Ust. Hefni Zain
Dalam Islam beragama secara inklusif dengan menampilkan wajah agama
yang sejuk, santun dan ramah sangat dianjurkan. Islam bahkan memerintahkan umat
Islam untuk dapat berinteraksi dengan agama lain sehingga dapat menggali nilai-nilai keagamaan
melalui diskusi dan debat intelektual/teologis secara bersama-sama dan dengan
cara yang sebaik-baiknya (QS al-Ankabut/29: 46), tentu saja tanpa harus
menimbulkan prejudice atau kecurigaan
di antara mereka. Karena menurut
al-Qur’an sendiri, sebagai sumber normatif bagi suatu teologi inklusif. Karena
bagi kaum muslimin, tidak ada teks lain yang menempati posisi otoritas mutlak
dan tak terbantahkan selain Alqur’an. Maka, Alqur’an merupakan kunci untuk
menemukan dan memahami konsep persaudaraan Islam-terhadap agama
lain---pluralitas adalah salah satu
kenyataan objektif komunitas umat manusia, sejenis hukum Allah atau Sunnah Allah, sebagaimana firman Allah
SWT: “ Hai manusia, sesungguhnya kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa
di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal” (Al Hujurat 49:
13).
Kalau kita membaca dari ayat
tersebut, secara kritis dan penuh keterbukaan, pastilah kita akan menemukan
suatu kesimpulan bahwa Allah SWT sendiri sebenarnya secara tegas telah
menyatakan bahwa ada kemajemukan di muka bumi ini. Perbedaan laki-laki dan perempuan, perbedaan suku
bangsa; ada orang Indonesia, Jerman, Amerika, orang Jawa, Sunda atau bule,
adalah realitas pluralitas yang harus dipandang secara positif dan optimis.
Perbedaan itu, harus diterima sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin atas
dasar kenyataan itu. Bahkan kita disuruh untuk menjadikan pluralitas tersebut,
sebagai instrumen untuk menggapai kemuliaan di sisi Allah SWT, dengan jalan mengadakan
interaksi sosial antara individu, baik dalam konteks pribadi atau bangsa.
Kenapa kita diperintah untuk saling
mengenal dan berbuat baik sama orang lain, meskipun berbeda agama, suku dan
kulit dan dilarang untuk memperolok-olok satu sama lain? Jawabannya adalah
bahwa hanya Allah yang tahu dan dapat menjelaskan, di hari akhir nanti, mengapa
manusia berbeda satu dari yang lain, dan mengapa jalan manusia berbeda-beda
dalam beragama: “Untuk masing-masing dari
kamu (umat manusia) telah kami tetapkan Hukum (Syari’ah) dan jalan hidup
(minhaj). Jika Tuhan menghendaki, maka tentulah ia jadikan kamu sekalian umat
yang tunggal (monolitk). Namun Ia jadikan kamu sekalian berkenaan dengan
hal-hal yang telah dikarunia-Nya kepada kamu. Maka berlombalah kamu sekalian
untuk berbagai kebajikan. Kepada
Allah-lah tempat kalian semua kembali; maka Ia akan menjelaskan kepadamu
sekalian tentang perkara yang pernah kamu perselisihkan” (Q.S. Al Maaidah:
48).
Bahkan konsep unity in diversity,
dalam Islam telah diakui keabsahanya dalam kehidupan ini. Untuk mendukung
pernyataan ini, kita dapat melacak kebenaranya dalam perjalanan sejarah yang
telah ditunjukkan oleh al-Qur’an, bahwa Islam telah memberi karaketer positif
kepada komunitas non-Muslim, Ini bisa dilihat, misalnya, dari berbagai istilah
eufemisme, mulai dari ahl al-kitab,
shabih bi ah al-kitab, din Ibrahim sampai dinan hanifan. Dan secara spesifik, Islam malahan mengilustrasikan
karakter para pemuka agama Kristen sebagai manusia dengan sifat rendah hati (la yastakbirun) serta pemeluk agama Nasrani sebagai kelompok
dengan jalinan emosional (aqrabahum
mawaddatan) terdekat dengan komunitas Muslim (Q.S. Al Maidah: 82).
Dalam kaitannya yang langsung dengan prinsip untuk dapat
menghargai agama lain dan dapat menjalin persahabatan dan perdamaian dengan
‘mereka’ inilah Allah, di dalam al-Qur’an, menegur keras Nabi Muhammad SAW
ketika ia menunjukkan keinginan dan kesediaan yang menggebu untuk memaksa
manusia menerima dan mengikuti ajaran yang disampaikanya, sebagai berikut: “Jika Tuhanmu menghendaki, maka tentunya
manusia yang ada di muka bumi ini akan beriman. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia, di
luar kesediaan mereka sendiri? (Q.S.
Yunus: 99).
Dari ayat tersebut tergambar
dengan jelas bahwa persoalan kemerdekaan beragama dan keyakinan menjadi
“tanggungjawab” Allah SWT, dimana kita semua dituntut toleran terhadap orang
yang tidak satu dengan keyakinan kita. Bahkan nabi sendiri dilarang untuk
memaksa orang kafir untuk masuk Islam. Maka dengan begitu, tidaklah dibenarkan
“kita” menunjukkan sikap kekerasan, paksaan, menteror dan menakut-nakuti orang
lain dalam beragama. Apalagi kalau kita mau
memahami secara benar, bahwa pada dasarnya menurut al-Qur’an, pokok pangkal
kebenaran universal Yang Tunggal itu ialah paham Ketuhanan Yang Maha Esa, atau tauhid. Tugas para Rasul adalah
menyampaikan ajaran tentang tauhid
ini, serta ajaran tentang keharusan manusia tunduk dan patuh hanya kepada-Nya
saja (Q. S. al-Ambiya’: 92) dan justru berdasarkan paham tauhid inilah, al-Qur’an mengajarkan paham kemajemukan keagamaan.
Dalam pandangan teologi Islam, sikap ini menurut Budy Munawar Rahman (2001:
15), dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan kepada semua agama yang ada; bahwa
semua agama itu pada mulanya menganut prinsip yang sama, dan persis karena
alasan inilah al-Qur’an mengajak kepada titik pertemuan (kalimatun sawa’): “Katakanlah
olehmu (Muhammad): Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan
(kalimatun sawa’) antara kami dan kamu: yaitu bahwa kita tidak menyembah selain
Allah dan tidak mempersekutukan-Nya kepada apapun, dan bahwa sebagian dari kita
tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah”
(Q.S. al-Maidah: 64).
Implikasi dari kalimatun sawa’ ini menurut Alqur’an adalah: siapapun dapat
memperoleh “keselamatan” asalkan dia beriman kepada Allah, kepada hari
kemudian, dan berbuat baik”. Jadi, dalam prespektif ini, al-Qur’an tidak
mengingkari kasahihan pengalaman transendensi agama, semisal Kristen bukan?
Islam malah mengetahui dan bahkan mengakui daya penyelamatan kaum lain (termasuk Kristen) itu dalam hubunganya
dengan lingkup monoteisme yang lebih luas: “Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan yang beragama Yahudi, Kristen, dan Shabiin, barang siapa dari
mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan mengerjakan amal baik, maka
mereka akan dapat ganjaran dari Tuhan mereka; dan tidak ada ketakutan dan tidak
ada duka cita atas mereka” (Q.S 2: 62).
Hal itu sejalan dengan
ajaran bahwa monoteisme merupakan dogma yang diutamakan dalam Islam.
Monoteisme, yakni percaya kepada Tuhan yang Maha Esa, dipandang jalan untuk
keselamatan manusia. Dalam al-Qur’an ayat 48 dan 116 surah al-Nisa’ menerangkan bahwa Allah tidak mengampuni dosa orang yang
mempersekutukan Tuhan tetapi mengampuni dosa selainya bagi barang siapa yang
dikehendaki Allah. Kedua ayat ini mengandung arti bahwa dosa dapat diampuni
Tuhan kecuali dosa sirk atau politeis. Inilah satu-satunya dosa yang tak dapat
diampuni Tuhan.
Alqur’an, dengan demikian,
sebagaimana ditegaskan oleh Abdulaziz Sachedina dalam bukunya The Islamic Roots of Democratic Pluralism
(2002: 59), adalah jelas memandang dirinya sebagai mata rantai kritis dalam
pengalaman pewahyuan umat manusia—satu jalan universal yang dimaksudkan untuk
semua makhluk. Secara khusus, Islam juga memiliki etos biblikal dan Kristen,
dan Islam memiliki sikap yang luar biasa inklusif terhadap Ahli Kitab, yang
dengan merekalah Islam terhubungkan melalui manusia pertama di muka bumi. Sedangkan secara umum,
pandangan Islam terhadap agama lain (Ahli Kitab—pen) sangat positif dan sangat
kontruktif. Hal ini dapat dilihat dari nilai dan ajarannya yang memberikan
peluang dan mendorong kepada umat Islam untuk dapat melakukan interaksi sosial,
kerja sama dengan mereka. Tentang hal ini, Farid Asaeck (2000: 206-207)), telah
menunjukkan bukti-bukti sebagai berikut; Pertama,
Ahli Kitab, sebagai penerima wahyu,
diakui sebagai bagian dari komunitas. Ditujukan kepada semua nabi, al-Qur’an
mengatakan: “Dan sungguh inilah umatmu,
umat yang satu” (QS al-Mu’miunun: 52). Sehingga konsep Islam tentang para
pengikut Kitab Suci atau Ahli Kitab yaitu konsep yang memberikan pengakuan
tertentu kepada para penganut agama lain, yang memiliki Kitab Suci dengan
memberikan kebebasan menjalankan ajaran agamanya masing-masing.
Kedua,
dalam dua bidang sosial terpenting, makanan dan perkawinan, sikap murah hati
al-Qur’an terlihat jelas, bahwa makanan “orang-orang yang diberi Alkitab”
dinyatakan sebagai sah (halal) bagi kaum muslim dan makanan kaum muslim sah
bagi mereka (QS al-Maidah: 5). Demikian juga, pria muslim diperkenankan
mengawini “wanita suci dari Ahli Kitab” (QS al-Maidah: 5). Jika kaum Muslim
diperkenankan hidup berdampingan dengan golongan lain dalam hubungan yang
seintim hubungan perkawinan, ini menunjukkan secara eksplisit bahwa permusuhan
tidak dianggap sebagai norma dalam hubungan Muslim-kaum lain. Ketiga, dalam bidang hukum agama,
norma-norma dan peraturan kaum Yahudi dan Nasrani diakui (QS al-Maidah: 47) dan
bahkan dikuatkan oleh Nabi ketika beliau diseru untuk menyelesaikan
perselisihan di antara mereka (QS al-Maidah: 42-43). Keempat, kesucian kehidupan religius penganut agama wahyu lainya
ditegaskan oleh fakta bahwa izin pertama yang pernah diberikan bagi perjuangan
bersenjata dimaksudkan untuk menjamin terpeliharanya kesucian ini, “Dan
sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagai manusia dengan sebagian yang
lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja dan
sinagog-sinagog orang Yahudi, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak di
sebut nama Allah” (QS al-Hajj: 40).
Perintah Islam agar umatnya
bersikap toleran, bukan hanya pada agama Yahudi dan Kristen, tetapi juga kepada
agama-agama lain. Ayat 256 surat al-Baqarah mengatakan bahwa tidak ada paksaan
dalam soal agama karena jalan lurus dan benar telah dapat dibedakan dengan
jelas dari jalan salah dan sesat. Terserahlan kepada manusia memilih jalan yang
dikehendakinya. Telah dijelaskan mana jalan benar yang akan membawa kepada
kesengsaraan. Manusia merdeka memilih jalan yang dikehendakinya. Kemerdekaan
ini diperkuat oleh ayat 6 surah al-Kafirun yang mengatakan: Bagimulah agamamu dan bagiku agamaku.
Demikianlah beberapa prinsip
dasar al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah pluralisme dan anjuran untuk
dapat menunjukkan sikap saling menghormati, ramah dan bersahabat dengan agama
Kristen, secara khusus. Dengan begitu, jauh-jauh hari, al-Qur’an sesungguhnya
telah mensinyalir akan munculnya bentuk “truth
claim” (Abdullah, 1999: 68). Baik itu dalam wilayah intern umat beragama
maupun wilayah antar-umat beragama. Kedua-duanya, sama-sama tidak favourable dan tidak kondusif bagi upaya
membangun tata pergaulan masyarakat pluralistik yang sehat.
Oleh al-Qur’an, kecendrungan manusia untuk
mengantongi “truth claim” yang
potensial untuk ekplosif dan destruktif itu, kemudian dinetralisir dalam bentuk
anjuran untuk selalu waspada terhadap bahaya ektrimitas dalam berbagai
bentuknya. Dan manusia Muslim sendiri dituntut untuk senantiasa merendahkan
hati dan bersedia dengan “kebenaran” (al-haq)
dan kesabaran (al-Shabar) dalam
setiap langkah dalam perjalanan hidupnya (surat al-Ashr: 1-3).
Paling tidak, dalan dataran
konseptual, al-Qur’an telah memberi resep atau arahan-arahan yang sangat
diperlukan bagi manusia Muslim untuk memecahkan masalah kemanusiaan universal,
yaitu realitas pluralitas keberagamaan manusia dan menuntut supaya bersikap
toleransi terhadap kenyataan tersebut demi tercapainya perdamaian di muka bumi.
Karena Islam menilai bahwa syarat untuk membuat keharmonisan adalah pengakuan
terhadap komponen-komponen yang secara alamiah berbeda.Dengan begitu, dapat pula
dikatakan konsepsi pluralisme dalam Islam sudah terbawa pada misi awal agama
ini diturunkan, yakni membawa kasih terhadap seluruh alam tanpa batas-batas
atau benturan-benturan dimensi apapun. Semua orang yang mengaku Islam haruslah
menunjukkan sikap saling “mengasihi” kepada sesama manusia. Karena seseorang
bisa disebut sebagai seorang muslim, menurut kanjeng nabi adalah Al-Muslimu man salima Al-muslimuna min
lisanihi wa yadihi. Maksudnya adalah seorang muslim yang senantiasa
menebarkan sikap damai dan rasa aman dihati masyarakatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar