Senin, 03 Maret 2014

SEKILAS TENTANG PENELITIAN KWALITATIF Bag I

Ust. Hefni Zain

1.      Paradigma dan Ciri-ciri Penelitian Kualitatif
A.    Paradigma Penelitian Kualitatif
Istilah paradigma pertamakali dikemukakan oleh Thomas S Khun dalam bukunya  The Structure of scientific Revolutions yang diterbitkan tahun 1962 untuk edisi pertama dan awal tahun 1970 untuk edisi kedua. Kuhn mendefinisikan paradigma sebagai world view atau weltanscauung (pandangan hidup) yang dimiliki oleh para ilmuan dalam suatu disiplin tertentu. Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik[1]. Diakhir tahun 1970, pendapat Kuhn dipertegas oleh Robert  Friedrichs lewat bukunya “ Sociology of sociology  “ yang menyebutkan bahwa  paradigma merupakan suatu gambaran yang mendasar mengenai pokok permasalahan yang dipelajari dalam suatu cabang atau disiplin pengetahuan[2].  
Pengertian lain dikemukakan oleh Bogdan dan Bikllen, yang  mengartikan paradigma sebagai  kumpulan  lepas dari asumsi, konsep atau proposisi yang disatukan secara logis yang mengarahkan pikiran dan jalannya penelitian[3]. Beberapa pakar lain menyebutkan paradigma adalah pandangan dunia yang dimiliki oleh seorang peneliti terdiri dari konsep, krangka fikir, asumsi, teori dan proposisi terhadap fokus atau permasalahan penelitian yang dilakukan. Konsep  merupakan rancangan  (bahan mentah)  bangunan teori yang paling dasar yang digunakan oleh akal budi untuk memahami  hal- hal  lain. Asumsi  adalah anggapan dasar yang tidak memerlukan pengujian, tetapi berfungsi sebagai dasar pemilihan masalah penelitian. Teori dalam konteks penelitian diartikan sebagai  seperangkat pernyataan, asas, dan hukum umum yang disusun secara sistimatis.  Sedangkan Proposisi adalah ide logis atau dalil dalam rancangan penelitian sosial (termasuk Keagamaan) yang digunakan untuk mencari atau mendapatkan fokus penelitian[4]
Dalam konteks penelitian, Menurut Patton paradigma adalah metode yang dipakai seorang peneliti ketika dirinya berupaya untuk sampai kepada suatu realitas hasil cerapannya. A paradigm is a world view, a general perspective , a way of breaking down the  complexity of the real world. As such, paradigms are deeply embedded in the socialization of adherents and practitioners: paradigms tell them what is important, legitimate, and reasonable. Paradigms are also normative, telling the practitioner what to do without the necessity of long existential or epistemological consideration. But it is this aspect of paradigms that constitutes both their strength and their weakness-their strength in that it makes action possible, their weakness in that the very reason for action is hidden in the unquestioned assumptions of the paradigm. [5]
Dari berbagai pendapat diatas, dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan paradigma adalah pandangan dunia (world view) yang dimiliki seorang peneliti yang dengan itu ia memiliki krangka berfikir (frame), asumsi, teori atau proposisi dan konsep terhadap suatu permasalahan penelitian yang dikaji. Jadi, paradigma dapat diposisikan sebagai acuan yang menjadi dasar bagi setiap peneliti untuk mengungkapkan fakta-fakta melalui kegiatan penelitian yang dilakukannya.
Norman K. Denzin membagi paradigma kepada tiga elemen yang meliputi; epistemologi, ontologi, dan metodologi. Epistemologi mempertanyakan tentang bagimana cara kita mengetahui sesuatu, dan apa hubungan antara peneliti dengan pengetahuan. Ontologi berkaitan dengan pertanyaan dasar tentang hakikat realitas. Metodologi memfocuskan pada bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan. Dari definisi dan muatan paradigma ini, Zamroni mengungkapkan tentang posisi paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuwan untuk merumuskan berbagai hal yang berkaitan dengan; (1) Apa yang harus dipelajari; (2) Persoalan-persoalan apa yang harus dijawab; (3) Bagaimana metode untuk menjawabnya; dan (4) Aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang diperoleh. [6]
Kendati dalam penelitian kwalitatif paradigma yang digunakan sangat tergantung pada sifat dan karakter permasalahan yang diteliti, tetapi secara umum paradigma yang biasa digunakan dalam penelitian kualitatif adalah : Paradigma  Naturalistik, Paradigma Postposivistik, Paradigma Konstruktivistik, Paradigma Rasionalistik/verstehen dan Paradigma Kritis.
 Paradigma naturalistik adalah paradigma yang populerkan oleh Max Weber dengan mengembangkan sosiologi interpretatif. Pradigma ini menganggap bahwa fenomina sosial tidak sama dengan fenomina alam. Karena itu harus difahami dari perspektif dalam (inner perspective) berdasarlan subjek pelaku. Penelitian dengan paradigma naturalistik bertujuan untuk memahami (understanding) makna prilaku, simbol-simbol dan fenomena-fenomena. Sekurang kurangnya terdapat tiga prinsip dasar yang dikembangkan oleh paradigma naturalistik dalam membaca fenomena sosial : Pertama , Individu menyikapi sesuatu atau apa saja di lingkungannya berdasarkan makna sesuatu tersebut bagi dirinya. Kedua, makna tersebut diberikan berdasar intraksi social yang dijalin dengan individu lain. Dan ketiga, makna tersebut difahami  dan dimodivikasi oleh individu melalui proses interpretative yang berkaitan dengan hal hal lain yang dijumpainya. Paradigma ini memandang realitas sosial yang menjadi objek penelitian tidak mesti bersifat prilaku-prilaku sosial yang kasat mata sebagaimana pandangan positivistik, melainkan keseluruhan makna kultural yang simbolik yang ada dibalik semua gerak tindakan manusia yang kasat mata itu. Sedangkan sumber dari prilaku sosial tidak berasal dari luar individu sebagai aktor dan semata mata mengikuti hukum sebab akibat, melainkan bersumber dari dalam diri subjek (inner perspektif of human bahavior) dan makna pengalaman individu ( the meaning of an individual’s experience of the world). [7]
Paradigma Postpositivistik adalah paradigma yang lahir sebagai paradigma yang ingin memodifikasi kelemahan-kelemahan yang terdapat pada paradigma positivistik. Paradigma postpositivistik berpendapat bahwa peneliti tidak bisa mendapatkan fakta dari suatu kenyataan apabila si peneliti membuat jarak (distance) dengan kenyataan yang ada. Hubungan peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif. Oleh karena itu perlu menggunakan prinsip trianggulasi, yaitu penggunaan bermacam–macam metode, sumber data dan data [8]
 Paradigma Konstruktivistik adalah paradigma yang memandang bahwa kenyataan itu adalah hasil konstruksi atau  bentukan dari manusia itu sendiri. Kenyataan itu bersifat ganda, dapat dibentuk, dan merupakan satu keutuhan. Kenyataan ada sebagai hasil bentukan dari kemampuan berpikir seseorang. Pengetahuan hasil bentukan manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus. Penelitian kualitatif berlandaskan paradigma konstruktivisme yang berpandangan bahwa pengetahuan itu bukan hanya merupakan hasil pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi pemikiran subjek yang diteliti. Pengenalan manusia terhadap realitas sosial berpusat pada subjek dan bukan pada objek, hal ini berarti bahwa ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman semata, tetapi merupakan juga hasil konstruksi oleh pemikiran[9].
Paradigma Rasionalistik / Verstehen. Paradigma ini memandang realitas sosial sebagaimana difahami oleh peneliti berdasarkan teori- teori yang ada dan didialogkan dengan pemahaman subjek yang diteliti/data empirik. Paradigma yang dikembangkan oleh Gidden ini bisa juga disebut konvergensi dari paradigma positivistik dan naturalistik. Paradigma ini banyak digunakan dalam penelitian filsafat, bahasa, agama dan komunikasi. Menurut paradigma ini sebuah penelitian dikatakan rasional dan verstehen apabila mampu menerapkan salah satu atau beberapa analisis, seperti : interpreatasi, pola fikir induksi deduksi, koherensi intern, holistika kesinambungan historis, idealidsasi, komparasi, heuristika, bahasa inklusia dan analogal deskriptif[10].
 Adapun Paradigma Kritis adalah paradigma yang memandang bahwa kenyataan itu sangat berhubungan dengan pengamat yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain serta nilai-nilai yang dianut oleh pengamat tersebut turut mempengaruhi fakta dari kenyataan tersebut. Paradigma teori kritis ini sama dengan paradigma postpositivisme yang menilai realitas secara kritis.[11]
Dalam penelitian kwalitatif yang bersifat naturalistik, fungsi paradigma bukan dalam rangka membentuk fakta, melakukan prediksi dan menunjukkan hubungan dua variable sebagaimana dalam penelitian kwantitatif, melainkan lebih banyak untuk mengembangkan konsep dan pemahaman serta kepekaan (sensibelitas) peneliti. 
  
B.     Ciri-ciri dan karakteristik Penelitian Kualitatif
Para pakar penelitian kualitatif relatif memiliki kesamaan dalam menetapkan ciri-ciri dan karakteristik penelitian kualitatif, diantara adalah :  Moleong[12] yang menetapkan 11 poin sebagai ciri-ciri penelitian kualitatif, yakni : 

1.         Latar  alamiah (penelitian dilakukan pada situasi alamiah dalam suatu keutuhan)
2.         Manusia sebagai alat (Peneliti merupakan alat pengumpulan data yang utama)
3.         Metode kualitatif (metode yang digunakan adalah metode kualitatif)
4.         Analisa datanya dilakukan secara induktif (mengacu pada temuan lapangan)
5.         Teori dari dasar/grounded theory (menuju pada arah penyusunan teori berdasarkan data)
6.         Deskriptif (data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka)
7.         Lebih mementingkan proses daripada hasil
8.         Adanya batas yang ditentukan oleh fokus (perlunya batas penelitian atas dasar fokus yang timbul sebagai masalajh dalam penelitian)
9.         Adanya kriteria khusus untuk keabsahan data (punya versi lain tentang validitas, reliabilitas dan obyektivitas)
10.     Desain yang bersifat sementara (desain penelitian terus berkembang sesuai dengan kenyataan lapangan)
11.     Hasil penelitiaan dirundingkan dan disepakati bersama (hassil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama antar peneliti dengan sumber data)
Sementara Sugiyono hanya menyebut sembilan (9) saja sebagai ciri-ciri penelitian kualitatif, yakni  :
1.         Inductive analysis yaitu mendalami rincian dan kekhasan data guna menemukan  kategori, dimensi, dan kesaling hubungan.
2.         Holistic perspective yaitu seluruh gejala yang dipelajari dipahami sebagai sistem yang kompleks lebih dari sekedar penjumlahan bagian-bagiannya.
3.         Qualitative data yaitu deskripsi terinci, kajian/inkuiri dilakukan secara mendalam
4.         Personal contact and insight yaitu peneliti punya hubungan langsung dan bergaul erat dengan orang-orang, situasi dan gejala yang sedang dipelajari.
5.         Dynamic systems yaitu memperhatikan proses; menganggap perubahan bersifat konstan dan terus berlangsung baik secara individu maupun budaya secara keseluruhan.
6.         Unique case orientation  yaitu menganggap setiap kasus bersifat khusus dan khas.
7.         Context Sensitivity yaitu menempatkan temuan dalam konteks sosial, historis dan waktu.
8.         Emphatic Netrality yaitu  penelitian dilakukan secara netral agar obyektif tapi bersifat empati
9.         Design flexibility yaitu desain penelitiannya bersifat fleksibel, terbuka beradaptasi sesuai perubahan yang terjadi (tidak bersifat kaku) [13]
Sedangkan Lincoln dan Guba menyebut empat belas (14)  ciri dan karakteristik utama penelitian kualitatif, yakni  sebagai berikut :
1.         Natural Setting (latar alamiyah)
2.         Human instrumen ( Manusia sebagai alat)
3.         Utilization of tacit knowledge (penggunaan pengetahuan intuisi)
4.         Qualitative Methode ( Metode kualitatift)
5.         Purposive Sampling ( sampel bertujuan)
6.         Inductive Data analysis (analisa data induktif)
7.         Grounded Theory (Teori dari dasar)
8.         Emargent Design ( rancangan yang berubah-rubah)
9.         Negotiated outcomes (hasil penelitian dirundingkan)
10.     Case Study Reporting Mode ( Model laporan studi kasus)
11.     Ideographic Interpretation ( penafsiran ideografis)
12.     Tentatif Aplication ( Penerapan sementara)
13.     Fokus determined boundaris ( batas ditentukan oleh fokus)
14.     Special criteria for trustworthiness (Kreteria khus untuk keabsahan dan kepercayaan data) [14]
Menurut Bogdan dan Biklen karakteristik penelitian kualitatif sebagai berikut: (1) Qualitative research has the natural setting as thedirect source of data and the researcher is the key instrument. (2) Qualitative research isdescriptive. The data collected is in form of words of pictures rather than number. (3)Qualitative research is concerned with process rather than simply with outcomes orproducts. (4) Qualitative research tends to analyze its data inductively. (5) “Meaning” isof essential to the qualitative approach.
Dengan kata lain, karakteristik penelitian kualitatif antara lain adalah penelitian yang dilakukan pada kondisi alamiah, langsung kesumber data dan instrument kunci penelitian adalah peneliti. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif, yang mana data yang terkumpul berbentuk kata-kata atau gambar, tidak menekankan pada angka. Penelitian kualitatif menekankan pada proses daripada produk atau outcome. Penelitian kualitatif melakukan analisis data secara induktif dan lebih menekankan makna (data dibalik yang teramati).  
Dari beberapa ciri dan karakteristik penelitian kualitatif diatas, berikut ini disampaikan contoh rancangan atau desain penelitian kualitatif dalam bentuk bagan skematis :

C.    Bagan skematis rancangan/desaian penelitian kwalitatif
Pada penelitian kualitatif, bentuk desain penelitian dimungkinkan bervariasi karena sesuai dengan bentuk alami penelitian kualitatif itu sendiri yang mempunyai sifat emergent dimana fenomena muncul sesuai dengan prinsip alami yaitu feenomena apa adanya sesuai dengan yang dijumpai oleh seorang peneliti dalam proses penelitian dilapangan, karena itu desain penelitian kualitatif memiliki sifat fleksibel atau dimungkinkan untuk diubah guna menyesuaikan dengan gejala yang ada pada tempat penelitian yang sebenarnya. Namun demikian terdapat beberapa prinsip dalam menyusun desain penelitian kualiitatif, diantaranya:
1.         Desain penelitian kualitatif pada umumnya merupakan desain penelitian yang tidak terinci, fleksibel, timbul dan berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada di lapangan. Hal-hal yang memungkinkan desain penelitian berubah biasanya termasuk: tujuan, subyek, sampel penelitian jika ada, dan sumber data.
2.         Lebih bersifat restrospektif yaitu, desain penelitian diketahui secara pasti setelah penelitian selesai. Walaupun misalnya para peneliti mendesain penelitian dibantu dosen pembimbing, hasil penelitian masih bersifata sementara atau adhoc dan masih mungkin berubah sesuai dengan kondisi di lapangan.
3.         Desain biasanya tidak mengemukan hipoteses yang perlu di tes, tetapi lebih berupa fokus penelitian yang penekannya sebagai guide atau petunjuk dalam mencari atau mengumpulkan data.
4.         Hasil penelitian lebih bersifat terbuka dan tidak membatasi fenomena ke dalam variabel seperti dalam penelitian kuantitatif positivistik
5.         Desain penelitian lebih fleksibel dengan langkah-langkah yang tidak dapat dipastikan, disamping juga hasil penelitian tidak dapat diprediksi atau diramalkan.
6.         Peneliti melakukan analisis data sejak awal penelitian, bersamaan dengan proses pengumpulan data, bersifat terbuka, open endded dan dilakukan secara induktif.
7.         Instrumen penelitian kualitatif pada umumnya lebih bersifat internal dan subyektif, yang direfleksikan dengan “peneliti sebagai instrumen”. Disamping itu, instrumen penelitian kualitatif mendasarkan pada aspek-aspek seperti berikut termasuk: bersifat khusus, dan berulangkali terjadi, yang berupa paradigma atau thema yang memberikan petunjuk ke arah pembentukan teori.
8.         Analisis data lebih bersifat terbuka terhadap perubahan, perbaikan dan penyempurnaan atas dasar data baru yang masuk atau diterima peneliti.
9.         Dalam penelitian kualitatif, menganalisis data berarti mencoba memahami makna data secara Verstehin dengan lebih mengutamakan makna yang berasal dari phenomena yang saling berkaitan satu sama lain.
10.     Lama penelitian tidak dapat ditentukan sebelumya oleh si peneliti. Pada hakekatnya penelitian kualitatif dapat terus berlangsung sampai pada suatu saat peneliti sudah tidak memperoleh data baru atau telah terjadi pengulangan phenomena, berarti penelitian baru dapat diperbolehkan berhenti.
11.     Dalam penelitian kualitatif-naturalistik selalu terjadi kemungkinan peneliti menemukan hal baru (invention) disamping juga penemuan kembali hal-hal tertentu yang sebenarnya dahulu sudah ada atau discovery. 
Bagan I[15]

2.      Teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif
A.    Macam-macam teknik pengumpulan data
Pengumpulan data merupakan salah satu tahapan sangat penting dalam penelitian. Teknik pengumpulan data yang benar akan menghasilkan data yang memiliki kredibilitas tinggi, dan sebaliknya. Oleh karena itu, tahap ini tidak boleh salah dan harus dilakukan dengan cermat sesuai prosedur dan ciri-ciri penelitian kualitatif (sebagaimana telah dibahas pada materi sebelumnya). Sebab, kesalahan atau ketidaksempurnaan dalam metode pengumpulan data akan berakibat fatal, yakni berupa data yang tidak credible, sehingga hasil penelitiannya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Hasil penelitian demikian sangat berbahaya, lebih-lebih jika dipakai sebagai dasar pertimbangan untuk mengambil kebijakan publik.
Misalnya, jika peneliti ingin memperoleh informasi mengenai persepsi guru terhadap kurikulum yang baru, maka teknik yang dipakai ialah wawancara, bukan observasi. Sedangkan jika peneliti ingin mengetahui bagaimana guru menciptakan suasana kelas yang hidup, maka teknik yang dipakai adalah observasi. Begitu juga jika, ingin diketahui mengenai kompetensi siswa dalam matapelajaran tertentu, maka teknik yang dipakai adalah tes, atau bisa juga dokumen berupa hasil ujian. Dengan demikian, informasi yang ingin diperoleh menentukan jenis teknik yang dipakai (materials determine a means). Itu pun masih ditambah dengan kecakapan peneliti menggunakan teknik-teknik tersebut. Bisa saja terjadi karena belum berpegalaman atau belum memiliki pengetahuan yang memadai, peneliti tidak berhasil menggali informasi yang dalam, sebagaimana karakteristik data dalam penelitian kualitatif, karena kurang cakap menggunakan teknik tersebut, walaupun teknik yang dipilih sudah tepat. Solusinya terus belajar dan membaca hasil-hasil penelitian sebelumnya yang sejenis akan sangat membantu menambah kecakapan peneliti.
Dalam penelitian kualitatif yang dimaksud dengan data adalah segala informasi baik lisan maupun tulis, bahkan bisa berupa gambar atau foto, yang berkontribusi untuk menjawab masalah penelitian sebagaimana dinyatakan di dalam rumusan masalah atau fokus penelitian.
Di dalam metode penelitian kualitatif, lazimnya data dikumpulkan dengan beberapa teknik pengumpulan data kualitatif, yaitu; 1). Wawancara mendalam, 2). Observasi peran serta, 3). Studi dokumentasi, dan 4). diskusi terfokus (Focus Group Discussion). Sebelum masing-masing teknik tersebut diuraikan secara rinci, perlu ditegaskan di sini bahwa hal sangat penting  yang harus dipahami oleh setiap peneliti adalah alasan mengapa masing-masing teknik tersebut dipakai, untuk memperoleh informasi apa, dan pada bagian fokus masalah mana yang memerlukan teknik wawancara, mana yang memerlukan teknik observasi, mana yang harus kedua-duanya dilakukan, dst. Pilihan teknik sangat tergantung pada jenis informasi yang ingin diperoleh.
Untuk memperoleh data secara holistik dan integratif, serta memperhatikan relevansi data dengan fokus dan tujuan penelitian, maka dalam pengumpulan data, penelitian ini menggunakan tiga teknik, yakni  : Observasi peran serta (Participant Observation), wawancara mendalam (In-dept Interview), dan study dokumentasi (Study of Document). Teknik observasi peran serta adalah suatu cara untuk pengumpulan data yang diinginkan dengan jalan mengadakan pengamatan secara langsung, teknik ini meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap sesuatu obyek dengan menggunakan seluruh alat indra[16] Observasi hakikatnya merupakan kegiatan dengan menggunakan pancaindera, bisa penglihatan, penciuman, pendengaran, untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk menjawab masalah penelitian. Hasil observasi berupa aktivitas, kejadian, peristiwa, objek, kondisi atau suasana tertentu, dan perasaan emosi seseorang. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran riil suatu peristiwa atau kejadian untuk menjawab pertanyaan penelitian.
Observasi partisipaan (participant observation) adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan di mana peneliti terlibat dalam keseharian informan.  Contoh : Penggunaan teknik ini adalah dimaksudkan untuk mengamati secara langsung kondisi faktual strategi pengembangan pendidikan Islam multikultural di lembaga yang dilitili . Hal ini sangat dimungkinkan, karena peneliti berhadapan langsung dengan sasaran penelitian. Disini sifat naturalistik dan makna ragam realitas dapat diamati dan dirasakan langsung oleh peneliti, yang tidak dapat dikerjakan oleh instrumen non human seperti koesioner.
Sementara teknik wawancara mendalam adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan pula.[17] Wawancara ialah proses komunikasi atau interaksi untuk mengumpulkan informasi dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan atau subjek penelitian. Dengan kemajuan teknologi informasi seperti saat ini, wawancara bisa saja dilakukan tanpa tatap muka, yakni melalui media telekomunikasi. Pada hakikatnya wawancara merupakan kegiatan untuk memperoleh informasi secara mendalam tentang sebuah isu atau tema yang diangkat dalam penelitian. Atau, merupakan proses pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang telah diperoleh lewat teknik yang lain sebelumnya.
Wawancara mendalam (in-depth interview), di mana peneliti menggali informasi secara mendalam dengan cara terlibat langsung dengan kehidupan informan dan bertanya jawab secara bebas tanpa pedoman pertanyaan yang disiapkan sebelumnya sehingga suasananya hidup, dan dilakukan berkali-kali;  Contoh : Teknik ini ditujukan untuk mendeteksi lebih jauh dan lebih dalam mengenai fokus penelitian.  Dengan teknik ini dimungkinkan diperoleh data yang lebih lengkap, lebih dalam dan lebih dapat dipercaya. Menurut Lofland, sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan[18].
Wawancara mendalam dilakukan, (a)  Bila topik yang akan diteliti adalah topik yang kompleks, tidak sederhana dan perlu mendapatkan informasi yang sebanyak-banyaknya, (b) Bila topik yang diteliti merupakan topik yang sangat sensitif. (c)  Bila informan tepisah jauh secara geografis, (d). Bila pwawancara ingin menanyakan sesuatu secara lebih mendalam lagi pada seorang subjek tertentu, (e) Bila pewawancara menyelenggarakan kegiatan yang bersifat penemuan, (f) Bila peneliti/pewawancara  tertarik untuk mengungkapkan motivasi, maksud atau penjelasan dari informan (g) Bila peneliti mau mengungkapkan pengertian suatu peristiwa, situasi atau keadaan tertentu.
Selain melalui observasi partisipan dan wawancara mendalam,  informasi juga bisa diperoleh lewat fakta yang tersimpan dalam bentuk surat, catatan harian, arsip foto, hasil rapat, cenderamata, jurnal kegiatan dan sebagainya. Data berupa dokumen seperti ini bisa dipakai untuk menggali infromasi yang terjadi di masa silam. Peneliti perlu memiliki kepekaan teoritik untuk memaknai semua dokumen tersebut sehingga tidak sekadar barang yang tidak bermakna.
Teknik studi dokumentasi adalah teknik pengumpulan data berdasarkan dokumen berupa benda-benda tertulis seperti: buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian dan sebagainya. Contoh : Teknik ini ditujukan untuk mengumpulkan data-data yang sifatnya tertulis baik yang terpublikasi maupun tidak terpublikasi yang terkait dengan fokus penelitian.

B.      Langkah-langkah wawancara mendalam dalam penelitian kwalitatif
Wawancara pada hakikatnya merupakan kegiatan yang dilakukan seorang peneliti untuk memperoleh pemahaman secara holistik mengenai pandangan atau perspektif (inner perspectives) seseorang terhadap isu, tema atau topik tertentu. Creswell, John W  mendefinisikan wawancara atau interviu sebagai “an attempt to achieve a holistic understanding of the interviewees’ point of view or situation”. Misalnya, seorang peneliti pendidikan ingin mengevaluasi tujuan sebuah program pendidikan khusus anak berbakat bermaksud menggali pandangan peserta program, staf pendukung, dan orang-orang lain yang terlibat dalam program, seperti apa sebaiknya program dilakukan, apa saja pengalaman peserta program, pikiran-pikiran apa saja yang bisa diusulkan untuk mengembangkan program, yang  meliputi pelaksanaan, proses, dan hasil atau outcome program, apa saja harapan mereka, serta perubahan apa yang terjadi pada peserta setelah mengikuti program. Untuk dapat menggali semua informasi seperti itu tidak bisa dilakukan melalui observasi atau diskusi, tetapi wawancara atau interviu[19].
Menurut Patton, wawancara atau intervieu yang baik justru ketika orang yang diwawancarai  bisa  berhasil membawa pewawancara masuk dalam dunia batin orang yang diwawancarai, dan bukan sebaliknya (mempengaruhi yang diwawancarai). (The task of the interviewer is to make it possible for the person being interviewed to bring the interviewer into his or her world) [20]. Sementara menurut Hermanns pewawancara memang  memiliki  dua peran yang tampak kontradiktif, yaitu di satu sisi dia harus menunjukkan sikap empati dengan berupaya menjadi bagian orang yang diwawancarai (informan) untuk memahami bagaimana dia memahami dan memaknai dunia. Tetapi di sisi yang lain, pewawancara juga wajib mengembangkan cara pandang yang berbeda dengan subjek atau informan  dan bahkan bisa bersikap kritis terhadap jawaban informan. Sebab, sikap kritis sangat diperlukan oleh peneliti sebagai wujud pemahamannya.
Selain itu, walaupun jawaban sudah diberikan, pewawancara perlu meragukan makna jawaban yang diberikan tersebut. Pewawancara juga perlu menggali pra-kondisi macam apa yang ada pada subjek sehingga memberikan jawaban tertentu dengan tetap menjaga wawancara berlangsung menarik dan rileks, tanpa subjek merasa diragukan jawabannya. Kualitas informasi yang diperoleh dari wawancara juga sangat tergantung pada pewawancaranya. Menarik dan tidaknya informasi sangat tergantung pada pewawancara sendiri dan kualitas pertanyaan  yang diajukan.
Wawancara dilakukan dengan asumsi bahwa pandangan orang lain ada manfaat dan gunanya, dapat diketahui dan bisa dinyatakan secara eksplisit. Agar orang yang diwawancarai atau diinterviu bisa mengungkap informasi yang diharapkan dengan tuntas, maka pewawancara perlu menciptakan suasana nyaman, yang diwawancarai tidak merasa diinterogasi, dan bisa menjawab semua pertanyaan, dengan jujur, sehingga diperoleh data yang kredibel.
Agar wawancara berhasil efektif, maka terdapat berapa tahapan yang harus dilalui, yakni ; 1). mengenalkan diri, 2). menjelaskan maksud kedatangan, 3). menjelaskan materi wawancara, dan 4). mengajukan pertanyaan. Selain itu, agar informan dapat menyampaikan informasi yang komprehensif sebagaimana diharapkan peneliti, maka berdasarkan pengalaman wawancara yang penulis lakukan terdapat beberapa kiat sebagai berikut; 1). ciptakan suasana wawancara yang kondusif dan tidak tegang, 2). cari waktu dan tempat yang telah disepakati dengan informan, 3). mulai pertanyaan dari hal-hal sederhana hingga ke yang serius, 4).  bersikap hormat dan ramah terhadap informan, 5). tidak menyangkal informasi yang diberikan informan, 6). tidak menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi yang tidak ada hubungannya dengan  masalah/tema penelitian, 7). tidak bersifat menggurui terhadap informan, 8). tidak menanyakan hal-hal yang membuat informan tersinggung atau marah, dan 9). sebaiknya dilakukan secara sendiri, 10) ucapkan terima kasih setelah wawancara selesai dan minta disediakan waktu lagi jika ada informasi yang belum lengkap. [21]
Menurut Lincoln dan Guba dalam Sugiyono[22], terdapat tujuh langkah dalam penggunaan wawancara untuk mengumpulkan data dalam penelitian kualitatif, yaitu :

1.      Menetapkan kepada siapa wawancara itu akan dilakukan
2.      Menyiapkan pokok-pokok masalah yang akan menjadi bahan pembicaraan
3.      Mengawali atau membuka alur wawancara,
4.      Melangsungkan alur wawancara,
5.      Mengkonfirmasikan ikhtisar hasil wawancara ke dalam catatan lapangan,
6.      Menuliskan hasil wawancara ke dalam catatan lapangan, dan
7.      Mengidentifikasi tindak lanjut hasil wawancara yang telah diperoleh

C.     Enam jenis pertanyaan dalam wawancara menurut Patton.
Patton dalam Moleong mengklasifikasi enam jenis pertanyaan dalam wawancara yang perlu dilakukan,  keenam pertanyaan tersebut saling berkaitan satu sama lainnya, yaitu; (1) pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman, (2) pertanyaan yang berkaitan dengan pendapat, (3) pertanyaan yang berkaitan dengan perasaan, (4) pertanyaan tentang pengetahuan, (5) pertanyaan yang berkaitan dengan indera, dan (6) pertanyaan yang berkaitan dengan latar belakang atau demografi [23]
Contoh : (1) Pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman atau perilaku adalah  terkait dengan apa yang dibuat dan telah diperbuat seseorang. Pertanyaan demikian diajukan bertujuan untuk mendeskripsikan pengalaman, perilaku, tindakan, dan kegiatan yang dapat diamati pada waktu kehadiran pewawancara. (2) Pertanyaan yang berkaitan dengan pendapat atau nilai adalah  ditujukan untuk memahami proses kognitif dan interpretatif dari subjek. Jawaban terhadap pertanyaan ini memberikan gambaran kepada peneliti mengenai apa yang dipikirkan tentang dunia atau tentang suatu program khusus. Pertanyaan itu menceriterakan tujuan, keinginan, harapan, dan nilai. (3) Pertanyaan yang berkaitan dengan perasaan adalah ditujukan untuk dapat memahami respons emosional seseorang berhubungan dengan pengalaman dan pemikirannya. (4) Pertanyaan tentang pengetahuan adalah diajukan untuk memperoleh pengetahuan faktual yang dimiliki responden dengan asumsi bahwa suatu hal dipandang dapat diketahui. (5) Pertanyaan yang berkaitan dengan indera adalah berkenaan dengan apa yang dilihat, didengar, diraba, dirasakan, dan dicium. Maksud pertanyaan ini adalah memberikan kesempatan kepada pewawancara untuk memasuki perangkat indera nara sumber. Dan (6) Pertanyaan yang berkaitan dengan latar belakang atau demografi  adalah berusaha menemukan ciri-ciri pribadi orang yang diwawancarai. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu membantu pewawancara menemukan hubungan nara sumber dengan orang lain. Pertanyaan-pertanyaan baku berkaitan dengan usia, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal atau mobilitas.
Hasil wawancara harus segera dicatat setelah selesai melakukan wawancara agar tidak lupa bahkan hilang. Jika menggunakan wawancara terbuka dan tidak berstruktur, peneliti perlu membuat rangkuman yang lebih sistematis terhadap hasil wawancara. Dari berbagai sumber data, perlu dicatat mana data yang dianggap penting, tidak penting, dan data yang sama dikelompokkan. Hubungan satu data dengan data yang lain perlu dikonstruksikan sehingga menghasilkan pola dan makna tertentu. Data yang masih diragukan perlu ditanyakan kembali kepada sumber data lama atau yang baru agar memperoleh ketuntasan dan kepastian.
Pada waktu di lapangan peneliti membuat catatan yang setalah itu segera disusun menjadi sebuah catatan lapangan. Catatan yang dibuat di lapangan sangat berbeda dengan catatan lapangan. Catatan yang dibuat saat peneliti di lapangan dapat berupa coretan seperlunya yang sangat dipersingkat yang berisi kata-kata kunci, frasa, pokok-pokok isi pembicaraan atau pengamatan, gambar, sketsa, diagram, dan lain-lain. Catatan itu berguna hanya sebagai alat perantara yaitu antara apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dicium, dandiraba dengan catatan sebenarnya dalam bentuk catatan lapangan. Catatan”sederhana” di lapangan diubah ke dalam catatan yang lengkap dan dinamakan catatan lapangan. Bogdan dan Biklen mengemukakan bahwa catatan lapangan adalah catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat,dialami, dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan data dan refleksi terhadap datadalam penelitian kualitatif. Pada dasarnya catatan lapangan berisi dua bagian yaitu (1) bagian deskriptif yang berisi gambaran tentang latar pengamatan, orang,tindakan, dan pembicaraan, (2) bagian reflektif yang berisi kerangka berpikir. 
Pendapat lain tentang jenis pertanyaan dalam wawancara dijelaskan  Kartono Kartini, menurutnya ada enam jenis pertanyaan dalam wawancara yang perlu dilakukan,   yaitu; (1) What (apa), kegiatan-kegiatan apa yang harus dijalankan dalam pencapaian tujuan. (2) Where (dimana), dimana kegiatan-kegiatan itu hendak dijalankan. (3) When (kapan), kapan kegiatan-kegiatan itu hendak dijalankan.(4) How (bagaimana), bagaimana cara yang harus dilakukan dalam mencapai tujuan. (5) Who (siapa), siapakah yang harus melaksanakan kegiatan tersebut. (6) Why (mengapa), mengapa kegiatan ini dilaksankan. Dalam penelitian kwalitatif pertanyaan yang terpenting di antara pertanyaan di atas adalah “mengapa”. Karena ditujukan kepada kelima pertanyaan yang mendahuluinya. Jika pertanyaa ini dapat memuaskan dirinya atas jawaban-jawaban yang mereka peroleh terhadap keenam pertanyaan di atas, terkoreklah data yang  baik[24]. 
Terdapat beberapa tips saat melakukan wawancara agar berhasil efektif, yakni mulai dengan pertanyaan yang mudah, mulai dengan informasi fakta, hindari pertanyaan multiple, jangan menanyakan pertanyaan pribadi sebelum building raport, ulang kembali jawaban untuk klarifikasi, berikan kesan positif, dan kontrol emosi negatif. Selain itu, ada beberapa hal lain yang juga perlu diperhatikan untuk menjadi pewawancara yang baik, yaitu jujur, mempunyai minat, berkepribadian dan tidak temperamental, adaptif, akurasi, dan berpendidikan. Dalam menggali data, agar diperoleh informasi yang diinginkan diperlukan langkah-langkah :  (1) Mengetahui sifat-sifat hakiki dari masalah yang dihadapi.(2) Mengumpulkan data-data. (3) Menganalisa data-data. (4) Menentukan beberapa alternatif. (5) Memilih cara yang kelihatannya terbaik. (6) Pelaksanaan kegiatan, dan (7) Penilaian hasil yang telah dicapai. [25]
Wawancara ialah proses komunikasi atau interaksi untuk mengumpulkan informasi dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan atau subjek penelitian. Dengan kemajuan teknologi informasi seperti saat ini, wawancara bisa saja dilakukan tanpa tatap muka, yakni melalui media telekomunikasi. Pada hakikatnya wawancara merupakan kegiatan untuk memperoleh informasi secara mendalam tentang sebuah isu atau tema yang diangkat dalam penelitian. Atau, merupakan proses pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang telah diperoleh lewat teknik yang lain sebelumnya. Wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Dengan wawancara, peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam menginterprestasikan situasi dan fenomena yang terjadi yang tidak mungkin bisa ditemukan melalui observasi.  Bersambung .........



        [1]Thomas S Khun , The Structure of scientific Revolutions ((Belmont Cal Wadsworth Publishing Company,1970)  hal. 52
       [2]Robert  Friedrichs,  Sociology of sociology  (London: Falme Press), hal 128
       [3]Bogdan, Robert & Sari Knopp Biklen..Qualitatif  research for education: and introduction to theory and methods. (Boston: Allyn & bacon Inc. 1982 )  hal, 31
       [4]Imam Suprayogo & Tobrani . Metodologi Penelitian Agama (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2001) hal, 92
       [5] Patton, Mechail Quinn,  How To Use Qualitative Methods, (London: Falme Press, 1980)  hal, 203
       [6] Norman K. Danzin & Yuonna S Lincoln,  The Discipline and Practice of Qualitative Research. Third Edition. (United States of Amirica : Sage Publication, 1986) hal; 147
       [7] Raco, J.R. Motede Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya. Jakarta : Grasindo, 2000)  hal 116
       [8]Imam Suprayogo & Tobrani . Metodologi Penelitian Agama (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2001) hal,79
       [9] Imron Arifin, Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-ilmu Sosial dan Keagamaan. (Malang: Kalimasahada Press. 1996) hal 21
       [10] Kuswarno, Engkus., Metodologi Penelitian: Komunikasi, Fenomenologi, (Bandung: Widya, 2009) hal 77
       [11] Tentang Berbagai Paradigma Penelitian Kualitatif, secara lengkap juga dapat dibaca dalam Buku “Grand Teori dan Paradigma dalam penelitian Kualitatif”oleh Muhammad Tohir, Jakarta, Perfecta LPSP3. 2005) hal; 34-51
       [12] Lexy J. Moleong,Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006) hal, 49
       [13] Sugioyono., Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. (Bandung, Al-Fabeta, 2009) hal  84
       [14] Lincoln & Guba, Natguralistic inquiry  (Biverly Hill, sage Publication, 1985) hal 40-45
       [15] Mudjia Raharjo, Desain dan contoh Proses Penelitian Kualitatif  (www.mudjiaraharjo.com, 24 May 2010)
                  [16]Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kwalitatif  (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 33. 
                 [17] Lexy J Moleong :  34.
             [18] Lofland. John. Analyzing Social Setting : A Guide to Qualitative Observation and analysis, (Belmont Cal Wadsworth Publishing Company, 1984) hal  47.
             [19] Creswell, John W.,  Research Design ; Qualitative and Quantitative Approaches, (California : SAGE Publications, 1994.) hal  47.
            [20] Patton, Mechail Quinn,  How To Use Qualitative Methods, (London: Falme Press, 1980)  hal, 207
               [21]Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kwalitatif  (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 59
               [22] Sugioyono., Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. (Bandung, Al-Fabeta, 2009) hal  89
              [23]Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kwalitatif  (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002),  162
          [24] Kartono, Kartini.2009. Pengantar Metodologi Riset Sosial. (Bandung: Mandar Maju, 2009) 144 
          [25] Baharuddin,.Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam Menuju Pengelolaan yang Profesional dan Kompetitif, (Malang, UIN Maliki Press) hal 22. Bandingkan dengan Enoch, Jusuf.  Dasar-Dasar Perencanaan Pembiayaan Pendidikan. (Jakarta: Bumi Aksara, 2011) hal 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar