Seorang mahasiswa
salah satu perguruan tinggi swasta di Jogjakarta bernama Tohedi suatu hari iseng melakukan
survei (tepatnya : survei iseng), dia ingin tahu bagaimana pendapat rakyat jelata
tentang anggota DPR. Tohedi sengaja pergi ke kuburan karet di Jakarta,
menemui beberapa orang untuk diwawancarai. Tentang
mengapa kuburan yang dipilih sebagai lokasi surveinya,
dengan cengar-cengir mahasiswa sableng ini bilang, “hanya
orang-orang yang selalu ingat mati yang layak dipercaya omongannya”, mahasiswa
semester VI Fisip ini memang isengnya tujuh turunan, tapi walau begitu dia
cukup pintar
dan kritis.
Beberapa meter
dari pintu masuk kuburan, dia menghampiri tukang kembang. “Mbah, saya
mau tanya, bagaimana pendapat mbah tentang anggota DPR?” Dengan lugas, seperti di kuis-kuis TV, Mbah itu
langsung menyahut, “Tidak Beres!”. Si Tohedi masuk ke dalam. Tidak lama ia berpapasan dengan tukang
sabit. Dia melontarkan pertanyaan yang sama. Tukang sabit menjawab, Anak
saya ada empat. Saya bolehkan mereka jadi apa saja, kecuali jadi satpol
PP, polisi, jaksa, hakim dan anggota DPR…” lho kok gitu, Bapak itu nyerocos lagi. “Satpol PP itu orang kecil,
tapi kerjanya menindas orang kecil demi gaji yang nggak seberapa. Polisi,
jaksa dan hakim… ya adik tahu sendirilah… dan anggota DPR, yah itu sama saja…
Amit-amit!. ”. Walau
tidak setuju seratus prosen dengan pendapat si Tukang Sabit, Tohedi diam
saja dan mencatatnya baik-baik. Namanya saja survei iseng atau iseng
survei.
Bagi Tohedi,
dua pendapat diatas merupakan otokritik tajam atas fenomena umum sosial politik
di negeri ini. Sambil telunjuknya di
tempel di kepalanya (seakan berfikir kertas) Tohedi menjelaskan “Dalam
leteratur ilmu sosial, ada teori yang disebut Dramaturgi yang dikembangkan
Ervin Goffman yakni sebuah teori yang menjelaskan bahwa sangat jauh
berbeda antara lakon yang diperankan seseorang diatas panggung dengan realitas
yang sebenarnya di balik panggung”. Hari-hari ini kita tengah hidup di sebuah peradaban
yang teorinya mirip dramaturgi, maka jangan heran kalau penegak hukum malah melanggar hukum, pemberantas
korupsi malah melakukan korupsi, pejuang
moral malah bertindak amoral. Dipanggung-panggung publik mereka berteriak agar
keadilan ditegakkan padahal sesungguhnya mereka sendiri yang mesti
diadili. Mereka selalu meneriakkan pengentasan kemiskinan tapi pada waktu yang
sama mereka sendiri melakukan pemiskinan terhadap orang-miskin.
Tohedi
meyakinkan kita bahwa dalam konteks Indonesia saat ini, pemimpim belum tentu pemimpin,
bisa juga ia seorang pendendam, pemberang dan culas, tokoh belum tentu tokoh,
bisa juga ia seorang eksploitator yang penuh nafsu, Cendekiawan belum tentu
cendekiawan, bisa juga ia pelacur intelektual, Ustad belum tentu ustad, bisa
juga dia seorang penipu atau pemeran video mesum. Bahkan dalam
konteks yang lebih luas, manusiapun
belum tentu instiqomah berprilaku sebagai manusia, bisa juga pada momentum
tertentu, pada kondisi psikologis tertentu, pada situasi soaial politik
tertentu, pada peristiwa tertentu, berprilaku seperti monster.
Dulu simbol
kemusliman dan kesolehan adalah diwakili oleh surban, gamis, sajadah dan sejenisnya, sekarang siapa saja boleh mengenakan pakaian yang biasa dikenakan para habib
dan ulama kendati yang bersangkutan seorang bandit atau non muslim sekalipun.
Jilbab juga tidak boleh dibatasi untuk hanya dipakai seorang muslimah. Jilbab
bebas di pakai oleh seorang germo atau hostes sekalipun. Seseorang boleh pakai
sorban meskipun sehari-harinya pekerjaannya nyopet, seseorang boleh
menyelempangkan sajadah atau sorban di tubuhnya meskipun yang bersangkutan
seorang koruptor kakap. Karena itu, jangan tertipu oleh kostum, Sebab Kostum
orang sekarang sama sakali tidak mewakili keperibadiannya dan tidak memiliki
relevansi dengan keyataan hati dan realitas
prilakunya.
Ada sebuah
kisah yang relevan disampaikan disini, pernah suatu hari sang penguasa
secara resmi berbicara dihadapan rakyatnya “Wahai rakyatku !, kalian semua
mesti bersyukur kepada Tuhan karena sejak aku menjadi penguasa, negeri ini
bebas dari wabah penyakit tha’un, akunya.
Tiba-tiba ditengah halayak, seorang rakyat jelata memberanikan diri intrupsi,
maaf paduka, Tuhan kasihan kepada kami sehingga tidak mungkin memberi kami dua
bencana sekaligus,. Apa yang kamu maksud dengan dua bencana ? Tanya si penguasa
itu penasaran, yaa wabah penyakit tha’un dan anda
sendiri, jawabnya lirih.
Bangsa ini
memang lucu, kalau di Amerika dan banyak negara Eropa mensyaratkan
seseorang harus cerdas dan kaya dulu untuk diterima menjadi anggota parlemen, coba lihat di
Indonesia, yang terjadi justru sebaliknya, menjadi anggota parlemen dulu
baru menjadi kaya, kemudian mengangkat beberapa staf ahli. Bisa jadi
karena sebelumnya mereka tidak punya pekerjaan tetap dan tidak memiliki
keterampilan, tetapi tatkala kran multipartai terbuka untuk siapa saja,
merekapun berlomba memasukinya menjadi aktivis parpol, jadinya ya begitu. “lembaga
DPR dan DPRD telah menjadi semacam basis mata pencaharian yang menggiurkan”.
Tetapi jangan salah
sangka dulu, sebetulnya profesi apapun adalah sah salama yang
bersangkutan konsisten terhadap nilai-nilai moral, seperti jujur, amanah dan
terhindar dari kebohongan bublik. Rakyat bukan membenci profesi mereka, yang dibenci rakyat
adalah penyamun yang berjubah kesholehan #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar