Syah (antek Amerika dan sekaligus menampar muka Amerika sendiri) kemudian mendorong suburnya pembiakan radikalisme di Timur tengah. Esposito menegaskan; gerakan radikal muslim sesungguhnya merupakan produk dari konspirasi neo kolonisme adi kuasa dan zionisme  yang langsung atau tidak langsung di dukung oleh rejim hegemoni  barat yang tidak islami. Jadi selama konspirasi yang bersumber hegemoni barat dan sistem internasional yang pincang masih dominan, maka selama itu pula gerakan-gerakan radikal yang mengatas namakan jihad akan tetap merupakan potensi yang laten.

Wacana diseputar radikalisme dan isme isme yang lain, sebetulnya merupakan isu klasik dalam Islam ataupun di berbagai agama yang lain, namun saat ini wacana tersebut kembali actual ketika ia digunakan untuk mengeneralisasi berbagai gerakan yang muncul dalam gelombang islamic revival. Memang, dalam beberapa dasawarsa terakhir terlihat gejala  islamic revival dalam berbagai bentuk intensifikasi penghayatan dan pengamalan Islam, yang diikuti dengan pencarian dan penegasan kembali nilai-nilai Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Tetapi menyebut semua gejala intensifikasi itu sebagai “radikalisme Islam” jelas merupakan siplifikasi yang distortif  #

TERORISME vs terorisme

Dr. H. Hefni Zain, S.Ag, MM

Menyusul terjadinya bom Sarinah Tamrin baru-baru ini seakan mengabsahkan bahwa Indonesia memang salah satu sarang teroris dunia, tetapi dunia juga harus fair dan objektif dalam mendefinisikan teror atau terorisme. Istilah  teror, teroris dan terorisme secara historis mempunyai akar-akarnya dalam revolusi Prancis sekitar tahun 1796, yakni ketika kelompok jacobin menggunakan istilah terorisme dalam pengertian yang positif ketika menyebut tindakan-tindakan teror mereka. Tetapi pada tahun 1797 sejak masa Thermidor ke 9, kata teroris menjadi istilah pejoratif yang sering dikaitkan dengan dunia kriminal. Pada tahun 1798 Suplemen dictionnaraire d’Academic Francaise mendefinisikan terorisme sebagai  systeme, regime  de la  terreur. Jadi teror atau terorisme adalah sejumlah tindakan kekerasan khusunya menyangkut politik (political violence) yang unjustifiable.
Saat ini mendefinisikan teror atau terorisme secara akurat bukan pekerjaan yang mudah, pertama, karena hal itu sangat tergantung kepada siapa yang memberikan definisi. Misalnya tatkala dua buah bom meledak di WTC AS dan menewaskan puluhan orang, semua masyarakat dunia menyebutnya sebagai tindakan teroris yang harus dikutuk keras. Tetapi ketika ratusan bahkan ribuan bom diledakkan di Irak, Afganistan, Palestina, Yaman, Libanon dan sebagaian besar kawasan Timur tengah oleh AS dan sekutunya yang menewaskan jutaan manusia tak berdosa dan meluluh lantakkan berbagai tempat suci bersejarah bagi kaum muslimin, tidak ada seorangpun yang menyebutnya sebagai tindakan teroris. Itu jelas tidak fair.  Kedua, saat ini opini dunia tengah menggiring dan memposisikan istilah terorisme pada satu demensi saja, istilah terorisme itu hampir sepenuhnya digunakan secara pejoratif untuk mengacu pada tindakan kekerasan yang dijalankan oleh kelompok atau organisasi oposisi yang dipandang berada diluar meanstream tatanan dan norma politik establish.  Memang gampang menuding kegiatan kelompok-kelompok kecil dan keras sebagai teror, tetapi kita abai terhadap “terorisme resmi”  yang diperaktekkan sejumlah rejim atau negara tertentu.
Secara konsepsional teror itu ada dua macam, pertama, enforrcement terror (disebut juga regime of terror) yakni teror yang dijalankan penguasa untuk menindas tantangan dari kelompok yang   mengusik kekuasaan   mereka atau dianggap mengancam mereka.  Dan kedua, egatational terror (disebut juga siege of terror) yakni teror yang dilakukan kelompok kecil tertentu sebagai tindakan protes atau balas dendam yang terpaksa diambil sebagai sebuah cara karena tidak berdaya melakukan perlawanan yang sifatnya formal terhadap kelompok  establish yang besar dan kuat itu.  Tetapi kenapa  yang disebut teroris  hanya yang  kedua saja? itu jelas double standart, bias, subjektif, tidak adil dan tidak fair.
Kita  tidak pernah dan tidak akan pernah setuju dengan bom bunuh diri,  tindakan tersebut bukanlah tindakan bijaksana, walaupun dengan alasan perlawanan sebagian kaum muslimin terhadap dominasi mustakbirinis internasional. Tetapi lebih tidak bijaksana lagi kalau kita membiarkan terjadinya proses penganiayaan besar-besaran oleh para mustakbirinis internasional tersebut terhadap kaum muslimin di berbagai belahan dunia. Karena itu yang saya selalu setuju adalah umat islam harus bersatu melakukan perlawanan terhadap berbagai bentuk  penjajahan, agresi dan kedholiman yang dilakukan gerakan besar kapitalisme barat  terhadap dunia islam, caranya harus bil khoir, bil hikmah dan bukan dengan bom bunuh diri.
Apa betul telah terjadi penjajahan barat terhadap dunia islam, sehingga perlu perlawanan?, tidak terpungkiri bahwa  pasca runtuhnya komunisme, islam dianggap sebagai rival atau ancaman  yang paling berat bagi barat, karena itu AS, ingris, australia, prancis dan sekutunya perlu melakukan konsolidasi dan konspirasi  untuk menghambat gerak laju islam dipentas peradaban global, bahkan secara sistimatis mereka terus mencari momentum untuk menghancurkan islam.
Esposito mengemukakan, gerakan radikal muslim sesungguhnya merupakan produk dari konspirasi neo kolonisme adi kuasa dan zionisme  yang langsung atau tidak langsung di dukung oleh rejim hegemoni  barat yang tidak islami. Jadi selama konspirasi yang bersumber hegemoni barat dan sistem internasional yang pincang masih dominan, maka selama itu pula gerakan-gerakan radikal yang mengatas namakan jihad akan tetap menjadi potensi.
Kalau mereka bisa bersatu dan berkonspirasi untuk menghancurkan islam, lalu kenapa kaum muslimin tidak bisa melakukan konsolidasi yang sama untuk mempertahankan diri? Bukankah dalam islam banyak sekali doktrin suci yang menganjurkan hal tersebut?  dikatakan dalam sebuah hadits  bahwa persaudaraan kaum muslimin diseluruh dunia ibarat satu tubuh, apabila salah satu anggota tubuh ada yang sakit (atau disakiti) maka yang lain mesti merasakannya pula. Hadits lain menyebutkan muslim yang satu dengan yang lain ibarat satu bangunan, yang satu harus menguatkan yang lainnya. Lebih tegas dikatakan  seorang muslim yang memperhatikan atau tidak peduli terhadap urusan dan kondisi muslim yang lain, maka dia bukan termasuk golongan umat ku. Dan bahkan dianggap tidak beriman seseorang yang tidak mencintai saudaranya sebagaimana ia mencinta dirinya sendiri.
Saat ini yang mendesak bagi kaum muslimin adalah konsolidasi merapatkan barisan menghadapi ancaman mustakbirinis internasional yang dengan  kekuatan politik, militer, ekonomi, teknologi dan budaya telah melakukan penjajahan model baru terhadap berbagai negara berbasis islam dan kaum muslimin di berbagai belahan dunia. Saya kira semuanya  sepakat bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, oleh karena itu penjajahan diatas dunia  (tentu dengan segala bentuk dan modelnya)  harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan pri keadilan.
Kendati islam mencintai perdamaian, tapi islam lebih mencintai kemerdekaan. Ketika kaum muslimin terus dijajah dan diperangi dalam segala bentuknya, maka merupakan kehinaan jika ia terus pasrah dan tidak melakukan perlawanan. Bagi saya sangat berbeda peperangan karena nafsu menjajah dengan peperangan karena mempertahankan kehormatan dan harga diri. Seorang muslim boleh tidak setuju dengan bom bunuh diri  tetapi ia tidak boleh setuju dengan pembantaian manusia secara besar besaran yang terus terjadi dihadapan  kita dan kita  hanya berpangku tangan.
Manusia disebut manusia karena kehormatan dan kemerdekaannya, ketika ia kehilangan kehormatan dan kemerdekaannya maka boleh dibilang dia bukan lagi manusia kendati bentuknya tetap manusia, karena itu  kematian tubuh manusia  belum sebanding dengan kematian nilai-nilai kemanusiaan. Menyadari betapa vitalnya posisi kehormatan dan kemerdekaan bagi manusia, tak heran para pendahulu kita di negeri ini berjuang mati-matian, demi memperoleh dan mempertahankan kemerdekaan. Itulah harga sebuah kemerdekaan.  Munculnya istilah “merdeka atau mati” sesungguhnya menegaskan bahwa hidup manusia adalah diukur oleh kemerdekaannya. manakala kemerdekaan itu hilang darinya, maka dia dianggap tidak hidup kendati masih hidup, dia akan dianggap mati kendati belum mati. Manusia dihitung hidup hanya bila dia merdeka.

Walhasil, jika kita ingin menjadi umat yang besar, kata kuncinya, umat islam mesti bersatu, sebab tidak pernah ada kemenangan tanpa kekuatan, tidak ada kekuatan tanpa persatuan. Kita tidak perlu mengecam musuh kita, yang kita kecam adalah orang-orang  islam atau negara-negara mayoritas islam yang karena kepicikan dan ketergantungannya telah membuka jalan bagi kemenangan musuh islam dan kebinasaan kaum muslimin sendiri. Inilah yang oleh Rasul saw disebut sebagai al-ujara’ yakni orang orang  yang menjual dirinya dan agamanya kepada musuh islam dan al-mutahawwinun yakni orang orang yang tidak ambil pusing terhadap kejadian-kejadian yang diderita kaum muslimin di belahan dunia #

Minggu, 11 Januari 2015

KAJIAN AGAMA BERBASIS MULTIDISIPLINER

Hefni Zain
Dewasa ini, peran agama dalam konstelasi global semakin banyak dipertanyakan, karena itu agama kembali menjadi kajian yang menarik minat banyak pihak.. Telah menjadi kebutuhan mendesak bahwa agama harus mampu berdialektika dengan semua perkembangan ilmu pengetahuan, tanpa itu ajaran agama dikhawatirkan tenggelam dalam kubangan dogmatisnya. Hal ini menuntut agama bukan sekedar difahami hanya dalam pengertian historis dan doktrinal, sebab ia telah menjadi fenomena yang komplek. Agama bukan hanya terdiri dari serangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu harus memaknai kehidupannya. Agama telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas sosial, politik, ekonomi dan bagian tak terpisahkan dari perkembangan dunia. Agama bukan lagi sekedar serentetan keyakinan yang memfosil, juga bukan sekedar ajaran spiritualitas yang bersifat individual, ia merupakan ideologi universal yang bergerak dinamis membentang melampaui sekat tempat dan  zaman dan  terus berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia untuk menjawab sejumlah persoalan kemanusian yang terus berubah, karena itu mendekati agama tidak mungkin lagi hanya dengan satu aspek saja, diperlukan multi disiplin ilmu pengetahuan untuk mengurai berbagai fenomenanya yang kompleks.
Mengatasi problem kemiskinan dalam Islam misalnya, tidak cukup hanya dengan pendekatan teologis seperti doktrin qona’ah, zuhud, sabar dan tawakkal, tetapi perlu juga doktrin tentang kerja keras dan pengembangan kreativitas, dan yang lebih penting adalah fasilitas untuk itu, seperti : pemerataan kesempatan, penyediaan lapangan kerja, pengembangan kemampuan dan skill, tanpa itu pengentasan kemiskinan hanyalah otopia.  Rendahnya mutu pendidikan juga tidak mungkin diselesaikan dengan hanya mengacu pada doktrin ”tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina” tetapi diperlukan juga langkah kongkrit menyangkut pembaharuan sistem pendidikan, pengembangan kompetensi dan profesionalitas tenaga pengajar, sarana prasarana, aspek manajerial dan semacamnya. Bukan berarti aspek eskatalogis diabaikan tetapi bagaimana pesan agama diterjemahkan secara praktis sebagai solusi membebaskan umatnya dari problematika kesehariannya. Kesadaran seperti ini penting, mengingat tantangan keagamaan saat ini bukan lagi muncul dari semacam “Beuty contest” doktrin-dokrin normatif, yang lebih diperlukan adalah respon kemanusiaan yang relevan dengan tantangan-tantangan yang ada. Survival agama esensinya tidak hanya terletak pada usaha keras menjaga kemurnian doktrin normatifnya, yang lebih mendasar adalah kemampuannya menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan global.
Mengkaji agama secara akademis memang tidak mudah, ada beberapa persoalan mendasar yang sebelumnya harus dituntaskan, misalnya, jika benar “studi agama” bermaksud mencari kebenaran,  bukankah  agama merupakan sumber kebenaran ?  bagaimana mungkin kebenaran mencari kebenaran ?. Ini jeruk makan jeruk. Dan kalau studi agama dimaksudkan demi suatu hasrat yang normatif,  bukankah agama adalah sumber segala norma ?.
Dalam realitasnya  agama ternyata mempunyai banyak wajah (multifaces), yakni tidak hanya semata-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, keimanan, krido, ritus, norma, pedoman hidup, ultimate concern dan seterusnya, tetapi juga terkait erat dengan persoalan-persoalan historis kultural yang juga merupakan keniscayaan manusiawi. Nah campur aduk yang sulit dipilah antara agama dengan kepentingan sosial kemasyarakatan pada tataran historis empirik  kiranya kian menambah rumitnya upaya studi agama. Kekurang cermatan memilah dengan tegas mana wilayah murni agama dan mana wilayah “kepentingan” historis kultural yang juga melekat didalamnya, akan mengakibatkan kekeliruan dalam mendefferensiasi mana wilayah pure sciences yang bersifat ta’aqquli, terbuka dan iklusif dan mana wilayah applied sciences yang bersifat ta’abbudi dan eksklusif ?. Sebab dalam wacana agama terdapat wilayah yang disebut normativitas dan sakralitas  dan pada saat yang sama ada pula wilayah historitas dan provanitas.
Disamping itu, kesulitan lain adalah berawal dari dua hal : Pertama, mengkaji berarti melakukan objektifity (mengambil jarak terhadap objek kajiannya). Dalam kajian agama, tentu objektifitas bukan hanya kepada pihak lain, tetapi juga pada diri sendiri. Untuk benar-benar mampu melakukan objektifitas terhadap kesadaran diri sendiri, tentu tidak hanya memerlukan keseriusan, latihan dan ketekunan, melainkan dibutuhkan juga keberanian. Kedua, secara tradisional, agama difahami sebagai sesuatu yang sakral, suci dan agung.  Menempatkan hal-hal semacam itu sebagai objek netral  akan dianggap mereduksi, mendistorsi atau bahkan merusak nilai tradisional agama.  Disamping sifat agama sendiri yang sangat luas dan kompleks yang hingga saat ini belum ada kesepakatan final mengenai batasan atau rumusan pengertiannya,  hal semacam ini jelas menambah panjangnya pergulatan -untuk tidak menyebut- keruwetan dalam usaha menjadikan agama sebagai subjeck matter  studi akademis.
Kendati demikian  bukan berarti tidak ada solusi. Sejarah cukup jelas membuktikan bahwa jauh sebelum Friedrick Muller (1823 – 1900 ) menseriusi agama sebagai bahan studi dan penelitian pada abad  14 M, Imam Bukhori telah memperkenalkan tradisi penelitian, yakni ketika dia mengidentifikasi, mengumpulkan, memetakan, menganalisis dan menentukan tingkat keabsahan hadits. Demikian juga Imam Syafi’i sebelum menentukan hukum tentang sesuatu, ia terlebih dahulu  memperkenalkan metode ushul fiqh dalam usaha penentuan hukum tersebut. Juga Imam Al-Ghazali sebelum membantah ajaran para filosuf yang dianggapnya tergelincir dalam kesesatan, ia terlebih dahulu meneliti metode pemikiran filsafat dan membandingkannya dengan kesadaran aqidah. Nah kalau ulama terdahulu telah merintis tradisi keilmuan penelitian dan mampu keluar dari berbagai kesulitan yang dihadapi, lalu kenapa kita tidak merujuk pada semangat mereka ?
Tetapi memang tidak dipungkiri bahwa studi agama memiliki konsep yang mendua, yakni studi sebagai cara mencari kebenaran agama dan studi sebagai usaha merumuskan dan memahami “kebenaran”  dari realitas empiris. Pada titik ini ada perbedaan antara Imam Al-Ghazali yang ingin mendapatkan ajaran yang benar dan ingin merumuskan sikap hidup beragama yang benar dengan Ibnu Kholdun yang berusaha melukiskan, menguraikan dan menerangkan realitas yang sebenarnya. Kalau yang pertama ingin mendapatkan pesan hakiki dari keabadian ajaran, maka yang kedua ingin memahami struktur dan dinamika realitas yang fana. Oleh karena itu guna memperoleh hasil kajian yang objektif dan akurat, seorang peneliti harus menyadari adanya jarak metodologis antara dirinya (yang meneliti) dengan masyarakat (objek) yang diteliti, meskipun secara normatif dia adalah bagian dari masyarakat dan nilai sosial yang diteliti itu.
Dengan demikian pada tahap awal mesti disadari bahwa “studi agama” sebagai usaha akademis, berarti menjadikan agama sebagai sasaran studi dan penelitian. Artinya betapapun agama bersifak abstrak dan sakral, tapi dalam konteks metodologis, agama harus dijadikan sebagai system fenomena yang riil. Untuk menghindari kesulitan-kesulitan fundamental pada tataran operasional, fenomena agama yang menjadi subjeck matter kajian akademis dapat dikategorikan menjadi : (a) Agama sebagai doktrin, (b) Agama sebagai produk sejarah, budaya dan sosial, (c) Dinamika dan struktur masyarakat “dibentuk” oleh agama, (d) Sikap masyarakat pemeluk agama terhadap doktrin. Dan (e) Hal-hal lain yang menyangkut pengalaman dari ajaran agama. Dengan kategorisasi ini, fenomina agama menjadi tidak terlalu sukar untuk dipelajari, diamati, diukur, dibuktikan dan dilukiskan secara sistimatis dan meyakinkan yang merupakan streotipe dari studi akademis.
Metodologi keilmuan yang bertugas mengkaji fenomena keberagamaan manusia merupakan sesuatu yang vital, sebab hanya dengan itu akan diketahui secara jelas seperti apa ajaran agama yang semestinya dan seperti apa pula pengalaman ajaran agama yang sudah terjadi. Dengan metodologi yang akurat akan terungkap persoalan-persoalan agama dan keagamaan yang belum tereksplorasi dan sekaligus terbersihkan nilai-nilai agama yang sudah tercemar dan diselewengkan. Dengan  itu semua diharapkan terjadi klarifikasi segala macam citra yang sempit akan agama karena beberapa ajaran dasarnya telah tereduksi dan terpolusi oleh sejumlah opini, sejarah dan kepentingan kepentingan  tertentu.
Konsep studi agama bisa menimbulkan beberapa pengertian. Pertama, studi agama berarti mencari kebenaran substansi agama sebagaimana dilakukan para Nabi, pendiri atau pembaharu suatu agama. Kedua, studi agama berarti studi atau usaha untuk menemukan dan memahami kebenaran agama sebagai realitas empirik dan bagaimana penyikapan terhadap realitas tersebut. Disini agama dijadikan sebagai fenomena yang riil dan sebagai subjeck matter studi akademis. Ketiga, Studi agama berarti menelaah fenomena sosial yang ditimbulkkan oleh agama dan penyikapan masayarakat terhadapnya.  Dengan demikian maka studi agama adalah pengkajian akademis terhadap agama sebagai realitas sosial, baik berupa teks, pranata sosial maupun prilaku sosial yang lahir atau sebagai perwujudan kepercayaan suci. Dengan kata lain studi agama adalah pengkajian akademis terhadap ajaran dan keberagamaan (Religiosity).   
Dari rumusan diatas, maka ada perbedaan antara :  studi sebagai usaha mencari kebenaran agama  dan studi sebagai usaha untuk merumuskan dan memahami “kebenaran” dari realitas empiris. Kalau yang pertama ingin mendapatkan pesan yang hakiki dari keabadian ajaran, maka yang kedua ingin memahami struktur dan dinamika realitas yang fana. Dalam krangka ini, ada juga para pakar studi agama yang membedakan antara studi agama dengan studi keagamaan. Misalnya Middleton (guru besar antropologi di New York University) menegaskan bahwa kalau studi agama (Study on religion) lebih menekankan pada materi agama, sehingga sasarannya menyangkut ritus, mitos dan magik, ia bisa dikaji  dari metodologi teologis, historis, komparatif dan psikologis. Sementara studi keagamaann (Religious studys) lebih menekankan pada agama sebagai sistem, atau sistem keagamaan. Karena itu ia bisa dikaji  dari metodologi sosiologis karena menyangkut sistem sosiologis atau suatu aspek organisasi sosial.
Jika pendapat Middleton disepakati, maka sasaran studi agama adalah agama sebagai doktrin, sedangkan sasaran studi keagamaan adalah agama sebagai gejala sosial. Perbedaan ini penting, sebab akan membedakan jenis metodologi yang hendak digunakan. Kalau yang pertama pasti memerlukan  metodologi tersendiri  yang khusus, sedangkan yang kedua, cukup meminjam metodologi penelitian sosial yang telah ada. Berbeda dengan Rahmat yang mengatakan bahwa agama dapat dikaji dengan menggunakan berbagai paradigma, sebab realitas keagamaan yang diungkapkan memiliki nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya, karena itu bagi Rahmat, tidak persoalan apakah dalam metodologinya harus khusus atau meminjam yang sudah ada. Sebab studi agama disebut studi agama sesungguhnya bukan karena metodenya melainkan karena bidang kajiannya. Karena itulah Bagi Rahmat posisi dan kedudukan studi agama adalah sejajar dengan studi-studi lainnya, yang membedakan hanyalah objek kajiannya.
Agama sebagai objek kajian akademis sudah lama menjadi wacana yang diperdebatkan. Ada yang mengatakan bahwa agama merupakan ajaran Tuhan yang bersifat ghoib dan transendental serta berdasarkan wahyu, karena itu ia tidak dapat  dijadikan sasaran studi ilmu sosial. Dan kalaupun dipaksakan, maka mesti  menggunakan metodologi khusus yang berbeda dengan sejumlah metodologi yang lazim di gunakan dalam ilmu-ilmu sosial. Tapi ada juga yang berpendapat bahwa secara substansial, agama mengandung dua sisi ajaran. Sisi pertama menyangkut  ajaran dasar yang merupakan wahyu dari Tuhan. Ia bersifat absolut, mutlaq benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Ajaran dasar yang demikian terdapat dalam kitab suci, ranah konsepsional atau aras langit.

Ajaran dasar dalam kitab suci itu kemudian memerlukan interpretasi dan penjelasan tentang makna, maksud dan cara pelaksanaannya dalam ranah operasional. Dan tafsir atau penjelasan ulama atau para pakar mengenai ajaran dasar yang ada dalam kitab suci tersebut pada gilirannya membentuk ajaran agama sisi kedua yang bersifat relatif, nisbi, berubah dan dapat dirubah sesuai dengan perkembangan zaman. Pada sisi inilah yang dapat menjadi wilayah kajian akademis. Dengan demikian, kajian akademis agama bukanlah meneliti hakekat agama dalam arti wahyu, melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini, memahami dan memperoleh pengaruh dari agama. Dengan kata lain, studi agama bukan meneliti kebenaran konsepsional, tetapi bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan fakta atau realitas sosio kultural.# Bersambung....

Jumat, 09 Januari 2015

GOLONGAN YANG DIJAUHI RASULULLOH

Hefni Zain

Adalah obsesi setiap muslim untuk selalu mendapatkan syafaat Nabi Muhammad saw, selalu dekat dengan beliau, diakui sebagai pengikut setianya dan dikumpulkan bersamanya di akherat kelak, dan tidak ada seorangpun diantara kita yang menghendaki jauh dari beliau, sebab sejatinya tidak ada yang dapat kita andalkan dari amal kita dihadapan Allah tanpa syafaat beliau, terlalu banyak dosa dan kelemahan kita  dan terlalu sedikit amal sholeh kita untuk dipamerkan di hadapan Allah swt, maka satu satunya harapan kita yang masih tersisa untuk memperoleh kehidupan yang baik adalah kasih sayang Allah swt juga syafaat Rasululloh saw. 
Namun demikian, terdapat lima perkara yang apabila kita kita lakukan  menurut beliau dapat menyebabkan posisi pelakunya jauh dari beliau, dan beliau jauh dari mereka. Dalam sebuah hadits, Nabi saw bersabda : Akan datang suatu masa pada umatku, mereka menncintai lima hal dan melupakan lima hal lainnya. Mereka mencintai dunia tapi melupakan akibatnya (di akherat). Mencintai kemewahan tapi melupakan siksa kubur, Mencintai harta benda tapi melupakan hisab Allah,  Mencintai keluarganya tapi melupakan kebenaran, Mencintai dirinya tapi  melupakan  Allah swt.  Kata Nabi mereka lepas dari syafatku dan syafaatku lepas dari mereka.
Pertama, orang yang mencintai dunia tapi melupakan akherat. 
Islam merupakan agama yang mengajarkan keseimbangan, seimbang dalam urusan lahir dan bathin, material spiritual dan seimbang duniawi ukhrawi.  Dilukiskan dalam Qs. 28 :  77 Carilah olehmu kebahagiaan akhirat, dan jangan lupakan kebahagiaan dunia dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
 Nabi saw mengecam orang orang yang mencintai dunia hingga melupakan akheratnya, karena sejatinya dunia ini hanyalah tempat transit sementara guna mempersiapkan bekal untuk kita bawa ke negeri asal kita, yakni negeri akherat.  Diriwayatkan oleh ibnu majah, Nabi saw bersabda “Aku dan dunia ibarat orang dalam perjalanan menunggang kendaraan, lalu berteduh dibawah pohon untuk beristirahat dan setelah itu meninggalkannya”. Islam mengajarkan umatnya hidup didunia tetapi tidak meletakkan hatinya didunia, bekerja di dunia tetapi semata mata untuk kepentingan akherat. Barang siapa pulang ke kampung akherat tanpa bekal, maka seakan akan mereka mengarungi samudera tanpa kapal.
Kedua, orang yang mencintai kemewahan tapi melupakan siksa kubur. 
Dalam sebuah  hadits rasululloh saw bersabda : Demi Allah bukanlah kemelaratan yang aku takuti bila menimpa kalian, tetapi yang kutakuti adalah bila dilapangkannya harta bagi kalian sebagaimana pernah dilapangkan bagi orang orang sebelum kalian, lalu kalian berlomba sebagaimana mereka berlomba berebut kemewahan dan menumpuk numpuknya, lalu kalian dibinasakan oleh Allah sebagaimana mereka dibinasakan (Hr. Ahmad)
Dalam riwayat lain Nabi saw bersabda Hiduplah sesukamu tapi sadarlah bahwa engkau akan  mati, Cintailah apa  yang dapat engkau cintai tapi sadarlah  bahwa engkau akan berpisah dengannya.
Ketiga, orang yang mencintai harta benda tapi melupakan hisab Allah. 
Islam adalah agama yang memberikan kebebasan kepada umatnya untuk memilih pola hidup yang diinginkan, tetapi apapun pilihan yang diambil pasti akan dimintai pertanggungan jawab di hadapan Allah swt, “Berbuatlah sekehendakmu tetapi sadarlah bahwa engkau akan dibalas menurut perbuatanmu itu”.Dalam banyak riwayat disebutkan “Tiap sesuatu terdapat ujian dan ujian terhadap umatku ialah kecintaan terhadap harta benda” (Hr. Ibnu majah) “Sesungguhnya kecintaan terhadap uang dinar dan dirham telah membinasakan orang orang sebelum kamu dan dimasa yang akan datangpun tetap akan membinasakan (Hr. Tabrani) “Barang siapa yang mencintai dan  mengumpulkan harta dengan tidak sewajarnya, maka Allah akan memusnahkannya dengan adzab (Hr. baihaqi).
Islam bukan mengajarkan umatnya menolak harta dan  tidak boleh  memilikinya, yang dianjurkan Islam adalah jangan sampai seseorang terlalu mencintainya sehingga menjadikan dirinya diperbudak oleh hartanya itu. Bagi Islam manusia yang baik  adalah seseorang yang tidak meletakkan kebahagiannya pada apa yang dimiliki melainkan pada pemanfaatannya,
Keempat, orang yang mencintai keluarganya tapi  melupakan kebenaran.
kadang  manusia kuat menahan godaan  yang datang dari luar, tetapi tidak kuat bila godaan itu berasal dari dalam. Kita kuat berperang melawan musuh yang kita benci, tetapi tidak kuat ketika melawan yang dicinta. Dalam hidup keseharian, betapa sering keinginan dan tuntutan keluarga mengalahkan nalar, pikiran dan akal sehat. Bahkan tak jarang melaggar perintah Tuhan. 
Kelima, orang yang mencintai dirinya tapi melupakan  Allah swt. 
Apa yang membuat Iblis enggan bersujud pada Adam  tak lain adalah bentuk kecintaan terhadap dirinya yang berlebihan, ia memandang dirinya lebih utama dari yang lain. Karena itu termasuk kafilah iblis pihak pihak yang memandang lebih terhormat diri dan kelompoknya dari orang dan kelompok lain, baik karena derajat, pangkat atau martabat, juga karena silsilah, golongan darah atau trah.
Tidak jarang kecintaan terhadap diri, mencelakakan seseorang karena yang bersangkutan akan menempatkan kehendak dirinya diatas kehendak yang lain, termasuk kehendak Allah sekalipun. Dalam Qs. 2 : 165), Allah berfirman: Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dalam Hadits Qudsi ditegaskan :“Barang siapa yang mendahulukan kehendakKu diatas kehendaknya, maka akan Aku pelihara dirinya, Aku atur urusan dunianya dan akan Aku  luaskan rizkinya. Tetapi barang siapa yang mendahulukan kehendaknya diatas kehendakKu, maka Aku akan cerai beraikan segala urusannya”

Kini kendati beliau telah wafat, tetapi hingga kini Beliau terus  mengawasi apa yang kita lakukan dalam kehidupan ini. Dalam Qs At-Tawbah : 105 ditegaskan: Dan katakanlah ! Beramallah kalian, maka Allah akan melihat amal kalian, juga Rasululloh #