Sabtu, 07 Juni 2014

TOLERANSI : PEREKAT INTEGRASI YANG TERCABIK



Ust Hefni Zain
Muqoddimah
Dalam kongres internasional untuk sejarah agama-agama ke 9 di Tokyo Jepang sudah dirasakan kebutuhan dunia yang mendesak akan toleransi umat beragama sebagai langkah strategis untuk memikirkan persoalan-persoalan manusia global atas nama manusia sebagai makhluk Tuhan. Dengan etos ini diharapkan agama-agama dapat melibatkan diri secara aktif  untuk menjawab soal-soal kemanusiaan global. Sebagai welstanchauung, agama ditantang untuk membuktikan bahwa dirinya masih  up to dead. Untuk itu agama-agama semestinya sudah bisa melampaui problem klasik seperti perseteruan, ketegangan dan disharmonisasi yang diakibatkan oleh sentimen-sentimen keagamaan. Sudah saatnya agama-agama membicarakan partisipasi mereka dalam proses perubahan dunia yang semakin gencar.
Hampir semua orang menyadari bahwa perbedaan dan keanekaragaman merupakan fenomena lazim dan alamiah, tetapi tidak semua pihak bisa menerima adanya perbedaan, untuk itu diperlukan sebuah keterbukaan terhadap yang lain, orang bijak berkata, When we are nothing, then we will able to understand everything. Ketika seseorang merasa bukan apa-apa maka dia akan dapat memahami segalanya. Tentu untuk mencapai keadaan “nothing” bukan hal yang mudah, diperlukan kerendahan hati dan kedewasaan fikir, dibutuhkan. toleransi untuk tenteram dalam perbedaan. Bila pemeluk agama memilki kerendahan hati dan kedewasaan fikir dengan cara membangun toleransi dengan yang lain sehingga relasi yang harmonis dapat terjalin baik inter maupun antar pemeluk agama, maka semua agama bisa menyatakan dengan tegas bahwa musuh kita hari ini bukan lagi agama lain, tetapi kemiskinan, diskriminasi, pelanggaran HAM dan semua hal yang menyebabkan relasi umat manusia mengalami malfungsi.
Toleransi merupakan salah satu unsur kekuatan yang terpenting dalam sepanjang sejarah peradaban umat manusia. Sikap toleran dapat mengubah lawan menjadi kawan, seperti disebut dalam Q.s.Fushshilat 34: “Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia”. Makna toleransi yang sebenarnya bukanlah mencampuradukkan keimanan dan ritual agama yang satu dengan agama yang lain,  tetapi menghargai eksistensi agama orang lain apa adanya. Toleransi adalah sikap dan perbuatan yang melarang diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda. Dalam konteks agama, toleransi adalah menghargai dan menghormati keberadaan agama-agama lainnya.
Dalam bahasa arab, toleransi disepadankan pengertian dan maksudnya dengan istilah “tasamuh” yang merupakan derivasi dari kata “samh” yang berarti “juud wa sa’at al-shadr wa tasahul” (kemuliaan, lapang dada dan ramah, suka memaafkan. Makna ini selanjutnya berkembang menjadi sikap lapang dada dan terbuka (welcome) dalam menghadapi perbedaan yang bersumber dari kepribadian yang mulia. Makna samh juga berkisar pada; berbaik hati dan memberi secara dermawan dan dengan niat mulia; mudah; taat dan tunduk; kelapangan hati. Sikap keberagaman yang baik dalam hadits Rasulullah saw disebut al-haniiffiyyah al-samhah karena memberikan kemudahan dan tidak mempersulit. Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya Ghair al-Muslimin fii al-Mujtama’ Al-Islami, menyebutkan terdapat empat faktor utama yang meyebabkan toleransi yang unik selalu mendominasi perilaku umat Islam terhadap non-muslim, yaitu : (1) Keyakinan terhadap kemuliaan manusia, apapun agamanya, kebangsaannya dan kerukunannya.(2) Perbedaan bahwa manusia dalam agama dan keyakinan merupakan realitas yang dikehendaki Allah SWT yang telah memberi mereka kebebasan untuk memilih iman dan kufur. (3) Seorang muslim tidak dituntut untuk mengadili kekafiran seseorang atau menghakimi sesatnya orang lain. Allah sajalah yang akan menghakiminya nanti.(4) Keyakinan bahwa Allah SWT memerintahkan untuk berbuat adil dan mengajak kepada budi pekerti mulia meskipun kepada orang musyrik. Allah juga mencela perbuatan dzalim meskipun terhadap kafir.
Toleransi dalam ilmu sosial, didefinisikan sebagai sebagai sikap yang menunjukkan kesiapan untuk menerima berbagai pandangan dan perilaku tanpa harus menyetujuinya, Kesiapan itu dapat berupa komitmen dan penghormatan terhadap keyakinan, tradisi dan perasaan orang lain, terlepas dari perbedaan warna kulit, agama, ras, suku dan sebagainya. Deklarasi Sidang Umum UNESCO, 16/11/1995 pasal 1 menyebutkan toleransi adalah penghormatan, penghargaan dan penerimaan terhadap berbagai budaya dunia dan bentuk-bentuk ekspresi serta sifat-sifat kemanusiaan. Dalam konteks masyarakat modern yang sangat beragam, toleransi menjadi kata kunci dalam membangun hubungan antara individu dan kelompok agar tercipta kehidupan yang harmonis dan penuh kedamaian. Toleransi akan berjalan dengan sukses jika semua pihak menghargai kesepakatan-kesepakatan yang ditetapkan dalam konteks kepentingan universal. Mereka bisa menahan diri dan mencari jalan terbaik dalam memecahkan persoalan yang notabene merupakan kepentingan kemanusiaan universal. Toleransi mesti didudukkan sebagai sebuah keniscayaan dalam ruang individu dan ruang publik karena tujuan utama toleransi adalah membangun hidup damai (peaceful coexistance) diantara pelbagai kelompok masyarakat dari pelbagai latar belakang agama, sejarah, kebudayaan, dan identitas.
Islam sangat mengapresiasi toleransi, sebab disadari bahwa keragaman umat manusia dalam beragama dan berkeyakinan adalah semata kehendak Allah. Dalam Al-Qur’an ditegaskan “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” Pada ayat lain  juga disebutkan “Sesungguhnya umatmu ini (agama tauhid) adalah umat  (agama) yang satu (dalam keberagaman), dan Aku adalah Tuhanmu, maka  sembahlah Aku (Q.s Al-Anbiya': 92).Ayat ini menegaskan bahwa pada dasarnya umat manusia itu tunggal tapi kemudian mereka berpencar memilih keyakinannya masing-masing. Ini mengartikulasikan bahwa Islam memahami pilihan keyakinan mereka sekalipun Islam juga menjelaskan “sesungguhnya telah jelas antara yang benar dari yang bathil”. Al-Qur’an juga menegaskan”Katakan olehmu (Muhamad), ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimatun sawa’ atau common values) antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak pula memperserikatkan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah!”  Ayat ini mengajak umat beragama (terutama Yahudi, Kristiani, dan Islam) menekankan persamaan dan menghindari perbedaan demi merengkuh rasa saling menghargai dan menghormati. juga mengajak untuk sama-sama menjunjung tinggi tauhid, yaitu sikap tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Ayat-ayat diatas merupakan penegasan bahwa toleransi antar-umat beragama merupakan kepentingan semua agama.
Artikulasi Dan Nilai-Nilai Toleransi
Pada tradisi Islam, terdapat beberapa terminologi yang terkait dengan kata tasamuh atau samaahah, antara lain :  
1. Al-Rahmah. Yang memiliki makna kelemah lembutan, kasih sayang dan kehalusan. Kata ini merupakan salah satu sifat Allah yaitu ar-Rahman dan ar-Rahim. Pesan untuk berkasih sayang (Rahmah) dalam Islam dapat ditelusuri melalui hadits Nabi saw “Berbuatlah kasih sayang kepada siapa pun yang ada di bumi, maka kalian akan dikasihi dzat yang di langit (Allah swt)”. Kehidupan yang diserukan oleh Nabi saw adalah kehidupan yang penuh kasih sayang. Selain itu, konsep al-Rahmah juga sering diucapkan dalam do’a para nabi terdahulu. Misalnya, Nabi Adam as, nabi Nuh as., nabi Musa as. dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa tujuan diutusnya rasul-rasulNya adalah untuk mensyi’arkan agama kasih sayang yang bukan hanya berlaku bagi umat muslim saja. Melainkan juga berlaku bagi seluruh alam semesta.
2.  Al-‘Afw. Kata ini selain berarti maaf juga bermakna menghapuskan atau menggugurkan, seperti yang tercermin dalam Al-Qur’an “wa’fu ‘anna”. Al-‘afw dengan berbagai derivasinya disebut 34 kali dalam Al-Qur’an. Dari sekian banyak penggunaannya, tidak ditemukan satupun perintah agar meminta maaf, yang ada adalah perintah memberi maaf. Sebagaimana terlihat dalam Qs. An-Nur:22 “Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”.
3.   Al-Shafh. Kata ini dalam berbagai bentuknya disebut 8 kali dalam Al-Qur’an yang. berarti lapang, kelapangan dada, berlapang dada. Berjabat tangan disebut mushaafahah karena melakukannya menjadi lambang kelapangan dada. Dari delapan penyebutannya, empat di antaranya didahului oleh perintah memberi maaf. Menurut Al-Ashfahani, al-shafhu (lapang dada) lebih tinggi kedudukannya dari al-‘afwa (maaf). Jika al-‘afw berarti menghapus kesalahan dalam lembaran, maka al-shafhu berarti membuka lembaran baru. Al-shafh mengisyaratkan bahwa sikap lapang dada akan melahirkan kedamaian, terutama bagi pelakunya. Tatkala Nabi Ibrahim tidak berhasil meyakinkan bapaknya tentang akidah tauhid setelah berusaha keras dengan berdialog, ia pun memilih jalan damai dengan meninggalkan sang bapak sambil mengatakan “Dia (Ibrahim) berkata, ‘Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku” (Q.s. Maryam 47)
4.    Al-Salam. Kata lain yang terkait dengan dengan tasamuh adalah kata Salam yang berarti keselamatan, rasa aman dan perdamaian. Kata ini disebut 140 kali dalam Al-Qur’an, sebuah jumlah yang spektakuler untuk menegaskan bahwa Islam betul-betul serius memberikan keselamatan, rasa aman dan kedamaian bagi umat islam dan umat lain, sementara harb (perang) hanya disebut 6 kali saja, itupun pembolehannya hanya kalau diperangi untuk membela diri (devensif). Ini menunjukkan bahwa Islam bukan agama yang suka perang. Islam lebih mengutamakan keselamatan dan perdamaian. Karena keselamatan (al-Salam) adalah tujuan mendasar dalam Islam, maka Allah memerintahkan umatNya untuk berIslam secara sempurna.
Seorang muslim, harus mengintrodusir dan membumikan al-Salaam dalam hidup kesehariannya, yakni dengan cara hidup damai dan memberikan kedamaian kepada yang lain, menjaga hati dari hasud,dengki serta berkehendak untuk berbuat kejahatan. Dalam sebuah hadis, Rasul saw menegaskan “Seorang muslim adalah mereka yang menyelamatkan orang lain dari kejahatan lisan dan tangannya”. Dengan kata lain, seorang muslim adalah mereka yang memberi rasa aman kepada orang lain dengan tidak menaykitinya melalui perkataan dan perbuatan.
5. Al-Adl. Kata Adl disebutkan 24 kali dalam Al-Qur’an. Diantaranya Qs. Nahl ayat 90 “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. Ayat ini menegaskan bahwa Allah swt memerintahkan umatNya untuk berbuat tiga hal. Pertama, adil. Artinya, umat Islam harus berbuat adil dalam berbagai hal. Termasuk dalam memberikan hak-hak orang lain. Serta memberikan hak-hak orang yang berhak menerimanya sesuai takaran masing-masing. Kedua, al-ihsan (kebaikan) yaitu melakukan kebaikan kepada semua orang tanpa memandang status dan derajat kemanusiaannya. Termasuk kepada orang yang berbeda keyakinan. Ketiga, menjalin silaturrahim, artinya dalam hal bermasyarakat, Islam tidak membatasi pergaulan hanya kepada sesama muslim. Akan tetapi, bersosial dengan non-muslim juga dianjurkan. Keadilan merupakan salah satu landasan terpenting dalam berIslam, sebab inilah yang membedakan Islam dengan selainnya. Keadilan hendaknya menjadi pondasi dalam upaya membentuk masyarakat yang damai dan harmoni.
6. At-Tauhid. Konsep yang paling tinggi yang berhubungan dengan tasamuh adalah konsep Al-Tauhid.  Tauhid berarti mengesankan, yakni mengesakan Allah sawt, baik dalam dzat, asma’ was-shifat maupun af’al (perbuatan)-Nya.Formulasi paling sederhana dari tauhid aialah kalimah “La ilaha illallah” (tidak ada Tuhan yang benar-benar tuhan selain Allah). Iqrar la ilaha illallah tidak akan dapat diwujudkan secara benar tanpa mengikuti petunjuk yang disampaikan Rasulullah yang datang silih berganti dalam episode sejarah umat manusia (yang kesemuanya membawa pesan yang sama yaitu kesadaran tauhid). Oleh karena itu ajaran tauhid sesungguhnya adalah ajaran kemanusiaan universal bahkan merupakan pola wujud (mode of exitence) seluruh alam semesta (QS.3 : 83-85, QS.2 : 133, QS.5:44,11) dan ajaran ini mencapai bentuk paling komprehensip, ideal dan sempurna pada masa Rasululloh saw (QS. 5:3, QS.34:28, QS. 21:107), itulah sebabnya iqrar la ialaha illallah diikuti oleh iqrar Muhammad Rasulullah.
Berdasarkan kreteria qur’anik, kesadaran tauhid adalah kesadaran dan keyakinan bahwa hanya Allah yang mutlaq, memutlaqkan Allah berarti meyakini hanya Dialah yang benar secara mutlaq, yang berkuasa secara mutlaq dan yang mustaqil secara mutlaq serta menisbikan yang selainNya. Memutlaqkan Allah berarti  melakukan tahrirun nas min batil ila ibadatillah (membebaskan manusia dari menyembah sesamanya kepada menyembah Allah samata), yang dengannya manusia akan sadar bahwa kedudukannya sama dengan manusia lain dimanapun, tidak ada manusia yang superior atau inferior, yang lebih tinggi atau lebih rendah dari manusia yang lain di hadapan Allah, demikian juga tidak ada kolektifitas manusia, baik sebagai suatu suku, ras atau kelompok yang lebih tinggi atau lebih rendah dari pada yang lain. Semua kedudukan manusia adalah sama dihadapan Allah swt, yang membedakan hanyalah mutu ketaqwaan mereka pada Tuhannya. (Q.s.49:13). Maka jika seseorang memperlakukan pendapat seseorang atau golongan tertentu sama mutlaqnya seperti pendapat Allah yang kebenarannya tidak dapat diganggu gugat, maka -disadari atau tidak- ia telah terperangkap kepada prilaku mengingkari kemutlaqan Allah swt .
Apresiasi Islam Terhadap Toleransi
Makna toleransi yang sebenarnya bukanlah mencampuradukkan keimanan dan ritual agama yang satu dengan agama yang lain,  tetapi menghargai eksistensi agama orang lain apa adanya. Toleransi adalah sikap dan perbuatan yang melarang diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda. Islam sangat menganjurkan toleransi, bahkan Al-Qur’an menyebut toleransi dapat mengubah lawan menjadi kawan, seperti ditegaskan dalam Qs.Fushshilat:34 “Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia”. Karena itulah, Islam memberikan apresiasi yang tinggi terhadap sikap toleran, antara lain:
1.    Allah menyiapkan balasan berupa ampunan dan surga bagi yang menahan amarah dan memaafkan orang lain (Q.s. Ali Imran 133-134).
2.    Toleransi merupakan akhlak terbaik penghuni dunia dan akhirat. “Maukah kalian aku tunjukkan akhlak penghuni dunia dan akhirat? (Yaitu) siapa yang memaafkan orang yang menzaliminya, memberi kepada orang yang pernah memboikotnya, dan menyambung silaturahim kepada yang memutusnya” (Mushannaf Ibn Abi Syaibah, 7/238).
3.    Orang yang bersikap kasih akan dikasihi oleh Allah.“Orang-orang yang mengasihi akan disayang oleh Dzat Yang Maha Pengasih. Sayangilah yang di bumi kalian akan disayang yang di langit”. (HR. Al-Tirmidzi).
4.   Toleransi merupakan bentuk lain dari sedekah. Rasulullah memuji dan meminta setiap Muslim untuk meniru sikap Abi Dhamdham yag setiap pagi selalu berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah bersedekah dengan kehormatanku (jika mendapat cemoohan, cibiran dan hal negatif lainnya) kepada hamba-hamba Mu yang menyakitiku”. (HR. Abu Daud).
5.    Toleransi jalan menuju surga. “Seseorang masuk surga karena sikap toleran” (Musnad Ahmad).
6.    Sikap keberagamaan yang toleran, memudahkan dan tidak mempersulit adalah yang paling dicintai oleh Allah swt. “Agama (atau sikap hidup keberagamaan) yang paling disukai oleh Allah adalah yang lurus, memudahkan dan tidak mempersulit”. (HR. Al-Bukhari).

Toleransi Dalam Agama-Agama
Konsep toleransi dalam ajaran agama Katholik tercantum dalam deklarasi konsili Vatikan II tentang sikap gereja terhadap agama-agama lain yang didasarkan pada asal kisah rasul-rasul 17 : 26 sebagai berikut: “Adapun segala bangsa itu merupakan satu masyarakat dan asalnyapun satu juga, karena Tuhan menjadikan seluruh bangsa manusia untuk menghuni seluruh bumi." Di bagian lain dari mukadimah deklarasi tersebut disebutkan  "Dalam zaman kita ini, dimana bangsa, manusia makin hari makin erat bersatu, hubungan antara bangsa menjadi kokoh, gereja lebih seksama mempertimbangkan bagaimana hubungannya dengan agama-agama lain. Karena tugasnya memelihara persatuan dan perdamaian di antara manusia dan juga di antara para bangsa, maka di dalam deklarasi ini gereja mempertimbangkan secara istimewa apakah kesamaan manusia dan apa yang menarik mereka untuk hidup berkawan."
Sementara dalam agama kristen protestan, ajaran, anjuran dan dasar toleransi serta kerukunan termaktub dalam Injil Matins 22:37. Sebagaimana Katholik, Kristen Protestan juga menganjurkan agar antar sesama umat manusia selalu hidup rukun dan harmonis. Agama Protestan beranggapan bahwa aspek kerukunan hidup beragama dapat diwujudkan melalui hukum kasih yang merupakan norma dan pedoman hidup yang terdapat dalam Al Kitab. Hukum Kasih tersebut ialah mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia.
Menurut Kristen Protestan, Kasih adalah hukum utama dan yang terutama dalam kehidupan. orang Kristen.
Pada agama Hindu ajaran tentang kerukunan tercermin dalam Catur Purusa Artha. Dalam perspektif agama Hindu disebutkan bahwa untuk mencapai kerukunan hidup antarumat beragama, manusia harus mempunyai dasar hidup yang disebut Catur Purusa Artha, yang mencakup Dharma, Artha, Kama, dan Moksha. Dharma berarti susila atau berbudi luhur. Dengan Dharma seseorang dapat mencapai kesempurnaan hidup, baik untuk diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Artha, berarti kekayaan dapat memberikan kenikmatan dan kepuasan hidup. Mencari harta didasarkan pada Dharma. Kama berarti kenikmatan dan kepuasan. Kama pun harus diperoleh berdasarkan Dharma. Moskha berarti kebahagiaan abadi, yakni terlepasnya atman dari lingkaran samsara. Moskha merupakan tujuan akhir dari agama Hindu yang setiap saat selalu dicari sampai berhasil. Upaya mencari Moskha juga mesti berdasarkan Dharma. Keempat dasar inilah yang merupakan titik tolak terbinanya kerukunan antarumat beragama. Ke¬empat dasar tersebut dapat memberikan sikap hormat-menghormati dan harga menghargai keberadaan umat beragama lain. Tidak saling mencurigai dan saling menyalahkan.
Hampir senada dengan agama-agama lain, agama budha juga memiliki ajaran tentang toleransi dan kerukunan hidup. Menurut pandangan agama Budha, kerukunan hidup umat beragama dapat dicapai dengan melalui empat jalan kebenaran. Pertama, hidup adalah suatu penderitaan (dukha). Kedua, penderitaan disebabkan karena keinginan yang rendah (samudaya). Ketiga, apabila keinginan rendah dapat dihilangkan maka penderitaan akan berakhir. Keempat, jalan untuk menghilangkan keinginan rendah. Dalam upaya mewujudkan empat jalan diatas harus melewati delapan jalan utama; yakni : (1). Kepe¬cayaan yang benar. (2). Niat/pikiran yang benar. (3). Ucapan yang benar. (4). Perbuatan yang benar. (5). Kesadaran yang benar. (6). Mata pencaharian/usaha yang benar. (7). Daya upaya yang benar. Dan (8). Semadhi/ pemusatan pikiran yang benar)
Konsep toleransi dan kerukunan yang dapat mengantarkan pemeluknya untuk hidup harmonis dengan pemeluk agama lain juga dijumpai dalam Agama Khonghucu. Dalam agama  Khonghucu ada yang disebut dengan lima sifat mulia (Wu Chang) yang dipandang sebagai konsep ajaran toleransi yang dapat menciptakan kehidupan harmonis antara sesama manusia, yakni : (1) .Ren/Jin, cinta kasih, tabu diri, halus budi pekerti, rasa tenggang rasa serta dapat menyelami perasaan orang lain. (2) I/Gi, yaitu rasa solidaritas, senasib sepenanggungan dan rasa membela kebenaran.  (3) .Li atau Lee, yaitu sikap sopan santun, tata krama, dan budi pekerti. (4) .Ce atau Ti, yaitu sikap bijaksana, rasa pengertian, dan kearifan. (5) Sin, yaitu kepercayaan, rasa untuk dapat dipercaya oleh orang lain serta dapat memegang janji dan menepatinya.
Memperhatikan ajaran lima sifat yang mulia diatas dimana Khonghucu sangat menekankan hubungan yang harmonis antara sesama manusia dengan manusia lainnya, di samping hubungan harmonis dengan Tuhan dan juga antara manusia dengan alam lingkungan. Setiap penganut Khonghucu hendaknya mampu memahami dan mengamalkan kelima sifat di atas, sehingga kerukunan atau keharmonisan dapat terwujud tanpa memandang dan membedakan agama dari keyakinan.
Sementara dalam Islam, kecuali seperti telah disinggung sebelumnya, toleransi termasuk ajaran yang prinsip dan mendasar, sampai-sampai disematkan dan dilekatkan pada namanya, yakni Islam yang salah satunya berarti Salam atau keselamatan, rasa aman dan perdamaian. Kata ini sampai disebut 140 kali dalam Al-Qur’an, sebuah jumlah yang sangat signifikan untuk menegaskan bahwa Islam betul-betul serius memberikan keselamatan, rasa aman dan kedamaian tidak saja bagi seluruh umat manusia, bahkan bagi semesta alam. Dan hal ini tidak saja berputar pada tataran konsepsional, tetapi telah dipraktekkan secara nyata oleh Rasululloh saw beserta para sahabat.
Kehidupan Rasulullah merupakan contoh kongkrit dari ajaran Al-Qur’an. Kepribadiaan beliau mencerminkan akhlak Al-Qur’an yang sangat mulia, dan memang untuk itu beliau diutus. Tugas tersebut telah dilaksanakan dengan sangat baik, dan bisa kita lihat dalam berbagai literatur hadis dan sejarah yang berisikan perkataan dan sikap Rasulullah. Terkait dengan toleransi, Rasulullah mengajarkan umatnya untuk selalu bersikap toleran dalam segala hal, baik kepada sesama muslim maupun kepada yang bukan muslim. Di tangan Rasulullah Islam datang untuk menjadi agama kasih yang memudahkan orang, bukan menyulitkan. Perhatikanlah bagaimana beliau menyikapi seorang badui yang terkenal keras watak dan terbelakang ketika datang ke masjid dan kencing di situ. Serentak semua orang memarahinya, tetapi Rasulullah justru membiarkannya dan mengatakan kepada para sahabatnya, fa innamaa bu’itstum muyassiriin wa lam tub’abtsuu mu’assiriin (kalian diutus untuk memberikan kemudahan, bukan untuk menyulitkan).
Ketika ditanya tentang agama atau sikap keberagamaan yang paling dicintai Allah, beliau menjawab, “Itulah agama yang memberikan kemudahan, bukan kesulitan (al-haniiyyah al-samhah)” (HR. Ahmad). Berdasarkan hadis ini, Imam Syafi’I merumuskan sebuah kaidah “kesulitan mendatangkan kemudahan” (al-masyaqqatu tajlibu al-taysir). Rasulullah bersifat pengasih dan pemaaf kepada semua orang, termasuk yang pernah meyakitinya. Sikap toleran Rasulullah terhadap mereka yang berbeda agama dan keyakinan dapat dilihat dari pengakuan terhadap ajaran sebelumnya. Dalam pandangan beliau, nabi-nabi utusan Allah itu adalah seperti bersaudara satu bapak lain ibu (ikhwatun min ‘allaat), agamanya satu tetapi syariatnya beragam. Pernyataan tersebut beliau sampaikan melanjutkan pernyataan sebelumnya bahwa beliau adalah orang yang berhak menghormati Nabi Isa di dunia dan akhirat (HR. Muslim). Begitu juga terhadap Nabi Musa yang sangat diagungkan oleh umat Yahudi. Beliau sangat memuliakannya dan sebagian ajarannya. Ketika datang ke Madinnah, Rasulullah mendapati orang-orang Yahudi yang ada di sana berpuasa pada tanggal 10 Muharram (‘asyura). Setelah mendapatkan penjelasan bahwa mereka berpuasa mengikuti tradisi Nabi Musa sebagai ungkapan rasa syukur atas diselamatkannya Nabi Musa dan bani Israil dari kejaran Fir’aun yang berakhir dengan tenggelamnya Fir’aun dan bala tentaranya di Laut Merah, beliau berkata, “kami lebih berhak untuk menghormati Nabi Musa dari pada kalian”. Beliapun berpuasa, dan menganjurkan kepada umatnya untuk berpuasa di hari itu.
Berangkat dari paengakuan dan penghormatan terhadap nabi-nabi terdahulu, Rasulullah memualiakan para penganut agama-agama lain. Terhadap kelompok Yahudi yang telah lebih dahulu mendominasi kota Madinah, beliau membuat perjanjian dan kesepakatan untuk hidup rukun dan harmonis yang dituangkan dalam piagam Madinah. Piagam itu dapat disebut sebagai konstitusi Negara Madinah. Dari 52 pasal yang ada dalam konstitusi tersebut, pembicaraan tentang Yahudi terdapat dalam 14 pasal, yang menganggap mereka sebagai bagian dari warga masyarakat, sehingga berhak mendapat hak-hak mereka secara penuh sebagai warganegara. Di situ dinyatakan antara lain, “Kelompok Yahudi adalah sebuah komunitas  (ummah) yang hidup bersama kaum Muslimin. Masing- masing menganut agamanya tersendiri. Orang-orang Yahudi dan kaum Muslimin berhak untuk mendapatkan nafkah. Jika diantara mereka ada yang diserang atau diperangi maka yang lain berkewajiban membantu. Hendaknya di antara mereka yang akan merugikan semua pihak, maka keputusan terakhir ada di tangan Nabi Muhammad. Hal yang sama dilakukan kepada penganut Kristen. Ketika datang utusan kelompok Kristen dari Najran di Yaman pada 10 H/631 menghadap beliau di Madinah, dan tiba saat melakukan peribadatan, mereka diperkenankan melakukannya di Masjid Nabawi. Setelah menyatakan tunduk kepada kekuasaan Islam, bersam mereka Rasulullah membuat perjanjian sebagai berikut: “Najran dan daerah sekitarnya adalah tetangga Allah. Jiwa, agama, tanah air, harta, seluruh penduduknya, keluarga dan rumah-rumah ibadah mereka berada di bawah tanggung jawab Nabi Muhammad. Mereka tidak boleh dirubah dari keadaan mereka semula. Demikian pula hak dan agama mereka tidak boleh diganti. Para pendeta mereka tidak boleh dicabut kependetaannya. Negeri mereka tidak boleh dibiarkan diserang oleh pasukan tentara. Jika masih ada praktik riba yang sebelumnya telah berlangsung, saya (Nabi Muhammad) tidak bertanggungjawab atas itu. Perjanjian ini berlaku selamanya, selama mereka masih berkomitmen dan memiliki niat baik
Selain komunitas Yahudi di Madinah dan Kristen di Yaman (Najran dan sekitarnya), di Madinah juga terdapat kelompok yang selalu merongrong kekuatan umat Islam, tetapi secara lahir mereka menyatakan sebagai bagian dari umat Islam. Mereka ibarat duri dalam daging, atau orang yang menggunting dalam lipatan. Itulah kelompk munafik. Jumlah mereka sangat banyak. Menurut sebagian riwayat, mencapai tidak kurang dari 300 orang. Rasulullah tahu persis kelakuan mereka ysng selalu berpura-pura, sebab Allah selalu membuka kedok mereka melalui wahyu yang diturunkan-Nya. Oleh karena itu dalam Al-Qur’an ditemukan banyak sekali pembicaraan tentang orang munafik. Bahkan terdapat satu surat khusus yang diberi nama al-munaafiqiin, yang jumlah ayatnya jauh lebih banyak dari surat al-kaafiruun. Rasulullah hanya bersikap hati-hati terhadap mereka yang selalu merongrong kekuatan umat Islam, dan tidak membunuh mereka. Padahal di antara sahabatnya, seperti Umar, berkeinginan untuk membunuh karena kelakuan mereka yang sudah keterlaluan. Rasulullah mencegahnya dan berkata, “biarkan, saya tidak ingin orang berkata Muhammad telah membunuh sahabat-sahabatnya” (HR. Al Bukhari)
Terhadap orang murtad yang keluar dari agma Islam Nabi juga tidak menghukum mereka, kecuali dalam kasus yang disertai dengan hiraabah/gangguan terhadap stabilitas keamanan dengan menggunakan senjata/kekerasan, seperti yang terjadi dengan sekelompok orang yang merampas onta yang diperuntukkan sedekah (harta milik Negara), dan membunuh anak-anak penggembala onta (aparat Negara). Riddah jika menjadi pilihan pribadi itu bagian dari kebebasan beragama, ‘disembuhkan’ dengan hiwar (dialog). Di sini berlaku istitaabah. Jika disertai gangguan keamanan maka berlaku had al-hiraabah (pidana hiraabah) seperti dalam Q.s. Al-Maidah 33-34. Demikian contoh keteladanan toleransi dalam kehidupan Nabi yang diperlihatkan kepada sesama muslim,  yahudi, kristen, musyrik, munafik dan murtad.

Toleransi Sebagai  Kebutuhan Hidup
Toleransi Islam dibangun di atas Islamic worldview, pandangan dunia Islam terhadap alam semesta. Dalam filsafat Islam kita mengenal ada al-haqq, yaitu Allah swt dan ada al-khalq yang mencakup semua makhluk/ciptaan. Ada yang wajib al-wujuud (wajib adanya) dan ada yang wujuud, yaitu yang diciptakan oleh waajib al-wujuud. Al-Haqq dan waajib al-wujuud bersifat tunggal dan Esa, sedangkan seluruh al-khalq (ciptaan/makhluk); benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia, pemikiran dan lainnya yang selain Allah beragam.
Keragaman alam semesta ciptaan Allah dapat dilihat dari beberapa petunjuk Al-Qur’an sebagai berikut:
1.   Keragaman tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, hewan, gunung dan lain sebagainya.
Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menurunkan air dari langit lalu dengan air itu Kami hasilkan buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun”. (Q.s. Fathir 27-28).

Dan Dialah yang menjadikan tanaman-tanaman yang merambat dan yang tidak merambat, pohon kurma, tanaman yang beraneka ragam rasanya, yaitu zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak serupa (rasanya)”. (Q.s. Al-An’am 141).   

2.   Keragaman suku, bangsa, bahasa, warna kulit.
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti”. (Q.s. Al-Hujurat 13).

Dan diantara tanda-tanda (kebesaran) Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang-orang yang mengetahui” (Q.s. Al-Rum 22).

3.   Keragaman agama dan pandangan keagamaan.
Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan”. (Q.s. Al-Maidah 48).

Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat), kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah meciptakan mereka”. (Q.s. hud 118-119).

Keragaman agama, budaya dan peradaban merupakan ‘illat (sebab) penciptaan (walidzaalika khalaqahum), dalam artian manusia diciptakan untuk berbeda. Oleh karenanya, tanpa toleransi tidak akan tercipta keharmonisan dalam keragaman. Atas dasar itu, keragaman dan perbedaan merupakan sebuah ketetapan Allah di alam semesta yang selamanya tidak pernah berubah. Keragaman tersebut menurut adanya hubungan yang harmonis dan saling mengenal antara pihak-pihak yang berbeda. Di sinilah sikap toleran menjadi penting dalam membangun hubungan antara kelompok manusia, budaya, peradaban, aliran/mazhab, agama, syariat, ras, suku bangsa, warna kulit, bahasa, kebangsaan dan sebagainya. Tanpa itu kehidupan akan dipenuhi perseteruan dan permusuhan serta saling menafikan satu dengan lainnya. Oleh karena itu tidak berlebihan jika dikatakan toleransi sebagai kebutuhan/keharusan dalam hidup (dharuurah hayaatiyyah), salain sebagai kewajiban agama (fariidhah diniyyah) seperti dijelaskan pada ayat-ayat dan hadis di atas. Dalam pandangan Islam, toleransi bukanlah pemberian dari orang atau kelompok yang kuat kepada yang lemah, tetapi sebuah nilai esensial yang diajarkan Islam dan menjadi cirri yang melekat dari ajaran Islam.
Berangkat dari sikap Al-Qur’an yang menjadikan keragaman dan perbedaan sebagai ketetapan Allah (sunnatullah) di alam semesta, maka keadilan dan obyektifitas yang merupakan tolak ukur sikap Al-Qur’an, menjadi landasan dalam bersikap terhadap orang lain yang berbeda, bahkan jug kepada diri sendiri. Dalam rangka mewujudkan toleransi berkeadilan itu Al-Qur’an meminta kepada kita untuk bersikap adil dan obyektif dalam melihat atau bersikap, kepada:
1.   Diri Sendiri;
Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu”. (Q.s. Al-Nisaa’ 135).
Orang yang tidak kita senangi. Kebencian terhadap seseorang tidak seharusnya menjadi penghambat untuk berlaku adil kepadanya. “Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa”. (Al-Maidah 8).
2.   Yang memusuhi, menyakiti dan memerangi;
Barangsiapa menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadap kamu (Q.s. Al-Baqarah 194).
Dalam membalas kejahatan mereka Al-Qur’an mengajarkan untuk melakukan yang setimpal, sambil menawarkan opsi lain yang terbaik, yaitu bersabar. “Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang bersabar”. (Q.s. Al-Nahl 126).
3.   Yang berbeda agama atau paham keagamaan, dengan tidak melakukan generalisasi.
Mereka itu tidak (seluruhnya) sama. Di antara Ahli Kitab ada golongan yang jujur, mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam hari, dan mereka (juga) bersujud (salat). Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar dan bersegera (mengerjakan) berbagai kebajikan. Mereka termasuk orang-orang saleh”. (Q.s. Ali Imran 113-114).
Tuntutan berbuat adil dan objektif dalam memandang orang lain KarenA Allah adalah Tuhan seluruh umat manusia dan alam semesta, yang telah memuliakan seluruh umat manusia (bani Adam) tanpa melihat perbedaan agama, warna kulit, ras, bahasa dan lainnya (Q.s. Al-Isra 70). Semua manusia berasal dari satu bapak dan ibu; Adam dan Hawa. Seorang penggiat hikmah,As-Sya’di  bertutur” wahai kaum muslimin, kalian harus berbuat adil dan objektif terhadap mereka, bukan karena siapa mereka, tetapi karena siapa kamu “ .

Catatan Akhir
Sejatinya semua agama telah memberikan ajaran yang jelas dan tegas bagaimana semestinya bergaul, berhubungan dengan pemeluk agama lain. Toleransi dalam agama-agama adalah otentik bahkan sudah eksis sejak agama itu ada. Karena sifatnya yang organik, maka toleransi di dalam agama-agama hanyalah persoalan implementasi dan komitmen untuk mempraktikkannya secara konsisten. Tentu saja mesti ditegaskan berulang kali, bahwa toleransi beragama bukan untuk saling melebur dalam keyakinan. Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara agama yang berbeda itu. Jadi, ada batas-batas bersama yang boleh dan tak boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di mana masing-masing pihak untuk mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikan masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-haknya.Dengan demikian, toleransi dapat menjadi perekat hubungan umat beragama yang telah sekian lama “tercabik “.#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar