Senin, 18 Agustus 2014

THE ORIGINS OF THE HUMAN KIND

Ust. Hefni Zain
 Muqaddimah
Masih terdengar di perbincangan masyarakat, bahwa asal mula perempuan adalah dari tulang rusuk laki-laki. Pernah suatu ketika dalam obrolan ringan, seorang teman menyatakan,” aku ingin sekali cepat menemukan dimana gerangan tulang rusukku itu berada..” ada lagi’ “ sepertinya aku masih merasa cacat karena tulang rusukku yang masih terbelah. Entah dimana dia tersimpan. Ingin sekali cepat mendapatkannya agar aku bisa menyempurnakan hakikat diriku” sekilas kedengarannya meyakinkan. Namun ia tampak klise. secara rasio, mana mungkin perempuan yang secara fisik hampir seluruhnya serupa dengan bentuk laki-laki itu, bisa dikatakan bahwa ia tercipta dari tulang rusuknya. Unsur yang membedakannya hanya terletak pada segi anatomi fisik-biologisnya saja. Analogi absurd inipun baru yang dapat dilihat dari kaca mata logika. Walau terlepas dari keyakinan bahwa segala kemungkinan akan terjadi jika Allah swt berkehendak.
Jika ditelisik dari teks agama, terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang nampak mengisyaratkan asal-mula penciptaan perempuan, diantaranya : Qs. Al-Nisa’:1, Qs. Al-A’raf:189, Qs. Al-Zuma : 6. Dari ketiga ayat tersebut, tidak ada satu lafadz pun yang secara eksplisit mengatakan penciptaan manusia dengan nama adam dan hawa. Misalnya Qs. Al-Nisa’:1 “ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Penafsiran kontroversial dalam ayat tersebut terletak pada lafadz nafs wahidah, dhomir “min”, dan zaujaha. Para ulama tafsir secara umum berpendapat bahwa lafadz “nafs” yang dimaksud disini adalah adam. Kemudian lafadz “min” diambil dengan proposisi makna “dari”(sesuatu dari sesuatu yang lain) dan lafadz “ zaujaha” diartikan sebagai istri adam, hawa. Sehingga dengan mudah dipahami bahwasanya hawa diciptakan dari bagian unsur organ tubuh adam tepatnya pada tulang rusuknya. adapun kitab-kitab tafsir mu’tabar yang turut mengiyakan bentuk penafsiran diatas adalah tafsir al-Qurthubi, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir al-Bahr al-Muhith, Tafsir Ruh al-Bayan, Tafsir al-Kasysyaf, Tafsir al-Sa’ud, Tafsir Jami al-Bayan dan Tafsir al-Maraghi.
Berbeda dengan penafsiran imam Abu Muslim al-Asfahani dalam tafsir al-Razi yang mengatakan bahwa maksud dari dhamir “minha” disini bukan dari tubuh adam, melainkan tercipta dari gen, unsur pembentuk adam. Jadi, adam dan hawa sama-sama tercipta dari tanah. Hanya saja adam lebih didahulukan penciptaannnya baru setelah rampung, kemudian Allah menciptakan hawa dari tanah pula. Rifat Hassan, Tokoh feminis muslimah berkebangsaan India,  menolak keras penafsiran jumhur tadi. Dia berpendapat bahwa, kata “nafs” disini netral. Tidak harus merujuk pada adam. jika nafs wahidah diartikan adam, maka kata”adam” dalam semantis-linguistiknya berarti kata benda maskulin yang sederajat dengan arti al-insan, al-basyar dan al-nas dan bukan diartikan sebagai jenis kelamin.
Begitu juga DR. Abdul Ghani Shama (Penasehat menteri wakaf Mesir), mengatakan bahwa adam dan hawa diciptakan dari unsur materi yang sama. Sedangkan pihak yang mengatakan bahwa hawa tercipta dari tulang rusuk adam, adalah hepotesa yang diadopsi dari kisah-kisah israiliyat yang diragukan keabsahannya. Abdul Ghani Shama berpendapat bahwa sejarah awal interpretasi Al-Quran dipengaruhi setting kehidupan sosial dan budaya yang menjalar ketika itu, yakni kehidupan yang dikuasai pihak-pihak yang berpaham patriarchal. Tentunya, paradigma eksentrik ini jauh diluar dogma yang telah diajarkan Nabi. Tak diragukan lagi, tokoh teladan sejuta umat, pembawa risalah suci sejagat raya, Nabi Muhammad saw dengan segala praktik gender equality dan spirit equality yang diusungnya, berhasil mengangkat kedudukan perempuan dimasa itu sejajar dengan laki-laki dalam ranah politik, ekonomi, pendidikan baik dalam skala local, regional sampai global.
Melacak Akar Penafsiran
Mengapa di dunia Islam sampai terjadi perlakuan yang menyebabkan “dehumanisasi” atau minimal mereduksi eksistensi kemanusiaan perempuan? Apakah tidak mungkin hal ini disebabkan oleh adanya bias gender dalam penafsiran al-Qur’an yang kebanyakan didominasi oleh kaum laki-laki yang pada ujung-ujungnya mempunyai implikasi terhadap penafsisran al-Qur’an tersebut, sehingga penafsiran-penafsiran itu cenderung hanya mengakomodasi kesadaran, visi dan misi laki-laki saja.
Adalah benar bahwa secara teologis al-Qur’an dianggap mempunyai keberadaan absolut dan abadi. Namun ketika al-Qur’an ditafsirkan dan masuk dalam disket pemikiran manusia (baca: Mufassir) yang syarat dengan berbagai prejudices, setting sosiao-historis yang melingkupinya maka keberadaan penafsiran itu menjadi relatif sifatnya.  Berangkat dari asumsi bahwa hasil penafsiran al-Qur’an itu relatif sifatnya dan bahwa al-Qur’an diklaim sebagi salihun li kulli zaman wa makan maka mau tak mau al-Qur’an harus selalu ditafsirkan seiring dan senafas dengan akselerasi perubahan dan perkembangan zaman, karena al-Qur’an memang sangat kaya akan ma’na dan penafsiran (yahtamulu wujuh al-ma’na).
Menurut penelitian para antropolog, keadaan dunia islam pasca wafat nabi merupakan masa yang sarat akan gejala-gejala dekadensi hukum dan budaya meski sempat tercerahkan sebelumnya. Apalagi keadaan nash Al-Quran dan Al-Hadits yang ketika itu masih berada dalam tahap kodifikasi serta proses interpretasi. Yang tentunya, kondisi dan situasi local yang terjadi pada suatu masa, memiliki tendensius besar bagi para ulama tafsir maupun para exegesist dalam usaha manifestasi interpretasi hukum teologis yang akan ditetapkan.
Membludaknya penyaringan enkulturasi yang diserap islam dari budaya androsentris yang notabene missogamis, sangat niscaya jika menjamin terkontaminasinya pemikiran para ulama oleh paham patriarki tersebut. Diantaranya, adalah pengaruh ekspansi dakwah islam di hampir seluruh belahan bumi eropa dan Afrika dengan percampuran antara budaya wilayah jajahan Persia di timur, wilayah jajahan Romawi yang teradopsi oleh budaya Yunani, bahkan Mesir yang terpengaruh oleh budaya Mesir kunonya, semakin mendukung pada proses enkulturasi tersebut. Sehingga, sangat beralasan jika kemudian penafsiran ayat-ayat Al-Quran maupun Al-Hadits yang cenderung mengisyaratkan mekanisme penciptaan perempuan itu, kemudian ditafsirkan mirip seperti dengungan redaksi kitab genesis dalam perjanjian lama tepatnya di pasal 21-23 yang mengatakan bahwa, “ketika adam sedang sendirian ditaman surga, maka Allah menidurkannya. Kemudian dalam keadaan tidur, Allah mengambil bagian tulang rusuk kiri adam dan melapisinya dengan daging akhirnya terbentuklah makhluk sejenis perempuan. Dan setelah bangun, muncul disisinya sosok perempuan cantik tersenyum padanya. Bertanya adam, “siapa kamu?” “perempuan”, jawab hawa. “Mengapa kamu diciptakan”?, Tanya adam lagi. “supaya kamu mendapat kesenangan dari saya”, kata hawa. Dan ditanyakan ke malaikat bahwa dia dinamakan hawa karena dia diciptakan dari sebuah benda hidup (tulang rusuk)”.
Kisah estetis yang ternyata juga tersirat di kitab yahudi ini dan kitab semit lainnya, ternyata sudah menjadi santapan obrolan lama berikut kepercayaan dasar dari mayoritas umat agama islam semenjak dahulu kala. Bagaimana tidak, la wong ulama tafsir klasik pun menyuapi kisah dan keyakinan yang sejalan dengan kisah-kisah israiliyat tersebut. Dari sini, nampak sudah akar penyebab ayat-ayat yang terkesan bias gender sehingga berimplikasi pada tersubordinasinya posisi perempuan dalam bingkai kehidupan filosofis-teologis berikut sosio-kultural yang menganak-turun ini.
Tak hanya nash Al-Quran, teks Al-Hadits pun turut termanipulasikan oleh budaya dan tradisi lokal. Teks-teks hadits bahkan lebih banyak diklaim bias gender. Posisi hadits yang dinyatakan sebagai bentuk tafsir perincian dan penjelas dari nash Al-Quran ini semakin memperkuat asumsi the second creation-nya perempuan karena tertulis sangat jelas disana adanya lafadz “al-Dhol’i “ yang berarti tulang rusuk. Yang semula di Al-Quran masih bermakna ambigu, ternyata telah tertera sangat gamblang di Al-Hadits bahwa nyatanya perempuan selalu disandingkan oleh kata tulang rusuk. Diperkuat lagi dengan perawi-perawi hadits yang mengupas tentang hal ini, adalah kebanyakan para perawi shohih, seperti Bukhori Muslim.
Padahal, jika ditelisik lebih jauh, dari sekian banyak hadits yang memuat ciri perempuan yang dari tulang rusuk itu, selalu diawali dengan huruf” lam jeir” yang berarti “seperti”. Meskipun ada sebagian yang bergandengan dengan huruf “min”, itupun hanya segelintir. Dan lagi, kumpulan hadits yang berbicara masalah perempuan ini, tak ada satupun yang berjudulkan “penciptaan perempuan” tapi “ cara bermu’amalah dengan perempuan”. Seperti dalam contoh : “Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632).
Telah terpampang jelas tema besar dalam permulaan hadits ini, yaitu “ cara bermu’amalah dengan perempuan” sangat tidak etis jika penafsiran lafadz “diciptakan” diatas, kita artikan secara tekstual. Tentunya, teks kalam Ilahi maupun sabda Rasul mengandung makna eksoterik dan esoteric yang mendalam. Berkaitan dengan makna esoteric, suatu teks yang didalamnya bermakna rahasia yang mampu diketahui oleh orang-orang tertentu saja (orang-orang yang berilmu). Termasuk makna teks hadits tersebut, yang sarat mengandung makna metaforis. huruf “min” diatas berarti “bersifat” yang artinya, perempuan diciptakan dengan “bersifat tulang rusuk”. Isyarat akan ciri kelembutannya, kehalusan perasaannya, sikap dan bawaannya yang mudah berubah-ubah, cepat emosi dan temperamental.
Untuk itu, Rosulullah mengarahkan kaum laki-laki untuk bersikap sabar, pemaaf dan bijaksana. Seperti filosofi yang terkandung dalam tulang rusuk itu, bahwa jika sang laki-laki tidak mau memahaminya, bahkan menghukum istrinya dan memaki-makinya, maka niscaya tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali keretakan dan perpecahan dalam rumah tangga. Sangat bijaksana jika kita telusuri makna tabiat “kebengkokan” tersebut, adalah salah satu ciri keistimewaan perempuan oleh pengaruh fungsionalitas anatomiknya yang mengandung, melahirkan, menyusui dan memelihara anak-anaknya. Yang dengannya, membutuhkan feeling yang kuat, perasaan yang halus, dan daya sensitivitas yang tinggi.
Dari sini, bisa dipahami bahwa hakikat tulang rusuk yang sempat heboh oleh dengungan adagium para ulama tafsir, ulama fiqh serta exegesit klasik, perlu kita kaji ulang teks-teks yang berkaitan dengannya. Pengaruh tradisi, budaya maupun geografis suatu tempat dan masa, sangat identik pada tendensi lahirnya suatu interpretasi teks teologis. Begitu juga ajaran teologis, iapun memiliki dampak yang sangat besar pada pembentukan pola pikir dan kepercayan suatu kaum.
Rasyid Ridla menolak pandangan maenstrem
            Rasyid Ridla menolak  pandangan para mufassir yang mengatakan bahwa Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam. Dikatakan lagi dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok ketika Adam sedang tidur. Menurut Ridla  ide tersebut timbul dari apa yang termaktub di dalam Perjanjian Lama (Kitab Kejadian II: 21-23). Ridla  mengatakan bahwa jika tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Perjanjian Lama tersebut, maka pendapat “Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam” tidak akan pernah terlintas dalam benak umat Islam. Ridla juga mengatakan bahwa kisah kejadian Hawa tersebut juga terdapat dalam kitab Taurat.
            Dari cerita kejadian Hawa yang terdapat di dalam kedua kitab tersebutlah, kemudian muncul pemahaman bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Menarik untuk ditelaah kembali pernyataan Rasyid Ridla tersebut. Karena kalau kita melihat sejarah, maka kebudayaan Arab pada zaman jahiliyah banyak diwarnai oleh kebudayaan ahli kitab dari kaum Yahudi yang pindah ke Jazirah Arab sejak tahun 70 Masehi. Mereka pindah dengan membawa kebudayaan yang mereka ambil dari kitab-kitab agama mereka yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka mempunyai tempat khusus yang dijadikan sebagai pusat pengkajian warisan kebudayaan yang dinamakan dengan Midras.
            Pada saat itu Islam datang, dan di Jazirah Arabilah dakwah Islam mulai tersebar. Akhirnya, kaum Yahudi banyak yang memeluk Islam. Karena orang Yahudi (baik yang sudah Islam maupun yang belum) bertetangga dan berhubungan dengan kaum Muslimin, lama-kelamaan terjadilah pertemuan yang intensif antara keduanya, yang akhirnya juga terjadi pertukaran pandangan dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, melekatlah kebudayaan Yahudi dengan kebudayaan Islam melalui media yang lebih luas juga.
            Kegiatan itupun masih tetap berlansung sampai masa sahabat dan tabi’in. Sampai pada akhirnya cerita-cerita israiliyat tersebut merembet kedalam tafsir dan hadits dalam waktu yang sama secara berbarengan. Cerita-cerita ahli kitab baik dari kalangan Yahudi maupun Nasrani banyak diminati oleh-oleh orang-orang Islam tetutama mereka yang masih awam. Mereka punya keinginan yang besar sekali untuk mengetahui kisah-kisah dan berita-berita yang tidak dirinci secara jelas dalam Al-Qur’an  terutama kisah-kisah para Nabi, peperangan, kejadian manusia dan lain-lain.
            Pada masa tabi’in, penukilan dari ahli kitab semakin luas dan cerita-cerita israiliyat di dalam tafsir dan hadits semakin berkembang. Sumber cerita ini adalah orang-orang yang masuk Islam dari kalangan ahli kitab yang jumlahnya cukup banyak dan ditunjang oleh keinginan yang kuat dari orang-orang yang medengarkan kisah-kisah ajaib di dalam kitab mereka. Bahkan ada sekelompok mufassirin yang selalu membenarkan cerita-cerita israiliyat di dalam tafsir-tafsir mereka. Karenanya banyak tafsir-tafsir yang dipenuhi oleh kisah-kisah yang semuanya lemah dan samar. Kemudian setelah masa tabi’in, tumbuh kecintaan yang luar biasa terhadap cerita israiliyat dan diambilnya secara ceroboh, sehingga setiap cerita tersebut tidak ada lagi yang ditolak. Mereka tidak lagi mengembalikan cerita tersebut kepada Al-Quran, meskipun tidak dimengerti oleh akal.
            Dari sinilah apa yang dikatakan oleh Ridla menemukan titik akurasinya, bahwa sumber pemahaman Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam adalah dari Taurat dan Injil. Persoalannya sekarang adalah bagaimana sikap kita terhadap cerita yang dibawa oleh kaum Yahudi dan Nasrani  terhadap konsep penciptaan hawa tersebut ?             Ridla mengutip pendapat Ibn Hajar al-Asqalani yang mengatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam yang pendek ketika Adam sedang tidur. Dikatakan pula dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang pendek. Lebih lanjut Ibn Hajar mengatakan bahwa dari hadits tersebut dapat ditarik pemahaman bahwa perempuan bersifat bengkok. Dikatakan demikian karena tulang rusuk tersebut mengandung makna penetapan sifat bengkok yag dimiliki oleh kaum perempuan. Menurut Ridla, penjelasan Ibn Hajar tersebut hendaknya dicari titik kelemahannya. Lebih lanjut Ridla mengatakan bahwa pengibaratan penciptaan manusia dengan penciptaan tumbuhan teresebut merupakan sesuatu yang ghari<b (aneh). Dan ini melampaui batas ucapan para ulama salaf dan khalaf terutama dalam masalah ini. Meskipun demikian, Ridla tidak memberikan pemaparan yang jelas makna hadits tersebut.
            Setelah menempuh pemikiran mendalam serta mempertimbangkan berbagai argumentasi, akhirnya hadits tersebut mesti difahami secara metafora (majazi) seperti yang difahami oleh ulama-ulama kontemporer. Diantaranya adalah pendapat Aisyah Abdurrahman (Bint al-Syathi’) yang mengatakan bahwa pandangan “tulang rusuk yang bengkok “ menjadi asal-usul kejadian perempuan adalah sangat tekstual dan harfiah. Padahal, menurut bahasa yang dikenal dalam tatanan bahasa Arab, kata “ tulang rusuk” merupakan  kata kiasan (majazi). Menurutya, hadits tersebut bukan dimaksudkan untuk menerangkan pengertian asal-usul penciptaan perempuan, tetapi merupakan perintah kepada keturunan Adam agar tidak memperlakukan perempuan secara kasar.
            Hal ini juga sesuai dengan pendapat Quraish Shihab. Menurutnya, hadits tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat, karakter dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan laki-laki, yang apabila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu  mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan, kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya tulang rusuk yang bengkok.
Dari paparan diatas mengharuskan kita menempatkan hadits Bukhari dan Muslim sebagaimana yang disebut diatas untuk difahami secara majazi. Karena hadits tersebut tidak menerangkan asal-usul penciptaan perempuan, tetapi penringatan kepada keturunan Adam, supaya memperlakukan perempuan secara bijaksana. Karena ada sifat, karakter dan kecenderungan yang tidak sama dengan laki-laki, dan apabila tidak disadari akan membuat kaum lelaki bersikap tidak wajar.
Kritik Amina Wadud
Riset Amina Wadud mengenai perempuan dalam al-Qur’an yang tertuang dalam bukunya Qur’an and Woman, merupakan upaya untuk menjawab kegelisahan iintelektualnya mengenai ketidakadilan gender dalam masyarakat yang diduga sebagai bias patriarkhi yang cenderung memarjinalkan perspektif wanita dalam penafsiran al-Qur’an konvensional. Dari sini Wadud mencoba untuk melakukan dekonstruksi terhadap model penafsiran klasik dan sekaligus merekonstruksinya dengan menawarkan metode tafsir baru yang inklusif gender. Dalam risetnya Wadud menggugat habis bias gender yang mewarnai tradisi tafsir selama ini. Ia membedakan nas-nas dan kata-kata kunci tertentu yang telah digunakan untuk membatasi peran kemasyarakatan dan individual muslimah, dan menunjukkan bahwa makna asli dan konteks dari nas-nas tersebut menolak penafsiran demikian. Apa yang diklarifikasi oleh analisisnya adalah tiadanya bias, preseden, atau prasangka gender dalam al-Qur’an.
Riset Wadud mempertegas persamaan wanita dan menentang perlakuan tak adil yang secara historis telah dialami wanita dan secara legal terus berlanjut diberbagai komunitas muslim dewasa ini. Qur’anlah, tandas Wadud, yang paling berpeluang untuk membimbing masyarakat manusia menuju kolaborasi antara laki-laki dan perempuan yang paling efektif. Lewat karya tulisnya “Qur’an and Woman” Amina Wadud menggulirkan letupan-letupan pemikirannya yang cerdas, tegas dan syarat akan kritik. Ini dapat kami lihat tatkala ia memamparkan kategorisasi penafsiran al-Qur’an. Menurut Amina Wadud penafsiran-penafsiran tentang wanita selama ini dapat dikategorisasikan menjadi tiga  corak: tradisional, reaktif, holistik.
Kategori pertama, tafsir “tradisional”. Model tafsir ini menurut Amina Wadud menggunakan stressing tertentu sesuai dengan minat dan kecenderungan mufassirnya, seperti hukum, isoteris, sejarah, sastra, gramatika, dan lain sebagainya. Model tafsir semacam ini bersifat atomistik, penafsirannya dilakukan ayat per ayat dan tidak tematik (maudhu’i), sehingga bahasannya terkesan parsial, tidak ada upaya untuk mendiskusikan tema-tema tertentu menurut al-Qur’an itu sendiri. Mungkin saja ada pembahasan mengenai hubungan antara ayat satu dengan ayat lainnya. Namun, ketiadaan penerapan hermeneutik atau metodologi yang menghubungkan ide, struktur, sintaksis, atau tema yang serupa membuat pembacanya gagal menangkap Weltanschauung al-Qur’an
Yang menjadi kritik tujuan Amina Wadud terhadap model tafsir pertama ini adalah kesan ekslusifnya karena hanya ditulis oleh kaum Adam, sehingga yang terakomodasi di dalamnya hanya visi dan perspektif laki-laki Dan akhirnya pembentukan paradigma dasar dihasilkan tanpa partisipasi dan representasi langsung dari kaum wanita. Tragisnya kebungkaman wanita selama periode kritis perkembangan tafsir al-Qur’an bukan saja tidak diperhatikan, bahkan situasi ini secara salah telah dipersamakan dengan kebungkaman al-Qur’an itu sendiri. Dan yang lebih tragis lagi disadari atau tidak seringkali kaum muslim menggunakan legitimasi agama (dalam hal ini tafsir model tradisional yang dianggapnya merupakan hasil pemikiran yang sudah final dan taken for granted) untuk mengabsahkan perilaku dan tindakannya. Benar kiranya apa yang pernah diikatakan oleh Peter L. Berger bahwa agama sering kali dijadikan legitimasi tertinggi karena ia merupaan sacred canopy (langit-langit suci)
Kategori kedua, tafsir reaktif, tafsir model ini merupakan reaksi para pemikir modern terhadap berbagai kendala berat yang dihadapi wanita sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat yang dianggap berasal dari al-Qur’an . Persoalan yang dibahas seringkali berasal dari gagasan kaum feminis dan rasionalis tanpa dibarengi analisis dan komprehensif terhadap ayat-ayat bersangkutan sehingga terlihat terputus dari sumber ideologi atau teologi Islam yakni al-Qur’an. Reaksi mereka tidak berhasil membedakan antara penafsiran dan al-Qur’an
Kategori ketiga, tafsir holistik, tafsir model terakhir ini menggunakan metode penafsiran yang komprehensif dan mengkaitkannya dengan berbagai masalah sosial, moral, ekonomi dan politik modern termasuk isu tentang wanita. Tafsir model ini merupakan kontribusi penting Wadud dalam merekonstruksi tafsir-tafsir yang ada.
Setiap pemahaman dan penafsiran terhadap suatu teks termasuk teks kitab suci al-Qur’an tidak terlepas dari perspektif mufassirnya. Cultural background, prejudice yang melatarbelakanginya yang oleh Amina Wadud disebut prir text, sehingga tidak mengherankan meskipun teks itu tunggal, jika dibaca oleh beberapa orang hasilnya akan bervariasi, terkait dengan ini Wadud dengan tegas mengatakan: Although ear reading is unique, the understansing of various readers of single text will converge of many points” Menurut Wadud hal ini terjadi karena selama ini tidak ada metode tafsir yang benar-benar obyektif. Untuk memperoleh penafsiran yang relatif obyektif Wadud menawarkan untuk kembali ke prinsip-prinsip dasar dalam al-Qur’an sebagai kerangka paradigmanya yang lebih lanjut Wadud juga mensyaratkan perlunya seorang mufassir memahami weltanschauung atau world view. Suatu metodologi yang dipinjamnya dari Fazlur Rahman.
Setelah melontarkan kritik terhadap pendekatan atomistik tafsir tradisional. Ia menawarkan metode tafsir tauhid untuk menegaskan betapa kesatuan al-Qur’an merambah seluruh bagiannya. Tujuan dari metode tafsir ini adalah untuk menjelaskan dinamika antara hal-hal yang universal dan partikular dalam al-Qur’an. Al-Qur’an berusaha menetapkan dasar pedoman moral yang universal. Tentu saja kondisi jazirah Arab abad ke-7 melatarbelakangi al-Qur’an dan tujuan bimbingannya yang universal.  Pada dasarnya yang diinginkan Amina Wadud adalah bagaimana menangkap spirit Al-Qur’an secara utuh, holistik dan integral. Jadi, jangan sampai sebuah penafsiran itu terjebak kepada teks-teks yang bersifat parsial dan legal formal, tapi lebih ditekankan bagaimana menangkap keseluruhan ide dan spirit (ruh) yang ada di balik teks. Sebab problem penafsiran Al-Qur’an sesungguhnya adalah bagaimana memahami teks Al-Qur’an (nass) yang terbatas dengan konteks yang tak terbatas. Lebih-lebih dalam waktu yang bersamaan kita ingin menjadikan Al-Qur’an selalu relevan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Metode tafsir tauhid perspektif Amina Wadud ini merupakan salah satu bentuk metode penafsiran yang di dalam pengoperasiannya dimaksudkan untuk memperoleh kesimpulan makna suatu teks atau ayat. Dalam metode tersebut seorang mufassir harus selalu menghubungkan tiga aspek yaitu (1) Dalam konteks apa teks itu ditulis. Jika kaitannya dengan Al-Qur’an, maka dalam konteks apa ayat ini diturunkan, (2) Bagaimana komposisi tata bahasa teks (ayat) tersebut, bagaimana pengungkapannya, apa yang dikatakannya, (3) Bagaimana keseluruhan teks (ayat), Weltanschauung-nya atau pandangan hidupnya
Sebagai langkah teknis ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, ketiga prinsip tersebut dapat dielaborasi lebih lanjut sebagai berikut, yaitu setiap ayat yang hendak ditafsirkan dianalis (1) Dalam konteksnya; (2) Dalam konteks pembahasan topik yang sama dalam Al-Qur’an; (3) Menganalisa bahasa yang sama dan struktur sintaksis yang digunakan di seluruh bagian Al-Qur’an; (4) Bersikap benar-benar berpegang teguh pada prinsip-prinsip Al-Qur’an; (5) Menurut konteks Weltanschauung Al-Qur’an atau pandangan dunianya.Walaupun model penafsiran ini diklain “baru”, tapi dengan penuh kejujuran, akhirnya Wadud mengakui bahwa ia terinspirasi dan bahkan sengaja meminjam metode yang ditawarkan Rahman. Dengan jujur dikatakan “thus, I attempt to use the method of Qur’anic interpretation proposed by Fazlur Rahman”.
Menurut Wadud, mufassir harus dapat menangkap prinsip-prinsip fundamental yang tak dapat berubah dalam teks Al-Qur’an itu sendiri, lalu penafsir melakukan refleksi yang unik untuk melakukan kreasi penafsiran sesuai dengan setting sosio-kultural masyarakat zamannya. Lebih lanjut Wadud menandaskan penafsiran itu sesungguhnya tidak hanya memahami teks, tapi juga memproduksi makna teks. Model penafsiran ini nampaknya mirip dengan Hermeneutika Gadamer yang ingin meniscayakan interpreter bukan saja mampu memahami teks tapi lebih lanjut juga sebagai komponen rekonstruksi sosial (Social Creation). Dengan begitu, maka teks itu menjadi “hidup” dan kaya akan makna. Teks itu akan menjadi dinamis pemaknaannya dan selalu kontekstual, seiring dengan akselerasi perkembangan budaya dan peradaban manusia. 
The Origins of the Human Kind  dan Kesetaraan Laki-laki-Perempuan
Dalam diskursus feminisme, konsep penciptaan perempuan merupakan isu yang sangat penting dan mendasar untuk dibicarakan sebab konsep kesetaraan (al-musawah/equality) atau tidak kesetaraan dapat dilacak akarnya dari konsep penciptaan perempuan. Dalam pembahasan mengenai kesetaraan ini, Wadud menarik ke akar teologis permasalahannya, yakni pada asal usul penciptaan manusia sebagaimana dijelaskan QS. Al-Nisa (4) dan QS. Ar-Rum (30:2). Dalam hal ini yang menjadi obyek analisis Wadud adalah kata min, nafs wahidah dan kata zawj.
Kata min dalam gramatika bahasa Arab setidaknya mempunyai dua fungsi, selain digunakan untuk kata depan ‘from’ dalam bahasa Inggris yang menunjukkan arti penarikan sesuatu hal dari hal-hal lain. Juga dapat digunakan untuk menunjukkan “arti dari sifat yang sama dengan”. Namun mufassir klasik menjatuhkan pilihan pada makna ‘from’. Padahal dalam ayat lain yang semisal (baca QS Al-Rum (30): 21 dan Al-Taubah (9): 128) ketika disebut min dan nafs min  itu diartikan “dari jenis-jenis yang sama” (min al-jinsiyah).
Menurut Wadud kata nafs menunjukkan asal-usul semua manusia secara umum. Dalam versi Al-Qur’an asal-usul manusia tidak dinyatakan dalam istilah jenis kelamin dan Al-Qur’an juga tidak pernah menyatakan bahwa Allah memula penciptaan manusia dengan nafs dalam arti Adam. Pendapat Wadud ini didasarkan pada analisis linguistiknya terhadap kata nafs, yang menurut tinjauan tata bahasa, nafs adalah feminim (muannath majazi). Dan menurut konsepsi, nafs tidak maskulin maupun feminim dan menjadi bagian esensi dari setiap orang laki-laki atau wanita. Berdasarkan analisis ini dengan tegas Wadud menyatakan: “The Qur’anic version of creation of human kind is nor expressed in gender term.
Demikian pula kata zawj, sesungguhnya bersifat netral, karena secara konseptual kebahasaan juga tidak menunjukkan bentuk mu’annath (feminim) atau mudzakkar (maskulin). Kata zawj yang jamaknya azwaj ini juga sering digunakan untuk menyebut tanaman (QS. 55-52) dan hewan (QS. Hud (11): 40) disamping untuk manusia. Pertanyaannya adalah mengapa para mufassir jatuh pada pilihan menafsirkan kata zawj dengan istrinya, yaitu hawa yang berjenis kelamin perempuan? ternyata menurut Amina Wadud, para mufassir seperti Al-Zamakhshari dan lainnya, melakukan hal itu karena berdasar pada bibel. Dalam hal ini penulis kurang sependapat dengan Amina Wadud, karena sesungguhnya telah ditemukan hadits shahih secara metodologis yang menjadi dasar para mufassir untuk menafsirkan kata nafs wahidah dengan Adam, dan zawj dengan hawa. Memang hadith tersebut sering dipertanyakan keabsahannya oleh sebagian ulama, termasuk para feminis, seperti Riffat Hassan dan Amina Wadud. Yang jelas sepengetahuan penulis, para ulama tidak merujuk pada Bibel ketika menafsirkan (QS. Al-Nisa’ (4): 1), mengenai fenomena pasangan (azwaj) dalam penciptaan manusia. Hal ini menurutnya sesuai dengan Weltanschauung al-Qur’an yakni prinsip tauhid (keesaan Allah). Al-Qur’an menyatakan bahwa segala sesuatu itu diciptakan berpasangan, sedangkan Dia yang menciptakan tidaklah berpasangan, sang pencipta hanya satu.
Khotimah
Implikasi teoritis dari fenomena pasangan ini (aswaj) dalam penciptaan manusia bahwa antara laki-laki dan perempuan hendaknya saling melengkapi dan saling mengisi satu dengan yang lainnya. Keduanya harus dipandang secara equal (musawah) dan dalam hubungan fungsional, bukan struktural. Karena jika dilihat secara struktur akan cenderung melahirkan budaya sub ordinasi. Laki-laki dan perempuan ibaratnya dua sayap burung merpati yang keduanya harus berfungsi menggerakkan tubuh burung tersebut agar dapat terbang meluncur dengan lancar. Jika salah satu sayapnya patah atau sengaja dipatahkan, maka burung itu tidak akan bisa terbang baik, karena kehilangan keseimbangan. Itulah makna balancing power dan eksistensi perempuan bagi laki-laki, jadi laki-laki dan perempuan merupakan co-existence dan pro existence #








PEACE BUILDING COMMUNITY

Ust. Hefni Zain

Pendahuluan
Sudah menjadi watak atau bahkan fitrah dari setiap manusia untuk mencita-citakan kehidupan yang aman, tentram, harmoni, dan damai. Dengan kedamaian, diharapkan tercipta dinamika yang sehat, harmonis dan humanis dalam setiap interaksi antar sesama, tanpa ada rasa takut dan tekanan-tekanan dari pihak lain. Oleh  karena itu, kedamaian merupakan hak mutlak setiap individu sesuai dengan entitasnya sebagai makhluk yang mengemban tugas sebagai pembawa amanah Tuhan (khalifah fi al-ardl) untuk memakmurkan dunia ini.
Salah satu tantangan berat bagi agama-agama dewasa ini, adalah mewujudkan perdamaian dunia, karena masih banyaknya peristiwa-peristiwa konflik, kekerasan dan intimidasi yang melanda dunia global. Lihat saja konflik berkepanjangan antara Palestina dan Israel, konflik di berbagai negara di benua afrika, isu-isu terorisme, dan masih banyak yang lainnya. Deretan permasalahan global yang ada itu harus dijawab oleh agama-agama dunia sebagai upaya menjadikan umat manusia lebih humanis dan dialektis dalam menghadapi persoalan global.
Oleh karena itu, Paus Yohanes pada Konsili Vatikan II pernah menggagas adanya dialog perdamaian dalam skala yang lebih luas. Dialog yang menentukan arah terwujudnya dialog antar agama-agama dunia. Kemudian usaha dialog antar agama ini dilanjutkan oleh Cardinal Montini (Paus Paulus VI) pada masanya dan tercetuslah kelima teks penting yang terdiri: Light of The NationsIn Our TimeOn Divine RevelationJoy and Hope to The Nations dan Dignity of The Human Person. Sebagian teks-teks itu berisi tentang hubungan Kristen dengan agama lain, khususnya Islam[1]
Kecuali itu, pada tahun 1893 di Chicago, Parlemen Agama-Agama Dunia tampil membawa semangat perdamaian untuk dunia. Parlemen ini lahir sebagai respon atas paradigm modernitas yang telah menjadikan agama sebagai realitas parsial. Respon tersebut lahir setelah melihat adanya krisis global yang mendunia. Mulai dari krisis ekologi, seperti pemanasan global, kerusakan lingkungan, dan musibah bencana alam, hingga krisis sosial-politik, seperti kekerasan dan perang, konflik antar agama dan etnik, dan sebagainya. Baru 100 tahun sesudahnya, yakni pada 28 Agustus sampai 4 September 1993 parlemen tersebut bekerja sama dan menyusun sebuah “Deklarasi Menuju Etika Global” dengan dihadiri tidak kurang dari 6500 orang dari tiap agama.
Adapun salah satu isi kandungan yang tertuang dalam naskah Deklarasi Menuju Etika Global yang berbicara mengenai perdamaian dan nirkekerasan diantaranya adalah: “But in the great ancient religious and ethical traditions of humankind, we find the teaching: You shall not kill! Or in positive terms: Have respect for life! Concretely that means that no one has the right to torture, injure, and certainly not to kill, any other human being……” serta:  “…….every peoples, every race, every religion must show tolerance, respect, indeed, high appreciation for every other. Minorities whether they are racial, ethnic or religious- need our protection and our support [2]. Dari sinilah, agama-agama dunia memberikan kontribusi aktif dalam usaha mengurai dan mencari jalan solusi bagi problematika dunia global. Nilai-nilai universal dari masing-masing agama dunia dijadikan konsensus bersama untuk mewujudkan etika global. Etika yang diharapkan menjadi solusi bagi permasalahan dunia global, terutama untuk mewujudkan perdamaian di antara umat manusia dan umat beragama.
Unisco dalam Declaration of a Culture of Peace menyebutkan bahwa budaya damai merupakan sikap, tindakan, tradisi, dan model perilaku dan cara hidup yang didasarkan pada: (1) Menghargai kehidupan, mengakhiri kekerasan dan mengedepankan sikap nirkekerasan melalui dialog dan kerjasama.(2) Penghargaan penuh terhadap prinsip-prinsip kedaulatan, dan kemerdekaan sesuai hukum internasional. (3) Penghargaan penuh terhadap hak asasi manusia (4) Komitmen terhadap penyelesaian konflik secara damai.(5) Upaya untuk menemukan kebutuhan pembangunan dan lingkungan tidak hanya saat ini tetapi juga untuk generasi yang akan datang.(6) Menghargai kesederajatan.(7) Mengedepankan kesamaan dan kesetaraan hak dan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan. (8) Menghargai dan mengedepankan hak-hak setiap orang untuk merdeka berekspresi, berpendapat dan mendapatkan informasi.(9) Mengikuti prinsip-prinsip kebebasan, keadilan, demokrasi, toleransi, solidaritas, kerjasama, penghargaan terhadap kemajemukan, perbedaan agama dan budaya, dialog dan pengertian pada setiap tingkatan masyarakat dan bangsa[3]
Banyak kalangan memahami perdamaian sebagai keadaan tanpa konflik. Pemahaman seperti ini merupakan contoh dari definisi perdamaian negatif, yakni situasi absennya berbagai bentuk konflik dan kekerasan lainnya. Tetapi ada pula definisi perdamaian positif (positive peace) yakni absennya kekerasan struktural atau terciptanya keadilan sosial serta terbentuknya suasana harmoni. Hal itu senada dengan adagium “jika engkau menghendaki perdamaian, siapkanlah suasana damai sejati dengan cara-cara yang lebih manusiawi”. Berdasarkan konsep ini, usaha untuk mewujudkan perdamaian tidak hanya untuk mengurangi tindak kekerasan saja, akan tetapi juga adanya ikhtiar untuk mewujudkan rasa tentram, harmoni, dan damai dalam realita kehidupan sosial.
Selain dorongan intrinsik dalam diri manusia, nilai-nilai perdamaian juga dapat ditemukan dan diinspirasi dalam pandangan-pandangan keagamaan dan kebijaksanaan masyarakat (local wisdom). Islam, misalnya, adalah agama yang memproklamirkan diri sebagai agama perdamaian, setidaknya ada tiga alasan yang dijadikan hujjah : pertama, Islam itu sendiri berarti kepatuhan diri (submission) kepada Tuhan dan perdamaian (peace). Kedua, salah satu dari nama Tuhan dalam al-asma` al-husna  adalah yang Maha damai (al-salam). Ketiga, perdamaian dan kasih-sayang merupakan keteladanan yang dipraktikkan oleh Rasululloh saw seperti piagam madinah (al-sahifah al-madinah), perjanjian hudaibiyah, dan pakta perjanjian yang lain, Bagi islam perdamaian merupakan jantung dan denyut nadi dari agama, menolak perdamaian merupakan sikap yang bisa dikategorikan sebagai menolak esensi agama dan kemanusiaan.[4]
Membangun Masyarakat Damai
Untuk menciptakan perdamaian dunia, diperlukan beberapa aspek pendukung, diantaranya : Pertama, pengakuan dan basis keseteraan (recognition and basis of equality). Kesetaraan menjadi suatu pondasi dasar untuk dapat menciptakan perdamaian. Kedua, mutual respect. Menghargai keyakinan, agama, dan tradisi yang berbeda juga menjadi elemen penting yang dapat menumbuhkan perdamaian dunia. Menghargai bukan selalu menyetujui dan mengikuti keyakinan lain, namun menghargai merupakan kemauan dari setiap pihak untuk untuk mendengarkan yang lain dan menerima secara konstruktif terhadap ide dan kritik. Ketiga, dialog yang jujur yang dilandasi semangat mencari titik temu. Dialogue likewise makes it possible for both parties to identify common ground in their civilizations, cultures, and histories that may be utilized for the interests of both . Keempat, toleransi. Dialog yang tercipta tidak akan berhasil jika tidak ada toleransi di antara agama dan pemeluk keyakinan. Kelima, joint cooperation. Dari kelima poin tersebut, pada gilirannya berujung pada terwujudnya kerjasama semua pihak untuk mewujudkan perdamaian dunia.
Sesuai misinya, agama-agama seharusnya ditampilkan sebagai sarana perdamaian dan penyebar kasih sayang, bukan malah menjadi alat kekerasan dan pertikaian. Gerakan keagamaan pada masa-masa awal yang dipraktekkan oleh para Rasul pembawanya adalah gerakan pencerahan dan pembebasan manusia dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam segala aspeknya, Nabi Muhammad saw misalnya, dalam berdakwah untuk pencerahan umat, tidak langsung menawarkan Islam sebagai sebuah ideologi yang normatif, melainkan sebagai pengakuan terhadap perlunya memperjuangkan secara serius problem bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia, dengan meyusun kembali tatatan yang ada menjadi tatanan yang tidak eksploitatif. Hal tersebut mempunyai makna bahwa semua agama secara teologis memberikan penghargaan terhadap manusia secara sejajar, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadilan, serta mengasihi yang lemah dan tertindas.
Perdamaian dunia, tentu  meniscayakan beberapa kesadaran dan sikap potitif, seperti sikap saling mengakui, menghormati, berdialog dan menciptakan suasana harmonis diantara sesama makhluk Tuhan di muka bumi. Dari kesadaran saling mengakui dan memahami pada gilirannya beranjak pada sikap saling menghormati dan menghargai yang pada akhirnya meningkat pada sikap saling mempercayai. Sikap saling mempercayai merupakan hal penting bagi terbangunnya kehidupan yang damai, bahkan syarat utama untuk menciptakan perdamaian di dunia adalah kepercayaan yang didasari dengan rasa saling mengerti satu sama lain. Karena itu sangat penting untuk bisa memahami ajaran agamanya sendiri, dan juga memahami agama orang lain. Banyak orang hanya dekat dengan mereka yang sefaham dan seringkali menghindari orang yang tidak tidak sefaham, padahal dari yang tidak sefaham itulah seseorang akan mengenal sudut pandang yang baru.
Demikian juga dengan budaya dialog, diharapkan kesalah pahaman yang terjadi selama ini akan dapat teratasi. Dialog tersebut dimaksudkan untuk lebih saling mengenal dan saling menimba pengetahuan baru tentang agama-agama mitra dialog. Dengan dialog, para penganut agama dapat memperkaya wawasan dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan kerukunan dan hidup damai dalam suatu masyarakat.  Disini para penganut agama-agama dapat meningkatkan toleransi dari saling menghakimi, menjadi memahami, dan kemudian saling mengalami. Pada tingkat paling tinggi, mereka menikmati kehadiran orang lain dengan lapang dada,” Tentu saja dalam prinsip musyawarah yang dibesar-besarkan bukan sisi perbedaannya, tetapi sisi persamaannya.
Sebuah contoh nyata dari keberhasilan dialog antar keyakinan adalah yang diselenggarakan umat Muslim di Amerika Serikat untuk meluruskan kesalah pahaman dan stigma nigatif terhadap Islam pasca tragedi WTC 9 Nopember. Hasilnya cukup menggembirakan, saat itu umat Islam berhasil meyakinkan peserta dialog bahwa tidak ada satupun agama di dunia ini yang mengajarkan keburukan, karena itu setiap bentuk ketidak baikan yang terjadi di ranah riil kemanusiaan atas nama agama, dapat dipastikan adalah prilaku oknum pengikut agama yang telah salah faham terhadap agama atau menggunakan faham yang salah dalam memotret agama yang bersangkutan. 
Munculnya berbagai ketidak puasan terhadap prilaku umat beragama, karena di ranah empirik telah dianggap mencederai nilai-nilai luhur kemanusiaan, sesungguhnya bukan konsederasi yang tepat atau hujjah yang kuat untuk melakukan generalisasi atau menimpakan kesalahan itu pada diri agama. Harus dibedakan antara ajaran agama yang semestinya dengan ajaran yang telah dipraktekkan pemeluknya berdasarkan tafsir kepentingan.
Islam dan agama-agama lain tidak ada yang mengajarkan apalagi menganjurkan  kekerasan atau terorisme seperti anggapan mayoritas penduduk AS selama ini. Melalui dialog antar keyakinan ini menjadi pembuktian dari masyarakat Muslim bahwa Islam justru mengajarkan perdamaian dengan mengudang tokoh-tokoh agama lain untuk membicarakan mengenai keyakinan masing-masing. Dialog antar keyakinan merupakan salah satu cara efektif untuk menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada. Dialog menjadi suatu bentuk komunikasi dimana masing-masing pihak dapat menyuarakan pendapat dan mendengar pendapat dari pihak lain. Dialog dapat menjadi cara dan sarana untuk mengkolaborasikan nilai-nilai positif yang ada di setiap keyakinan hingga akhirnya dapat tercipta perdamaian dunia. 
Dalam membangun perdamaian musti dikedepankan cara-cara persuasif yang saling menguntungkan sebagai konsekwensi dari hidup dalam sebuah masyarakat dialog. Kita tidak lagi hidup dalam zaman kapak yang menempatkan kekerasan sebagai jalan keluar dari perbedaan yang ada tetapi dengan dialog. Jika kekerasan yang menjadi alat penyelesaian masalah, maka konflik akan terus terjadi karena sampai kapanpun kita akan bertemu dengan perbedaan. Dalam Al-Quran dengan jelas disebutkan bahwa Allah tidak menciptakan manusia untuk saling menyakiti, apalagi membunuh. Perbedaan ras, suku, dan bangsa dimaksudkan Allah Swt agar saling mengenal, bukan membenci dan bermusuhan (Qs. al-Hujurat:13). Oleh karena itu, umat Islam di manapun mereka berada harus berusaha mewujudkan perdamaian dan membangun semangat keislaman yang moderat dan tidak ashobiyah yang hanya mementingkan kelompoknya agar menjadi pionir dalam mengampanyekan kedamaian dan perdamaian.                                                           Kometmen Islam Mewujudkan Perdamaian
Perdamaian merupakan ajaran yang prinsip dan mendasar dalam Islam, untuk menunjukkan kometmennya terhadap perdamaian sampai-sampai Islam disematkan sebagai nama agama ini. Seperti difahami kata Islam berarti keselamatan, rasa aman dan perdamaian. Kata ini disebut sampai 140 kali dalam Al-Qur’an, sebuah jumlah yang sangat signifikan untuk menegaskan bahwa Islam betul-betul serius memberikan keselamatan, rasa aman dan kedamaian tidak saja bagi seluruh umat manusia, bahkan bagi semesta alam. Dan hal ini tidak saja berputar pada tataran konsepsional, tetapi telah dipraktekkan secara nyata oleh Rasululloh saw beserta para sahabat.
Perdamaian merupakan hal yang esensial dalam kehidupan manusia. Dalam suasana aman dan damai, manusia akan hidup dengan tenang sehingga dapat melaksanakan berbagai kewajibannya dengan baik tampa intimidasi. Bahkan kondisi damai dalam kehidupan setiap mahluk merupakan tuntutan, karena dibalik ungkapan damai itu menyimpan keramahan, kelembutan, persaudaraan dan keadilan. Dari paradigma ini, Islam diturunkan oleh  Allah swt ke muka bumi dengan perantaraan seorang Nabi yang diutus kepada seluruh manusia untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam, (Qs. al-Anbiyâ’ : 21:107).
Misi utama kehadiran Islam adalah untuk mewujudkan perdamaian dan keadilan bagi seluruh umat manusia, sesuai dengan nama agama ini : yaitu  al-Islām  yang secara leksikal menurut Al-Ghazāli bukan nama dari agama tertentu, melainkan nama dari persekutuan agama yang dibawa oleh Nabi-Nabi dan dinisbatkan kepada seluruh pengikut mereka. Dalam Islam, perdamaian diistilahkan dengan al-aman  yang maknanya sepadan dengan  al-salam yaitu  peace (perdamaian). Itulah misi dan tujuan diturunkannya Islam pada umat manusia. Karena itu, Islam diturunkan tidak untuk memelihara permusuhan atau menyebarkan dendam kesumat di antara umat manusia. Konsepsi dan fakta-fakta sejarah Islam menunjukkan, bagaimana sikap tasāmuh (toleran) dan kasih sayang kaum muslimin terhadap pemeluk agama lain, baik yang tergolong ke dalam ahl al-Kitab maupun kaum musyrik, bahkan terhadap seluruh makhluk, Islam mendahulukan sikap kasih sayang, keharmonisan dan dan kedamaian.
Diantara bukti dari fokus Islam terhadap perdamaian adalah selain secara normatif telah didasari oleh teks-teks suci misalnya, Qs. Yaasin, 58 “Salamun, qaulan min rabbir ar rahim”(Kepada mereka dikatakan) : “Salam”, sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang”, Dan Qs. al-Maaidah, 32 “Dan jika seseorang menyelamatkan satu jiwa, ini seolah-olah ia telah menyelamatkan jiwa seluruh umat”,  Juga secara operasional adalah dengan dirumuskannya Piagam Madinah (al-sahifah al-madinah) yang menjadi instrumen penting bagi perintisan  peace  building  community yang berorientasi pada perdamaian dan kebersamaan serta mengusung konsep aplikasi nilai-nilai kemanusiaan, persamaan hak dan kebebasan kepada masyarakat, yang oleh kebanyakan pakar sejarah disebut sebagai konstitusi negara pertama yang  belum pernah terjadi sebelumnya pada peradaban dan negara manapun, terlebih di kawasan Arab.
Pola perilaku Nabi saw yang dibentuk oleh nilai inti kepemaafan merupakan suatu manifestasi ajaran-ajaran wahyu Tuhan. Ditetapkan dalam al-Qur’an bahwa memaafkan merupakan kewajiban kaum Muslimin, bahkan ketika mereka marah. Al-Qur’an juga secara jelas menegaskan : Balasan untuk suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa dengannya Tetapi jika seseorang memberi maaf dan melakukan rekonsiliasi, balasannya adalah dari Tuhan : karena (Tuhan) tidak menyukai orang yang melakukan kezaliman. Menurut ayat ini, pemberian maaf dan rekonsiliasi adalah tindakan terpuji, karena memaafkan merupakan suatu nilai yang secara jelas dianjurkan di dalam al-Qur’an,. Memaafkan merupakan obat penawar terhadap tindakan-tindakan masa lalu yang tidak dapat diubah. Sebagai suatu proses antara dua kelompok yang bertikai, memaafkan menjadi suatu tindakan saling membebaskan bagi yang memberi maaf dan yang dimaafkan. Maaf membantu mengubah hubungan-hubungan sosial, sehingga perdamaian dan tindakan nirkekerasan menjadi mungkin di masa depan.
Nilai-nilai perdamaian Islam, yaitu kesabaran, penghormatan dan penghargaan terhadap manusia dan kemanusiaan, berbagi bersama, kreativitas dan tindakan memaafkan yang diidentifikasi dari kehidupan Nabi saw adalah kondusif bagi upaya-upaya penciptaan perdamaian dan menghindari tindak kekerasan baik dilingkungan dalam (intern) umat beragama maupun lingkungan luar (ekstern) umat beragama. Nilai-nilai itulah yang perlu terus menerus dikembangkan sebagai  manefestasi dari rahmatan lil ‘alamin  yang berlaku untuk semua etnis, bangsa, ras, kulit dan agama, tanpa syarat apapun. Kometmen ini harus tetap dijaga dan dilestarikan walaupun dengan teknis yang berbeda sesuai zamannya, tetapi paradigma penciptaan perdamaian yang terdiri dari empat nilai penting diatas tetap harus menjadi  ikon yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan.
Umat Islam harus terus membangun kesadaran mendalam terhadap kemestian interdependensi manusia menuju peace building community, hanya dengan itulah progres peradaban dapat dipacu perkembangannya. Umat beragama harus mempelopori gerakan kultural “baru” dalam era globalisasi saat sekarang ini untuk mempromosikan kembali nilai-nilai inti Islam sebagai pendukung pilar-pilar perdamaian dan mendahulukan tindakan anti kekerasan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, beragama dan dalam pergaulan internasional. Umat beragama hendaknya berperan aktif menyemaikan nilai-nilai inti keislaman untuk perdamaian dunia dengan metode dan pendekatan yang baru, aktual, dan segar.
Umat Islam harus terus menyuarakan pentingnya kehidupan yang memihak pada ideology co-existence yakni hidup berdampingan secara damai dengan saling bekerjasama (co-operation), saling merengkuh (inclusive), mengutamakan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh umat manusia secara universal, supel dalam pergaulan sosial -keagamaan, merasa saling bergantung secara timbal balik dengan pihak dan kelompok lain (reciprocity), selalu mencari modus-modus baru untuk keluar dari akar-akar konflik yang laten secara kreatif, memilih upaya yang bersifat transformatif, mengedepankan skenario sama-sama menang (win-win solution) dalam pemecahan masalah, dan dengan cermat dan cerdas melihat fenomena kemanusiaan secara semitris-sederajat.
Gerakan Islam untuk menyebarluaskan perdamaian dan semangat keagamaan yang anti kekerasan perlu terus menerus ditiup dan hembuskan oleh para aktivis keagamaan. Salah satu basis roh nilai-nilai fundamental yang memihak kepada upaya perdamaian dan anti kekerasan yang harus mengilhami gerakan pembaharuan dan pengembangan pemikiran Islam orisinil di era globalisasi tanpa kehilangan basis identitas sosiologis keislaman umat.

Etika Perdamaian Islam Di Kencah Global
Etika merupakan hal fundamental dalam menjalankan segala aktifitas manusia, dalam khazanah pemikiran Islam etika biasa dimasukkan dalam apa yang disebut sebagai filsafat praktis (al-hikmah al-‘amaliyah). Filsafat praktis itu sendiri berbicara tentang tentang segala sesuatu “sebagaimana seharusnya”. Meskipun demikian, etika mesti didasarkan pada filsafat teoritis (al-hikmah al-nazariyah), yakni pembahasan tentang segala sesuatu “sebagaimana adanya”.[7]
Etika terkadang diidentikkan dengan moral (atau moralitas) dalam hal-hal yang terkait dengan baik-buruk perilaku manusia. Namun, keduanya memiliki perbedaan pengertian. Menurut Franz Magnis-Suseno, etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan padangan-pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas. Jadi, dapat dikatakan bahwa etika bisa disebut juga sebagai Filsafat Moral. Yakni etika berfungsi sebagai teori atau nalar filosofis dari perilaku baik dan buruk (‘ilm al-akhlaq), dan moral (akhlaq) adalah praktiknya. Oleh karena itu, persoalan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat dipertanyakan kembali secara kritis dan mendalam.
Dalam tradisi filsafat etika, terutama yang berkembang di Barat, banyak muncul beragam pandangan mengenai etika yang berkembang di belahan dunia ini. Namun, menurut Haidar Bagir secara umum pandangan-pandangan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga: etika hedonistik, utilitarian, dan deontologis. Hedonisme mengarahkan etika kepada keperluan untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya kesenangan bagi manusia. Etika utilitaristik mengoreksinya dengan menambahkan bahwa kesenangan atau kebahagiaan yang dihasilkan oleh suatu etika yang baik adalah kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang, dan bukan kesenangan atau kebahagiaan individual- yang di sisi lain, mungkin justru menimpakan kesengsaraan bagi jauh lebih banyak orang. Sementara etika deontologis (berasal dari kata deon yang berarti kewajiban) memandang bahwa sumber bagi perbuatan etis adalah rasa kewajiban. Sejalan dengan itu, aliran ini mempercayai bahwa sikap etis bersifat fitri dan, pada saat yang sama, tidak (murni) rasional.
Disamping itu, menurut Komaruddin Hidayat, etika sebagai cabang pemikiran filsafat bisa dibedakan menjadi dua: objektivisme dan subjektivisme. Objektivisme berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat objektif, terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Paham ini melahirkan apa yang disebut dengan paham rasionalisme dalam etika. Suatu tindakan dikatakan baik bukan karena kita senang melakukannya atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Sedangkan subjektivisme berpandangan bahwa  suatu tindakan disebut baik manakala sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subjek tertentu. Subjek di sini bisa saja berupa subjektivisme kolektif, yaitu masyarakat, atau bisa saja subjek Tuhan.
 Lebih lanjut, Haidar Bagir menyatakan bahwa etika dalam filsafat Islam memiliki ciri-ciri sebagai berikut: pertama, Islam berpihak pada teori tentang etika yang bersifat fitri. Artinya, semua manusia pada hakikatnya, baik itu Muslim ataupun bukan, memiliki pengetahuan fitri tentang baik dan buruk. Kedua, moralitas dalam Islam didasarkan kepada keadilan, yakni menempatkan segala sesuatu pada porsinya. Tanpa merelatifkan etika itu sendiri, nilai suatu perbuatan diyakini bersifat relatif terhadap konteks dan tujuan perbuatan itu sendiri. Ketiga, tindakan etis itu sekaligus dipercayai pada puncaknya akan menghasilkan kebahagiaan bagi pelakunya.Keempat, tindakan etis itu bersifat rasional.
Sementara itu, menurut Abdul Fattah Abdullah Barakah, sebagaimana yang dikutip oleh Muchlis Hanafi dkk, menyatakan bahwa penentuan baik dan buruk di dalam Islam berdasarkan etika subjektif dan etika objektif sekaligus. Artinya, penentuan baik dan buruk didasarkan pada wahyu Tuhan (al-Qur’an dan al-Sunnah) dan, pada waktu yang sama, akal budi manusia pun memiliki kapasitas untuk mengetahui baik-buruk serta membedakannya. Zina, misalnya, adalah perbuatan buruk, karena Allah menyatakan dalam al-Qur’an bahwa zina itu perbuatan keji (al-Isra`/17: 32). Namun, pada waktu yang sama, baik sesudah maupun sebelum al-Qur’an diturunkan, akal budi manusia pun mengakui bahwa zina adalah perbuatan keji. Dengan demikian, etika Islam pada hakikatnya bersifat teoantroposentris. Harmonisasi nilai-nilai etis yang bersumber dari wahyu Tuhan sebagai titik tolak bergerak (keimanan) dengan nilai-nilai yang berasal dari akal budi manusia yang tujuan akhirnya adalah kesejahteraan dan kebahagiaan untuk semua makhluk hidup.
Setelah memahami secara garis besar etika Islam, maka sepatutnya menjadikan etika Islam sebagai prinsip universal dalam kehidupan sosial yang beragam sebagaimana Tuhan mengisyaratkan hal ini. Dengan menempatkan etika sebagai prinsip universal, maka secara perlahan-lahan akan ditemukan titik temu atau kalimatun sawa` dari agama-agama, yang merupakan etika universal yang secara esensial mengajarkan kebaikan, kasih sayang, kejujuran, keadilan, kedamaian, serta pembebasan terhadap diskriminasi dan kezaliman. Perbedaan agama sekarang bukan lagi menjadi penghalang bagi seseorang untuk mempraktekkan nilai-nilai tersebut.
Dengan demikian, apapun nama agamanya, semua menyatakan bahwa perdamaian dan kasih-sayang merupakan bagian dari etika universal. Etika yang tetap perlu dipraktekkan dalam kehidupan sosial guna mencapai tatanan kehidupan yang lebih baik dan tujuan-tujuan dalam beragama menjadi manusiawi dan realistis.
Dalam perspektif sosiologis, agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Ia berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Sehingga sikap perilaku yang diperankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam, yang didasarkan pada nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya.
Pada era global ini, perdamaian agama-agama di dunia mutlak diperlukan. Maka dengan adanya dialog antarumat beragama, diharapkan akan menemukan kesamaan visi untuk menatap masa depan umat beragama yang toleran, harmoni, dan damai. Menurut Abdul Qadir Shaleh, dialog global antaragama bekerja dalam tiga wilayah: pertama, wilayah praksis di mana kita berkolaborasi untuk menolong kemanusiaan. Kedua, wilayah batin atau spiritual di mana kita berupaya mengalami partner dialog dari dalam (dialogue from within). Ketiga, wilayah kognitif di mana kita mencari pemahaman dan kebenaran. Dari wilayah dialog tersebut, maka paling tidak praktek kekerasan dapat dikurangi. Karena dengan adanya kesadaran bahwa agama lain adalah suatu agama juga yang membutuhkan eksistensi secara humanis, maka proses kea rah perdamaian akan mudah tercapai.
Ada serangkaian ungkapan yang sangat popular yang diungkapkan oleh Hans Kung, seorang tokoh yang berjasa dalam pertemuan Parlemen Agama-Agama Dunia itu, sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Shaleh, yang menyatakan bahwa: “No peace among the nations without peace among the religions; No peace among the religions without dialogue between the religions; No dialogue between the religions without research into theological foundations” Dengan demikian, pada tataran ontologis, agama manapun pada hakikatnya tidak mengajarkan kekerasan, dan kekerasan itu sendiri bukan bagian integral dari agama. Agama mengajarkan sikap cinta-kasih dan keharmonisan dalam hidup.  Agama memprioritaskan cara-cara damai dan kemanusiaan dalam bersikap sebagaimana diamanatkan oleh nilai-nilai universal agama itu sendiri. Islam, misalnya, merupakan penegasian atas sikap kekerasan. Islam, di satu sisi, berarti kepatuhan/ketundukan diri (submission) kepada kehendak Tuhan dan pada sisi lain, mewujudkan perdamaian.
Dengan demikian, Islam berarti menciptakan perdamaian sedangkan Muslim berarti orang yang menciptakan perdamaian melalui aksi dan perbuatannya. Begitu pula keimanan yang merupakan wujud dari sebuah keyakinan pada Tuhan yang nantinya juga akan berdampak secara sosial berupa pemberian rasa aman dan nyaman bagi orang lain. Bukankah Rasulullah SAW pernah berkata: “muslim sejati ialah muslim yang dapat memberikan keselamatan bagi orang lain dari lisan dan tangannya, dan mukmin sejati ialah mukmin yang bisa memberi rasa aman pada yang lain atas jiwa dan harta mereka”.


Nilai-nilai Islam untuk menciptakan perdamaian
Nilai-nilai perdamaian pada hakikatnya banyak termaktub dalam al-Qur’an dan juga secara jelas diindikasikan dalam berbagai riwayat Hadis Nabi. Tidak ada satu ayat pun dalam al-Qur’an, dan tidak ada satu Hadis pun yang mengobarkan semangat kebencian, permusuhan, pertentangan, atau segala bentuk perilaku negative dan represif yang mengancam stabilitas dan kualitas kedamaian hidup. Al-Qur’an menegaskan bahwa Rasulullah SAW diutus oleh Allah untuk menebarkan kasih sayang: “dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (Q.S. Al-Anbiya: 10).
Zuhairi Misrawi menyatakan bahwa ada dua hal yang perlu diketahui dari ayat tersebut. Pertama, makna rahmatan. Secara linguistik, rahmatun berarti kelembutan dan kepedulian (al-riqqah wa al-ta’aththuf).Kedua, makna lil’alamin. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami ayat ini. Ada yang berpendapat bahwa cinta kasih Rasulullah saw. hanya untuk orang muslim saja. Tapi ulama lain berpendapat bahwa cinta kasih Rasulullah saw untuk semua umat manusia. Hal ini mengacu pada ayat terdahulu yang menyatakan bahwa Rasulullah saw diutus untuk seluruh umat manusia (kaffatan li an-nas). Sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan pula bahwa “sesungguhnya saya tidak diutus sebagai pemberi laknat, tapi saya diutus untuk member rahmat”.
Lebih lanjut, Jaudat Sa’id menyatakan bahwa prinsip-prinsip nirkekerasan dan perdamaian serta hubungannya dengan ajaran Islam telah mengakar lama sejak zaman putra Adam, Qabil dan Habil. Al-Qur’an merekam kisah Qabil dan Habil sebagaimana beriktu:
Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”. Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam. Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, Maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian Itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim. Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: “Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal”. (Qs. al-Ma`idah: 27-31)

Menurut Jawdat Sa’id, kisah Qabil dan Habil itu memberi makna yang dalam.Pertama, ada aspek kepasrahan total kepada Tuhan. Kedua, ada kemampuan untuk berkorban dengan jiwa sekalipun agar orang lain menemukan jalan kebenaran.Ketiga, teladan bagaimana memutus siklus kekerasan. Habil sebagai simbol kebaikan dan kesalehan, menolak mengotori tangannya dengan darah. Sementara Qabil mewakili kekerasan, kebuasan serta ringan tangan untuk membunuh atas dalih apa saja. Disamping bersumber dari nilai-nilai Qur’ani, diskursus mengenai perdamaian juga banyak ditemukan dalam Sunnah Nabawiyah. Ada sekitar dua puluh ribu Hadis Nabi dan diantaranya Hadis yang mendukung etika anti-kekerasan atau etika perdamaian. Hadis-Hadis ini mempunyai signifikansi ganda untuk mengkaji tradisi perdamaian dalam Islam. Pertama, menawarkan fakta-fakta tambahan tentang anti-kekerasan dalam budaya Islam; Kedua, mencakup penjelasan yang lebih menarik tentang berbagai tradisi Islam sebagaimana disampaikan melalui al-Qur’an.
Mohammed Abu-Nimer juga menambahkan bahwa Hadis merupakan sumber yang kaya untuk nilai-nilai bina-damai dan jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari Muslim, ia hanya akan mengarah pada perdamaian dan nirkekersan. Misalnya Hadis-Hadis berikut ini: (1) “pelan-pelan wahai Aisyah, karena Allah selalu menyukai kelembutan dalam segala hal” (H.R. al-Bukhari & Muslim (2) Allah akan menunjukkan belas kasih-Nya kepada mereka yang bermurah hati. Bermurah hatilah kepada penduduk bumi, maka penguasa surga akan bermurah hati kepadamu” (H.R. al-Turmudzi) (3) Allah mencintai kelembutan, Allah memberikan keberkahan atas kelembutan, dan bukan atas kekerasan” (H.R. Muslim), Dan masih banyak riwayat Hadis yang lain.
Fakta lain yang merupakan arti kunci bagi terwujudnya tradisi damai dan nirkekerasan adalah mengikuti dan mensuri-tauladani apa yang Rasulullah saw lakukan. Al-Qur’an merekomendasikan Nabi Muhammad kepada kita sebagai suri-tauladan yang baik (Q.S. Al-Ahzab: 21), dan memerintahkannya (Nabi) untuk berkata kepada umatnya: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Q.S. `Ali ‘Imran: 31. Sehingga konsekuensinya sebagaimana yang ditulis oleh Schimmel: Dalam perang dan damai, di rumah dan di dunia (luar), dalam bidang keagamaan seperti dalam setiap bentuk pekerjaan dan tindakan/amalan, Nabi Muhammad saw merupakan contoh teladan dari kesempurnaan moral (akhlak). Apa saja yang beliau lakukan menyisakan/memberikan contoh bagi para sahabatnya. Karena hal itu tidak dapat dipisahkan dari sikap dan perilaku Nabi Muhammad saw dalam menyebarkan Islam pada masanya. Nabi saw melakukan dakwah dengan cara-cara yang damai serta penuh dengan cinta-kasih. Jadi fakta historis ini mempunyai signifikansi ganda untuk mengkaji etika perdamaian dalam tradisi Islam awal.
Berangkat dari keyakinan ini, perdamaian merupakan salah satu ciri utama agama Islam. Islam yang artinya mengandung makna salam (kedamaian /keselamatan) mengajak untuk selalu bersikap harmonis dalam berinteraksi dengan sesama. Perdamaian bukanlah semata-mata ketiadaan perang atau kekerasan. Damai yang sejati adalah damai yang termanifestasi melalui nilai-nilai kemanusiaan universal dan nilai-nilai keadilan sosial. Maulana Wahiduddin Khan menyatakan bahwa perdamaian secara umum adalah antithesis dari ketiadaan perang. Namun, definisi ini hanya dalam lingkup yang kecil. Perdamaian sejati adalah perdamaian yang berhubungan dengan segala urusan kehidupan manusia. perdamaian merupakan ideologi yang komplek. Ideologi yang menjadi pintu utama menuju kesuksesan dalam hidup.
Namun, bagaimana dengan konsep jihad dalam Islam yang pada umumnya disalahpahami sebagai bentuk negasi dari nilai-nilai perdamaian. Kata jihad tidak berarti perang suci. Jihad berarti perjuangan (kerja keras) atau usaha. Berdasar pada sebuah Hadis Masyhur dari Nabi Muhammad saw, bahwa jihad secara tradisi dibagi ke dalam al-Jihad al-Akbar (perjuangan besar), sebuah usaha batin dalam menghadapi sifat dasar kita yang lebih rendah (nafsu); dan al-Jihad al-Ashgar(perjuangan kecil), sebuah usaha lahir dalam menghadapi ketidakadilan sosial. Perjuangan kecil ini bukanlah dalam semua hal, namun hanya beberapa. al-Jihad al-Ashgar memasukkan pula pencarian aktif akan sebuah budaya damai, maupun perlawanan terhadap penindasan. Nabi saw mengajarkan kepada kita bahwa penegakan keadilan mengharuskan adanya aktifitas yang terus menerus. Nama dari aktifitas ini adalah jihad. Pekerjaan dari anti-kekerasan merupakan akar terakhir/pangkal dari jihad.
Lebih lanjut, Jaudat Sa’id memiliki pemaknaan lain dari makna jihad. Ia menegaskan bahwa ada dua bentuk jihad dalam hal ini yakni Jihad Khawarij dan Jihad Islam. Jihad Khawarij adalah jihad yang berdasarkan pada pemahaman mereka saja dan mencoba mempraktekkannya menurut kadar pemahaman mereka. Pemahaman jihad seperti ini menimbulkan sikap fundamentalisme, radikalisme, atau ekstrimisme yang identik dengan kekerasan dan paksaan. Sedangkan Jihad Islam merupakan perjuangan untuk mencegah pemaksaan dan kekerasan dalam agama atau pemikiran tertentu. Oleh karena itu, jihad dalam konteks perang adalah wujud dari pembelaan atas tidak adanya pemaksaan dalam agama. Sehingga perang diijinkan adalah untuk memerangi mereka-mereka yang memaksakan agama untuk orang lain. Bagi Jawdat Sa’id, fitnah dalam agama, sebagaimana dalam Q.S. al-Baqarah: 193, adalah memaksa orang untuk memeluk agama tertentu atau menyiksa orang untuk meninggalkan agama tertentu atau bahkan hingga membunuhnya. Dengan demikian, Jihad Islam adalah berjuang dengan menggunakan segenap kekuatan untuk mencegah pemaksaan dalam agama meskipun pemaksaan itu tidak melalui perang atau kekerasan.

Catatan Penutup
Pesan-pesan perdamaian yang ada dalam Islam tidak hanya berupa nilai-nilai normatif belaka. Fakta sejarah telah membuktikan adanya usaha untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam tataran realita. Piagam Madinah, misalnya, merupakan contoh konkrit upaya Nabi saw mewujudkan perdamaian. Tujuan utama dari Piagam yang berjumlah 47 pasal itu, pada hakekatnya, adalah mewujudkan prinsip perdamaian serta mengembalikan keharmonisan pada masyarakat Madinah pada masa itu. Secara eksplisit, ketetapan prinsip ini juga terekam dalam beberapa pasal dalam Piagam itu. Antara lain pada pasal 17 yang menyatakan bahwa seluruh umat Islam harus bersatu dan mengambil peran yang sama bila mengadakan perdamaian dengan pihak lain. Di samping itu, pada pasal 45 juga dinyatakan bahwa agar orang-orang mukmin aktif dan gemar dalam menerima serta memprakarsai perdamaian. Akhirnya, mengutip apa yang dikatakan oleh al-Khattabi,: “God is the Being from Whom all people feel safe and secure. From whom people have the experience only of peace, not of violence”, Tuhan ada dari siapa saja yang merasa selamat dan aman. Dari siapa saja yang hanya memiliki jiwa damai, bukan dari kekerasan.
Islam yang rahmatan lil’alamin merupakan perwujudan dari nilai-nilai universal yang terkandung dalam pokok ajaran Islam. Nilai yang mengedepankan keharmonisan, kedamaian, dan kemaslahatan bagi semua. Sehingga nilai-nilai itulah yang seharusnya diambil, dipahami, dan kemudian berusaha dipraktekkan oleh umat manusia pada umumnya. Perdamaian harus menjadi kekuatan penuh untuk membangun peradaban manusia, terutama di era globalisasi ini. Perdamaian merupakan warisan tradisi yang sangat penting, menarik, dan patut dicontoh. Sebab dalam tradisi perdamaian yang ada adalah kebahagiaan, keharmonisan, serta kenangan yang manis dan indah antara pelbagai masyarakat dan agama-agama.#





         [1] Rabia Terri Harris, Nonviolence in Islam: The Alternative Community Tradition, dalam Abdul Aziz Said (.ed), Peace & Coflict Resolution: Precept and Practice, (New York:University Press of America,1993) h. 229
         [2] Abdul Qadir Shaleh, Agama Kekerasan, (Yogyakarta: Prismasophie, 2003), h. 133
         [3] Jim Torczyner “Globalization, Inequality and Peace building : What Social work can do”, dalam Social Work and Globalizafion, Special Issue,( California Pine Forge Press, 2000), h. 124
         [4] Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan lil’Alamin, (Jakarta: Pustaka Oasis, 2010), h. 329