Kamis, 06 Maret 2014

GOLPUT & GOLPUL

Ust. Hefni zain

Pemilu  legislatif  2014  tinggal menghitung hari,  pesta demokrasi rakyat Indonesia untuk memilih wakil-wakilnya di lembaga legislatif -yang disinyalir menghabiskan dana trilyunan rupiah-  sedang hangat-hangatnya. Para caleg  disemua tingkatan sedang sibuk-sibuknya mempengaruhi rakyat mencari dukungan. Baliho, Benner, gambar caleg, bendera partai, poster, stiker dan sejenisnya, hampir memenuhi seluruh pemandangan di pinggir jalan. Moment massa mulai dimanfaatkan untuk tujuan dan kepentingan politik tertentu.  Rakyat kecil, seperti biasa, setiap lima tahun sekali mulai diingat, diorangkan dan dimanfaatkan (untuk tidak mengatakan dibodohi), Berbagai bantuan “tidak ihklas” (karena ada udang di balik batu) mulai ditabur, makelar-makelar politik  mulai bermunculan, gendrang kampanye untuk mengumbar janji-janji kosong sedang ditabuh, suhu politik nasional sedang bergerak dari hangat menuju panas.
Tetapi  sebagian besar masyarakat tidak terlalu terpengaruh dengan itu semua, ada yang lebih memusingkan kepala mereka, yakni kian sulitnya mencari sesuap nasi, sehingga mereka  harus banting tulang memeras keringat agar dapat tetap mempertahankan kelangsungan hidup mereka ditengah kian naiknya harga berbagai kebutuhan dasar mereka. Padahal indikator tercapainya  politik pembangunan yang berorientasi kerakyatan adalah bila rakyat tidak bersikap apatis terhadap masa depan bangsa dan negara, inilah fenomena golput yang beberapa waktu lalu difatwakan haram oleh MUI.  Namun berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, sepanjang bulan-bulan ini, yang perlu diwaspadai bukan hanya datangnya banjir yang mengancam ketenangan masyarakat, tetapi juga “musim suap” menjelang pemilu 2014.
Bak kecambah di musim hujan aksi membeli pemilih” semakin marak. Di ruang publik, mulai dari warteg pinggir jalan hingga pangkalan ojek, “uang hadiah” pemberian caleg tertentu bukan lagi perkara aneh. Sejak jauh-jauh hari, para broker politik, termasuk yang gadungan, sudah bergentayangan. Mereka menetapkan ongkos angkutan politik dari “caleg” ke “leg”. Besarannya bisa bermacam-macam. Tergantung tujuan, rute, dan jarak tempuh. Ongkos yang dikutip ke kabupaten atau kotamadya berbeda dengan ke provinsi, apalagi ke senayan.
Para makelar itu persis siluman. Ada tapi tak nampak. Ciri lainnya, mereka acapkali lebih agresif dari sang caleg. Menghalalkan segala cara adalah prinsip yang diusungnya. Mulai dari janji program, eksploitasi simbol agama dan etnis, sampai money politics. Kalau perlu, melakukan provokasi, black campaign, hingga mencopot poster partai lawan atau caleg lawan sekalipun dia berasal dari partai yang sama.
Tanpa bermaksud mengada-ada, kenyataan ini telah melembaga dan memiliki sistem kerja yang rapi dan jaringan anatomis mulai dari tingkat dusun sampai kota. Mereka begitu piawai meyakinkan caleg untuk menggunakan jasanya. Alhasil, berdasarkan sepak terjangnya dalam proses demokrasi di manapun, mereka layak dijuluki preman politik yang ikut mengembangbiakkan politik pulus (golpul).
Kasus-kasus aneh mulai muncul mulai di berbagai tempat, mulai dari kampanye terselubung hingga yang terang-terangan menabur duit. Para pengamat dan para ahli survei melalui ragam lembaga survei yang kian menjamur juga sibuk mengias rezeki. Mereka secara istiqomah terus mengompori suasana persaingan antar caleg.
Tidak ada teman abadi. Yang ada kepentingan abadi” adalah slogan, yang entah dari mana munculnya, kini menjadi semacam alat justifiksi dalam komunikasi politik. Mungkin dalam kamus politik, sahabat adalah frase semacam cek kosong yang bisa diisi dengan apa saja. Kata “sekutu”, “poros” dan “aliansi” pun demikian.

Mestinya fatwa haram tidak hanya dikenakan pada praktek Gulput. Karena justru yang lebih dahsyat dampaknya adalah  menjamurnya praktik  “golpul” atau golongan pulus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar