Ust. Hefni Zain
1.
Paradigma
dan Ciri-ciri Penelitian Kualitatif
A.
Paradigma
Penelitian Kualitatif
Istilah paradigma pertamakali dikemukakan oleh
Thomas S Khun dalam bukunya The
Structure of scientific Revolutions yang diterbitkan tahun 1962 untuk
edisi pertama dan awal tahun 1970 untuk edisi kedua. Kuhn mendefinisikan paradigma sebagai world view atau weltanscauung (pandangan hidup) yang dimiliki oleh
para ilmuan dalam suatu disiplin tertentu. Menurut Kuhn,
paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of
thought atau mode of inquiry tertentu, yang
kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik[1]. Diakhir
tahun 1970, pendapat Kuhn dipertegas oleh Robert
Friedrichs lewat bukunya “ Sociology of sociology “ yang menyebutkan bahwa paradigma merupakan suatu gambaran yang mendasar mengenai pokok
permasalahan yang dipelajari dalam suatu cabang atau disiplin pengetahuan[2].
Pengertian lain dikemukakan
oleh Bogdan dan Bikllen, yang mengartikan paradigma sebagai kumpulan
lepas dari asumsi, konsep atau proposisi yang disatukan secara logis
yang mengarahkan pikiran dan jalannya penelitian[3]. Beberapa pakar lain
menyebutkan paradigma adalah pandangan dunia yang dimiliki
oleh seorang peneliti terdiri dari konsep, krangka fikir, asumsi, teori dan
proposisi terhadap fokus atau permasalahan penelitian yang dilakukan. Konsep
merupakan rancangan (bahan
mentah) bangunan teori yang paling dasar
yang digunakan oleh akal budi untuk memahami
hal- hal lain.
Asumsi adalah anggapan dasar yang tidak
memerlukan pengujian, tetapi berfungsi sebagai dasar
pemilihan masalah penelitian. Teori dalam konteks penelitian diartikan
sebagai seperangkat pernyataan, asas,
dan hukum umum yang disusun secara sistimatis. Sedangkan
Proposisi adalah ide logis atau dalil dalam rancangan penelitian sosial
(termasuk Keagamaan) yang digunakan untuk mencari atau mendapatkan fokus
penelitian[4]
Dalam konteks penelitian, Menurut Patton
paradigma adalah metode yang dipakai seorang peneliti ketika dirinya berupaya
untuk sampai kepada suatu realitas hasil cerapannya. “A paradigm is a world view, a general perspective , a way of
breaking down the complexity of the real world. As such, paradigms are
deeply embedded in the socialization of adherents and practitioners: paradigms
tell them what is important, legitimate, and reasonable. Paradigms are also
normative, telling the practitioner what to do without the necessity of long
existential or epistemological consideration. But it is this aspect of
paradigms that constitutes both their strength and their weakness-their
strength in that it makes action possible, their weakness in that the very
reason for action is hidden in the unquestioned assumptions of the paradigm. [5]”
Dari berbagai pendapat diatas, dapat ditegaskan bahwa yang
dimaksud dengan paradigma adalah pandangan dunia (world view) yang dimiliki
seorang peneliti yang dengan itu ia memiliki krangka berfikir (frame), asumsi,
teori atau proposisi dan konsep terhadap suatu permasalahan penelitian yang
dikaji. Jadi, paradigma dapat diposisikan sebagai acuan yang menjadi dasar bagi
setiap peneliti untuk mengungkapkan fakta-fakta melalui kegiatan penelitian
yang dilakukannya.
Norman
K. Denzin membagi paradigma kepada tiga elemen yang meliputi; epistemologi,
ontologi, dan metodologi. Epistemologi
mempertanyakan tentang bagimana cara kita mengetahui sesuatu, dan apa hubungan
antara peneliti dengan pengetahuan. Ontologi
berkaitan dengan pertanyaan dasar tentang hakikat realitas. Metodologi
memfocuskan pada bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan. Dari definisi dan
muatan paradigma ini, Zamroni mengungkapkan tentang posisi paradigma sebagai
alat bantu bagi ilmuwan untuk merumuskan berbagai hal yang berkaitan dengan;
(1) Apa yang harus dipelajari; (2) Persoalan-persoalan apa yang harus dijawab;
(3) Bagaimana metode untuk menjawabnya; dan (4) Aturan-aturan apa yang harus
diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang diperoleh. [6]
Kendati dalam
penelitian kwalitatif paradigma
yang digunakan sangat tergantung pada sifat dan karakter permasalahan yang
diteliti, tetapi secara umum paradigma yang biasa digunakan dalam penelitian
kualitatif adalah : Paradigma Naturalistik,
Paradigma Postposivistik, Paradigma Konstruktivistik, Paradigma Rasionalistik/verstehen dan Paradigma Kritis.
Paradigma naturalistik adalah paradigma yang
populerkan oleh Max Weber dengan mengembangkan sosiologi interpretatif.
Pradigma ini menganggap bahwa fenomina sosial tidak sama dengan fenomina alam.
Karena itu harus difahami dari perspektif dalam (inner perspective) berdasarlan
subjek pelaku. Penelitian dengan paradigma naturalistik bertujuan untuk
memahami (understanding) makna prilaku, simbol-simbol dan fenomena-fenomena.
Sekurang kurangnya terdapat tiga prinsip dasar yang dikembangkan oleh paradigma
naturalistik dalam membaca fenomena sosial : Pertama , Individu menyikapi
sesuatu atau apa saja di lingkungannya berdasarkan makna sesuatu tersebut bagi
dirinya. Kedua, makna tersebut diberikan berdasar intraksi social yang dijalin
dengan individu lain. Dan ketiga, makna tersebut difahami dan dimodivikasi oleh individu melalui proses
interpretative yang berkaitan dengan hal hal lain yang dijumpainya. Paradigma ini memandang realitas sosial yang menjadi objek penelitian
tidak mesti bersifat prilaku-prilaku
sosial yang kasat mata sebagaimana pandangan
positivistik, melainkan keseluruhan makna kultural yang simbolik yang ada dibalik semua
gerak tindakan manusia yang kasat mata itu. Sedangkan sumber dari prilaku
sosial tidak berasal dari luar individu sebagai aktor dan semata mata mengikuti
hukum sebab akibat, melainkan bersumber dari dalam diri subjek (inner
perspektif of human bahavior) dan makna pengalaman individu ( the meaning of an
individual’s experience of the world). [7]
Paradigma
Postpositivistik adalah paradigma yang lahir sebagai paradigma yang
ingin memodifikasi kelemahan-kelemahan yang terdapat pada paradigma positivistik.
Paradigma postpositivistik berpendapat bahwa peneliti tidak bisa mendapatkan
fakta dari suatu kenyataan apabila si peneliti membuat jarak (distance) dengan
kenyataan yang ada. Hubungan peneliti dengan realitas harus bersifat
interaktif. Oleh karena itu perlu menggunakan prinsip trianggulasi, yaitu
penggunaan bermacam–macam metode, sumber data dan data [8]
Paradigma Konstruktivistik
adalah paradigma yang memandang bahwa kenyataan itu adalah hasil konstruksi atau bentukan
dari manusia itu sendiri. Kenyataan itu bersifat ganda, dapat dibentuk, dan
merupakan satu keutuhan. Kenyataan ada sebagai hasil bentukan dari kemampuan
berpikir seseorang. Pengetahuan hasil bentukan manusia itu tidak bersifat tetap
tetapi berkembang terus. Penelitian
kualitatif berlandaskan paradigma konstruktivisme yang berpandangan bahwa
pengetahuan itu bukan hanya merupakan hasil pengalaman terhadap fakta, tetapi
juga merupakan hasil konstruksi pemikiran subjek yang diteliti. Pengenalan
manusia terhadap realitas sosial berpusat pada subjek dan bukan pada objek, hal
ini berarti bahwa ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman semata, tetapi
merupakan juga hasil konstruksi oleh pemikiran[9].
Paradigma
Rasionalistik / Verstehen. Paradigma ini memandang
realitas sosial sebagaimana difahami oleh peneliti berdasarkan teori- teori yang ada dan didialogkan dengan pemahaman
subjek yang diteliti/data empirik. Paradigma yang dikembangkan
oleh Gidden ini bisa juga disebut konvergensi dari paradigma positivistik dan
naturalistik. Paradigma ini banyak digunakan dalam penelitian
filsafat, bahasa, agama dan komunikasi.
Menurut paradigma ini sebuah penelitian dikatakan rasional dan verstehen apabila mampu menerapkan salah satu atau
beberapa analisis, seperti : interpreatasi, pola fikir induksi deduksi,
koherensi intern, holistika kesinambungan historis, idealidsasi, komparasi,
heuristika, bahasa inklusia dan analogal deskriptif[10].
Adapun
Paradigma Kritis adalah paradigma yang memandang bahwa
kenyataan itu sangat berhubungan dengan pengamat yang tidak dapat dipisahkan
satu sama lain serta nilai-nilai yang dianut oleh pengamat tersebut turut
mempengaruhi fakta dari kenyataan tersebut. Paradigma teori kritis ini sama
dengan paradigma postpositivisme yang menilai realitas secara kritis.[11]
Dalam penelitian
kwalitatif yang bersifat naturalistik, fungsi paradigma bukan dalam rangka
membentuk fakta, melakukan prediksi dan menunjukkan hubungan dua variable
sebagaimana dalam penelitian kwantitatif, melainkan lebih banyak untuk
mengembangkan konsep dan pemahaman serta kepekaan (sensibelitas) peneliti.
B. Ciri-ciri
dan karakteristik Penelitian Kualitatif
Para pakar penelitian
kualitatif relatif memiliki kesamaan dalam menetapkan ciri-ciri dan
karakteristik penelitian kualitatif, diantara adalah : Moleong[12] yang menetapkan 11
poin sebagai ciri-ciri penelitian kualitatif, yakni :
1.
Latar
alamiah
(penelitian dilakukan pada situasi alamiah dalam suatu keutuhan)
2.
Manusia
sebagai alat (Peneliti
merupakan alat pengumpulan data yang utama)
3.
Metode kualitatif (metode yang digunakan adalah
metode kualitatif)
4.
Analisa datanya dilakukan secara induktif
(mengacu pada temuan lapangan)
5.
Teori dari dasar/grounded theory (menuju pada
arah penyusunan teori berdasarkan data)
6.
Deskriptif (data yang dikumpulkan berupa
kata-kata, gambar dan bukan angka-angka)
7.
Lebih mementingkan proses daripada hasil
8.
Adanya batas yang ditentukan oleh fokus
(perlunya batas penelitian atas dasar fokus yang timbul sebagai masalajh dalam
penelitian)
9.
Adanya kriteria khusus untuk keabsahan data
(punya versi lain tentang validitas, reliabilitas dan obyektivitas)
10.
Desain yang bersifat sementara (desain
penelitian terus berkembang sesuai dengan kenyataan lapangan)
11.
Hasil penelitiaan dirundingkan dan disepakati
bersama (hassil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama antar peneliti
dengan sumber data)
Sementara
Sugiyono hanya menyebut sembilan (9) saja sebagai ciri-ciri penelitian
kualitatif, yakni :
1.
Inductive analysis yaitu mendalami rincian dan
kekhasan data guna menemukan kategori, dimensi, dan kesaling hubungan.
2.
Holistic perspective yaitu seluruh gejala yang
dipelajari dipahami sebagai sistem yang kompleks lebih dari sekedar penjumlahan
bagian-bagiannya.
3.
Qualitative data yaitu deskripsi terinci,
kajian/inkuiri dilakukan secara mendalam
4.
Personal contact and insight yaitu peneliti
punya hubungan langsung dan bergaul erat dengan orang-orang, situasi dan gejala
yang sedang dipelajari.
5.
Dynamic systems yaitu memperhatikan proses;
menganggap perubahan bersifat konstan dan terus berlangsung baik secara
individu maupun budaya secara keseluruhan.
6.
Unique case orientation yaitu menganggap
setiap kasus bersifat khusus dan khas.
7.
Context Sensitivity yaitu menempatkan temuan
dalam konteks sosial, historis dan waktu.
8.
Emphatic Netrality yaitu penelitian
dilakukan secara netral agar obyektif tapi bersifat empati
9.
Design flexibility yaitu desain penelitiannya
bersifat fleksibel, terbuka beradaptasi sesuai perubahan yang terjadi (tidak
bersifat kaku) [13]
Sedangkan
Lincoln dan Guba menyebut empat belas (14)
ciri dan
karakteristik utama penelitian kualitatif, yakni sebagai berikut :
1.
Natural Setting (latar
alamiyah)
2.
Human instrumen ( Manusia
sebagai alat)
3.
Utilization of tacit knowledge
(penggunaan pengetahuan intuisi)
4.
Qualitative Methode ( Metode
kualitatift)
5.
Purposive Sampling ( sampel
bertujuan)
6.
Inductive Data analysis
(analisa data induktif)
7.
Grounded Theory (Teori dari
dasar)
8.
Emargent Design ( rancangan
yang berubah-rubah)
9.
Negotiated outcomes (hasil
penelitian dirundingkan)
10. Case
Study Reporting Mode ( Model laporan studi kasus)
11. Ideographic
Interpretation ( penafsiran ideografis)
12. Tentatif
Aplication ( Penerapan sementara)
13. Fokus
determined boundaris ( batas ditentukan oleh fokus)
Menurut Bogdan dan Biklen karakteristik penelitian kualitatif
sebagai berikut: (1) Qualitative research has the natural setting as thedirect
source of data and the researcher is the key instrument. (2) Qualitative
research isdescriptive. The data collected is in form of words of pictures
rather than number. (3)Qualitative research is concerned with process rather
than simply with outcomes orproducts. (4) Qualitative research tends to analyze
its data inductively. (5) “Meaning” isof essential to the qualitative approach.
Dengan kata
lain, karakteristik penelitian kualitatif antara lain adalah penelitian yang
dilakukan pada kondisi alamiah, langsung kesumber data dan instrument kunci
penelitian adalah peneliti. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif, yang mana
data yang terkumpul berbentuk kata-kata atau gambar, tidak menekankan pada
angka. Penelitian kualitatif menekankan pada proses daripada produk atau
outcome. Penelitian kualitatif melakukan analisis data secara induktif dan
lebih menekankan makna (data dibalik yang teramati).
Dari
beberapa ciri dan
karakteristik penelitian kualitatif diatas, berikut ini disampaikan contoh
rancangan atau desain penelitian kualitatif dalam bentuk bagan skematis :
C.
Bagan skematis rancangan/desaian penelitian kwalitatif
Pada penelitian kualitatif, bentuk desain
penelitian dimungkinkan bervariasi karena sesuai dengan bentuk alami penelitian
kualitatif itu sendiri yang mempunyai sifat emergent dimana fenomena muncul
sesuai dengan prinsip alami yaitu feenomena apa adanya sesuai dengan yang
dijumpai oleh seorang peneliti dalam proses penelitian dilapangan, karena itu
desain penelitian kualitatif memiliki sifat fleksibel atau dimungkinkan untuk
diubah guna menyesuaikan dengan gejala yang ada pada tempat penelitian yang
sebenarnya. Namun demikian terdapat beberapa prinsip dalam menyusun desain
penelitian kualiitatif, diantaranya:
1.
Desain
penelitian kualitatif pada umumnya merupakan desain penelitian yang tidak
terinci, fleksibel, timbul dan berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi
yang ada di lapangan. Hal-hal yang memungkinkan desain penelitian berubah
biasanya termasuk: tujuan, subyek, sampel penelitian jika ada, dan sumber data.
2.
Lebih
bersifat restrospektif yaitu, desain penelitian diketahui secara pasti setelah
penelitian selesai. Walaupun misalnya para peneliti mendesain penelitian
dibantu dosen pembimbing, hasil penelitian masih bersifata sementara atau adhoc
dan masih mungkin berubah sesuai dengan kondisi di lapangan.
3.
Desain
biasanya tidak mengemukan hipoteses yang perlu di tes, tetapi lebih berupa
fokus penelitian yang penekannya sebagai guide atau petunjuk dalam mencari atau
mengumpulkan data.
4.
Hasil
penelitian lebih bersifat terbuka dan tidak membatasi fenomena ke dalam variabel seperti dalam
penelitian kuantitatif positivistik
5.
Desain
penelitian lebih fleksibel dengan langkah-langkah yang tidak dapat dipastikan,
disamping juga hasil penelitian tidak dapat diprediksi atau diramalkan.
6.
Peneliti
melakukan analisis data sejak awal penelitian, bersamaan dengan proses pengumpulan
data, bersifat terbuka, open endded dan dilakukan secara induktif.
7.
Instrumen
penelitian kualitatif pada umumnya lebih bersifat internal dan subyektif, yang
direfleksikan dengan “peneliti sebagai instrumen”. Disamping itu, instrumen
penelitian kualitatif mendasarkan pada aspek-aspek seperti berikut termasuk:
bersifat khusus, dan berulangkali terjadi, yang berupa paradigma atau thema
yang memberikan petunjuk ke arah pembentukan teori.
8.
Analisis
data lebih bersifat terbuka terhadap perubahan, perbaikan dan penyempurnaan
atas dasar data baru yang masuk atau diterima peneliti.
9.
Dalam
penelitian kualitatif, menganalisis data berarti mencoba memahami makna data
secara Verstehin dengan lebih mengutamakan makna yang berasal dari phenomena
yang saling berkaitan satu sama lain.
10.
Lama
penelitian tidak dapat ditentukan sebelumya oleh si peneliti. Pada hakekatnya
penelitian kualitatif dapat terus berlangsung sampai pada suatu saat peneliti
sudah tidak memperoleh data baru atau telah terjadi pengulangan phenomena,
berarti penelitian baru dapat diperbolehkan berhenti.
11.
Dalam
penelitian kualitatif-naturalistik selalu terjadi kemungkinan peneliti
menemukan hal baru (invention) disamping juga penemuan kembali hal-hal tertentu
yang sebenarnya dahulu sudah ada atau discovery.
Bagan I[15]
2.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif
A.
Macam-macam teknik pengumpulan data
Pengumpulan data
merupakan salah satu tahapan sangat penting dalam penelitian. Teknik
pengumpulan data yang benar akan menghasilkan data yang memiliki kredibilitas
tinggi, dan sebaliknya. Oleh karena itu, tahap ini tidak boleh salah dan harus
dilakukan dengan cermat sesuai prosedur dan ciri-ciri penelitian kualitatif
(sebagaimana telah dibahas pada materi sebelumnya). Sebab, kesalahan atau
ketidaksempurnaan dalam metode pengumpulan data akan berakibat fatal, yakni
berupa data yang tidak credible, sehingga hasil penelitiannya tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Hasil penelitian demikian sangat berbahaya, lebih-lebih jika dipakai sebagai
dasar pertimbangan untuk mengambil kebijakan publik.
Misalnya, jika peneliti ingin memperoleh informasi
mengenai persepsi guru terhadap kurikulum yang baru, maka teknik yang dipakai
ialah wawancara, bukan observasi. Sedangkan jika peneliti ingin mengetahui
bagaimana guru menciptakan suasana kelas yang hidup, maka teknik yang dipakai
adalah observasi. Begitu juga jika, ingin diketahui mengenai kompetensi siswa dalam
matapelajaran tertentu, maka teknik yang dipakai adalah tes, atau bisa juga
dokumen berupa hasil ujian. Dengan demikian, informasi yang ingin diperoleh
menentukan jenis teknik yang dipakai (materials determine a means). Itu pun
masih ditambah dengan kecakapan peneliti menggunakan teknik-teknik tersebut.
Bisa saja terjadi karena belum berpegalaman atau belum memiliki pengetahuan
yang memadai, peneliti tidak berhasil menggali informasi yang dalam,
sebagaimana karakteristik data dalam penelitian kualitatif, karena kurang cakap
menggunakan teknik tersebut, walaupun teknik yang dipilih sudah tepat.
Solusinya terus belajar dan membaca hasil-hasil penelitian sebelumnya yang
sejenis akan sangat membantu menambah kecakapan peneliti.
Dalam penelitian kualitatif yang
dimaksud dengan data adalah segala informasi baik lisan maupun tulis, bahkan
bisa berupa gambar atau foto, yang berkontribusi untuk menjawab masalah
penelitian sebagaimana dinyatakan di dalam rumusan masalah atau fokus
penelitian.
Di dalam metode penelitian kualitatif, lazimnya data
dikumpulkan dengan beberapa teknik pengumpulan data kualitatif, yaitu; 1).
Wawancara
mendalam, 2). Observasi peran serta, 3). Studi
dokumentasi, dan 4).
diskusi terfokus (Focus Group Discussion). Sebelum masing-masing teknik
tersebut diuraikan secara rinci, perlu ditegaskan di sini bahwa hal sangat
penting yang harus dipahami oleh setiap peneliti adalah alasan mengapa
masing-masing teknik tersebut dipakai, untuk memperoleh informasi apa, dan pada
bagian fokus masalah mana yang memerlukan teknik wawancara, mana yang
memerlukan teknik observasi, mana yang harus kedua-duanya dilakukan, dst.
Pilihan teknik sangat tergantung pada jenis informasi yang ingin diperoleh.
Untuk memperoleh data
secara holistik dan integratif, serta memperhatikan relevansi data dengan fokus
dan tujuan penelitian, maka dalam pengumpulan data, penelitian ini menggunakan
tiga teknik, yakni : Observasi peran
serta (Participant Observation), wawancara mendalam (In-dept Interview), dan
study dokumentasi (Study of Document). Teknik observasi peran serta adalah suatu cara untuk pengumpulan
data yang diinginkan dengan jalan mengadakan pengamatan secara langsung, teknik
ini meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap sesuatu obyek dengan menggunakan
seluruh alat indra[16] Observasi hakikatnya merupakan kegiatan dengan
menggunakan pancaindera, bisa penglihatan, penciuman, pendengaran, untuk
memperoleh informasi yang diperlukan untuk menjawab masalah penelitian. Hasil
observasi berupa aktivitas, kejadian, peristiwa, objek, kondisi atau suasana
tertentu, dan perasaan emosi seseorang. Observasi dilakukan untuk memperoleh
gambaran riil suatu peristiwa atau kejadian untuk menjawab pertanyaan
penelitian.
Observasi partisipaan (participant observation) adalah metode pengumpulan
data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan
penginderaan di mana peneliti terlibat dalam keseharian informan.
Contoh : Penggunaan teknik ini adalah
dimaksudkan untuk mengamati secara langsung kondisi faktual strategi
pengembangan pendidikan Islam multikultural di lembaga yang dilitili . Hal ini sangat
dimungkinkan, karena peneliti berhadapan langsung dengan sasaran penelitian.
Disini sifat naturalistik dan makna ragam realitas dapat diamati dan dirasakan
langsung oleh peneliti, yang tidak dapat dikerjakan oleh instrumen non human
seperti koesioner.
Sementara teknik wawancara mendalam adalah sebuah
dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari
terwawancara dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk
dijawab secara lisan pula.[17] Wawancara ialah proses komunikasi atau interaksi untuk
mengumpulkan informasi dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan
atau subjek penelitian. Dengan kemajuan teknologi informasi seperti saat ini,
wawancara bisa saja dilakukan tanpa tatap muka, yakni melalui media
telekomunikasi. Pada hakikatnya wawancara merupakan kegiatan untuk memperoleh
informasi secara mendalam tentang sebuah isu atau tema yang diangkat dalam
penelitian. Atau, merupakan proses pembuktian terhadap informasi atau
keterangan yang telah diperoleh lewat teknik yang lain sebelumnya.
Wawancara mendalam (in-depth interview), di mana
peneliti menggali informasi secara mendalam dengan cara terlibat langsung
dengan kehidupan informan dan bertanya jawab secara bebas tanpa pedoman
pertanyaan yang disiapkan sebelumnya sehingga suasananya hidup, dan dilakukan
berkali-kali; Contoh : Teknik
ini ditujukan untuk
mendeteksi lebih jauh dan lebih dalam mengenai fokus penelitian. Dengan teknik ini dimungkinkan diperoleh data
yang lebih lengkap, lebih dalam dan lebih dapat dipercaya. Menurut Lofland,
sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan,
selebihnya adalah data tambahan[18].
Wawancara mendalam dilakukan, (a) Bila topik yang akan diteliti adalah topik
yang kompleks, tidak sederhana dan perlu mendapatkan informasi yang
sebanyak-banyaknya, (b) Bila topik yang diteliti merupakan topik yang sangat
sensitif. (c) Bila informan tepisah jauh
secara geografis, (d). Bila pwawancara ingin menanyakan sesuatu secara
lebih mendalam lagi pada seorang subjek tertentu, (e) Bila pewawancara
menyelenggarakan kegiatan yang bersifat penemuan, (f) Bila
peneliti/pewawancara tertarik untuk mengungkapkan motivasi, maksud atau
penjelasan dari informan (g) Bila peneliti mau mengungkapkan pengertian suatu
peristiwa, situasi atau keadaan tertentu.
Selain melalui observasi partisipan dan wawancara
mendalam, informasi juga bisa diperoleh lewat fakta yang
tersimpan dalam bentuk surat, catatan harian, arsip foto, hasil rapat,
cenderamata, jurnal kegiatan dan sebagainya. Data berupa dokumen seperti ini
bisa dipakai untuk menggali infromasi yang terjadi di masa silam. Peneliti
perlu memiliki kepekaan teoritik untuk memaknai semua dokumen tersebut sehingga
tidak sekadar barang yang tidak bermakna.
Teknik studi dokumentasi
adalah teknik pengumpulan data berdasarkan dokumen berupa benda-benda tertulis seperti:
buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian
dan sebagainya. Contoh : Teknik ini ditujukan untuk
mengumpulkan data-data yang sifatnya tertulis baik yang terpublikasi maupun
tidak terpublikasi yang terkait dengan fokus penelitian.
B.
Langkah-langkah
wawancara mendalam dalam penelitian kwalitatif
Wawancara pada hakikatnya merupakan kegiatan
yang dilakukan seorang peneliti untuk memperoleh pemahaman secara holistik
mengenai pandangan atau perspektif (inner perspectives) seseorang terhadap isu,
tema atau topik tertentu. Creswell, John W mendefinisikan wawancara atau interviu sebagai
“an attempt to achieve a holistic understanding of the interviewees’ point of
view or situation”. Misalnya, seorang peneliti pendidikan ingin mengevaluasi
tujuan sebuah program pendidikan khusus anak berbakat bermaksud menggali
pandangan peserta program, staf pendukung, dan orang-orang lain yang terlibat
dalam program, seperti apa sebaiknya program dilakukan, apa saja pengalaman
peserta program, pikiran-pikiran apa saja yang bisa diusulkan untuk
mengembangkan program, yang meliputi pelaksanaan, proses, dan hasil atau
outcome program, apa saja harapan mereka, serta perubahan apa yang terjadi pada
peserta setelah mengikuti program. Untuk dapat menggali semua informasi seperti
itu tidak bisa dilakukan melalui observasi atau diskusi, tetapi wawancara atau
interviu[19].
Menurut Patton, wawancara atau intervieu yang baik justru
ketika orang yang diwawancarai bisa berhasil membawa pewawancara
masuk dalam dunia batin orang yang diwawancarai, dan bukan sebaliknya
(mempengaruhi yang diwawancarai). (The task of the interviewer is to make it
possible for the person being interviewed to bring the interviewer into his or
her world) [20].
Sementara menurut Hermanns pewawancara memang memiliki dua peran
yang tampak kontradiktif, yaitu di satu sisi dia harus menunjukkan sikap empati
dengan berupaya menjadi bagian orang yang diwawancarai (informan) untuk
memahami bagaimana dia memahami dan memaknai dunia. Tetapi di sisi yang lain,
pewawancara juga wajib mengembangkan cara pandang yang berbeda dengan subjek
atau informan dan bahkan bisa bersikap kritis terhadap jawaban informan.
Sebab, sikap kritis sangat diperlukan oleh peneliti sebagai wujud pemahamannya.
Selain itu, walaupun jawaban sudah diberikan, pewawancara
perlu meragukan makna jawaban yang diberikan tersebut. Pewawancara juga perlu
menggali pra-kondisi macam apa yang ada pada subjek sehingga memberikan jawaban
tertentu dengan tetap menjaga wawancara berlangsung menarik dan rileks, tanpa
subjek merasa diragukan jawabannya. Kualitas informasi yang diperoleh dari
wawancara juga sangat tergantung pada pewawancaranya. Menarik dan tidaknya
informasi sangat tergantung pada pewawancara sendiri dan kualitas
pertanyaan yang diajukan.
Wawancara dilakukan dengan asumsi bahwa pandangan orang
lain ada manfaat dan gunanya, dapat diketahui dan bisa dinyatakan secara
eksplisit. Agar orang yang diwawancarai atau diinterviu bisa mengungkap
informasi yang diharapkan dengan tuntas, maka pewawancara perlu menciptakan
suasana nyaman, yang diwawancarai tidak merasa diinterogasi, dan bisa menjawab
semua pertanyaan, dengan jujur, sehingga diperoleh data yang kredibel.
Agar
wawancara berhasil efektif, maka terdapat berapa tahapan yang harus dilalui,
yakni ; 1). mengenalkan diri, 2). menjelaskan maksud kedatangan, 3).
menjelaskan materi wawancara, dan 4). mengajukan pertanyaan. Selain itu, agar
informan dapat menyampaikan informasi yang komprehensif sebagaimana diharapkan
peneliti, maka berdasarkan pengalaman wawancara yang penulis lakukan terdapat
beberapa kiat sebagai berikut; 1). ciptakan suasana wawancara yang kondusif dan
tidak tegang, 2). cari waktu dan tempat yang telah disepakati dengan informan,
3). mulai pertanyaan dari hal-hal sederhana hingga ke yang serius, 4). bersikap hormat dan ramah terhadap informan, 5). tidak
menyangkal informasi yang diberikan informan, 6). tidak menanyakan hal-hal yang
bersifat pribadi yang tidak ada hubungannya dengan masalah/tema
penelitian, 7). tidak bersifat menggurui terhadap informan, 8). tidak
menanyakan hal-hal yang membuat informan tersinggung atau marah, dan 9).
sebaiknya dilakukan secara sendiri, 10) ucapkan terima kasih setelah wawancara
selesai dan minta disediakan waktu lagi jika ada informasi yang belum lengkap. [21]
Menurut Lincoln dan Guba
dalam Sugiyono[22], terdapat tujuh langkah dalam penggunaan wawancara untuk
mengumpulkan data dalam penelitian kualitatif, yaitu :
1.
Menetapkan
kepada siapa wawancara itu akan dilakukan
2.
Menyiapkan
pokok-pokok masalah yang akan menjadi bahan pembicaraan
3.
Mengawali
atau membuka alur wawancara,
4.
Melangsungkan
alur wawancara,
5.
Mengkonfirmasikan
ikhtisar hasil wawancara ke dalam catatan lapangan,
6.
Menuliskan
hasil wawancara ke dalam catatan lapangan, dan
7.
Mengidentifikasi
tindak lanjut hasil wawancara yang telah diperoleh
C.
Enam jenis pertanyaan dalam wawancara menurut Patton.
Patton
dalam Moleong mengklasifikasi enam jenis pertanyaan dalam wawancara yang perlu
dilakukan, keenam
pertanyaan tersebut saling berkaitan satu
sama lainnya, yaitu; (1) pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman, (2)
pertanyaan yang berkaitan dengan pendapat, (3) pertanyaan yang berkaitan dengan
perasaan, (4) pertanyaan tentang pengetahuan, (5) pertanyaan yang berkaitan dengan
indera, dan (6) pertanyaan yang berkaitan dengan latar belakang atau demografi [23]
Contoh : (1) Pertanyaan
yang berkaitan dengan pengalaman atau perilaku adalah terkait
dengan apa yang dibuat dan telah diperbuat seseorang. Pertanyaan demikian
diajukan bertujuan untuk mendeskripsikan pengalaman, perilaku, tindakan, dan
kegiatan yang dapat diamati pada waktu kehadiran pewawancara. (2) Pertanyaan yang berkaitan dengan pendapat atau
nilai adalah ditujukan untuk memahami proses kognitif dan
interpretatif dari subjek. Jawaban terhadap pertanyaan ini memberikan gambaran
kepada peneliti mengenai apa yang dipikirkan tentang dunia atau tentang suatu
program khusus. Pertanyaan itu menceriterakan tujuan, keinginan, harapan, dan
nilai. (3) Pertanyaan yang berkaitan dengan perasaan adalah ditujukan untuk dapat memahami respons
emosional seseorang berhubungan dengan pengalaman dan pemikirannya. (4) Pertanyaan tentang pengetahuan adalah diajukan untuk memperoleh pengetahuan faktual
yang dimiliki responden dengan asumsi bahwa suatu hal dipandang dapat
diketahui. (5) Pertanyaan
yang berkaitan dengan indera adalah berkenaan
dengan apa yang dilihat, didengar, diraba, dirasakan, dan dicium. Maksud
pertanyaan ini adalah memberikan kesempatan kepada pewawancara untuk memasuki
perangkat indera nara sumber. Dan (6) Pertanyaan
yang berkaitan dengan latar belakang atau demografi adalah berusaha
menemukan ciri-ciri pribadi orang yang diwawancarai. Jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan itu membantu pewawancara menemukan hubungan nara sumber
dengan orang lain. Pertanyaan-pertanyaan baku berkaitan dengan usia,
pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal atau mobilitas.
Hasil
wawancara harus segera dicatat setelah selesai melakukan wawancara agar tidak lupa bahkan hilang. Jika
menggunakan wawancara
terbuka dan tidak berstruktur, peneliti perlu membuat rangkuman yang lebih
sistematis terhadap hasil wawancara. Dari berbagai sumber data, perlu dicatat
mana data yang dianggap penting, tidak penting, dan data yang sama
dikelompokkan. Hubungan satu data dengan data yang lain perlu dikonstruksikan
sehingga menghasilkan pola dan makna tertentu. Data yang masih diragukan perlu
ditanyakan kembali kepada sumber data lama atau yang baru agar memperoleh
ketuntasan dan kepastian.
Pada
waktu di lapangan peneliti
membuat catatan yang
setalah itu segera disusun
menjadi sebuah catatan lapangan. Catatan yang dibuat di lapangan sangat berbeda dengan
catatan lapangan. Catatan yang dibuat
saat peneliti di lapangan dapat berupa coretan seperlunya yang sangat dipersingkat yang berisi kata-kata kunci,
frasa, pokok-pokok isi pembicaraan atau pengamatan, gambar, sketsa, diagram, dan
lain-lain. Catatan itu berguna hanya sebagai
alat perantara yaitu antara apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dicium,
dandiraba dengan catatan sebenarnya dalam bentuk catatan lapangan.
Catatan”sederhana” di lapangan diubah ke dalam catatan yang lengkap dan
dinamakan catatan
lapangan. Bogdan dan Biklen mengemukakan bahwa catatan lapangan adalah catatan tertulis
tentang apa yang didengar, dilihat,dialami, dan dipikirkan dalam rangka
pengumpulan data dan refleksi terhadap datadalam penelitian kualitatif. Pada
dasarnya catatan lapangan berisi dua bagian yaitu (1) bagian deskriptif yang berisi gambaran
tentang latar pengamatan, orang,tindakan, dan pembicaraan, (2) bagian reflektif
yang berisi kerangka berpikir.
Pendapat lain tentang jenis pertanyaan dalam wawancara
dijelaskan Kartono Kartini, menurutnya
ada enam jenis pertanyaan dalam wawancara yang perlu dilakukan, yaitu; (1) What (apa), kegiatan-kegiatan apa yang harus dijalankan dalam
pencapaian tujuan. (2) Where (dimana), dimana kegiatan-kegiatan itu hendak
dijalankan. (3) When (kapan), kapan kegiatan-kegiatan itu hendak
dijalankan.(4) How (bagaimana), bagaimana
cara yang harus dilakukan dalam mencapai tujuan. (5) Who (siapa), siapakah yang harus melaksanakan
kegiatan tersebut. (6) Why (mengapa), mengapa kegiatan ini dilaksankan. Dalam
penelitian kwalitatif pertanyaan yang terpenting di antara
pertanyaan di atas adalah “mengapa”. Karena ditujukan kepada kelima pertanyaan
yang mendahuluinya. Jika pertanyaa ini dapat memuaskan dirinya atas jawaban-jawaban
yang mereka peroleh terhadap keenam pertanyaan di atas, terkoreklah
data yang baik[24].
Terdapat beberapa tips saat melakukan wawancara agar berhasil efektif, yakni mulai
dengan pertanyaan yang mudah, mulai dengan informasi fakta, hindari pertanyaan
multiple, jangan menanyakan pertanyaan pribadi sebelum building raport, ulang
kembali jawaban untuk klarifikasi, berikan kesan positif, dan kontrol emosi
negatif. Selain itu, ada beberapa hal lain yang juga perlu diperhatikan untuk
menjadi pewawancara yang baik, yaitu jujur, mempunyai minat, berkepribadian dan
tidak temperamental, adaptif, akurasi, dan berpendidikan. Dalam menggali
data, agar diperoleh
informasi yang diinginkan diperlukan
langkah-langkah : (1)
Mengetahui sifat-sifat hakiki dari masalah yang dihadapi.(2) Mengumpulkan
data-data. (3) Menganalisa data-data. (4) Menentukan beberapa alternatif. (5)
Memilih cara yang kelihatannya terbaik. (6) Pelaksanaan kegiatan, dan (7)
Penilaian hasil yang telah dicapai. [25]
Wawancara ialah proses komunikasi atau interaksi untuk
mengumpulkan informasi dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan
atau subjek penelitian. Dengan kemajuan teknologi informasi seperti saat ini,
wawancara bisa saja dilakukan tanpa tatap muka, yakni melalui media
telekomunikasi. Pada hakikatnya wawancara merupakan kegiatan untuk memperoleh
informasi secara mendalam tentang sebuah isu atau tema yang diangkat dalam
penelitian. Atau, merupakan proses pembuktian terhadap informasi atau
keterangan yang telah diperoleh lewat teknik yang lain sebelumnya. Wawancara
adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab sehingga dapat dikonstruksikan makna
dalam suatu topik tertentu. Dengan wawancara, peneliti akan mengetahui hal-hal
yang lebih mendalam tentang partisipan dalam menginterprestasikan situasi dan
fenomena yang terjadi yang tidak mungkin bisa ditemukan melalui observasi. Bersambung .........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar