Ust. Hefni Zain
Secara teoritik, kehadiran semua agama dimaksudkan
untuk memberikan perasaan aman dan sejahtera kepada para pemeluknya serta
membimbing mereka kearah kesempurnaan hidup baik didunia maupun di aherat. Tidak ada satu agamapun di dunia ini yang secara teologis mengajarkan
keburukan atau membenarkan pemeluknya untuk memusuhi pemeluk agama lain. Doktrin
teologis semua-agama yang kemudian dipertegas melalui keputusan majelis ulama’,
keputusan konsili, atau juga hasil kesepakatan sidang dewan gereja sedunia pada
intinya menganjurkan pemeluknya mengembangkan sikap akseptasi (kesediaan
menerima keanekaragaman), apresiasi (menghargai keyakinan yang dianut kelompok
lain) dan ko-eksistensi (kesediaan untuk hidup berdampingan secara damai dengan
membiarkan kelompok lain ada) dalam rangka membangun hubungan
antar umat beragama yang harmonis.
Namun suatu ironi bahwa di beberapa wilayah di Indonesia sangat berbeda antara doktrin teologis dengan kenyataan empiris. Masih ditemukan fakta bahwa terdapat sejumlah faktor kepentingan politis-ekonomis-sosial,
dan kepentingan pragmatis lainnya yang juga ikut mewarnai dinamika pasang surut
hubungan antar umat beragama, bahkan pada batas-batas tertentu kencangnya arus
kepentingan pragmatis tersebut telah memposisikan doktrin teologis mandul,
kering, dan tidak mampu lagi menggugah nurani para pemeluk agama untuk
membangkitkan semangat kebersamaan dan harmonisasi sebagaimana didambakan.
Campur aduknya aspek doktrin teologis ajaran agama
dengan aspek kultural-historis-sosiologis yang merupakan hasil tafsir manusia
atas ajaran agama, kian menambah rumitnya penataan harmonisasi umat beragama
pada wilayah empiris. Dalam banyak kasus, umat beragama masih sulit membedakan mana doktrin agama yang bersifat normatif (dilandasi
teks-teks suci) dan mana pula yang tafsir terhadap teks-teks suci (yang sarat
bias kepentingan politis, kultural dan sosiologis). Tumpang tindih antara yang
konsepsional normatif dengan yang operasional interpretatif pada wilayah keagamaan pada gilirannya memunculkan
stigma bahwa agama-agama yang bukan Islam adalah agama yang tidak diridloi
Allah swt yang dalam tafsir teologis disebut kafir. Stigma seperti diatas kemudian menghegemoni di
masyarakat karena terus diperkokoh melalui tafsir kepentingan dan kuasa oleh
para pembela agama dan terus diwariskan secara turun-temurun kepada setiap
generasi. Kondisi semacam inilah yang pada sisi-sisi tertentu menjadi embrio
terjadinya disharmonisasi dikalangan umat beragama.
Dalam konteks yang lebih makro, berbagai kericuhan
kemanusiaan berlatar belakang agama yang terjadi di berbagai belahan Indonesia
mengindikasikan bahwa potensi konflik antar penganut agama belum sepenuhnya
dapat diatasi. Arus prasangka etnis, faham, aliran, sosial dan ekonomis,
ditambah lagi dengan adanya berbagai arogansi dan ketidak adilan, bila meminjam
bahasa Arkoun, seakan seperti “sabbu
al zait ‘ala al-nar” menyemprot minyak pada kobaran api.
Kemajemukan Agama dan pemahaman keagamaan serta
adat istiadat di indonesia disatu sisi memang merupakan suatu
kekayaan tersendiri, tetapi disisi lain juga menyimpan potensi konflik
kepentingan antar kelompok yang berbeda tersebut.
Wilayah agama adalah wilayah yang paling sensitif
dalam kehidupan masyarakat, sebab ia berhubugan erat dengan pandangan hidup,
spirit dan ideologi. Karena itu isu agama bila diekploitasi akan menjadi hal
yang sangat peka memunculkan berbagai konflik, lebih-lebih dalam masyarakat
majemuk seperti Indoensia, agama disatu sisi dapat mejadi suatu faktor pemersatu
(uniting factor) namun disisi lain agama juga dapat dengan mudah disalah
gunakan sebagai alat pemisah dan pemecah
belah. (deviding dan devising factor).
Terlepas dari doktrin teologis semua agama yang
menganjurkan toleransi dan perdamaian, ditangan pembelanya, agama acapkali ditampilkan
dalam wajah yang garang dan menyeramkan seolah
telah kehilangan senyum sendunya sebagai rahmah bagi sekalian umat
manusia . Merebaknya berbagai bentuk kekerasan berbingkai agama, telah
memaksa banyak pihak menelaah kembali wacana “Kekerasan dalam agama”, apakah
bentuk seperti itu mempunyai akar teologis keagamaan yang kuat, atau sekedar pemanfaatan nama agama untuk kepentingan yang non agamis.
Arus kekerasan atas nama agama terus berlanjut
dari waktu ke waktu, saat ini ditengah meluasnya anjuran sikap toleran dan
saling pengertian inter dan antar umat beragama, kekerasan bernuansa agama termasuk
di Indonesia masih sulit dibendung. Salah satu faktor pememicunya adalah ketika
masing-masing pemeluk agama merasa dirinya yang paling absah (trut claim)
dan menganggap kelompok lain sebagai sesat yang harus dimusnahkan, ditambah
lagi faktor ketidak adilan dan profokasi pihak-pihak tertentu demi kepentingan
tertentu.
Sikap apriori, prasangka, praduga teologis yang
tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat yang kemudian diperkuat oleh pada da’i,
missionaris dan zending dengan landasan kitab suci masing-masing, juga telah
menjadi embrio bagi pembiakan potensi kekerasan berbingkai agama dimasa
selanjutnya. Disamping itu, kekerasan berlatar agama juga disebabkan oleh kegagalan
penganut agama memahami makna dan prinsip-prinsip asasi agamanya secara
konprehensip, kepentingan sesaat sekelompok orang yang di dorong oleh hawa
nafsu dengan menjadikan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu.
Teks-teks yuridis kebangsaan yang menegaskan bahwa
setiap warga negara harus membangkan sikap saling menghormati dan bekerjasama antara pemeluk
agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan yang maha esa,
membina kerukunan hidup diantara sesama umat beragama dan berkepercayaan
terhadap Tuhan yang maha esa, menghormati kebebasan memilih dan menjalankan
agama dan kepercayaannya masing masing, Mengembangkan sikap tepo sliro,
menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, adalah bentuk penegasan bahwa negara secara yuridis
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya
masing-masing sesuai hati nuraninya. Karena itu kekerasan berlatar agama
disamping merupakan bentuk penyelewengan terhadap fungsi agama juga merupakan
bentuk penentangan terhadap pancasila dan budaya bangsa Indonesia.
Sesungguhnya penataan hubungan umat
beragama yang berbasis toleransi demi tegaknya harmonisasi telah lama di rintis
di negeri ini, misalnya dengan dikeluarkannya Instruksi Menteri Agama No. 3
tahun 1981 tentang pelaksanaan kerukunan hidup umat beragama di daerah. Juga
keputusan Menteri Agama No.84 tahun 1996 tentang petunjuk pelaksanan
penanggulangan kerawanan kerukunan hidup umat beragama. Bahkan departemen kementerian Agama RI dari tahun ke
tahun selalu mengeluarkan buku pedoman dasar mengenai pembinaan kerukunan hidup
beragama yang memuat penanaman pengertian akan nilai dan kehidupan
bermasyarakat yang mampu mendukung kerukunan hidup beragama. Namun karena banyak pihak yang tidak
konsisten melaksanakan aturan-aturan tersebut, maka disharmonisasi umat
beragama secara sporadis selalu muncul
bahkan kadang sambil membawa bawa nama Tuhan.
Dikalangan sebagian internal umat beragama
sejatinya telah muncul semangat untuk membebaskan diri dari kebosanan dalam
hidup saling curiga. Semangat demikian
hampir selalu dikaitkan dengan penegasan bahwa ada persoalan yang jauh
lebih penting dan mendasar untuk dihadapi dan ditangani bersama, ketimbang
menonjol-nonjolkan perbedaan, yaitu masalah kemanusiaan universal seperti
kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Namun semangat itu kalah kencang dengan
arus gerakan sporadis sekelompok orang
atau organisasi yang membenarkan tindak kekerasan atas nama agama.
Kesadaran seperti diatas mestinya mendapat
dukungan yang lebih riil dari semua pihak, sebab tantangan keagamaan saat ini
bukan lagi muncul dari semacam “Beuty contest” dari doktrin-dokrin
normatif, yang lebih diperlukan adalah respon kemanusiaan yang relevan dengan
tantangan-tantangan yang ada. Survival agama esensinya tidak hanya terletak
pada usaha keras menjaga kemurnian doktrin doktrinnya, tetapi yang lebih
mendasar adalah pada kemampuannya menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan
global. Oleh karena itu sudah
saatnya para penganut agama mencurahkan semua potensinya untuk merumuskan hal-hal yang merupakan keprihatinan
kemanusiaan bersama. Namun demikian,
yang dimaksud kerukunan hidup antar umat beragama bukan berarti kompromi
aqidah, tetapi kerukunan yang bersandar pada persaudaraan sebagai sesama mahluk
Tuhan. #