Senin, 07 Maret 2016

ULAMA PEREMPUAN

Dr. H. Hefni Zain, S.Ag, MM

Di pentas sejarah, keberadaan kaum perempuan dalam mengambil peran intelektual diantara kaum laki-laki adalah benar-benar nyata adanya, keterlibatan mereka dalam khazanah intelektual Islam, terutama dalam bidang hadits, fiqh dan tasawuf adalah fakta yang tak terbantahkan. Mereka telah berjasa besar dan memainkan peran penting dalam pengembangan keilmuan Islam. Tidak itu saja, dalam konteks sosialpun, ulama perempuan sebagaimana juga ulama pria telah ikut berkontribusi yang tidak sedikit dalam proses pemberdayaan masyarakat terutama dari problem kebodohan dan keterbelakangan.
            Ketika Nabi saw masih hidup, perempuan dan laki-laki berjalan setara. Kaum perempuan biasa keluar masuk rumah dan masjid untuk mendapatkan pendidikan dari Nabi saw sebagaimana halnya laki-laki. Hasilnya bermunculan ulama-ulama perempuan, seperti Siti Aisyah ra yang tidak kalah hebatnya dibanding ulama laki-laki. Pernah suatu saat beberapa sahabat Muslimah menemui Nabi saw, mereka “memprotes” banyaknya kesempatan akses bagi Muslim laki-laki untuk bisa beribadah dan berprestasi. Mendapat pertanyaan seperti itu, Allah swt menurunkan wahyunya kepada Nabi saw sebagaimana tertuang dalam surat al-Ahzab ayat 35 yang mensejajarkan peluang dan akses antara kaum perempuan dan laki-laki.
            Tidak berhenti disitu, saat Nabi saw melaksanakan haji wada’ pada tahun ke-9 H, dengan tegas beliau mengumandangkan pesan-pesan kesetaraanya. Beliau bersabda “Wahai manusia sesungguhnya perempuan memiliki hak terhadap laki-laki dan juga laki-laki memiliki hak yang sama dengan perempuan, Sesungguhnya perempuan itu adalah kawan bagi kaum laki-laki, sekali-kali tidaklah kaum laki-laki memiliki hak sedikitpun terhadap kaum perempuan, (kecuali) jika kalian meminta mereka dengan amanah Allah (nikah). Setelah berpesan seperti itu, Nabi saw kemudian melanjutkan pesannya bahwa kaum Muslim Laki-laki dan Perempuan adalah bersaudara, dan Nabi secara tegas menyatakan bahwa sesungguhnya umat manusia dihadapan Allah swt adalah sama, yang membedakan hanyalah kadar ketaqwaannya.
            Bahkan dalam sebuah riwayat ditegaskan : wanita itu adalah tiang negara, apabila wanitanya baik maka baik pula negara itu, dan bila wanitanya rusak, maka rusak pula negara itu. Dari riwayat ini jelas tergambar bahwa kaum perempuan menempati posisi sentral dalam kehidupan. Eksistensi dan perannya diklaim dapat menentukan baik dan buruknya sebuah negara. Karena itu pantas jika konvensi PBB tahun 1979 menegaskan pentingnya persamaan hak bagi laki-laki dan perempuan dengan cara menghilangkan diskrimininasi terhadap kaum perempuan disemua bidang kehidupan demi tercapainya kesejahteraan negara dan perdamaian dunia, yang kemudian diratifikasi oleh pemerintah Indonesia menjadi undang- undang  nomor 7 tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Dengan demikian sesungguhnya urgensi perempuan dalam proses pembangunan tidak saja mendapat legitimasi lokal, tapi juga regional dan internasional. Hal tersebut dapat dilihat pada sidang umum PBB tahun 1979 yang mengeluarkan resolusi tentang pentingnya partisipasi perempuan dalam pembangunan internasional, ini juga tercermin dalam strategi pembangunan internasional PBB baik yang pertama tahun 1961-1970, kedua  tahun 1971-1980 maupun yang  ketiga tahun 1981-1990 .
            Mengingat posisi dan peranan perempuan sangat sentral dalam kehidupan, maka semua pihak musti memberikan space yang lebih luas bagi mereka. Pemberdayaan perempuan, pertama-tama harus dimulai dari paradigma yang memandang perempuan sebagai pribadi mandiri dan sumber insani yang mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk mengembangkan potensinya melalui partisipasi aktif disemua bidang pembangunan mulai dari tingkat pelaksana sampai tingkat pengambilan keputusan. Paradigma ini memuat beberapa esensi, pertama kaum perempuan mempunyai hak, kewajiban  dan kesempatan yang sama dengan laki-laki disemua bidang kehidupan. Kedua, pengakuan terhadap  kodrat dan harkat kaum perempuan yang perlu dijunjung tinggi. Ketiga, perlunya peningkatan kualitas kompetensi kaum perempuan, Dan Keempat, perlunya pengembangan iklim sosial budaya yang menopang kemajuan kaum perempuan.
Namun begitu, kendati dentum kesetaraan telah diledakkan, tetapi keadilan peran bagi kaum perempuan belum sepenuhnya terwujud. Banyak perempuan mengalami peran ganda dalam wilayah domestik dan publik. Banyak pula perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, seperti cerai, perselingkuhan, dan pemukulan. Sekali lagi, kesetaraan gender belum terjadi. Hal ini dapat ditelusuri dari : (1) angka partisipasi perempuan dalam ranah publik masih sangat minim terutama bila dibandingkan dengan populasi mereka. (2) Terjadinya marginalisasi kaum perempuan dari sumber-sumber informasi.(3)Terjadinya sub ordinasi yakni menempatkan kaum perempuan sebagai second choice. (4) Terjadinya Streotyping Burden yaitu pembelaan terhadap perempuan hanya menyangkut soal-soal domistik, dan (5) Terjadinya veolence dalam berbagai bentuknya.
Bahkan kendati secara dejure telah terdapat pengakuan akan vitalnya kedudukan kaum perempuan, namun secara  defacto, perempuan masih diposisikan minor dan dipandang nigatif oleh struktur budaya, politik dan peradaban. Mereka didefinisikan sebagai mahluk lemah baik secara fisik maupun fsikis, citra tersebut kemudian diwariskan secara turun-temurun kepada setiap generasi. Dari proses budaya historis yang demikian, kemudian masyarakat memberikan lebel dan perlakuan yang khusus bagi perempuan yang pada umumnya merugikan kaum perempuan, stigma dan pencitraan perempuan dengan bebagai aspek negatifnya tersebut akhirnya menghegemoni di masyarakat sejalan dengan langgam sejarah manusia karena terus diperkokoh melalui tafsir budaya, kuasa dan agama.
Tak terkecuali dalam diskursus keislaman, kaum perempuan masih ditempatkan sebagai second class, sehingga acapkali termarjinalkan, terutama untuk memegang posisi sebagai penafsir agama. Hal ini pada gilirannya berimplikasi pada pengakuan publik terhadap ketokohan mereka menjadi setengah hati. Padahal secara empirik ditengah komunitas masyarakat terdapat sejumlah perempuan yang dikenal keilmuan, ketokohan dan pengabdiannya serta diakui luas oleh publik akan kontribusinya bagi pembangunan masyarakat, baik yang dilakukan secara individu sebagai pendidik, penyuluh dan da’iyah maupun melalui berbagai aktivitas organisasi sosial keagamaan.
            Atas dasar itulah, beberapa pihak memandang perlu kesepakatan sosial baru untuk menegaskan kembali  konstruk kedudukan perempuan ditengah dunia laki-laki, posisi ruang gerak dan hak-hak kaum perempuan,  tugas dan tanggung jawab perempuan dalam kajian dan gerakan keislaman serta  peranan perempuan dalam pembangunan. Pemberdayaan perempuan setidaknya bertolak dari dua prinsip dasar, yakni : Pertama, bahwa kaum perempuan perlu diterima dan dihargai sebagai sesama manusia yang mempunyai potensi untuk berkembang, Kedua, Stigma bahwa perempuan adalah mahluk lemah, emosional, tidak kompeten, tidak mandiri dan nigatif lainnya sesungguhnya hanyalah konstruk budaya yang tidak adil dan perlu dimbangi oleh gambaran tentang perempuan yang cerdas, mandiri, sukses dan ciri lain yang positif.

1 komentar: