Ust Hefni Zain
Muqoddimah
Dalam kongres internasional untuk sejarah agama-agama ke 9 di Tokyo Jepang sudah dirasakan kebutuhan
dunia yang mendesak akan toleransi umat beragama sebagai langkah strategis
untuk memikirkan persoalan-persoalan manusia global
atas nama manusia sebagai makhluk Tuhan. Dengan etos ini diharapkan agama-agama
dapat melibatkan diri secara
aktif untuk menjawab soal-soal kemanusiaan global. Sebagai welstanchauung, agama ditantang untuk membuktikan bahwa dirinya
masih up to dead. Untuk
itu agama-agama semestinya sudah bisa melampaui problem klasik seperti
perseteruan, ketegangan dan disharmonisasi yang diakibatkan oleh sentimen-sentimen
keagamaan. Sudah saatnya agama-agama membicarakan partisipasi mereka dalam proses perubahan dunia yang semakin gencar.
Hampir semua orang menyadari bahwa perbedaan
dan keanekaragaman merupakan fenomena
lazim dan alamiah, tetapi tidak semua pihak bisa menerima adanya perbedaan,
untuk itu diperlukan sebuah keterbukaan terhadap yang lain, orang bijak
berkata, When we are nothing, then we will able to understand everything.
Ketika seseorang merasa bukan apa-apa maka dia akan dapat memahami segalanya.
Tentu untuk mencapai keadaan “nothing” bukan hal yang mudah, diperlukan
kerendahan hati dan kedewasaan fikir, dibutuhkan. toleransi untuk tenteram
dalam perbedaan. Bila pemeluk agama memilki kerendahan hati dan kedewasaan
fikir dengan cara membangun toleransi dengan yang lain sehingga relasi yang
harmonis dapat terjalin baik inter maupun antar pemeluk agama, maka semua agama
bisa menyatakan dengan tegas bahwa musuh kita hari ini bukan lagi agama lain,
tetapi kemiskinan, diskriminasi, pelanggaran HAM dan semua hal
yang menyebabkan relasi
umat manusia mengalami malfungsi.
Toleransi merupakan salah satu unsur kekuatan yang
terpenting dalam sepanjang sejarah peradaban umat manusia. Sikap toleran dapat
mengubah lawan menjadi kawan, seperti disebut dalam Q.s.Fushshilat 34: “Dan
tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara
yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia
akan seperti teman yang setia”. Makna toleransi yang sebenarnya bukanlah
mencampuradukkan keimanan dan ritual agama yang satu dengan agama yang lain, tetapi menghargai eksistensi agama orang lain
apa adanya. Toleransi adalah sikap dan perbuatan yang melarang diskriminasi terhadap
kelompok-kelompok yang berbeda. Dalam konteks agama, toleransi adalah
menghargai dan menghormati keberadaan agama-agama lainnya.
Dalam bahasa arab, toleransi
disepadankan pengertian dan maksudnya dengan istilah “tasamuh” yang
merupakan derivasi dari kata “samh” yang berarti “juud wa sa’at al-shadr wa
tasahul”
(kemuliaan, lapang dada dan ramah,
suka memaafkan. Makna
ini selanjutnya berkembang menjadi sikap lapang dada dan terbuka (welcome) dalam menghadapi
perbedaan yang bersumber dari kepribadian yang mulia. Makna samh juga berkisar pada; berbaik hati dan
memberi secara dermawan dan dengan niat mulia; mudah; taat dan tunduk;
kelapangan hati. Sikap keberagaman yang baik dalam hadits Rasulullah saw
disebut al-haniiffiyyah al-samhah karena memberikan kemudahan dan tidak
mempersulit. Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya Ghair
al-Muslimin fii al-Mujtama’ Al-Islami, menyebutkan terdapat empat faktor utama yang
meyebabkan toleransi yang unik selalu mendominasi perilaku umat Islam terhadap
non-muslim, yaitu : (1) Keyakinan terhadap kemuliaan manusia, apapun agamanya,
kebangsaannya dan kerukunannya.(2) Perbedaan bahwa manusia dalam agama dan
keyakinan merupakan realitas yang dikehendaki Allah SWT yang telah memberi
mereka kebebasan untuk memilih iman dan kufur. (3) Seorang muslim tidak dituntut untuk mengadili
kekafiran seseorang atau menghakimi sesatnya orang lain. Allah sajalah yang
akan menghakiminya nanti.(4)
Keyakinan bahwa Allah
SWT memerintahkan untuk berbuat adil dan mengajak kepada budi pekerti mulia
meskipun kepada orang musyrik. Allah juga mencela perbuatan dzalim meskipun
terhadap kafir.
Toleransi dalam ilmu sosial, didefinisikan
sebagai sebagai sikap yang menunjukkan kesiapan untuk menerima berbagai
pandangan dan perilaku tanpa harus menyetujuinya, Kesiapan itu dapat berupa
komitmen dan penghormatan terhadap keyakinan, tradisi dan perasaan orang lain,
terlepas dari perbedaan warna kulit, agama, ras, suku dan sebagainya. Deklarasi Sidang Umum UNESCO, 16/11/1995 pasal 1
menyebutkan toleransi adalah penghormatan, penghargaan dan penerimaan terhadap
berbagai budaya dunia dan bentuk-bentuk ekspresi serta sifat-sifat kemanusiaan. Dalam konteks masyarakat modern yang sangat beragam,
toleransi menjadi kata kunci dalam membangun hubungan antara individu dan
kelompok agar tercipta kehidupan yang harmonis dan penuh kedamaian. Toleransi akan
berjalan dengan sukses jika semua
pihak menghargai kesepakatan-kesepakatan
yang ditetapkan dalam konteks kepentingan universal. Mereka bisa menahan diri
dan mencari jalan terbaik dalam memecahkan persoalan yang
notabene merupakan kepentingan kemanusiaan universal. Toleransi mesti didudukkan sebagai sebuah keniscayaan dalam ruang individu dan
ruang publik karena tujuan utama toleransi adalah membangun hidup damai (peaceful
coexistance) diantara pelbagai kelompok masyarakat dari pelbagai latar
belakang agama, sejarah, kebudayaan, dan identitas.
Islam sangat mengapresiasi toleransi, sebab disadari bahwa
keragaman umat manusia dalam beragama dan berkeyakinan adalah semata kehendak
Allah. Dalam Al-Qur’an ditegaskan “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah
beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa
manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” Pada ayat lain juga disebutkan “Sesungguhnya umatmu ini (agama tauhid) adalah umat (agama) yang satu (dalam keberagaman), dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku (Q.s Al-Anbiya': 92).“ Ayat ini menegaskan bahwa pada dasarnya umat manusia itu tunggal tapi
kemudian mereka berpencar memilih keyakinannya masing-masing. Ini
mengartikulasikan bahwa Islam memahami pilihan keyakinan mereka sekalipun Islam
juga menjelaskan “sesungguhnya telah jelas antara yang benar dari yang bathil”. Al-Qur’an juga
menegaskan”Katakan olehmu (Muhamad), ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke
titik pertemuan (kalimatun sawa’ atau common values) antara kami dan kamu,
yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak pula memperserikatkan-Nya
kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang
lain sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah!” Ayat ini mengajak umat
beragama (terutama Yahudi, Kristiani, dan Islam) menekankan persamaan dan
menghindari perbedaan demi merengkuh rasa saling menghargai dan menghormati.
juga mengajak untuk sama-sama menjunjung tinggi tauhid, yaitu sikap tidak
menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Ayat-ayat diatas merupakan penegasan bahwa toleransi antar-umat beragama merupakan kepentingan semua agama.
Artikulasi Dan Nilai-Nilai Toleransi
Pada tradisi Islam, terdapat beberapa
terminologi yang terkait dengan kata tasamuh atau samaahah, antara
lain :
1. Al-Rahmah. Yang memiliki makna kelemah lembutan, kasih sayang dan kehalusan. Kata ini merupakan salah satu sifat Allah yaitu ar-Rahman
dan ar-Rahim. Pesan untuk berkasih sayang (Rahmah) dalam Islam
dapat ditelusuri melalui hadits Nabi saw “Berbuatlah kasih sayang kepada
siapa pun yang ada di bumi, maka kalian akan dikasihi dzat yang di langit
(Allah swt)”. Kehidupan
yang diserukan oleh Nabi saw adalah kehidupan yang penuh kasih sayang. Selain itu, konsep al-Rahmah juga sering
diucapkan dalam do’a para nabi terdahulu. Misalnya, Nabi Adam as, nabi Nuh as.,
nabi Musa as. dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa tujuan diutusnya
rasul-rasulNya adalah untuk mensyi’arkan agama kasih sayang yang bukan hanya
berlaku bagi umat muslim saja. Melainkan juga berlaku bagi seluruh alam
semesta.
2. Al-‘Afw. Kata ini selain berarti maaf juga
bermakna menghapuskan atau menggugurkan, seperti yang tercermin dalam Al-Qur’an
“wa’fu ‘anna”. Al-‘afw dengan berbagai derivasinya disebut 34 kali dalam
Al-Qur’an. Dari sekian banyak penggunaannya, tidak ditemukan satupun perintah
agar meminta maaf, yang ada adalah perintah memberi maaf. Sebagaimana terlihat
dalam Qs. An-Nur:22 “Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada.
Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang”.
3. Al-Shafh. Kata ini dalam berbagai bentuknya
disebut 8 kali dalam Al-Qur’an yang. berarti lapang, kelapangan dada, berlapang
dada. Berjabat tangan disebut mushaafahah karena melakukannya menjadi
lambang kelapangan dada. Dari delapan penyebutannya, empat di antaranya
didahului oleh perintah memberi maaf. Menurut Al-Ashfahani, al-shafhu
(lapang dada) lebih tinggi kedudukannya dari al-‘afwa (maaf). Jika
al-‘afw berarti menghapus kesalahan dalam lembaran, maka al-shafhu
berarti membuka lembaran baru. Al-shafh mengisyaratkan bahwa sikap lapang dada akan melahirkan kedamaian, terutama
bagi pelakunya. Tatkala Nabi Ibrahim tidak berhasil meyakinkan bapaknya tentang
akidah tauhid setelah berusaha keras dengan berdialog, ia pun memilih jalan
damai dengan meninggalkan sang bapak sambil mengatakan “Dia (Ibrahim)
berkata, ‘Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memohonkan ampunan
bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku” (Q.s. Maryam
47)
4. Al-Salam. Kata lain yang terkait dengan dengan
tasamuh adalah kata Salam yang berarti keselamatan, rasa aman dan
perdamaian. Kata ini disebut 140 kali dalam Al-Qur’an, sebuah jumlah yang
spektakuler untuk menegaskan bahwa Islam betul-betul serius memberikan
keselamatan, rasa aman dan kedamaian bagi umat islam dan umat lain, sementara harb
(perang) hanya disebut 6 kali saja, itupun pembolehannya hanya kalau
diperangi untuk membela diri (devensif). Ini menunjukkan bahwa Islam bukan agama yang suka
perang. Islam lebih mengutamakan keselamatan dan perdamaian. Karena keselamatan
(al-Salam) adalah tujuan mendasar dalam Islam, maka Allah memerintahkan
umatNya untuk berIslam secara sempurna.
Seorang
muslim, harus mengintrodusir dan membumikan al-Salaam dalam hidup
kesehariannya, yakni dengan cara hidup damai dan memberikan kedamaian kepada
yang lain, menjaga hati dari hasud,dengki serta berkehendak untuk berbuat
kejahatan. Dalam sebuah hadis, Rasul saw menegaskan “Seorang muslim adalah mereka
yang menyelamatkan orang lain dari kejahatan lisan dan tangannya”. Dengan
kata lain, seorang muslim adalah mereka yang memberi rasa aman kepada orang
lain dengan tidak menaykitinya melalui perkataan dan perbuatan.
