Oleh : Hefni Zain
ABSTRAK
Piagam
Madinah merupakan instrument legal-konstitusional bagi pencarian formulasi
resolusi konflik dalam Islam. Substansi dari Piagam Madinah menggambarkan
adanya proses pelembagaan kesadaran masyarakat Madinah untuk meletakkan fondasi relasi masyarakat yang majemuk dengan spirit
berdampingan dan damai (peace building community). Piagam Madinah merupakan
manifesto resolusi konflik sosial yang telah diletakkan fondasinya oleh Nabi
Muhammad saw untuk masyarakat yang heterogen. Pemahaman yang utuh dan
komprehensif tentang Piagam Madinah
mampu menjadi sumber inspirasi konseptual-akademik dalam membangun penataan
model keberagamaan dalam komunitas yang majemuk bagi pengembangan masyarakat yang
inklusif yaitu masyarakat yang mampu menghargai dan menghormati pluralisme dan
keragaman agama, etnik dan budaya. Kontribusi teoritik yang bersifat akademik
dari penelitian ini adalah merumuskan konsep peace building community sebagai
alternatif model dalam menciptakan tatanan hubungan keberagamaan masyarakat
yang beradab dan penuh dengan kedamaian atas dasar persaudaraan sejati.
Kata knuci: Piagam Madinah, resolusi konflik dan peace building
community.
PENDAHULUAN
Islam
hadir di tengah masyarakat yang tidak hampa budaya. Jazirah Arab sebagai tempat
agama Islam mulai dikenalkan oleh Nabi saw merupakan daerah dengan tingkat
heterogenitas yang sangat kompleks baik dari sisi etnik, budaya, agama dengan
berbagai system sosial yang melingkupinya. Oleh karena itu kemajemukan agama
dan suku sudah lama ada, dan diakui eksistensinya. Dari sisi pluralitas agama,
di Madinah misalnya, hidup dan berkembang tiga kelompok masyarakat yaitu
Muslim, Yahudi dan Paganis[1]
Dilihat
dari sosiopolitik, -sebelum kelahiran Nabi Muhammad-, semenanjung Arab secara
geografis dan cultural terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Arab Utara dan Arab
Selatan. Masing-masing mempunyai struktur sosial dan politik yang berbeda.
Masyarakat Arab Selatan menganut sistem kerajaan (monarchy).
Sedangkan masyarakat Arab Utara menganut sistem kesukuan (tribalism). Karakter dominan kedua
masyarakat Arab tersebut adalah adanya pembatasan kekuasaan seorang pemimpin.
Kekuasaan raja bagian selatan dibatasi oleh sebuah council
of notables yaitu sebuah dewan yang beranggotakan tokoh-tokoh
terkemuka. Sedangkan pemimpin wilayah Utara berada pada seorang kepala suku (syaikh) yang kekuasaannya dibatasi
oleh council of elders yaitu dewan yang
beranggotakan para tokoh sepuh
(tua) yang disebut dengan majelis[2]. Masing-masing anggota suku diikat oleh hubungan darah (bloods ties). Setiap individu
haruslah mempunyai suku demi perlindungan dan keamanan mereka. Deskripsi
situasi objektif masyarakat Arab pra Islam tersebut menandakan bahwa system
social-politik Arab pra Islam belum terstruktur karena memang tidak adanya
pusat kekuasaan (centralized authority) [3]
Kepindahan
(hijrah) Nabi Muhammad dari Makkah ke Yatsrib (Madinah) menandai babak baru
perjalanan karirnya sebagai Nabi dan Rasul sekaligus sebagai pemimpin politik. [4] Dengan prestise moral dan kecakapan politik yang beliau miliki,
menjadikan komunitas Madinah tertarik pada sosok beliau yang merindukan sang
arbritator untuk mengatasi konflik yang berkepanjangan di Madinah. [5] Peran strategis Nabi Muhammad sebagai arbitrator dan negoisator di
kalangan masyarakat Madinah dibuktikan dengan disepakatinya sebuah perjanjian
bersama yang disebut dengan Piagam Madinah atau Perjanjian Madinah. [6]
Dengan
demikian posisi Piagam Madinah dapat disebut sebagai konstitusi sebuah Negara
sekaligus sebagai resolusi konflik[7] untuk mengakhiri konflik dengan damai di antara anggota masyarakat
Madinah. Piagam Madinah juga menjadi starting
point bagi penataan hubungan antar ummat beragama di Madinah
untuk hidup berdampingan (coexistence)
secara bermartabat yang sangat signifikan dijadikan model dalam membangun hubungan
antar ummat beragama sekaligus hubungan inter ummat beragama. Tulisan ini ingin
membuktikan bahwa Piagam Madinah merupakan eksperimen politik Rasulullah
sebagai desain resolusi konflik untuk mewujudkan peace
building commonity. Piagam Madinah dalam konteks tulisan ini tidak
sekedar diposisikan sebagai sumber tekstual, tetapi juga sebagai fakta historis
kemampuan Nabi saw dalam membaca local
wisdom masyarakat Madinah sehingga beliau mampu mengambil peran
strategis dalam melakukan negoisasi kompromi terutama dalam penataan hubungan
antar umat beragama.
PEMBAHASAN
Kerangka Teoritis Konflik dan Integrasi Sosial
Watak
dasar manusia (human nature) pada hakikatnya
menginginkan harmoni dalam kehidupan. Hampir semua pakar menegaskan bahwa
konflik bukanlah watak dasar manusia. Konflik lahir karena struktur sosial
ekonomi yang melingkupi kehidupan manusia. Faktor itualah yang menjadi pemicu bagi
lahirnya konflik, terutama ketika kebutuhan dasar yang ia perlukan tidak
terpenuhi. Pola relasi yang tidak imbang dalam proses sosial antar individu
inilah yang kerap melahirkan gesekan kepentingan yang ujungnya memunculnya
suasana disharmoni dalam wujud konflik.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konflik akan ada sebagai bagian dari
proses perubahan social yang lahir karena adanya heteroginitas kepentingan
seperti kepentingan nilai-nilai keyakinan[8] Konflik adalah polarisasi berbagai kepentingan atau keyakinan dari
suatu kelompok yang tidak terwadahi aspirasinya secara terus menerus[9]
Manusia
hidup tidak lepas dari konflik, sehingga dapat dipastikan bahwa usia konflik seumur
dengan peradaban manusia. Konflik disebabkan karena adanya perbedaan, persiggungan
dan pergerakan. Sistem nilai, budaya dan keyakinan lebih cenderung mengelompokkan
masyarakat dalam sekat-sekat kelompok yang bersifat kompetitif dan dominatif
daripada hubungan yang bersifat koperatif. Hubungan sosial yang bersifat dominatif pada akhirnya akan melahirkan
hukum tradisional dan primitive, yaitu siapa yang kuat itulah yang menang dan
berkuasa serta dialah yang membuat hukum[10]
Konflik
atau pertentangan mempunyai hubungan erat dengan integrasi. Hubungan ini
disebabkan karena proses integrasi sekaligus merupakan suatu proses
disorganisasi dan disentragrasi. Makin tinggi derajat konflik suatu kelompok
maka makin kecil derajat integrasinya. Secara teoritis, solidaritas antar
kelompok (in group solidarity) dan pertentangan dengan kelompok luar (outgroup
conflict) terdapat hubungan yang saling pengaruh mempengaruhi[11]
Salah
satu teori yang berpengaruh dalam membaca konflik dan mendesain resolusi
konflik adalah teori kebutuhan yang digagas oleh John Burton. Menurutnya,
kebutuhan yang tidak terpenuhi merupakan sebab yang paling sering terjadi dan
sangat serius dalam konflik. Resolusi tidak akan terjadi tanpa terpenuhinya
kebutuhan tersebut[12]. Jika setiap pihak yang bertikai dapat mengetahui kebutuhanya
masing-masing, mereka mungkin akan dapat melihat bahwa kebutuhan tersebut tidak
perlu dicapai melalui konflik, namun bisa melalui cara lain dengan cara
mempertemukan kebutuhan dari setiap pihak. Cara ini lebih dikenal dengan
pendekatan win win solution (sama-sama menang)
Ada
beberapa strategi yang biasa digunakan dalam menyelesaikan konflik. Pertama, strategi yang disebut
dengan contending (bertanding) yaitu upaya
untuk mencari penyelesaian konflik dengan cara bertarung. Kedua, strategi yang disebut yielding
(mengalah) yaitu strategi dengan menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia
kurang dari yang sebetulnya diinginkan. Ketiga,
strategi yang disebut dengan problem
solving yaitu mencari alternative yang memuaskan kedua belah
pihak. Keempat, strategi yang disebut
dengan with drawing (menarik diri) yaitu
memilih meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik maupun psikologis.
Kelima, strategi yang disebut dengan inaction
(diam) strategi menghindari konflik dengan cara tidak melakukan apapun [13]
Dialog
merupakan pusat dari resolusi konflik dalam rangka membangun kepercayaan,
pengertian dan hubungan kerja sama, atau berfokus pada pencarian kesepakatan
yang digambarkan sebagai negoisasi. Sebuah negoisasi merupakan proses tawar
menawar yang kadang secara teknis tidak selalu gampang, sebab para protagonist selalu berkecenderungan
memanfaatkan kekuatanya untuk saling mengeruk keuntungan, namun hal tersebut
harus diambil sebagai jalan mencari kompromi. Tujuan dasar dari resolusi
konflik adalah mencari dan mengembangkan dasar yang umum demi mencapai
kesepakatan yang saling menguntungkan, melalui proses kerjasama daripada
persaingan.
Dalam
proses negoisasi dalam konteks desain resolusi konflik, peran pihak ketiga
sebagai negoisator, arbitrator, mediator menjadi sangat sentral sebagai
penengah dan fasilitator sebuah gagasan kompromi diantara para pihak yang
terlibat konflik. Sosok negoisator merupakan pihak yang dipercaya oleh
pihak-pihak yang berkonflik. Tujuan pokok mediasi adalah menemukan solusi
praktis dalam menyelesaikan masalah[14]
Secara
teoritik, resolusi konflik dilakukan dengan menggunakan empat tahap yang dilakukan
secara berkesinambungan menjadi satu kesatuan yang koheren: Pertama, Tahap
Mencari De-eskalasi Konflik. Tahap ini merupakan tahap penurunan ketegangan (tension) dari eskalasi konflik. Kedua, Tahap Intervensi Kemanusiaan
dan Negoisasi Politik. Langkah ini lebih ditekankan pada upaya rehabilitasi
social korban konflik diiringi dengan membuka ruang-ruang dialog untuk
melakukan negoisasi politik diantara pihak yang terlibat konflik. Ketiga, Problem Solving Approach.
tahapan ini lebih berorientasi social yang diarahkan pada penciptaan kondisi
yang kondusif bagi pihak-pihak yang konflik untuk melakukan transformasi
konflik kearah resolusi. Keempat, Peace-Building.
tahap ini merupakan rangkaian dari tahapan transisi, rekonsialiasi dan tahap
konsolidasi. Tahap ini memerlukan waktu yang lama karena memiliki orientasi
structural dan cultural menuju perdamaian yang hakiki[15].
Dengan
menggunakan kerangka teori di atas didukung dengan analisis hermeneutis kita
dapat memahami apa dan mengapa Piagam Madinah lahir sebagai sebuah kesepakatan
social. Kelahiran Piagam Madinah tidak pada waktu
dan ruang yang kosong (space and time) sesuai
dengan teori continuity and change. Dengan
pendekatan kesejarahan (historical approach)
Piagam Madinah lahir sebagai bagian dari tuntutan sejarahnya. Ketika Yatsrib didera
krisis kepemimpinan yang melahirkan situasi penuh dengan konflik horizontal
dengan multi kepentingan yang mengitarinya, penduduk kota Yatsrib (Madinah)
merindukan seorang pemimpin yang mampu mengeluarkan mereka dari kubangan
konflik yang tak berkesudahan, Pada kondisi inilah Nabi Muhammad tampil sebagai
mediator yang mampu mengakomodir kepentingan berbagai kelompok komunitas yang
ada di Madinah untuk membangun kesadaran kolektif sebagai kesadaran kritis
mereka untuk menemukan common platform
sebagai cita-cita bersama yang dituangkan dalam narasi teks konstitusi yang disebut Piagam Madinah.
Karakteristik
khas masyarakat Yastrib (Madinah) berbeda dengan masyarakat Makkah baik secara
sosial, ekonomi, politik dan agama. Penduduk Madinah secara social dihuni oleh
dua kelompok masyarakat (emigrant)
yang berbeda asal usul dan tradisinya. Kelompok pertama mereka yang berasal
dari Utara yaitu bangsa Yahudi. Sedangkan kelompok kedua, adalah mereka yang
berasal dari Selatan yaitu masyarakat suku-suku Arab[16]. Dari sekian suku Arab yang ada di Madinah terdapat dua suku besar
yaitu suku Aus dan Khazraj. Kedua kelompok masyarakat Madinah yaitu kelompok
Yahudi dan suku Arab selalu bermusuhan. Namun demikian, di internal suku Arab
sendiri terutama Aus dan Khazraj juga terlibat konflik yang terus menerus[17]. Kelompok Yahudi pada umumnya menguasai lahan-lahan perekebunan
yang subur.[18]
Madinah
merupakan sebuah komunitas majemuk dan multi etnik, suku dan agama dengan identitas
politik, kultural dan identitas keagamaan. Konsekuensi dari heterogenitas tersebut
adalah lahirnya gesekan dan konflik yang berkepanjangan antar suku yang ada
dalam komunitas Madinah terutama konflik antar dua suku besar yaitu Khazraj dan
Aus. Hampir tidak mungkin sebuah masyarakat yang plural tidak terlibat dan
mengalami konflik. Konflik disini memang tidak identik dengan kerusuhan atau
kecamuk pertikaian yang berkepanjangan.
Dalam
kebudayaan Arab pra Islam, hubuangan kesukuan diatur dengan semangat pembalasan
secara adil sebagai solusi bagi kejahatan. Hubungan antar suku di Arab diwarnai
oleh pertikaian berdarah dimana langkah retributif selalu melebihi kadar
sepantasnya. Tradisi mekanisme “legal-punishment“
nyawa balas nyawa” acapkali justeru menimbulkan eskalasi kekerasan dan korban
nyawa yang jauh lebih dahsyat karena terjadinya kevakuman otoritas legal yang
diakui secara bersama. Siklus yang tak berksudahan dari kejahatan nyawa di
balas nyawa adalah konteks sosial cultural turunya al-Qur’an surat al-Baqarah
ayat 178. Ayat ini memberikan jalan damai dengan cara menganjurkan memberi maaf
dengan memberi konpensasi materiil (diyat)
dan ditinggalkanya balas dendam sebagai titik sentral mencegah kekerasan dengan
solusi damai dengan prinsip keadilan. Secara jelas al-Qur’an menawarkan sebuah
gagasan resolusi konflik menuju masyarakat yang damai.
Sebagaimana
kota-kota lain dibelahan Jazirah Arab, masyarakat Madinah tidak memiliki
penguasa tunggal yang bisa menjamin ketentraman bersama. Posisi Yahudi di
Madinah di hadapan suku Arab menjadi musuh, namun pada saat yang sama posisi
Yahudi justru kadang menjadi penengah pada konflik yang terjadi antara suku
Arab Aus dan Khazraj[19]. Kehidupan ekonomi Madinah banyak didominasi oleh masyarakat
Yahudi khususnya di bidang pertanian. Mereka mempunyai kelebihan kemampuan
dalam megolah tanaman. Relasi ekonomi Yahudi dan Arab sangat timpang. Kelompok
yahudi menjadi superior, sementara suku Arab di Madinah menjadi kelompok yang
tersubordinasikan karena kekalahan dalam pengelolaan potensi sumber daya alam.
Situasi inilah yang melahirkan kebencian orang Arab yang seringkali terjadi
konflik antara Yahudi dan suku Arab. Orang-orang Arab sangat merindukan seorang
tokoh yang bisa membebaskan keterbelengguan mereka secara ekonomis dibawah
tekanan dominasi Yahudi. Inilah yang menjadi salah satu faktor ketertarikan
sebagian suku Arab Madinah terhadap Rasulullah yang kelak diharapkan menjadi
pembebas dari kungkungan dominasi Yahudi, disamping mereka jenuh dengan konflik
internal sesama suku Arab[20].
Dari
perspektif sosial politik, masyarakat Yatsrib (Madinah) masih mengunakan system
kesukuan yang tidak diperintah oleh seorang raja sebagaimana layaknya sebuah
Negara. Situasi inilah yang kemudian disebut ‘jahiliyah’
(kebodohan) sebagaimana yang disifatkan Islam terhadap
orang-orang Arab sebelum diutusnya Muhammad saw[21]. Kebodohan yang tidak hanya berarti ketiadaan ilmu, namun karena
tidak adanya kondisi yang mendukung dan menjadi prasyarat bagi tumbuhnya ilmu,
khususnya ketiadaan ikatan dengan undang- undang atau aturan. Demikian juga
tidak adanya pandangan menyeluruh yang menganggap kemaslahatan sebagai sesuatu
yang berada di atas segala pertimbangan apapun.
Dengan
memperhatikan beberapa data literature di atas maka jelaslah bahwa situasi
objektif masyarakat Arab umumnya, dan Madinah khususnya sebelum kedatangan
Islam dalam situasi anomaly baik secara sosial, politik
dan moral keagamaan. Oleh karena berbagai konflik atas nama identitas etnik dan
agama menjadi proses yang terus menerus berlangsung tanpa ada harapan untuk
mereka tampil sebagai masyarakat yang damai dan hidup berdampingan secara wajar
dan bermartabat.
Piagam Madinah sebagai Resolusi Konflik
Agenda
penting yang pertama kali Nabi Muhammad lakukan setelah berada di tengah-tengah
komunitas Madinah adalah membangun masjid Quba dan menata kehidupan sosial
politik masyarakat kota itu yang bercorak mejemuk. Pembangunan masjid
dimaksudkan sebagai tempat aktivitas ritual keagamaan dilaksanakan sekaligus
sebagai media Nabi dan komunitas muslim untuk membicarakan masalah-maslah
social, politik dan ekonomi. Sebagai kota yang heterogen, Madinah dihuni oleh
tiga komunitas yang berbeda yaitu komunitas Muslim, Yahudi dan komunitas
Paganis. Penataan internal ummat Islam yang dilakukan oleh Nabi adalah
mempersatukan visi dan misi kehidupan keberagamaan kelompok Ansor dan Muhajirin
dengan identitas kesatuan teologis. Setelah penataan internal selesai adalah
dengan melakukan berbagai negoisasi politik untuk membuat bingkai kehidupan
dalam kebersamaan sebagai komunitas Madinah secara umum, khususnya dengan
komunitas Yahudi dengan disepakatinya Piagam Madinah.
Hijrahnya
Nabi Muhammad menandai tidak hanya
perubahan dramatik dalam pertumbuhan jumlah ummat Islam dan pembentukan
masyarakat politik di Madinah, tetapi juga peralihan yang signifikan dalam
materi pokok dan missi Nabi.
Secara umum dapat disepakati bahwa periode Makkah, ajaran Islam lebih banyak
berbicara persoalan moral keagamaan dan tidak menyinggung persolan hukum dan
sosial politik secara luas. Persoalan hukum dan sosial politik baru banyak
disinggung ketika periode Madinah. Hal ini disebabkan karena pada periode
Madinah al-Qur’an as-Sunnah harus memberikan respon terhadap kebutuhan sosial
politik yang konkrit di suatu komunitas[22].
Dalam konteks negara Madinah Nabi
Muhammad sendiri memainkan peran kunci dalam perkembangan komunitas muslim. Di
samping beliau seorang pemimpin keagamaan, beliau juga tampil sebagai kordinator utama persoalan-persoalan
politik administrative dan komandan militer.
Semua dimensi kehidupan Nabi adalah subyek pesan wahyu Allah. Nabi telah menunjukkan
ketundukan yang kuat terhadap wahyu dan pada saat yang sama, beliau fleksibel
dalam menghadapi persoalan-persoalan baru.
Kemampuannya untuk dapat menyesuaikan secara tepat adalah faktor pemersatu bagi
komunitas muslim. Realitas: social Madinah
yang penuh dengan komflik secara politis sangat menguntungkan posisi Nabi
Muhammad untuk melakukan gerakan politik (dakwah
al-siyasy) dan mengambil peran dalam proses rekonsiliasi di antara
masyarakat Yatsrib.
Rivalitas
suku Arab Aus dan Khazraj dalam konteks perebutan ruang dominasi antara
keduanya membuat mereka masing-masing membuat scenario berebut untuk
berinisiatif menemui Nabi Muhammad dalam rangka masuk Islam dan memperoleh
legitimasi yang kuat dan ini mereka butuhkan sebagai bagian cara meningkatkan
dominasinya. Langkah kongkrit yang mereka lakukan adalah dengan membangun
komitmen dengan Nabi Muhammad sebagai tokoh fenomenal yang terus bersinar.
Dukungan orang Madinah terhadap Rasulullah dituangkan dalam sebuah penyataan
kesetiaan pada Rasulullah yang kemudian peristiwa sejarah ini dikenal dengan bai’at aqabah. Peristiwa ini terjadi
dua kali yaitu terjadi pada tahun 621 dan 622 yang kemudian disebut baiat aqabah I dan II[23]. Baiat aqabah merupakan “persekutuan
politik” dan bagi Nabi merupakan investasi politik yang luar biasa dalam
konteks pembumian Islam
Implikasi
dari bai’at aqabah adalah proteksi untuk kerjasama yang saling menguntungkan. Dalam
tradisi suku Arab, proteksi menjadi suatu hal yang penting untuk sebuah jaminan
perlindungan di tengah system kesukuan yang saling berebut dominasi dengan
parameter kekuatan. Dari sini jelas bahwa lahirnya Piagam Madinah bukanlah
kecelakaan sejarah (historical accidence) tetapi
perjalanan sejarah yang sudah direncanakan (by desain) sebagai sebuah
skenario untuk membumikan dakwah Islamiyah. Sebagai sebuah kontrak sosial,
Piagam Madinah secara keseluruhan memuat 47 pasal itu menggambarkan semangat kebersamaan,
toleransi antar umat beragama dan dialog dengan prinsip kesetaraan.
Dari
semua pasal yang termuat dalam piagam Madinah menurut Munawir Sjadzali[24] prinsip dasarnya memuat dua hal pokok, yaitu:
1.
Semua
pemeluk Islam, meskipun berasal dari banyak suku merupakan satu komunitas
2.
Hubungan
antar sesama anggota komunitas Islam dengan anggota komunitas lain didasarkan
pada nilai-nilai, (a) bertetangga baik,
(b) saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, (c) membela yang teraniaya,
(d) saling menasihati, dan (e) menghormati kebebasan beragama.
Perjanjian ini
merupakan upaya Nabi Muhammad melakukan pembaharuan secara cermat dan bijaksana
terkait dengan berbagai konflik di Madinah. Tentang hal ini R.A Nicholson yang
dikutip Asghar Ali Engenerr menyatakan:
”Tak seorangpun
dapat mengkaji dokumen ini tanpa terkesan oleh kejeniusan politik penyusunnya.
Perjanjian ini merupakan buah pikiran yang arif dan bijaksana sekaligus
merupakan terobosan baru. Muhammad tidak secara terbuka menyerang kemandirian
para suku yang ada, namun sesungguhnya beliau menghantamkanya dengan cara
memindahkan pusat kekuasaan yang ada di kepala suku ke tangan masyarakat.
Komunitas muslim adalah mitra aktif yang dalam waktu dekat akan mendominasi
negara baru yang baru saja dibentuk” [25]
Posisi
Nabi sebagai negoisator dalam proses pencarian formulasi resolusi konflik, oleh
Hugh Miall[26] digambarkan
sebagai berikut :
Perubahan
struktur yang radikal dari Piagam Madinah adalah mengubah konfederasi kesukuan
menjadi masyarakat baru yang dikendalikan oleh ajaran-ajaran moral dengan
instrumentasi hukum yang jelas. Ajaran Yahudi lebih memfokuskan pada ajaran
hukum, sementara Nasrani hanya mendakwahkan persaudaraan spiritual saja. Dengan
demikian, ajaran Islam dibangun diatas hukum dan moral secara beriringan. Dari
sisi politik, Piagam Madinah menggambarkan sebuah doktrin politik religius (politico-religious doctrine) yang
didasarkan pada persaudaran universal. Negara ideal Islam adalah komunitas iman
atau ummah, tanpa memandang ras, atau pertimbangan geografis.
Melalui
dialog, Islam memberi ruang dan kesempatan besar bagi terjadinya pencerahan
umat karena nilai-nilainya selalu kontekstual. menyapa kehidupan sesuai
karakter kehidupan yang sangat beragam. Dialog akan meletakkan: umatnya kepada
kondisi untuk selalu memahami kehidupan dan umat manuasia secara utuh dan
menyikapinya berdasarkan watak asalnya. Konsekuensinya, pluralisme dalam
keberagamaan umat Islam menjadi kemestian untuk dikembangkan.
Dialog
sebagai proses untuk menelanjangi diri
sendiri, sekaligus upaya melihat orang, kelompok, atau subyek lain sebagaima
apa adanya akan mengantarkan umat Islam untuk memahami segala sesuatu yang ada
luar diri sendiri secara arif. Dengan demikian hal itu akan menjauhkan mereka
dari sikap mereduksi keberadaan yang lain dalam kepentingan sempit mereka
sendiri. Pada gilirannya hal itu akan menumbuhkan secara kokoh sikap
menghormati subyek lain dalam bentuk perwujudan perilaku yang dapat membawa
kebaikan dalam kehidupan. Piagam Madinah telah mengganti ikatan kekeluargaan dan
kesukuan yang individual menjadi ikatan persaudaraan. Piagam Madinah juga
mengakui eksistensi Yahudi sebagai komunitas yang berdiri sendiri dan hidup
berdampingan dengan umat Islam.
Pluralisme
keagamaan bagi syari’at Islam bukanlah sekedar masalah mengakomodasi berbagai
klaim kebenaran agama dalam wilayah keimanan pribadi seseorang. Pluralisme
religius secara inheren selalu merupakan masalah kebijakan publik dimana setiap
pemerintahan Islam harus mengakui dan melindungi hak pemberian Tuhan kepada
setiap pribadi untuk menentukan sendiri nasib spiritualnya tanpa paksaan.
Pengakuan terhadap kebebasan hati nurani dalam hal keimanan adalah titik utama konsep
al-Qur’an mengenai pluralisme religius, pluralisme antar agama maupun intra
agama.
Beberapa
diktum pasal dalam Piagam Madinah yang menggambarkan penghormatan hak beragama
antara lain tercermin pada pasal 2 dan 25. Sedangkan pasal yang secara
eksplisit menjelaskan hubungan yang koeksistensi secara social antara lain
tergambar pada pasal 37. Dalam Pasal 2 ditegaskan bahwa Kaum muslimin adalah
ummat yang satu utuh, mereka hidup berdampingan dengan kelompok-kelompok
masyarakat yang lain.
Pada
pasal 25 tergambar bahwa sebagai satu kelompok, Yahudi bani Auf hidup
berdampingan dengan kaum muslimin. Kedua belah pihak memiliki agama
masing-masing. Demikian pula halnya dengan sekutu dan diri masing-masing. Bila
diantara mereka ada yang melakukan aniaya dan dosa dalam hubungan ini, maka
akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya sendiri. Sedangkan pada Pasal
37 disebutkan Kaum Yahudi dan kaum muslimin membiayai pihaknya masing-masing.
Kedua belah pihak akan membela satu dengan yang lain dalam menghadapi pihak
yang memerangi kelompok-kelompok masyarakat yang menyetujui perjanjian piagam
Madinah ini. Kedua belah pihak juga saling memberi saran dan nasihat dalam
kebaikan tidak dalam perbuatan dosa.
Piagam Madinah
merupakan salah satu bukti histories yang terdokumentasikan secara tekstual
sebagai sumber normative sekaligus model actual bagaimana masyarakat muslim
mendesain pola hubungan antar ummat beragama. Melalui Piagam Madinah penataan
hubungan antar agama dalam Islam telah diberi tauladannya oleh Rasulullah saw setelah
hijrah dari Makkah ke Madinah ( al-Madinah,
kota par excellence) [27]. Dari nama yang dipilih oleh Nabi
sebagai kota hijrahnya, menunjukan rencana Nabi dalam rangka mengemban misi
sucinya dari Tuhan, yaitu menciptakan masyarakat yang berbudaya tinggi, yang
kemudian menghasilkan suatu entitas sosial politik sebuah negara. Negara
Madinah yang dipimpin oleh Nabi saw adalah model bagi hubungan antara agama
dalam Islam. Sedangkan substansi dari Piagam Madinah menggambarkan adanya
proses pelembagaan kesadaran masyarakat Madinah untuk meletakan fondasi relasi
masyarakat yang majemuk dengan spirit hidup berdampingan dan damai (peace building community).
Fenomena pengkafiran (takfir) dan menilai sesat (tadhlil)
oleh satu kelompok Islam kepada kelompok lain atau antara muslim dengan non
muslim tentang klaim keselamatan akhirat seringkali terjadi dan menjadi
realitas yang kadang ada di sekitar masyarakat yang seringkali melahirkan
konflik yang bersifat fisik. Fakta ini menguatkan adanya pola pemahaman
keislaman yang intoleran dan eksklusif yang mengancam budaya ‘ukhuwwah’ antar
sesama warga bangsa atau sesama ummat Islam.
Eksplorasi
gagasan dasar Piagam Madinah sebagai manifesto resolusi konflik sangat
signifikan bagi perumusan model-model relasi sosial untuk komunitas yang secara
sosial heterogen seperti Indonesia. Oleh karena itu kontribusi teoritik yang
bersifat akademik dari penelitian ini adalah merumuskan konsep peace building community sebagai
alternatif model dalam menciptakan tatanan hubungan keberagamaan masyarakat
yang beradab dan penuh dengan kedamaian di bumi Indnesia.
Pemahaman
yang utuh dan komprehensif tentang
Piagam Madinah sebagai konsep dan fakta sejarah dalam membangun penataan model
keberagamaan dalam komunitas yang majemuk sangat berguna bagi pengembangan
masyarakat muslim yang inklusif yaitu masyarakat yang mampu menghargai dan
menghormati pluralisme keagamaan. Pluralisme dimaknai sebagai sebuah
keniscayaan sejarah atau bahkan pluralisme diposisikan sebagai karya Tuhan.
Kesadaran masyarakat akan realitas pluralisme akan melahirkan cara penyikapan
perbedaan secara arif dan tidak mudah memberikan stigma- stigma negatif dan
mengedepankan truth claim ketika berhadapan dengan
kelompok lain yang berbeda yang seringkali menyebabkan lahirnya gesekan-gesekan
secara sosial.
Untuk
memahami Piagam Madinah sebagai sebuah hasil dari ruang dialog antar komunitas
agama yang menghasilkan pola relasi sosial yang coexistence,
dapat dilihat dari teori Hans Kung tentang dialog yang mengarahkan situasi
ko-eksistensi ke pro-eksistensi, yaitu:
1. Dialog dimaksudkan untuk memahami kepercayaan dan nilai-nilai ritus
dan simbol- simbol orang lain atau sesama kita, maka kita akan dapat memahami
orang lain secara sungguh-sungguh.
2. Dengan memahami kepercayaan orang lain, maka kita dapat memahami
iman sendiri secara sungguh-sungguh, kekuatan dan kelemahan, segi-segi yang
konstan dan yang berubah.
3. Dengan memahami kepercayaan orang lain, maka kita dapat menemukan
dasar yang sama -meskipun terdapat perbedaannya- dapat menjadi landasan untuk
hidup bersama dunia ini secara damai.
Dengan dialog
seperti ini maka tidak hanya akan melahirkan toleransi tetapi pengalaman
transformatif bagi pihak-pihak yang terlibat. Tujuan dialog tidak hanya
berhenti pada ko-eksistensi, melainkan pro eksistensi, tidak hanya membiarkan
orang ada, tetapi juga juga ikut mengadakanya secara aktif demi kebaikan
bersama dan dengan belajar bersama. Butir-butir Piagam Madinah sangat
menggambarkan proses trasformasi dari ko-eksistensi menjadi pro-eksistensi yang
sangat berguna bagi perumusan model pentaan hubungan antar ummat beragama
Indonesia.
PENUTUP
Piagam
Madinah merupakan manifesto kesadaran baru komunitas Madinah dalam menata
hubungan antar ummat beragama untuk hidup berdampingan (coexistence) secara damai dan bermartabat.
Dalam posisi ini, Piagam Madinah dapat dijadikan model dalam membangun hubungan
antar umat beragama sekaligus hubungan inter umat beragama. Temuan penelitian
ini membuktikan bahwa Piagam Madinah merupukan eksperimen politik Rasulullah
saw sebagai desain resolusi konflik untuk mewujudkan peace building community. Tawaran
teoritik sebagai model resolusi konflik yang Rasulullah lakukan dengan meminjam
teori Jeffrey Z. Rubin, Dean G. Pruit dan Sung Hee Kim adalah dengan problem solving. Metode problem solving adalah suatu upaya
keluar dari konflik dengan mencoba untuk mengakhiri konflik yang memuaskan para
pihak yang terlibat konflik dengan cara mencari upaya rekonsiliasi antar
aspirasi para pihak yang berkonflik.
Dengan
memposisikan Piagam Madinah tidak sekedar sebagai sumber normatif tetapi juga
sebagai fakta historis yang membuktikan kemampuan Rasulullah dalam membaca local wisdom masyarakat Madinah secara
cerdas sehingga beliau mampu mengambil peran strategis dalam melakukan kompromi
terutama dalam penataan hubungan umat beragama masyarakat multikultural. Dengan
menggunakan teori continuity and change. posisi piagam
Madinah lahir tidak pada waktu dan ruang kosong (space
and time). Dari sini jelas bahwa lahirnya Piagam Madinah bukanlah
kecelakaan sejarah (historical accidence) tetapi
perjalanan sejarah yang sudah direncanakan (by desain) sebagai sebuah
skenario untuk membumikan misi dakwah Islam sebagai rahmah bagi sekalian alam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis, Taufiq,1425 h, Al-Islam Wa al-Dustur, Riyadh, Wizarat al-Syu’un al Islamiyah wa al-Auqof
Abid Al-Jabiri. Muhammad ,
1996. Ad-Din wa al-Dawlah wa-al Tathbiq al-Syariah, Bairut, Markaz al-Dirasat al-Wahdah al-Arabiyah
Ahmad An-Naim, Abdulloh , 1994. Toward an Islam Reformation Civil Liberties : Human Right and international Law, Terj. A Suaidi . Dekonstruksi Syariah : Wacana kebebasan sipil, HAM dan hubungan
internasional dalam Islam, Jogjakarta, LKiS
D. Paige, Glenn, 1998. Islam Tanpa Kekerasan, Jogjakarta:
LKiS.
Enginerr, Asghar Ali, 2000 :
Islamic State, Jogjakarta, LKiS
Eugence Smith, Donald, 1970 .
Religion Political Development, Canada:Litle Brown and Company
Francis, Diana , 2005. Teori Dasar Transformasi
Konflik Sosial, Jogjakarta, Quilis
J Roshenthal, Erwin, 1958
Political Thought an Mediavel Islam, Canbridge at the University Press
Liliweri, Alo,
2005. Prasangka dan Konflik : Komunikasi lintas budaya Masyarakat
Multikultural, Jogjakarta, LKiS
Luwis, Bernat, 1994. The
Political Language Of Islam, Terj. Ihsan Ali Fauzi Jakarta, Gramedia
Miall, Hugh,
Oliver Rombos & Tom Tom woodhouse. 1999. Contemporary
Conflict Resolution, USA: Polity Press
Obert
Voli, John, 1999. Islam Continuity and Change, terj.
Ajat Sudrajat, Jogyakarta: Titian Ilahi Press.
Paydar, Manoucher, 2003. Aspects of the Islamic State :
Relegious Norm and Polical Realities : terj: Maufur Al-Khoiri, Jogjakarta, Fajar Pustaka
Pulungan, Suyuti, 1977, Fiqh
Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta, Grafindo
Raharjo, Dawam ,
1993. Enskiklopedi Al-Qur’an Madinah, Jurnal Ulumul Qur’an No 5 Vol IV th
1993
Rahman, Fazlur ,
1984. Islam .
terj Ahsin Muhammad, Bandung,
Pustaka
Ridwan, 2004. Paradigma
Politik NU : Relasi Sunni NU dalam
Pemikiran Politik Jogjakarta, Pustaka Pelajar
Rubin, Jeffry
Z. Dean G. Pruit dan Sung Hee Kim,1994. Sesial Conflict: Escalation, Stalemate and
Settlement, United States of America: McGraw-Hill, Inc
Sachedina, Abdul Aziz, 2004. The Islamic
Roots of DemocraticPluralism, terj. Satrio
Wahono, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta
Sjadzali,
Munawir, 1993, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran
Jakarta, UI Press
Susanto, Astrid, 1985.
Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Jakarta, Bina Cipta
Syalabi,Ahmad.
1983. Al- Tarikh al-Islamy wa al-Khadharah al-IsLamiyyah,
terj. Mukhtar Yahya, Jakarta; Pustaka al-Khusna
Theria Wasim, Alief (ed) , 2005. Harmoni Kehidupan Beragama : Problem, Praktek dalam Pendidikan, Jogjakarta, Oasis Publisher
Watt, Montgomery, 1998. Bell’s
Introduction to The Qur’an.
Terj,Lilian Tejha Sudhana, Jakarta, INIS
Watt, Montgomery, 1965, Muhammad
at Madinah. Oxford : Clarendon Press
Widjajanto, Andi , 2009. Resolusi Konflik, Jakarta, Hafana Press
Zuhri.Muhamad, 2004. Potret
Keteladanan Kiprah Politik Nabi Muhammad
Rasululloh Saw , Jogjakarta,
LESFI
[2]Penjelasan tentang setting sosio kultur dan tradisi
masyarakat Arab pra Islam dapat dilihat pada Manoucher Paydar, Aspects of the Islamic State :
Relegious Norm and Polical Realities : terj: Maufur Al-Khoiri (Jogjakarta, Fajar Pustaka, 2003) hal, 2-3.
Periksa Pula : A.Syalabi. al- Tarikh al-Islamy wa al-Khadharah al-IsLamiyyah,
terj. Mukhtar Yahya, (Jakarta; Pustaka al-Khusna, 1983) hal 32-33
[4]Dalam kapasitasnya sebagai pemimpin, Nabi
Muhammad saw tidak saja berperan sebagai pimpinan
spiritual (Imam Sholat) tetapi juga sebagai hakim yang memberi keputusan hukum,
sebagai panglima perang dan sebagai pimpinan politik, disini terlihat jelas
bahwa sistem politik Islam dimasa-masa awal adalah kesatuan religio-politik
yang bersifat organis, Lihat, Donald Eugence Smith : Religion Political Development (Canada:LitleBrown and Company, 1970) hal 266. Atau bandingkan pula
dengan Taufiq Abdul Azis, Al
Islam Wa Al Dustur (Riyadh, Wizarat al-Syu’un al Islamiyah
wa al-auqof, 1425 h) hal 65
[13]Jeffry
Z. Rubin, Dean G. Pruit dan Sung Hee Kim, Sesial Conflict: Escalation, Stalemate and
Settlement, (United States of America: McGraw-Hill, Inc, 1994) hal
4-7
[23] Makna awal Bai’at
adalah melalukan barter yang mengandung arti membeli dan menjual
sebagaimana lazim dalam hukum Islam yang berdimensi kontraktual, Namun dalam
konteks politik kata bai’at difahami
sebagai kesepakatan kontraktual antara yang berkuasa dengan rakyatnya yang
melahirkan hak dan kewajiban sesuai kesepakatan bersama. Sementara Kata Aqabah
diderivasi dari nama tempat dimanaperjanjian itu terjadi, bai’at aqabah I
diikuti oleh 13 orang yang terdiri dari 12 pria dan 1 wanita yang bernama Afra’
ibn abidin ibn Tsa’bah, karena itu Bai’at aqabah I dikenal dengan istilah
perjanjian wanita. Sedangkat Bai’at Aqabah II diikuti oleh 73 orang Madinah, Inti Bai’at Aqabah adalah
orang-orang Madinah berjanji tidak akan menyembah selain Allah, akan
meningkalkan segala perbuatan dosa, menta’ati segala perintah Rasululloh sbg
pemimpin mereka, melindungi Rasululloh seperti melindungi keluarganya sendiri,
berjuang bersama Rasululloh baik untuk berperang maupun untuk perdaiaman. Lihat
Suyuti Pulungan. Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran (Jakarta, Grafindo, 1977) hal. 79. Juga
Bernat Luwis, The
Political Language Of Islam, Terj. Ihsan Ali Fauzi (Jakarta, Gramedia, 1994) hal.83
[27] Madinah selain nama sebuah kota, yakni Madinah
al-Nabi dan madinah al-Munawwarah, ia juga merupakan potret dari sebuah tatanan
peradaban, karena kata Madinah yang juga jamaknya menjadi Madain berasal dari
kata m-d-n yang berarti membangun
berdekatan dengan kata tamaddun yang
berarti peradaban. Beberapa pakar menyebut Madinah yang dibangun Nabi saw sebagai tatanan peradaban yang disinari oleh
agama. Lihat Dawam Raharjo, Enskiklopedi Al-Qur’an Madinah, Jurnal Ulumul Qur’an No 5 Vol IV th 1993 hal.
25-29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar