Jumat, 14 Maret 2014

SURVEI TOHEDI



Seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Jogjakarta bernama Tohedi suatu hari iseng melakukan survei (tepatnya : survei iseng), dia ingin tahu bagaimana pendapat rakyat jelata tentang anggota DPR. Tohedi sengaja pergi ke kuburan karet di Jakarta, menemui beberapa orang untuk diwawancarai. Tentang mengapa kuburan yang dipilih sebagai lokasi surveinya, dengan cengar-cengir mahasiswa sableng ini bilang, “hanya orang-orang yang selalu ingat mati yang layak dipercaya omongannya”, mahasiswa semester VI Fisip ini memang isengnya tujuh turunan, tapi walau begitu dia cukup pintar dan kritis.
Beberapa meter dari pintu masuk kuburan, dia menghampiri tukang kembang. “Mbah, saya mau tanya, bagaimana pendapat mbah tentang anggota DPR?” Dengan lugas, seperti di kuis-kuis TV, Mbah itu langsung menyahut, “Tidak Beres!”. Si Tohedi masuk ke dalam. Tidak lama ia berpapasan dengan tukang sabit. Dia melontarkan pertanyaan yang sama. Tukang sabit menjawab, Anak saya ada empat. Saya bolehkan mereka jadi apa saja, kecuali jadi satpol PP, polisi, jaksa, hakim dan anggota DPR…” lho kok gitu, Bapak itu nyerocos lagi. “Satpol PP itu orang kecil, tapi kerjanya menindas orang kecil demi gaji yang nggak seberapa. Polisi, jaksa dan hakim… ya adik tahu sendirilah… dan anggota DPR, yah itu sama saja… Amit-amit!. ”.  Walau tidak setuju seratus prosen dengan pendapat si Tukang Sabit, Tohedi diam saja dan mencatatnya baik-baik. Namanya saja survei iseng atau iseng survei.
Bagi Tohedi, dua pendapat diatas merupakan otokritik tajam atas fenomena umum sosial politik di negeri ini.  Sambil telunjuknya di tempel di kepalanya (seakan berfikir kertas) Tohedi menjelaskan “Dalam leteratur ilmu sosial, ada teori yang disebut Dramaturgi yang dikembangkan Ervin Goffman yakni sebuah teori yang menjelaskan bahwa sangat jauh berbeda antara lakon yang diperankan seseorang diatas panggung dengan realitas yang sebenarnya di balik panggung. Hari-hari ini kita tengah hidup di sebuah peradaban yang teorinya mirip dramaturgi, maka jangan heran kalau penegak hukum malah melanggar hukum, pemberantas korupsi malah melakukan korupsi,  pejuang moral malah bertindak amoral. Dipanggung-panggung publik mereka berteriak agar keadilan ditegakkan padahal sesungguhnya mereka sendiri yang mesti diadili. Mereka selalu meneriakkan pengentasan kemiskinan tapi pada waktu yang sama mereka sendiri melakukan pemiskinan terhadap orang-miskin.  
Tohedi meyakinkan kita bahwa dalam konteks Indonesia  saat ini, pemimpim belum tentu pemimpin, bisa juga ia seorang pendendam, pemberang dan culas, tokoh belum tentu tokoh, bisa juga ia seorang eksploitator yang penuh nafsu, Cendekiawan belum tentu cendekiawan, bisa juga ia pelacur intelektual, Ustad belum tentu ustad, bisa juga dia seorang penipu atau pemeran video mesum. Bahkan dalam konteks yang lebih luas,  manusiapun belum tentu instiqomah berprilaku sebagai manusia, bisa juga pada momentum tertentu, pada kondisi psikologis tertentu, pada situasi soaial politik tertentu, pada peristiwa tertentu, berprilaku seperti monster.
Dulu simbol kemusliman dan kesolehan adalah diwakili oleh surban, gamis, sajadah dan sejenisnya, sekarang  siapa saja boleh mengenakan pakaian yang biasa dikenakan para habib dan ulama kendati yang bersangkutan seorang bandit atau non muslim sekalipun. Jilbab juga tidak boleh dibatasi untuk hanya dipakai seorang muslimah. Jilbab bebas di pakai oleh seorang germo atau hostes sekalipun. Seseorang boleh pakai sorban meskipun sehari-harinya pekerjaannya nyopet, seseorang boleh menyelempangkan sajadah atau sorban di tubuhnya meskipun yang bersangkutan seorang koruptor kakap. Karena itu, jangan tertipu oleh kostum, Sebab Kostum orang sekarang sama sakali tidak mewakili keperibadiannya dan tidak memiliki relevansi dengan keyataan hati dan realitas  prilakunya.
Ada sebuah kisah yang relevan disampaikan disini, pernah suatu  hari sang penguasa secara resmi berbicara dihadapan rakyatnya “Wahai rakyatku !, kalian semua mesti bersyukur kepada Tuhan karena sejak aku menjadi penguasa, negeri ini bebas dari wabah penyakit  tha’un, akunya. Tiba-tiba ditengah halayak, seorang rakyat jelata memberanikan diri intrupsi, maaf paduka, Tuhan kasihan kepada kami sehingga tidak mungkin memberi kami dua bencana sekaligus,. Apa yang kamu maksud dengan dua bencana ? Tanya si penguasa itu  penasaran,  yaa wabah penyakit tha’un dan anda sendiri,  jawabnya lirih.
Bangsa ini memang lucu, kalau di Amerika dan banyak negara Eropa mensyaratkan seseorang harus cerdas dan kaya dulu untuk diterima menjadi anggota parlemen, coba lihat di Indonesia, yang terjadi justru sebaliknya, menjadi anggota parlemen dulu baru menjadi kaya, kemudian mengangkat beberapa staf ahli. Bisa jadi karena sebelumnya mereka tidak punya pekerjaan tetap dan tidak memiliki keterampilan, tetapi tatkala kran multipartai terbuka untuk siapa saja, merekapun berlomba memasukinya menjadi aktivis parpol, jadinya ya begitu. “lembaga DPR dan DPRD telah menjadi semacam basis mata pencaharian yang menggiurkan”.

Tetapi jangan salah sangka dulu, sebetulnya profesi apapun adalah sah salama yang bersangkutan konsisten terhadap nilai-nilai moral, seperti jujur, amanah dan terhindar dari kebohongan bublik. Rakyat bukan membenci profesi mereka, yang dibenci rakyat adalah penyamun yang berjubah kesholehan #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar