Ust. Ach. Hefni Zain
Berkompetisi merupakan
naluri setiap manusia normal, bahkan naluri tersebut tidak saja terjadi pada
manusia, melainkan juga pada semua mahluk Tuhan termasuk binatang sekalipun. Hakekat
kompetisi dalam semua jenisnya hampir sama, ia membutuhkan biaya, tenaga,
taktik dan strategi. Tujuan utamanya satu, yakni keluar sebagai pemenang.
Sesungguhnya
kompetisi merupakan hal mulia jika dilakukan dalam kebaikan. Kompetisi dalam kebaikan adalah kompetisi yang diniati
hanya karena Allah semata. Dan niat itu pulalah yang membedakan antara
kompetisi yang mulia dan yang bukan. Sedangkan kompetisi yang tidak baik adalah
kompetisi yang berdasarkan nafsu keserakahan baik dalam motivasi, sarana maupun
tujuannya.
Perbedaan antara dua kompetisi itu amat jelas. Kompetisi
yang pertama, motivasinya adalah imaniyah, sarana dan jalannya semua merupakan
kebaikan sedang tujuan akhirnya adalah mendapatkan keridhaan Allah dan
surgaNya, Kompetisi semacam inilah yang disebut Qur’an sebagai fastabiqul Khairot.
Dalam QS. Al-Muthaffifin : 22-26 ditegaskan : Sesungguhnya orang yang
berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (surga). Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang, kamu
dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh
kenikmatan. Mereka diberi minum dari khamer murni yang dilak (tempatnya),
laknya adalah kesturi, dan untuk yang demikian itu hendak nya orang saling
berlomba." (Al Muthaffifin: 22-
26).
Kompetisi yang kedua, motivasinya adalah syaithaniyah,
sehingga melahirkan kecintaan kepada materi yang berlebihan, kesenangan
menguasai dan mengalahkan. Sedangkan semua sarananya adalah tipu daya,
konspirasi, kelicikan, kemarahan dan kebencian. Tujuan akhirnya menguasai dan
mengalahkan bahkan menghancurkan, sehingga dirinya senang dan puas, juga untuk
menyenangkan para pendukungnya.
Kompetisi di jalan kebaikan untuk mendapatkan ridha Allah
akan menanamkan ketenangan dan ketetapan dalam hati, kecintaan pada kebaikan,
serta jauh dari rasa iri hati, kebencian, dan segala hal yang merupakan aib
dalam pandangan manusia. Kompetisi itu juga akan menebarkan kebaikan, menyemai
dan menghunjamkan akar kebaikan tersebut dalam setiap tatanan masyarakat. Ia
akan membentuk jiwa setiap individu, memperkokoh rasa kemanusiaannya,
memperbesar daya juangnya untuk memerangi kebatilan dan menghentikan kerusakan
di bumi.
Contoh kompetisi
yang baik, sering terjadi dikalangan para sahabat dimasa Rasululloh saw, kompetisi
yang terjadi antar mereka adalah kompetisi dalam berbagai amal kebajikan, tidak
dalam urusan duniawi yang cepat punah dan fana. Tatkala Rasululloh saw menyeru
para sahabatnya untuk membekali para tentara kaum muslimin yang tidak mampu.
Umar bin Khottob berkata, sekarang saya akan mengalahkan Abu Bakar as-siddiq (dalam
bersedekah). Umar kemudian mengeluarkan 50% dari seluruh hartanya. Ia tak
beranjak dari sisi Rasul saw karena ingin mengetahui apa yang akan dilakukan Abu
Bakar. Tak lama, Abu Bakar datang dengan membawa semua hartanya, 100% full.
Keadaan tersebut menjadikan Rasul saw bertanya. "Apa yang kamu
tinggalkan untuk keluargamu wahai Abu Bakar?". Abu Bakar menjawab,
"Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan RasulNya." Demi melihat
apa yang terjadi, Umar lalu terus terang mengakui dan berkata, "Tidaklah
aku berkompetisi dalam kebaikan dengan Abu Bakar kecuali dia keluar sebagai
pemenangnya. Mulai hari ini aku tak akan menantang-nya lagi untuk berkompetisi."
Dalam persoalan
jihad di jalan Allah, sejarah juga mencatat dengan tinta emas kompetisi yang
terjadi di antara mereka, Masing-masing ingin mendahului kawannya dalam keluar
menuju medan jihad fi sabilillah dan mendapatkan syahadah (mati syahid). Banyak sekali teladan mulia dan contoh keagungan jiwa
mereka dalam berkompetisi menuju medan jihad. Bahkan sampai terjadi pada zaman
Rasulullah saw seorang anak dengan ayahnya harus mengundi siapa yang berhak
keluar ke medan jihad karena masing-masing tidak mau mengalah. Kisah nyata itu
terjadi antara Sa'd bin Khaitsamah dengan ayahnya sesaat menjelang
keberangkatan kaum muslimin menuju lembah Badar.
Undian ternyata
jatuh pada Sa'd, sehingga ia bersuka cita karena akan segera berangkat ke medan
jihad. Sang ayah keberatan dengan nasibnya, sehingga ia tetap bersikeras tidak
mau tinggal di rumah. Ia lalu meminta anaknya agar mengalah dan mau tinggal
dirumah. Tetapi sang putra menolak seraya berkata, "Wahai ayah, seandainya
apa yang engkau inginkan itu selain surga, tentu aku akan mentaatimu."
Akhirnya sang putra tetap pergi ke medan jihad sampai menemui syahidnya dalam peperangan
tersebut. Sang ayah tetap mendambakan untuk suatu ketika bisa ikut berjihad di
medan perang, hingga tibalah saat yang dinanti-natinya, yaitu perang Uhud.
Beberapa saat sebelum perang berkecamuk, Khaitsamah (sang ayah) berkata kepada
Rasul saw "Ya Rasul, tadi malam aku bermimpi melihat putraku dalam
keadaannya yang terbaik, ia mendapatkan nikmat di surga. Ia berkata kepadaku,
wahai ayah, aku telah benar-benar mendapatkan apa yang dijanjikan oleh Allah
kepadaku. Karena itu bergegaslah menyusulku untuk menemuiku di surga. Ya Rasul,
sungguh aku sudah amat rindu untuk menemani putraku dan menemui Rabbku, karena
itu berdo'alah untukku agar Allah memberiku kesyahidan." Maka Rasul Saw
mendoa-kannya. Khaitsamah lalu ikut bertempur dalam peperangan Uhud sampai ia
menemui syahadah (mati syahid) yang sangat ia dambakan.
Sementara kompetisi
yang dilakukan untuk memenuhi keinginan hawa nafsu. Didalamnya pasti terselip
semangat dengki, kemarahan dan kebencian yang pada gilirannya memunculkan
perseteruan dan persaingan tidak sehat. Peserta kompetisi jenis ini hanya siap
menang dan tidak siap kalah, akibatnya satu sama lain saling ngotot, saling
menuntut dan saling menjatuhkan. Semua prilaku politik dalam kompetisi jenis
ini selalu berbau ”trik” dan basa-basi, Rakyat kecil, mulai diingat dan
diorangkan (untuk tidak mengatakan dibodohi), setelah sebelumnya biasa
dimanfaatkan dan dikerdilkan. Berbagai bantuan “tidak ihklas” mulai diberikan
setelah sebelumnya biasa dirampas, janji-janji kosong mulai diumbar (biasanya dikemas dalam bentuk
”visi). Kompetisi jenis ini pada akhirnya menyebabkan merebaknya berbagai
bentuk kejahatan, kezaliman dan bertambahnya pengikut kebatilan. Kompetisi yang
tak jarang malah mengorbankan orang-orang tak berdosa, menteror sana sini,
sehingga kehidupan masyarakat selalu dihantui kecemasan, kehidupan menjadi
gelap dan kekacauan terjadi di mana-mana. Bentuk kompetisi seperti inilah yang marak terjadi pada
zaman kita sekarang.
Di indonesia, sejak pemerintah memberlakukan
model pemilihan langsung pada 2005 hingga tahun 2008 saja, sudah 343 kali
pilkada digelar. Bila dirata-ratakan, pesta rakyat itu dilaksanakan enam sampai
tujuh kali dalam sebulan. Angka ini cukup fantastis untuk ukuran sistem
demokrasi di Indonesia yang usianya masih sangat belia namun sangat rumit. International Observer
(2007) menyebut sistem pemilihan di Indonesia sebagai “The most
complex election system in the world and the biggest ever election ever held in
a one single day.” Dampaknya, ruang politik nasional yang sebelumnya begitu
senyap oleh politik pembungkaman ala Orde Baru, tiba-tiba menjadi begitu
gemuruh, sebab selain diramaikan oleh poster bakal calon yang dibentangkan di
ruang publik, bahkan ada yang digandeng dengan iklan kartu XL yang bergambar
monyet, pesta rakyat itu juga acapkali
diwarnai saling gugat, saling hujat, saling rebut dan saling tuntut bahkan terjadi juga anarkisme, seperti
pembakaran dan kerusuhan antar pendukung calon pemimpin.
Zaman sekarang,
selain kompetisi politik seperti pemilu
dan pemilu kada, juga banyak sekali kompetisi lain. Ada kompetisi sepak bola,
balap mobil, atau balap unta. Ada adu jago, adu domba hingga adu kerbau. Di
bidang seni ada lomba lagu, drama, mode pakaian hingga kontes payudara. Dan
masih banyak lagi bentuk lomba-lomba lainnya. Pertanyaannya adalah, apakah sama
antara kompetisi untuk mencari ridha Allah dengan kompetisi untuk mencari
selain ridhaNya? Jawabnya tentu tidak. Allah Ta'ala telah berfirman, "Dan
tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidaklah (sama) orang-orang
yang beriman serta mengerjakan amal shaleh dengan orang-orang yang durhaka."
(QS. 40: 58) Wallohu a’lam bisshowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar