Ust. Hefni zain
Pemilu legislatif 2014 tinggal menghitung hari, pesta demokrasi rakyat Indonesia untuk memilih
wakil-wakilnya di lembaga legislatif -yang disinyalir menghabiskan dana
trilyunan rupiah- sedang
hangat-hangatnya. Para caleg disemua tingkatan sedang sibuk-sibuknya
mempengaruhi rakyat mencari dukungan. Baliho, Benner, gambar caleg, bendera partai, poster,
stiker dan sejenisnya, hampir memenuhi seluruh pemandangan di pinggir jalan. Moment
massa mulai
dimanfaatkan untuk tujuan dan kepentingan politik tertentu. Rakyat kecil, seperti biasa, setiap lima tahun sekali mulai
diingat, diorangkan dan dimanfaatkan (untuk tidak mengatakan dibodohi),
Berbagai bantuan “tidak ihklas” (karena ada udang di balik batu) mulai ditabur,
makelar-makelar politik mulai
bermunculan, gendrang kampanye untuk mengumbar janji-janji kosong sedang
ditabuh, suhu politik nasional sedang bergerak dari hangat menuju panas.
Tetapi sebagian besar masyarakat tidak terlalu
terpengaruh dengan itu semua, ada yang lebih memusingkan kepala mereka, yakni
kian sulitnya mencari sesuap nasi, sehingga mereka harus banting tulang memeras keringat agar
dapat tetap mempertahankan kelangsungan hidup mereka ditengah kian naiknya harga
berbagai kebutuhan dasar mereka. Padahal indikator tercapainya politik pembangunan yang berorientasi
kerakyatan adalah bila rakyat tidak bersikap apatis terhadap masa depan bangsa
dan negara, inilah fenomena golput yang beberapa waktu lalu difatwakan haram
oleh MUI. Namun berbeda dengan tahun-tahun
sebelumnya, sepanjang bulan-bulan ini, yang perlu diwaspadai bukan hanya
datangnya banjir yang mengancam
ketenangan masyarakat, tetapi juga “musim suap” menjelang pemilu 2014.
Bak kecambah di
musim hujan
“
aksi membeli
pemilih” semakin marak.
Di ruang publik, mulai dari warteg pinggir jalan hingga pangkalan ojek, “uang
hadiah” pemberian caleg tertentu bukan lagi perkara aneh. Sejak jauh-jauh hari,
para broker politik, termasuk yang gadungan, sudah bergentayangan. Mereka
menetapkan ongkos angkutan politik dari “caleg” ke “leg”. Besarannya bisa
bermacam-macam. Tergantung tujuan, rute, dan jarak tempuh. Ongkos yang dikutip
ke kabupaten atau kotamadya berbeda dengan ke provinsi, apalagi ke senayan.
Tanpa bermaksud mengada-ada,
kenyataan ini telah melembaga dan memiliki sistem kerja yang rapi dan jaringan
anatomis mulai dari tingkat dusun sampai kota .
Mereka begitu piawai meyakinkan caleg untuk menggunakan jasanya. Alhasil,
berdasarkan sepak terjangnya dalam proses demokrasi di manapun, mereka layak
dijuluki preman politik yang ikut mengembangbiakkan politik pulus (golpul).
Kasus-kasus aneh mulai
muncul mulai di berbagai tempat, mulai dari kampanye terselubung hingga yang
terang-terangan menabur duit. Para pengamat
dan para ahli survei melalui ragam lembaga survei yang kian menjamur juga sibuk
mengias rezeki. Mereka secara istiqomah terus mengompori suasana persaingan
antar caleg.
Tidak ada teman abadi.
Yang ada kepentingan abadi” adalah slogan, yang entah dari mana munculnya, kini
menjadi semacam alat justifiksi dalam komunikasi politik. Mungkin dalam kamus
politik, sahabat adalah frase semacam cek kosong yang bisa diisi dengan apa
saja. Kata “sekutu”, “poros” dan “aliansi” pun demikian.
Mestinya fatwa haram tidak
hanya dikenakan pada praktek Gulput. Karena justru yang lebih dahsyat dampaknya
adalah menjamurnya praktik “golpul” atau golongan pulus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar