Ust. Hefni zain
Pendidikan Islam berbasis multikultural dimaknai sebagai proses
pendidikan Islam yang berprinsip pada demokrasi, kesetaraan dan keadilan, berorientasi
kepada kemanusiaan, kebersamaan dan kedamaian serta mengembangkan sikap :
mengakui, menerima dan menghargai keragaman berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits
Nabi saw. Proses tersebut terwujud dalam bentuk perencanaan, implementasi dan
evaluasi pendidikan[1]
Dalam konteks ini digunakan beberapa teori yang dianggap relevan
dijadikan pisau analisis terhadap strategi pengembangan pendidikan Islam
berbasis multikultural, diantaranya :
1.
Teori pengembangan pendidikan multikultural dari James A Banks dan James A Lynch. Teori ini
akan digunakan untuk menjelaskan model dan strategi pengembangan pendidikan
berbasis multikultural, baik menyangkut
perencanaan, implementasi maupun evaluasinya.
Menurut James A Banks pendidikan berbasis multikultural dapat
dikembangkan dengan cara mengintegrasikan materi-materi
yang bersifat multikultural kedalam kurikulum pendidikan melalui penambahan (Additive)
dan perubahan (Transformative). Penambahan dilakukan dilakukan dengan
cara memperkenalkan tema-tema baru yang terkait dengan multikulturalisme ke
dalam kurikulum yang sudah ada tanpa merubah strukturnya. Sementara perubahan
dilakukan dengan cara memasukkan konsep, tema-tema, beragam paradigma dan
persepktif yang terkait dengan
multikulturalisme ke dalam kurikulum dengan mengubah struktur kurikulum yang
sudah ada[2].
Sementara dari James A Lynch diperoleh teori bahwa pengembangan
pendidikan multikultural harus melibatkan tiga aspek, yaitu : perencanaan,
implementasi dan evaluasi. Menurutnya, aspek perencanaan berkaiatan dengan
perumusan tujuan (kompetensi), yang harus memasukkan minimal dua hal, yakni
penghargaan kepada orang lain (respect for other) dan penghargaan
terhadap diri sendiri (respect for self). Sedangkan implementasi berkaitan dengan strategi
pembelajaran, seperti : Diskusi kelompok kecil, Permainan, Simulasi, Bermain
peran, Workshop, Kontaks dengan peserta didik yang berlatar belakang etnik
minoritas dan aksi sosial. Sementara, evaluasi berkaitan dengan penilaian
implementasi yang dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan untuk
menemukan kelemahan, bias dan dampaknya terhadap implementasi pendidikan
multikultural[3].
Teori James A Lynch tentang pengembangan pendidikan multikultural
menegaskan bahwa (a) Proses
perencanaan disebut multikultural jika melibatkan banyak pihak secara
demokratis, adil dan terbuka sehingga menghasilkan silabus dan rencana
pembelajaran yang memuat nilai-nilai multikultural.(b) Implementasi
pembelajaran disebut multikultural jika materi ajar dan strategi
pembelajarannya memuat nilai-nilai multikultural sehingga melahirkan pengalaman
belajar peserta didik (kognitif, afektif dan psikomotorik) yang bermuatan
nilai-nilai multikultural .(c) Evaluasi
pembelajaran disebut multikultural jika melibatkan banyak pihak secara
demokratis, adil dan terbuka sehingga menghasilkan keputusan tentang perlunya
perbaikan terhadap aspek perencanaan, implementasi pembelajaran yang belum
memuat nilai-nilai multikultural[4].
2.
Teori
pengembangan pendidikan multikultural dari Donna M.Gollnick, Konsep pluralisme dan multikulturalisme: paradigma
baru pendidikan Islam dari Muhaimin, Konsep al-tatsamuh, al-adl,
al-rahmah dan al-ihsan dari Abdul Latif
Ibrahim, Konsep forgiveness toward humankind dari Abdul
Aziz Sachedina, Konsep toleransi dan demokratisasi dalam Islam dari Kholid
Abul Fadil, akan digunakan untuk menganalisis nilai-nilai multikultural yang
terdapat dalam pengembangan Pendidikan Islam
Teori pengembangan pendidikan multikultural dari Donna M.Gollnick menyatakan bahwa Pendidikan multikultural
harus memiliki program pendidikan yang yang memperhatiakn latar belakang etnik,
bahasa dan budaya peserta didik, memuat konsep keragaman, penghargaan,
keadilan, tolerasi yang jauh dari sikap rasisme, prejudis dan diskriminasi[5].
Sementara menurut Muhaimin, pendidikan Islam
berbasis multikultural adalah
pendidikan yang membahas tentang keragaman budaya, agama, suku, dan ras yang
dikemas melalui kesadaran dan penghormatan yang tinggi terhadap segala
perbedaan demi terciptanya tatanan masyarakat islamis,
demokratis, pluralis, humanis dan inklusif. Model pendidikan ini menekankan kepada peserta
didik mengenai pentingnya penghormatan terhadap keragaman dan pengakuan
kesederajatan paedagogis terhadap semua orang yang memiliki hak yang sama untuk
memperoleh layanan pendidikan, apapun etnik, status sosial, agama dan jenis
kelaminnya, Karena itu mendesak sekali “membumikan” pendidikan Islam berwawasan multikultural, sebab kesadaran akan pentingnya kemajemukan dan multikulturalisme dapat menjadi perekat baru integrasi bangsa yang sekian
lama tercabik-cabik[6].
3.
Teori Cultural Pluralism: Mosaic Analogy yang dikembangkan Berkson, akan digunakan
sebagai pisau analisis untuk menjelaskan langkah-langkah pimpinan tiga pondok pesantren tersebut dalam mengembangkan pendidikan Islam berbasis multikultural. Teori ini berpandangan bahwa masyarakat yang
terdiri dari individu-individu yang beragam latar belakang agama, etnik,
bahasa, dan budaya, memiliki hak untuk mengekspresikan identitas budayanya
secara demokratis. Teori ini sama sekali tidak meminggirkan identitas budaya
tertentu, termasuk identitas budaya kelompok minoritas sekalipun. Masyarakat
yang menganut teori ini, terdiri dari individu yang pluralistik, sehingga
masing-masing identitas individu dan kelompok dapat hidup dan membentuk mosaik
yang indah.
4.
Teori Simantik Dari Bill Martin, akan digunakan untuk menganalisis faktor yang menjadi kendala dalam pengembangan
pendidikan berbasis multikultural. Teori ini menyebutkan Multikulturalisme bukan "consumerist"
tetapi "transformational", yang memerlukan kerangka kerja. Karena itu pengembangan pendidikan multikultural, setidaknya memiliki dua
makna, yakni pengembangan secara kuantitatif
dan kualitatif. Secara kuantitatif, bagaimana menjadikan pendidikan yang
mengakomodasi semangat atau nilai-nilai multikulturalisme dapat menjadi lebih
besar, merata dan meluas pengaruhnya dalam konteks pendidikan secara umum,.
Adapun secara kualitatif, bagaimana menjadikan pendidikan multikultural agar
menjadi lebih baik, berkualitas dan lebih maju.
5.
Konsep tentang al-ta’addudiyat (pluralisme) dan al-tanawwu’ (keragaman) dalam Islam dari Muhammad Imaroh, akan digunakan untuk menjelaskan landasan
implementasi pengembangan pendidikan Islam berbasis multikultural
Menurut Muhammad Imaroh, pendidikan
multikultural paling sedikit mempunyai dua ciri, yaitu pengakuan akan
kesederajatan, dan pengakuan akan
keanekaragaman budaya atau pluralisme budaya. Tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk
memahami perbedaan yang ada pada sesama manusia, serta bagaimana perbedaan itu
diterima sebagai hal yang alamiah (sunnatullah), dan tidak menimbulkan
tindak diskriminasi yang termanifestasi pada pola sikap iri, buruk sangka
dengki dan sebagainya. Untuk memahami hal tersebut perlu mengenal
prinsip-prinsip yang tercakup dalam pendidikan multikultural, yakni : Al-Ukhuwah(persaudaraan),
Al-Hurriyah (kebebasan), Al-Musawah (kesetaraan),
dan Al-Adalah (keadilan). Bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar