Ust. Ach. Hefni Zain
Sebagaimana disampaikan pada
tulisan sebelumnya bahwa “cinta kepada Allah” adalah tujuan akhir dan inti dari
seluruh maqom spiritual seseorang, kalau ada maqom yang harus dilewati sebelum
cinta, seperti : taubat, sabar, zuhud, dan sejenisnya, itu hanyalah pengantar
kearah cinta, Dan bila ada maqom sesudah cinta, seperti syauq (kerinduan), uns (kemesraan), ridla dan
sejenisnya, itu hanyalah buah dari cinta saja. Yang pasti, cinta adalah ruh dan
badan dari proses keagamaan seseorang.
Namun demikian, sulit
dipungkiri dalam ranah empirik kata cinta lebih sering diatas namakan ketimbang
dipraktekkan, bahkan acapklali kata itu dibuat justifikasi untuk sejumlah
tindakan kontra cinta. Karena itu dzauq, isyq, bashirah, mukasyafah, ru’ya dan
semacamnya bukan hanya catch word
yang mesmeric (menyihir sampai
melumpuhkan) melainkan mesti memiliki algoritme yang teridentifikasi. Begitu juga kecintaan seseorang kepada
sesuatu yang disebabkan oleh faktor
kenikmatan dan kegunaannya semata seperti kecintaan manusia pada harta atau
lain jenisnya sejatinya bukanlah disebut cinta, melainkan pemanfaatan dan
manefestasi egoisme yang dikemas atas nama cinta.
Memang berucap cinta amatlah mudah, tetapi berkorban untuk
cinta membutuhkan bukti nyata, maka jangan pernah berkata cinta, bila masih berharap sesuatu dari sang tercinta.
Jangan berharap melihat bulan bila tak mau melihat malam, sebab tak mungkin ada
cahaya kalau tak ada gulita, seorang sufi
bertanya “Tuhanku, cara apa yang efektif untuk sampai kepadaMu?, Tuhan menjawab
: tinggalkan dirimu dan datanglah, jika kamu mampu menghilangkan sifat sifat
kemanusiaanmu, maka kamu akan mampu memiliki (menyerap) sifat sifatKu.
Menghilangkan sifat sifat
kemanusiaan adalah menghilangkan keterikatan dan ketergantungan pada sesuatu
selain Allah swt, “Tarku syaiin
illalloh” meninggalkan sesuatu (dan segalanya) menuju Allah, hijrah dari
perhatian kepada kepentingan pribadinya menuju perhatian sepenuhnya kepada
Allah, dari keterikatan pada materi kepada ketergantungan pada Allah. Dalam
hadits qudsi disebutkan “Beruntunglah kaum yang menyembahKu karena cintanya
padaKu, menghabiskan malam dan siangnya untuk beribadah padaKu, memfokuskan semua perhatiannya padaku
dengan cara memutuskan segala sesuatu selain aku”.
Cinta sejati adalah datang
dari seseorang yang tidak berharap apapun bagi dirinya, bagaimana mungkin
seseorang masih menginginkan pemberian ketika dirinya sudah memiliki sang pemberi, maka seseorang bisa disebut mencintai
ketika ia menyingkirkan semua yang ada di kepalanya, meninggalkan semua
kehendak dirinya, memberikan semua yang ada ditangannya dan tidak takut
terhadap apapun yang menimpanya, Cinta sejati adalah mencintai sesutu karena
sesuatu itu layak dicintai, mencintai keindahan karena keindahan itu semata mata indah.
Adakah orang yang telah
merasakan manisnya cinta Tuhan masih menginginkan penggati selainNya, adakah
orang yang telah bersanding dengan Tuhan masih mencari penukar selainNya. masih
adakah kekurangan bagi orang yang telah mendapatkan Tuhan? Maka pencinta sejati
hanyalah menghanyutkan dirinya dalam Tuhan dan mencintai sepenuh hati dan sekujur jasadnya, ia memberikan tempat
dihatinya dan tak mempedulikan apapun yang terjadi dalam urusan dunia.
Karena itu dalam konteks cinta sejati
tidak ada lagi konsep aku dan engkau, bila masih ada aku adalah aku dan engkau
adalah engkau, atau bila seseorang masih memperdulikan jiwa dan raganya, belumlah ia sampai pada terminal
cinta. Sebab bila seseorang masih menganggap dirinya ada, sebenarnya ia masih
berkutat dengan dirinya sendiri, ia tidak berjalan menuju Tuhan, ia hanya
berputar putar disekitar egonya sendiri, ia tidak mencari ridlo Tuhan, ia
mengejar ridlo dirinya sendiri.
Suatu hari
seorang murid mengadu kepada Bayazid
Busthomi, wahai guru ! saya sudah 30 tahun beribadah kepada Allah,
sholat malam tiada henti dan berpuasa setiap hari, tetapi saya belum memperoleh
pengalaman ruhani seperti yang guru alami, Bayazid menjawab, sekiranya kau
beribadah 300 tahun lagi kau takkan
mencapai satu butirpun debu mukasyafah dalam hidupmu, si murid heran , mengapa
begitu, karena kau tertutup oleh dirimu sendiri, jawab Bayazid.
Dapatkah
guru mengobatinya agar hijab itu tersingkap?. Bisa !
tetapi kau takkan mau melakukannya. Subhanalloh,
MasyaAllah, Lailaha illalloh…tentu
aku akan melakukannya tegas si
murid. Bayazid berkata, jika kalimat
kalimat suci itu di ucapkan orang kafir, ia akan berubah mukmin, Tapi kalau
kalimat itu diucapkan oleh orang sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi
kafir. Mengapa bisa begitu si murid heran, karena kelihatannya kau sedang
memuji Allah, padahal sebenarnya kau sedang memuji dirimu sendiri, ketika kau
sebut Subhanalloh seakan akan
kau mensucikan Tuhan padahal sesungguhnya kau sedang menonjolkan dirimu
sendiri.Cerita ini mengajarkan bahwa selama ego kecil masih bersarang, ego
besar tidak akan berlabuh
Pencinta
sejati hanya memberi bukan meminta, hanya berfikir what can I do for you,
hidupnya ditegakkan diatas “giving” dan
bukan “taking”. Dan mereka hanya
ingin terkenal dilangit dan bukan dibumi, mereka ibarat
pohon buah di pinggir jalan, meskipun dilempari dengan batu, ia tetap
menghadiahkan buah yang matang kepadanya. Abbas meriwayatkan, telah sampai
kepadaku kisah tentang ibrahim, Allah bertanya kepadanya, tahukan kamu kenapa
Aku mengambil kamu sebagai kekasihku (kholili)? Ibrahim menjawab tidak, Allah
berfirman, Aku temukan dihatimu, bahwa kamu lebih senang memberi daripada
mengambil. Mereka adalah Hum qoumun aatsarahumullohu ‘alaa kulli syai’in,
komunitas yang mendahulukan Allah diatas segalanya sehingga Allah pun
mendahulukan mereka diatas segalanya.
Hum qoumun al akhdzu bil haqoiq wal ya’su mim maa fii aidil kholiq,
komonitas yang mengambil hakekat kehidupan dengan membuang segala bentuk
kepalsuan yang ada pada selain Allah.
Dalam Qs. 9 : 24
disampaikan “Katakanlah jika bapak, anak, saudara, istri, keluarga,
harta yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian takutkan kebangkrutannya dan
tempat tinggal yang kalian cintai itu lebih kalian cintai daripada Allah dan RasulNya, dan jihad fi sabilillah,
maka tunggulah sehingga Allah mendatangkan urusannya”
Pencinta
sejati menghabiskan hidupannya hanya untuk memburu al haqq, bukan selainnya,
bagi mereka makna terdalam dari tauhid adalah menyatukan diri dengan Allah,
atau proses transformasi dari kesementaraan menuju kekekalan, dari kesemuan
menuju kesejatian, dari posisi berjarak menuju jumbuh atau kebersatuan dengan
al haq al mahbubah, Suatu waktu tatkala malaikat maut hendak mencabut nyawa
Nabi ibrahim as, nabi Ibrahim sempat bertanya, apakah seorang kekasih akan
mematikan kekasihnya? lalu Tuhan melalui
malaikat maut menjawab, apakah pencinta tidak ingin berjumpa dengan
kekasihnya?, Ibrahim kemudian berkata,
jika begitu segeralah ambil nyawaku ini, karena itu dalam Qs. 62 : 6
disebutkan “Maka harapkanlah
kematian jika kalian betul betul cinta”. Jadi bila seseorang sudah mencintai kematian,
berarti ia sudah memiliki kecintaan kepada
Allah swt.
Seseorang belum bisa disebut
mencintai bila ia masih suka memperhitungkan
atau mempertanyakan yang dicintainya, sebab cinta sejati itu bukan cinta
“karena” tetapi cinta “walaupun”. maka bila seseorang masih bertanya untuk apa
mencintai Tuhan berarti dia masih berada dalam tahap cinta “karena”
dan belum sampai pada cinta “walaupun”.
As Syibli menegaskan bila
seseorang mencintai Allah hanya karena kebaikanNya, mungkin suatu saat cinta
mereka akan berkurang ketika ia merasa
Tuhan tidak berlaku baik padanya, atau bahkan berhenti mencintaiNya
ketika ia merasa keputusan Tuhan tidak seperti yang diharapkan dirinya. Itu
model “cinta karena”.
Cinta sejati, --bila meminjam
bahasa psikologi komonikasi—adalah model
kecintaan internalitatif
dan kecintaan identifikatif,
yakni model kecintaan yang didalamnya terdapat pengabdian dan kepatuhan sejati,
model kecintaan seperti itu
mendorong si pencinta bukan saja ingin meniru semua karakteristik dan
kepribadian yang dicinta, tetapi juga ingin menjadi foto copy dari sang
tercinta tersebut, bukan saja ingin menyerap nilai nilai sang tercinta tetapi juga ingin menjadi nilai
itu sendiri, bukan saja to be like him tetapi juga to be him.
Maka, sungguh berdusta orang yang mengaku cinta kepada
Allah, ketika yang bersangkutan masih (1)
belum menyerap sifat sifat sang dicinta (2) lebih suka meminta dari pada memberi. (3)
menggunakan malam malamnya untuk lebih banyak tidur dan melalaikan panggilan Allah swt, (4)
mendahulukan kehendaknya diatas kehendak Allah, (5) belum memutuskan hubungan
dengan segala sesuatu selain Allah, (6)
menuntut sesuatu sesuai kemauan dirinya sendiri dan bukan sesuai kemauan Allah.
Mereka semua kendati mengaku mencintai Allah, realitasnya hanya mengatas
namakan cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar