Ust. Hefni Zain
Abstrak
Islam bukan serentetan
keyakinan yang memfosil, juga bukan sekedar ajaran ritus spiritualitas yang
bersifat individual, ia merupakan ideologI universal yang bergerak dinamis
membentang melampaui sekat tempat dan zaman dan terus berkembang sesuai denyut
nadi perkembangan peradaban manusia untuk menjawab persoalan kemanusian yang
terus berubah dan memberikan harmoni bagi peradaban, karena itu misi utama
dakwah Islam adalah memberikan keselamatan dan rahmah bagi seluruh mahluk di jagad makrocosmos (rahmatan lil alamin)
Sorotan terhadap dakwah Islam yang mengemuka akhir-akhir ini adalah bahwa pada ranah empirik implementasi dakwah Islam belum banyak memberikan implikasi signifikan
terhadap perubahan prilaku masyarakat sasaran dakwah, padahal salah satu tujuan utama dakwah Islam adalah terjadinya perubahan, baik pola fikir (way of thinking), perasaan dan kepekaan (way of felling), maupun pandangan
hidup (way of life) pada masayarakat
sasaran dakwah. Hingga kini strategi dakwah Islam masih cenderung
dogmatis serta kurang mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif
sehingga melahirkan pemahaman agama yang eksklusif serta lemah dalam memahami
kearifan budaya, akibatnya dakwah Islam belum berhasil membangun manusia Islami
yang berkarakter.
Bahkan ditengah meluasnya anjuran sikap toleran
dan saling pengertian inter dan antar umat beragama, kekerasan bernuansa agama
masih saja terjadi. Agama, yang semestinya bersemangat menebarkan kedamaian
bagi sesama manusia, justru kerap memicu keresahan, banyak faktor yang menjadi
pemicunya, antara lain : ketika masing-masing kelompok agama menganggap
kelompok lain sebagai sesat yang harus dimusnahkan, Sikap apriori dan praduga
teologis yang tumbuh subur dalam masyarakat yang kemudian diperkuat oleh para
elit agama dengan landasannya masing-masing. Kegagalan penganut agama dalam memahami
prinsip-prinsip asasi agamanya secara konprehensip. Faktor-faktor diatas pada
gilirannya berimplikasi pada terabaikannya misi agama untuk mewujudkan harmoni
peradaban yang damai dan menentramkan, bahkan sebaliknya menjadi embrio bagi
munculnya benih-benih kebencian antar sesama mahluk Tuhan.
Berbagai fenomena diatas jelas
merupakan indikator nyata dari belum efektifnya strategi, model dan fungsi
dakwah Islam yang selama ini dijalankan, karena itu mendesak untuk
“membumikan” dakwah Islam berbasis marhamah sebagai perekat baru integrasi umat
yang sekian lama tercabik-cabik. Tugas
kita hari ini adalah mereingkarnasi pesona marhamah dalam kehidupan masyarakat
yang berdiri tegak diatas sikap kasih sayang terhadap sesama, sehingga
permusuhan berubah menjadi persaudaraan dan sikap saling mencela akan berganti
menjadi sikap saling mencinta. Dakwah Islam berbasis marhamah dapat menjadi fondasi dan pilar penyangga bagi keberagaman yang hakiki
sehingga terwujud harmoni peradaban
sebagaimana dicita-citakan.
Keywords : Dakwah Islam, Marhamah dan Harmoni Peradaban.
Pendahuluan
Tidak disangsikan bahwa dalam Islam, eksistensi dakwah menempati
posisi sentral, utama dan strategis. Karena itu Al-Qur'an secara inperatif menyuruh setiap muslim untuk menyeru umat manusia kejalan Tuhan dengan cara yang bijaksana, dengan nasihat
yang memukau serta dengan agumentasi logis dan tak terbantahkan.
(Qs. 16:125). Predikat khoiru ummah disematkan oleh Allah swt hanya kepada orang atau kelompok umat
yang aktif melakukan kegiatan dakwah (Qs. 3:110). Hadits yang diriwayatkan Turmudi menyebutkan “Orang yang paling tinggi
kedudukannya disisi Allah pada hari kiamat ialah yang paling banyak berkeliling
dimuka bumi dengan memberi nasehat kepada manusia mahluk Allah” Bahkan Yusuf Qordawi
menegaskan maju mundurnya kaum muslimin sangat ditentukan oleh efektifitas
dakwah yang dilakukan umatnya[1].
Sebagai
proses berkesinambungan dalam mengarahkan manusia mengikuti al fitroh al
ghaiziyah[2] yang
dipandu oleh nurani dan akal rasio dalam etos mujahadah yang tak kenal henti, dakwah bukan poses insidentil,
melainkan harus benar-benar direncanakan secara sistematik dan metodologik serta
dievaluasi secara terus menerus agar tujuan dakwah untuk mewujudkan harmoni
peradaban dapat dicapai secara efektif. Artinya sudah
bukan waktunya dakwah dilakukan asal jalan tanpa planning yang matang baik
menyangkut strategi, model, matei maupun metode yang
digunakannya. Memang benar sudah menjadi sunnatullah bahwa yang haq pasti menghancukan yang bathil (Qs. al-Isra’:81) tetapi sunnatullah tersebut berkaitan pula
dengan sunnatullah yang lain, yaitu bahwasanya Allah sangat mencintai dan
meridhoi kebenaran yang diperjuangkan dalam sebuah barisan yang rapi dan teratur (Qs. Ash Shaf : 4).
Upaya pengembangan dakwah Islam, dalam arti i’adah, ibanah dan ihya dengan maksud reaktualisasi, revitalisasi dan reevektifity sesungguhnya telah lama dirintis oleh banyak pihak, namun hingga kini berbagai upaya tersebut belum sepenuhnya mencapai tujuan sebagaimana
diharapkan. Sorotan terhadap
dakwah Islam yang mengemuka akhir-akhir ini adalah bahwa pada ranah empirik implementasi dakwah Islam belum banyak memberikan implikasi
signifikan terhadap perubahan prilaku masyarakat sasaran dakwah, padahal salah satu tujuan utama dakwah Islam adalah
terjadinya perubahan, baik pola fikir (way of thinking),
perasaan dan kepekaan (way of felling), maupun pandangan hidup (way
of life) pada masayarakat sasaran
dakwah[3].
Banyak kalangan menilai bahwa hingga kini strategi
dakwah Islam masih cenderung dogmatis serta kurang mengembangkan kemampuan
berpikir kritis dan kreatif sehingga melahirkan pemahaman agama yang tekstual
dan eksklusif serta lemah dalam memahami konsep kearifan budaya, akibatnya
dakwah Islam belum berhasil membangun manusia Islami yang berkarakter. Fenomena maraknya kekerasan, eksklusifisme dan lemahnya toleransi yang berkembang di masyarakat dalam segala bentuknya merupakan indikator nyata dari belum
efektifnya strategi, model dan fungsi dakwah Islam yang selama ini dijalankan. Terkikisnya semangat ke-bhineka
tunggal ika-an bangsa, tergerusnya semangat saling menghargai antar-suku,
etnis, ras, dan antar-pemeluk agama saat ini mengindikasikan bahwa tujuan
dakwah Islam untuk memberikan harmoni bagi peradaban manusia masih jauh dari
harapan.
Maka tak heran jika banyak pihak mulai mempertanyakan sejauhmana efektifitas dakwah Islam bagi
peningkatan kesadaran dan perubahan prilaku masyarakat baik secara individual maupun sosial
kultural. Pertanyaan ini wajar, mengingat secara teoritis, dakwah Islam diyakini sebagai sistem rekayasa sosial yang paling berpengaruh
mewarnai, mengontrol dan membentuk pola fikir dan prilaku seseorang dalam hidup kesehariannya.
Dari fenomena ini kemudian dipandang perlu
mereaktualisir model dakwah Islam
berbasis marhamah sebagaimana dipraktekkan Nabi saw selama puluhan tahun dan
diikuti oleh salafunas sholeh yang mampu mengantarkan Islam pada
masa kejayaan. Sejarah mencatat bahwa gerakan dakwah pada masa Nabi saw
banyak diorientasikan pada gerakan pembebasan masyarakat dari
eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam segala aspeknya. Karena itu dalam dakwahnya, Nabi saw tidak langsung menawarkan Islam
sebagai sebuah ideologi normatif, melainkan dengan akhlaq yang agung berbasis kasih sayang dan hikmah Nabi saw memperjuangkan secara serius penyelesaian atas problem bipolaritas spiritual-material kehidupan
manusia dengan merekonstruksi tatatan yang ada menjadi tatanan yang adil, egaliter dan tidak eksploitatif[4]. Para pakar dakwah menyebut ini sebagai dakwah berbasis rahmatan lil
alamin, yakni sebuah model dakwah Islam yang fokus
pada pentingnya penghormatan terhadap
keragaman dan pengakuan kesederajatan terhadap semua orang (equal for all) serta
penghapusan berbagai bentuk diskriminasi demi membangun kehidupan yang damai,
toleran, humanis, inklusif, tentram dan sinergis tanpa melihat latar belakang
kehidupannya, apapun etnik, status sosial, agama dan jenis
kelaminnya[5].
Dakwah Islam berbasis marhamah
adalah proses penanaman sejumlah nilai islami yang dilandasi kasih sayang agar
masyarakat sasaran dakwah dapat hidup berdampingan secara damai dan harmonis
dalam realitas kemajemukan dan berperilaku positif, sehingga dapat mengelola kemajemukan
menjadi kekuatan untuk mencapai kemajuan, tanpa mengaburkan dan menghapuskan
nilai-nilai agama, identitas diri dan budaya[6]. Dengan model dakwah ini, outputnya jelas, yakni
terwujudnya konstruk masyarakat welas asih yang
didalamnya sarat muatan the smiling general dan the smiling soldiers, the
sensous, the play full, the calm and the beuty. Tatanan masyarakat seperti inilah yang kemudian dikenal
dengan masyarakat madani.
Spirit dakwah Islam berbasis
marhamah
Sebagaimana
disinggung sebelumnya bahwa dakwah Islam berbasis marhamah adalah proses
penanaman sejumlah nilai universal islam yang dilandasi kasih sayang atas
sesama mahluk Tuhan sehingga mereka dapat
hidup berdampingan secara damai dan harmonis dalam realitas kemajemukan, saling
menentramkan dalam kebersamaan tanpa mengaburkan dan menghapuskan nilai-nilai
agama, identitas diri dan budaya.
Sebagai ajaran yang bertekad mewujudkan harmoni
peradaban, dakwah Islam mendorong
pemeluknya menata masyarakat diatas landasan rasa aman, keadilan dan
harmonisasi yang terbebas dari berbagai bentuk ancaman, ketidak amanan dan
hidup saling curiga. Salah satu misi
utama dakwah Islam dalah terwujudnya relasi kehidupan marhamah dan saling
menentramkan[7]. yakni pola kehidupan yang didalamnya sarat kasih sayang, tumbuh solidaritas kebersamaan dan
kekeluargaan dalam menyelesaikan soal-soal kemanusiaan melampaui sekat
primordial dan sektarian, kehidupan yang didalamnya ada etos saling menolong
dengan “sungguh-sungguh menolong”, yakni menolong tanpa tujuan apapun selain
menolong itu sendiri, bukan menolong demi interes konsesif yang menyandera
nasib orang yang ditolongnya, bukan mengutangi jasa orang lain untuk mengikat
kebebasan orang yang diutangi tersebut, bukan membantu orang lain sambil merasa
dirinya lebih tinggi derajatnya karena dia telah mambantu, sehingga
sesungguhnya yang dia lakukan adalah merendahkan orang yang seakan-akan
dibantunya tersebut.
Di Indonesia, model dakwah Islam semacam ini, selain sejalan dengan nafas orisinilitas ajaran Islam, juga relevan dengan entitas keberadaan masyarakat Indonesia yang
multikultur. Sebagai risalah profetik,
dakwah Islam pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia menuju satu cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan (unity
of mankind) tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan, dan agama, hal ini secara tegas disinyalir
al-Qur’an: ”Katakanlah: Wahai semua penganut agama (dan kebudayaan)!
Bergegaslah menuju dialog dan perjumpaan multikultural (kalimatun sawa’) antara
kami dan kamu… Dengan demikian, kalimatun sawa’ bukan hanya mengakui
pluralitas kehidupan, Ia merupakan manifesto dan gerakan yang mendorong
kemajemukan (plurality) dan keragaman (diversity) sebagai prinsip
inti kehidupan dan mengukuhkan pandangan bahwa semua kelompok diperlakukan
setara (equality) dan sama martabatnya (dignity).
Bahkan jauh sebelum adanya
istilah multikultural di Barat, secara konseptual dan realitas sejarah, Islam adalah agama yang terbukti
berhasil mewujudkan masyarakat multikultur di Madinah, Baghdad, Palestina,
Andalusia dan sebagainya. Di Madinah, Nabi Muhammad saw memelopori satu negara dengan konstitusi tertulis pertama di dunia. Di Palestina,
Khalifah Umar bin Khathab adalah pemimpin pertama di dunia yang memberikan
kebebasan beragama dalam perspektif Islam di kota Jerusalem, tahun 636 M[8].
Musa Al-Kadzim
menyebutkan, dakwah Islam berbasis marhamah menjadi penting dan mendesak
dikembangkan karena terjadinya konflik
sosial yang bernuansa SARA (suku, agama, dan ras) yang acapkali melanda negeri
ini ditengarai berkaitan erat dengan lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang
konsep kearifan budaya. Berbagai konflik sosial yang terjadi disebabkan oleh
kurangnya kemauan untuk menerima dan menghargai perbedaan, ide dan pendapat
orang lain, karya dan jerih payah orang lain, melindungi yang lemah dan tak
berdaya, menyayangi sesama, kurangnya kesetiakawanan sosial, dan tumbuhnya
sikap egois serta kurang kepekaan sosial. Untuk mencegah atau meminimalkan konflik
tersebut perlu dikembangkan dakwah berbasis marhamah[9].
Senada dengan pendapat
diatas, Rauheli[10] menyatakan salah satu tujuan dakwah berbasis
marhamah dimaksudkan sebagai langkah preventif dan pencegahan dini, agar
berbagai bentuk dekadensi moral dan kekerasan tidak terulang lagi di masa yang
akan datang. Dalam konteks ini, dakwah dipandang sebagai faktor penting
dalam menumbuh kembangkan
kesadaran kebersamaan
dalam keragaman untuk hidup berdampingan dengan individu lain dalam suasana saling
menghormati, saling toleransi dan saling memahami. Lebih jauh, dakwah islam berbasis marhamah dapat menjadi
salah satu pilar penyangga bagi kerukunan umat yang beraneka ragam (uniting
factor), sehingga tidak saja berfungsi sebagai fondasi integritas nasional
yang kokoh tetapi juga menjadi fondasi pengayom keberagaman yang hakiki. Bahkan menurut Muhaimin[11] mendesak sekali
“membumikan” pendidikan dan dakwah Islam berbasis rahmatal lil alamin
sebagai perekat baru integrasi bangsa yang sekian lama tercabik-cabik.
Dakwah Islam berbasis marhamah
menuju harmoni peradaban mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : Pertama, berorientasi pada
prinsip-prinsip keadilan, demokrasi, dan kesetaraan. Basis-basis doktrinal yang
mendukung prinsip-prinsip ini dapat ditemukan dalam Al-Qur’an surat as-Syura, al-Hadid, dan
al-A’raf. Selain itu prinsip keadilan dan kesetaraan dalam berinteraksi sesama
manusia ini dipraktekkan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya. Dalam satu
kesempatan Rasulullah saw. bersabda: “tidak ada keutamaan orang Arab atas
orang bukan Arab, tidak ada keutamaan orang bukan Arab atas orang Arab, kecuali
karena takwanya.” (Hr. Imam Ahmad).
Dengan menempatkan semua manusia
pada derajat yang sama, menegaskan bahwa Islam
memberikan ruang, kesempatan dan hak yang sama kepada semua manusia untuk eksis dengan keragaman budaya, adat dan
keyakinan masing-masing. Rasulullah saw bersama para sahabatnya membangun negari Madinah berlandaskan demokratisasi dan kesetaraan yang sarat kasih sayang. Dalam pasal-pasal Piagam Madinah sangat kental spirit demokrasi , keadilan dan kesetaraan. Pada pasal 16 disebutkan “dan
bahwa orang Yahudi yang mengikuti kami akan memperoleh hak perlindungan dan hak
persamaan tanpa ada penganiayaan dan tidak ada orang yang membantu musuh mereka.”
Dan Pada
pasal 46 dinyatakan “dan
bahwa Yahudi al-Aus, sekutu mereka dan diri (jiwa) mereka memperoleh hak
seperti apa yang terdapat bagi pemilik shahifat ini serta memperoleh perlakuan
yang baik dari pemilik shahifat ini.” Hal ini menjadi fakta tak terbantahkan bahwa spirit dakwah Islam adalah spirit kasih kasih yang menjunjung tinggi demokrasi, kesetaraan,
anti-rasisme, keadilan antar etinis, ras, dan agama.
Kedua, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian atas dasar kesatuan kemanusiaan (the unity
of humankind)”. Dakwah Islam berbasis marhamah, adalah dakwah
damai, mengajarkan damai, dan menghendaki damai. Inilah konsep as-Salam dalam
Islam. Konsep as-Salam menemukan basis doktrinalnya dalam surat an-Nahl
dan Fushshilat. Al-Qur’an mengajarkan teknik-teknik dakwah bagaimana mengatasi
permusuhan dan menciptakan perdamaian, yaitu dengan cara yang penuh hikmah,
bijaksana, dan memenuhi standar kebaikan. Dalam pandangan al-Qur’an, perdamaian
dan kerukunan bukan idealisme utopis melainkan goals yang menunggu
diraih. Kebersamaan dan perdamaian tidak mungkin
mewujud tanpa disertai kehendak terdalam manusia untuk hidup rukun, tolong
menolong, dan menghargai perbedaan demi mewujudkan integrasi. Solusi-solusi
semacam ini tergambar dalam konsep saling mengenal (ta’aruf) dan tolong-menolong
(ta’awun) yang digemakan oleh Islam. Kedua konsep ini diabadikan
dengan jelas oleh al-Qur’an dalam surat al-Hujurat dan al-Maidah. Dorongan
al-Qur’an untuk tolong-menolong dan menghindari konflik tak lain bertujuan
untuk menciptakan kerukunan, kedamaian dan harmoni peradaban.
Ketiga, Mengembangkan sikap sosial yang positif dan
terbuka mengakui, menerima, dan menghargai keragaman. Harmoni
peradaban akan sulit terwujud apabila manusia bersikap ekslusif terhadap
keragaman. Ia tidak mungkin direalisasi oleh manusia-manusia yang berjiwa
tertutup. Karenanya, dakwah Islam berjuang keras membuka “jeruji-jeruji” besi
yang memenjarakan kesadaran kognitif manusia di ruangan yang begitu sempit.
Ekslufisme dan egoisme merupakan jeruji-jeruji besi yang mengkerangkeng
kesadaran manusia untuk bersikap terbuka, menerima, dan menghargai yang lain (the
others).
Namun ironi, belakangan pola dakwah berbasis
marhamah sebagaimana dicontohkan Rasul
saw dan sholafunas sholeh tidak konsisten diikuti oleh kaum muslimin,
sehingga lambat laun pola hidup masyarakat yang saling menentramkan mulai redup
bahkan hilang sama sekali terkubur oleh
debu kotor perselisihan faham dan tersekat oleh baju-baju firqoh serta kepentingan sektarian lainnya. Bahkan ditengah meluasnya anjuran sikap
toleran dan saling pengertian inter dan antar umat beragama, kekerasan
bernuansa agama masih saja terjadi. Agama yang semestinya bersemangat
mewujudkan harmoni peradaban dengan
menebarkan kedamaian bagi sesama manusia, justru kerap memicu keresahan
dan pertentangan, bahkan mengusik keutuhan bangsa yang majemuk ini. Banyak faktor yang menjadi pemicunya, antara
lain, pertama ketika masing-masing kelompok agama menganggap kelompok lain
sebagai sesat dan berbahaya yang harus dimusnahkan, kedua, Sikap apriori dan
praduga teologis yang tumbuh subur dalam masyarakat yang kemudian diperkuat
oleh para elit agama dengan landasannya masing-masing. Ketiga, kegagalan
penganut agama dalam memahami prinsip-prinsip asasi agamanya secara
konprehensip. Keempat, faktor ketidak adilan dan profokasi pihak-pihak tertentu
yang menjadikan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu[12].
Faktor-faktor diatas pada gilirannya berimplikasi
pada terabaikannya misi dakwah Islam untuk
mewujudkan pola relasi yang damai dan menentramkan diantara sesama mahluk Tuhan, bahkan
sebaliknya faktor-faktor diatas justru menjadi embrio bagi munculnya
benih-benih kebencian diantara umat beragama, yang pada gilirannya berdampak
pada disharmonisasi peradaban. Karena
itu merupakan tugas kaum muslimin, terlebih para juru dakwah untuk mereingkarnasi pesona marhamah dalam
kehidupan masyarakat yang berdiri tegak diatas sikap lemah lembut, kasih
sayang, bil-hikmah dan penghormatan terhadap sesama mahluk Tuhan sehingga
terwujud harmoni peradaban sebagaimana dicita-citakan.
Universalitas dakwah Islam
sebagai rahmah bagi sekalian alam
Islam bukan sekedar serentetan
keyakinan yang memfosil, juga bukan sekedar ajaran ritus spiritualitas yang
bersifat individual, ia merupakan ideologI universal yang bergerak dinamis
membentang melampaui sekat tempat dan zaman dan terus berkembang sesuai dengan
denyut nadi perkembangan peradaban manusia untuk menjawab persoalan kemanusian
yang terus berubah dan memberikan harmoni bagi peradaban[13], karena itu misi utama dakwah
Islam adalah memberikan keselamatan dan pencerahan dan rahmah bagi seluruh mahluk di jagad makrocosmos, ini
yang dalam Al-Qur’an disebut rahmatan lil alamin [14]
Salah satu kelemahan yang tidak disadari para da’i
selama ini adalah kegagalannya dalam memahami spirit dan prinsip-prinsip asasi
agamanya secara universal. Padahal pemahaman parsial atas agama sering
menjadikan peran
agama bergeser dari fungsi orisinilnya yang menentramkan menjadi mencemaskan,
dari wajah yang teduh dan sendu menjadi sangar dan garang, dari madani berubah
meddeni. Padahal tidak
ada satu agamapun di dunia ini yang secara teologis
membenarkan pemeluknya untuk memusuhi pemeluk agama lain. Doktrin teologis
semua agama adalah menganjurkan
pemeluknya untuk memberikan perasaan aman kepada yang lain dengan cara mengembangkan sikap akseptasi
(kesediaan menerima keanekaragaman), apresiasi (menghargai keyakinan yang
dianut kelompok lain) dan ko-eksistensi (kesediaan untuk hidup berdampingan secara
damai dengan membiarkan kelompok lain ada) dalam rangka
membangun hubungan antar umat beragama yang harmonis.
Pemahaman parsial atas agama juga telah melukir
peran agama dari membela kaum lemah menjadi elitis, agama telah menjadi alat dan
justifikasi bagi pihak pihak tertentu untuk bertindak kejam pada sejumlah
komunitas masyarakat yang lain, ditangan mereka, agama telah dikurung dalam
ruang teologis yang kering dan hampa, akibatnya agama diposisikan berdiri di
pentas megah,kosmopolit, toesentris, menjadi fetishisme dan kurang menyentuh realitas antrophosentris. Untuk menyudahi ini
semua, para da’i perlu mendekatkan agama pada sengketa sosial. Ibadah agama
tidak sekedar sholat, tetapi juga perlu melakukan ibadah advokasi, pembelaan
serta ibadah melawan ketidak adilan. Tuhan rasanya setuju jika agama tidak
diparkir hanya untuk memuji-mujiNya, tetapi juga bertindak untuk membela
umatnya yang lemah.
Diantara karakteristik Islam yang menonjol, selain ilahiyah dan
insaniyah, adalah syumuliyah dan washotiyah[15]. Karakteristik tersebut menegaskan bahwa Islam adalah ajaran tunduk patuh kepada
Allah swt yang aturan-aturannya didesain dengan memperhatikan
basic need fitrah manusia. Itulah sebabnya Allah menyebut Islam sebagai agama fitroh[16]. Pun
demikian, disebut universal, karena Islam sebagai sikap tunduk patuh kepada Allah
dan sikap harmoni terhadap makrokosmik merupakan pola wujud (mode
of existence) dari seluruh alam semesta, sehingga siapapun yang menempuh jalan
hidup selain sikap tunduk patuh kepada penciptanya atau hidup yang tidak
harmonis dengan makhluk yang lain oleh Islam dianggap sebagai pihak yang
nyata-nyata menentang hukum universal yang menguasai seluruh alam semesta.
Namun karena Islam juga bersifat
moderat, maka manusia diberi kebebasan untuk menerima atau menolak petunjuk
agama, yang diinginkan Islam adalah ketulusan dan bukan keterpaksaan dalam
beragama. Disinilah dapat dimengerti mengapa Islam tidak membenarkan pemaksaan agama dalam segala bentuknya,
termasuk pemaksaan dalam pemahaman ajaran agama. Dengan demikian, manhaj apapun
yang berkembang dari kreatifitas manusia dalam memahami agamanya adalah sah karena merupakan sunnatulloh. Masalahnya menjadi lain, tatkala masing-masing
manhaj itu secara ex cathedra menganggap bahwa hanya dirinya yang paling
benar dan orang lain dianggap salah. Al-Qur’an
menggambarkan ”orang-orang yang
memecah belah agamanya menjadi bergolong-golongan adalah termasuk kategori
musyrik”. Yang dimaksud memecah belah agama dalam konteks ini bukan tumbuhnya berbagai
manhaj fikr dalam Islam, melainkan permutlakan fahamnya sendiri sebagai yang
paling benar sehingga yang lain dianggap sesat dan harus dibasmi, dari sini
lalu timbul iftiraq (perpecahan) [17].
Setiap model pemahaman
tentang sesuatu hakikinya bersifat relatif yang didalamnya mengandung
probabilitas benar disamping probabilitas salah, ditegaskan dalam Qs 49 : 11
“Janganlah satu golongan merendahkan yang lain karena bisa jadi yang
direndahkan itu justru lebih baik dari yang merendahkan”. Karena itu mesti ada
kesediaan dengan kesadaran penuh untuk menerima kelompok lain yang berbeda sebagai sebuah realitas dan
kemestian. Dalam Qs. 5 : 48 ditegaskan “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu ummat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberiannya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan “ Pada ayat lain disebutkan “Dan masing-masing akan memperoleh derajat yang
sesuai dengan amalnya”.
Spektrum diatas
menegaskan bahwa semangat Islam adalah semangat perdamaian dan harmoni
peradaban, ia tampil dengan sejumlah prinsip jalan tengah seperti tawasuth,
tawazun, tatsamuh, i’tidal dan iqtisod sebagai jalan untuk mengakomodir
berbagai keenekaragaman yang ada, dengan sejumlah prinsip tersebut sesungguhnya tidak dapat dibantah bahwa Islam secara
sistematis dan metodologis telah mengembangkan dengan sungguh-sungguh sebuah
cara beragama yang “al hanifiyyah al samhah” yaitu
cara beragama yang inklusif, responsif, dialektif (kalimah
sawa’), lapang, terbuka dan toleran terhadap yang lain.
Ini jelas kesadaran pluralistik yang berarti kesediaan dan kesadaran penuh
untuk menerima orang atau kelompok lain
sebagai suatu keniscayaan[18].
Hal ini penting,
mengingat keanekaragaman yang ada hanyalah keanekaragaman “jalan”, sedangkan yang dituju hanyalah
satu dan sama yakni : keridhaan Allah swt
semata. Kemajemukan fenomena alam semesta sejatinya merupakan tajalli
atau penampakan asma-asma dan sifat-sifat Allah yang amat indah. Imam Syafi’i
menyebutkan “semua relitas kehidupan adalah syarah bagi As Sunnah, sedangkan semua As Sunnah merupakan
syarah bagi Al-Qur’an, dan semua isi Al-Qur’an adalah syarah bagi asmaul husna
dan sifat sifat luhurnya, sedangkan semua asmaul husna merupakan syarah bagi al
ism al a’dzam Allah rabbul alamin”.
Dakwah Islam untuk harmoni
peradaban
Sebagai agama rahmah
bagi sekalian alam yang
bertekad mewujudkan harmoni peradaban, fokus
dakwah Islam adalah mentransfigurasikan pesan dan nilai-nilai orisinil Islam kedalam
realitas sosial agar terwujud konstruk komonitas yang marhamah dan saling
menentramkan. Tugas ini mendesak, mengingat saat ini tantangan keagamaan bukan lagi muncul
dari semacam “Beuty contest” dari doktrin-dokrin dogmatis normatifnya,
yang lebih diperlukan adalah respon kemanusiaan yang relevan dengan berbagai
tantangan yang ada, maka, survival Islam yang paling fundamental adalah
terletak pada kemampuannya menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan global.
Oleh karena itu sudah saatnya para juru dakwah mencurahkan segenap potensinya untuk
merumuskan hal-hal yang merupakan
keprihatinan kemanusiaan
universal seperti kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Dalam konteks ini dibutuhkan keterbukaan kepada yang lain (an openees towards the other) khususnya
dalam mengambil hikmah, ditegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
Ibnu Majah “Khudzil hikmah wa la yadhurruka min ayyi wia-in kharajat.(Ambillah hikmah dan jangan kamu risaukan
dari mana hikmah itu keluar). Anjuran
inilah yang menyebabkan umat Islam terdahulu tidak ragu menghirup ilmu dari
Yunani, Cina, Persia dan India. Syarat
terwujudnya harmoni peradaban adalah persatuan dalam keragaman.
Said
Ramadhan al-Buthi dalam Fiqh al-Siroh nya menjelaskan bahwa tidak ada
satu agamapun yang bangkit dan maju
tanpa berasaskan kesatuan umat dan saling bekerjasama. Selanjutnya, kata dia,
kebersamaan dan kesatuan itu tidak dapat dicapai kecuali dimulai oleh dorongan
kecintaan antar sesama[19],
Dengan semangat itu misi harmoni peradaban akan diraih, dimana semua
agama bisa bertemu, mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama dengan
mengkaji apa yang bisa kita sumbangkan bagi kemanusiaan dan peradaban. Wacana
dakwah dan harmoni peradaban berpusat pada
kasih sayang kepada sesama manusia sehingga menjadi rahmat bagi sekalian alam. Disini kesalehan diukur
dari kadar cinta seseorang kepada sesama. Setiap pemeluk agama bisa memberikan
makna dalam kehidupannya dengan berkhidmat pada kemanusiaan. Dalam hadits qudsi Allah swt berfirman : Sayangilah mereka yang di
bumi, niscaya kalian akan disayangi oleh yang dilangit dan barang siapa tidak menyayangi
manusia maka dia tidak akan disayangi Allah.
Ironisnya, kadang kita hanya dekat dengan orang yang sepaham
dengan kita, dan seringkali menghindari orang yang tidak sepaham
dengan kita, padahal dari orang yang
tidak sepaham itulah kita akan mengenal sudut pandang yang baru. Tuhan maha adil sehingga pasti memberi pahala bagi
siapa pun yang berbuat baik, apa pun agamanya. Hukuman diberikan kepada yang
berbuat jahat, apa pun agamanya. Apakah menolong orang menjadi amal saleh
karena pelakunya muslim, dan menjadi amal salah karena pelakunya orang
bukan Islam?
Pada sebagian juru dakwah, masih dijumpai fenomena
tindakan yang didasarkan pada kondisi jiwa seperti diatas. Salah satu
penyebabnya adalah pengaruh pikiran populer, yakni pikiran yang memang hampir
semua orang menerimanya sebagai suatu kebenaran, ini yang oleh psikolog disebut
Group Think atau pikiran kelompok.
Ini pulalah yang menyebabkan para juru dakwah merasa tidak perlu lagi
melihat dan belajar dari orang lain, lalu hilanglah daya kritis dan semangat
perubahan. Bahayanya, perasaan yang kuat untuk mempertahankah pentingnya
konsensus tidak saja mengabaikan kelemahan-kelemahan yang ada pada diri mereka,
tetapi lebih jauh mereka selalu berupaya mencegah munculnya pikiran baru yang
kritis. Siapapaun yang berani keluar dari konsensus, dianggap sesat, menyimpang
bahkan dianggap membahayakan sehingga perlu diupayakan penyingkirannya.
Dari kecenderungan ini, mereka mengkotakkan
dirinya secara ketat dalam kelompok tertentu, mengurung dirinya dalam aliran tertentu, serta
memborgol atau memenjara fikirannya dalam faham tertentu. Dari sini muncul
istilah atau klaim : minna-minhum, Ana khairan minhu, khuwi japemethe, iku bocahe dhewe dan sejenisnya.
Kecenderungan seperti inilah yang oleh Yusuf Qordhowi disebut ”Al-Islamu mahjubun bil-muslimin”.
Cahaya Islam ditutupi dan digelapkan oleh orang Islam sendiri[20]. Bukankah telah cukup menjadi
pelajaran bagi kita bahwa salah satu penyebab masa kegelapan Islam adalah
terperosoknya umat Islam pada kotak-kotak sektarian yang sempit. Pikiran kritis
dibungkam, paham baru dianggap bid’ah, perbedaan paham dianggap tabu, paham
yang berbeda dari maenstrem dianggap berbahaya dan sesat.
Menurut Din Syamsuddin[21]. hal yang
perlu mendapat perhatian dari juru adalah kecenderungan absolutistik yaitu
kecenderungan untuk memutlakkan keyakinan keagamaannya sebagai kebenaran
tunggal. Akibatnya
muncul rejeksionis yaitu penolakan terhadap kebenaran agama
lain yang dianggap berbeda dari dan berlawanan. Akar konflik
keagamaan yang
terjadi selama ini karena para juru dakwah mengambil sikap untuk memandang agama dari
sudut pandangnya sendiri. Sehingga yang lebih mencuat ke permukaan
bukannya esensi kebenaran yang hendak ditawarkan oleh agama, melainkan semangat
untuk menegasikan yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa dakwah Islam masih dijalankan dengan cara menafikan hak
hidup agama yang lainnya . Semangat dakwah keagamaan yang sempit ini, sudah barang tentu berlawanan
secara fundamental dengan semangat dan jiwa dakwah Islam.
Para da’i semestinya memahami bahwa seluruh manusia
berasal dari dari Tuhan
yang esa, dengan demikian
seluruh manusia adalah bersaudara karena sama-sama makhluk Tuhan. Pandangan ini membawa pada kesimpulan
bahwa seluruh jagad raya (universe) termasuk di dalamnya
seluruh umat manusia apapun bangsa dan bahasanya adalah merupakan makhluk
Tuhan juga, meskipun agama dan keyakinannya berbeda. Dan semua agama mempunyai satu tujuan yaitu keselamatan, dengan konsep dan jalan berbeda-beda. Lewat perbedaan ini, agama-agama bisa memperkaya satu
sama lain. Melalui pemahaman mendalam terhadap nilai-nilai etik yang
fundamental ini dapat menjadi entri point untuk mencari titik
temu ( kalimat sawâ)
Saat ini dakwah agama yang
apologetik, reaktif dan tidak afirmatif terhadap umat beragama akan menjadi
bumerang bagi pemeluk agama yang bersangkutan. Kekhawatiran dan kemasygulan
beberapa kalangan bahwa penghormatan terhadap keberagaman akan mendegradasi keimanan dan tidak sesuai
dengan tuntutan fundamental dalam Islam, adalah kekhawatiran yang berlebihan.
Karena dalam konteks ini, masyarakat sasaran dakwah tidak diajarkan untuk
menihilkan atau merelatifkan semua nilai, melainkan tetap meyakini kebenaran yang dianutnya sembari tidak menutup kemungkinan adanya kebenaran lain di luar dirinya. Karena itu jangan saling membenci, ini ditegaskan oleh Nabi kita “Janganlah
kalian saling membenci, saling dengki dan saling menyindir, jadilah kalian
hamba-hamba Allah yang bersaudara, (Hr Bukhori Muslim)
Catatan Penutup.
Jalan menuju kebenaran
tidaklah tunggal, dan setiap jalan memiliki standar kebenaran sendiri-sendiri,
oleh karena itu boleh saja seseorang menganggap jalan yang ditempuhnya adalah
jalan yang benar tetapi jangan serta merta menganggap jalan orang lain salah.
Karena itu, perbedaan tidak serta merta menjadi alasan untuk berpecah belah.
Justru dengan perbedaan, akan muncul ketegangan kreatif yang akan memotivasi kita untuk berlomba-lomba
menuju berbagai kebaikan[22]. Maka jangan melihat orang
lain dari manhaj, mazhab atau agama yang mereka anut melainkan dari akhlak dan
amal mereka, dari kontribusi mereka bagi kemanusiaan. Dalam sebuah hadits Rasul
saw bersabda “Yang paling baik diantara kamu ialah yang paling
bermanfaat bagi sesamanya.
Kesadaran semacam ini akan
menghantarkan manusia pada kedewasaan sikap yang dengan lapang dada menerima
keanekaragaman sebagai sunnatullah, terbuka kepada yang lain (an openees towards the other) yang pada gilirannya selain
memberi arahan untuk membangun suatu sikap, etos dan pandangan dunia yang egaliter guna membentuk horizon kehidupan yang
dilandaskan atas prinsip saling menghargai keberadaan yang lain, juga akan
menjadi tumpuan manusia akan harapan keselamatan hakiki dan harmoni peradaban. Dengan
kesadaran diatas manusia akan termotivasi untuk saling memberi, setelah
sebelumnya saling bersaing, saling menuntut, saling mengambil dan saling
mengalahkan. Al-hasil, hanya dengan itu masyarakat marhamah dapat terwujud, hanya
dengan masyarakat marhamah, persaudaraan sejati dapat terbentuk, dan hanya
dengan persaudaraan sejati, harmoni
peradaban yang menentramkan dapat diraih #.
[2] Tentang al-fitrah al-ghaiziyah, juga ditegaskan dalam
Qs.30 ayat 30 ditegaskan “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Periksa juga Qs.Ali Imran : 83-85
[6]Abd
Rahman Asegaf . Dakwah tanpa kekerasan, (Jogjakarta,
Tiara wacana, 2007), 56. Bandingkan pula dengan Tim Kemenag RI. Panduan
Integrasi Nilai Multikultur dalam Pendidikan Agama Islam (Jakarta, PT Kirana
Cakra Buana bekerjasama dengan Kementerian Agama RI, Asosiasi Guru Pendidikan
Agama Islam Indonesia (AGPAII), TIFA Foundation dan Yayasan Rahima, 2012), 18
16
Dalam QS.30 ayat 30 ditegaskan “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Periksa juga Qs.Ali Imran : 83-85
18 Machasin, Islam dinamis, Islam
harmonis : Lokalitas pluralisme (Jogjakarta, LkIS, 2012), 21
[22] Dalam Qs.
5 : 48 ditegaskan “Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu ummat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberiannya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar