Selasa, 11 April 2017

POLITIK AYAT
Hefni Zain*

Setelah “politik uang” menjadi kategori baru dalam kamus politik kontemporer, kita mulai heboh dengan “politik ayat”. “Ayat” adalah serapan Arab yang berarti tanda atau simbol. Dalam al-Quran kata “ayat” digunakan untuk aneka arti dan konteks. Secara kebahasaan, “ayat” terbagi dua; 1) ayat qauliyah, yaitu tanda-tanda verbal; 2) ayat kauniyah, yaitu tanda-tanda kosmik berupa entitas-entitas dan kejadian-kejadian alam.
Disebut “ayat suci” karena tidak sembarang mulut dan tangan bisa menafsirkan dan mengutipnya. Penambahan “suci” demi membedakannya dari butir-butir undang-undang, surat kontrak dan sebagainya. Disebut “Kalam Tuhan” karena setiap kata yang tertera di dalamnya adalah wahyu. Disebut wahyu karena kebenarannya mutlak. Penafsiran dan persepsi setiap umat tetaplah relatif. Namun itu tidak berarti setiap orang berhak menafsirkannya lalu menerapkannya begitu saja.
Satu hal penting yang perlu diketahui, siapapun, bahkan selain Muslim boleh mengutip teks terjemahan resmi/benar ayat suci al-Quran, tapi tak boleh menafsirkannya apalagi menjadikan bahan justifikasi sikap yang belum dipastikan benar. Muslim yg tak kompeten pun demikian. Untuk menafsirkannya, diperlukan sejumlah ilmu supaya aplikatif, relevan dan selaras dengan akal sehat. Begitu sakral kitab ini hinggaannya. Para ulama sejati alias agamawan dengan kualifikasi intelektual dan spiritual prima tidak gampang mengutip ayat al-Quran karena menghormatinya dengan kerendahan hati dan menyadari keterbatasan pemahamannya.
Seperti biasa menjelang pemilu, pilpres, pilgub dan pilkada, selain politik uang, politik ayat juga marak. Sentimen sektarian dan kampanye hitam bermuara SARA selalu mewarnai kompetisi politik. Sayangnya, yang menentang calon tak seagama menghamburkan ayat, riwayat dan hikayat. Yang mendukungnya juga tak kalah gencar menggelar ayat, hadis dan mengutip sahabat terpandai Nabi. Masing-masing mengobral teologi kekuasaan dengan sampul konsistensi atau dengan dalih toleransi. Inilah politik ayat.
Menolak pemimpin yg kebetulan non Muslim tak berarti menolak ke-nonmusliman-nya. Mendukung calon yang kebetulan beragama Islam tak niscaya intoleran dan anti non Muslim. Sebagian orang yang indepeden dalam sikap politik dan toleran tidak merisaukan agama calon pemimpin, namun yang mereka persoalkan adalah kebijakan yang dianggap tidak manusiawi atau alasan-alasan logis lainnya.
Untuk dapat memahami makna lahir Quran diperlukan intelektualitas prima dan untuk menangkap batinnya perlu spiritualitas maksimal supaya tafsirnya komprehensif. Saat masyarakat awam dibodohi dengan opini bahwa pilgub adalah pertarungan agama, maka yang menjadi korban adalah agama, ayat suci dan rakyat yang lugu. Siapapun, yang memperalat ayat suci yang sengaja diarahkan tafsirnya demi mengambil kekuasaan atsu melucutinya, dan pihak meresponnya secara emosional, karena dideskreditkan, bisa dianggap mempermainkannya. Saat itu yang terjadi adalah kompetisi jorok dan perkelahian bebas dengan pembunuhan karakter, pemelintiran, intimidasi dan semua kreasi kenistaan.
Al-Quran bagi yang mengerti maknanya adalah ilmu dan hikmah, dan bagi yang tidak mengerti maknanya adalah sumber inspirasi, ketenangan dan berkah. Disebut Quran karena bisa dibaca. Disebut Kitab karena bisa ditulis. Disebut Dzikr karena bisa diingat. Disebut Furqan karena jadi pembeda kebenaran dan kepalsuan. Al-Quran adalah petunjuk bagi semua manusia (هدى للناس) sebagai aturan yang ditafsirkan, dan pedoman bagi yang bertaqwa (هدى للمتقين) sebagai penafsir.
Al-Quran bukan buku yang bisa ditafsirkan setiap orang. Untuk menafsirkannya, diperlukan sejumlah ilmu supaya aplikatif, relevan dan selaras dengan akal sehat. Ilmu-ilmu yang diperlukan sebagai bekal menggali isi al-Quran disebut ulumul-Quran yang menghimpun sekitar 10 ilmu dan sejumlah ilmu penunjang lainnya. Ilmu-ilmu Al-Quran meliputi tafsir, takwil asbabunnuzul, qiraat dan tajwid, filologi, morfologi, sejarah pencatatan Quran & rasm, khath, gramatika dan lain sebagainya. Begitu sakral kitab ini hingga mengomentari/menafsirkannya tanpa kompetensi dan kehati-hatian bisa dianggap menodainya dan berdusta atas nama Tuhan.
Al-Quran mempunyai 2 dimensi; eksotetik (lahir) yang harus dipahami secara rasional, dan esoterik (batin) yang mesti dieksplorasi secara intuitif.
Sayangnya, tidak sedikit orang yang tidak mematuhi asas kompetensi menafsirkan al-Quran secara literal dengan bekal ala kadarnya hingga membonsainya dengan penafsiran yang justru mereduksi isinya dan menampilkannya seolah karya manusia. Untuk dapat memahami makna lahir Quran diperlukan intelektualitas prima dan untuk menangkap batinnya perlu spiritualitas maksimal supaya tafsirnya komprehensif.
Agamawan dengan kewaraan intelektual tidak gampang mengutip ayat al-Quran karena menghormatinya dengan kerendahan hati dan mnyadari keterbatasan pemahamannya. Karena Quran ditafsirkan dan dijelaskan secara literal, ia kadang terkesan tidak up to date dan tidak aplikatif, muslim modern lebih menyimak motivator ketimbang ulama. Bahkan karena mindset skripturalisme yang menjangkiti orang orang ekstremis, ayat suci yang dikutip serampangan bisa dijadikan justifikasi pengkafiran dan agresi.
Sejarah melaporkan bahwa al-Quran sering dimanipulasi dan dieksploitasi demi kepentingan status quo dan hasrat sektarianisme dan tribalisme. Khawarij dan para penguasa gemar menjadikan Quran sebagai alat represi. Kini banyak modus radikalisasi berkedok program agama dan aktivitas keagamaan dengan dukungan dana berlimpah dari kekuasaan asing yang secara faktual terbukti menjadi penyebar radikalisme dan ekstremisme melalui paham keagamaan yang kaku, intoleran dan mengagungkan kekerasan berbungkus salaf.

Umat Islam terutama di Tanah Air sedang mengalami fase krusial karena menjadi target radikalisasi. Indikasi-indikasinya kian tampak. Propaganda pengkafiran, penyesatan, pensyirikan, pembid’ahan dan segala ujaran kebencian disebarkan melalui media sosial dan situs-situs yang secara terang-terangan menyebarkan doktrin yang hanya mengakui hak hidup orang orang yang sekeyakinan.