5. Al-Adl. Kata Adl disebutkan 24 kali
dalam Al-Qur’an. Diantaranya Qs. Nahl ayat 90 “Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. Ayat
ini menegaskan bahwa Allah swt memerintahkan umatNya untuk berbuat tiga hal. Pertama,
adil. Artinya, umat Islam harus berbuat adil dalam berbagai hal. Termasuk dalam
memberikan hak-hak orang lain. Serta memberikan hak-hak orang yang berhak
menerimanya sesuai takaran masing-masing. Kedua, al-ihsan (kebaikan) yaitu
melakukan kebaikan kepada semua orang tanpa memandang status dan derajat
kemanusiaannya. Termasuk kepada orang yang berbeda keyakinan. Ketiga,
menjalin silaturrahim, artinya dalam hal bermasyarakat, Islam tidak membatasi
pergaulan hanya kepada sesama muslim. Akan tetapi, bersosial dengan non-muslim
juga dianjurkan. Keadilan merupakan salah satu landasan terpenting dalam
berIslam, sebab inilah yang membedakan Islam dengan selainnya. Keadilan
hendaknya menjadi pondasi dalam upaya membentuk masyarakat yang damai dan
harmoni.
6. At-Tauhid. Konsep yang paling
tinggi yang berhubungan dengan tasamuh adalah konsep Al-Tauhid. Tauhid berarti mengesankan, yakni mengesakan
Allah sawt, baik dalam dzat, asma’ was-shifat maupun af’al
(perbuatan)-Nya.Formulasi paling
sederhana dari tauhid aialah kalimah “La ilaha illallah” (tidak ada Tuhan yang
benar-benar tuhan selain Allah). Iqrar la ilaha illallah tidak akan dapat
diwujudkan secara benar tanpa mengikuti petunjuk yang disampaikan Rasulullah
yang datang silih berganti dalam episode sejarah umat manusia (yang kesemuanya
membawa pesan yang sama yaitu kesadaran tauhid). Oleh karena itu ajaran tauhid
sesungguhnya adalah ajaran kemanusiaan universal bahkan merupakan pola wujud (mode
of exitence) seluruh alam semesta (QS.3 : 83-85, QS.2 : 133, QS.5:44,11) dan
ajaran ini mencapai bentuk paling komprehensip, ideal dan sempurna pada masa
Rasululloh saw (QS. 5:3, QS.34:28, QS. 21:107), itulah sebabnya iqrar la ialaha
illallah diikuti oleh iqrar Muhammad Rasulullah.
Berdasarkan kreteria
qur’anik, kesadaran tauhid adalah kesadaran dan keyakinan bahwa hanya Allah
yang mutlaq, memutlaqkan Allah berarti meyakini hanya Dialah yang benar secara
mutlaq, yang berkuasa secara mutlaq dan yang mustaqil secara mutlaq serta
menisbikan yang selainNya. Memutlaqkan Allah berarti melakukan tahrirun nas min batil ila
ibadatillah (membebaskan manusia dari menyembah sesamanya kepada menyembah
Allah samata), yang dengannya manusia akan sadar bahwa kedudukannya sama dengan
manusia lain dimanapun, tidak ada manusia yang superior atau inferior, yang
lebih tinggi atau lebih rendah dari manusia yang lain di hadapan Allah,
demikian juga tidak ada kolektifitas manusia, baik sebagai suatu suku, ras atau
kelompok yang lebih tinggi atau lebih rendah dari pada yang lain. Semua
kedudukan manusia adalah sama dihadapan Allah swt, yang membedakan hanyalah
mutu ketaqwaan mereka pada Tuhannya. (Q.s.49:13). Maka jika seseorang
memperlakukan pendapat seseorang atau golongan tertentu sama mutlaqnya seperti
pendapat Allah yang kebenarannya tidak dapat diganggu gugat, maka -disadari
atau tidak- ia telah terperangkap kepada prilaku mengingkari kemutlaqan Allah
swt .
Apresiasi Islam Terhadap Toleransi
Makna toleransi yang sebenarnya bukanlah
mencampuradukkan keimanan dan ritual agama yang satu dengan agama yang
lain, tetapi menghargai eksistensi agama
orang lain apa adanya. Toleransi adalah sikap dan perbuatan yang melarang diskriminasi terhadap
kelompok-kelompok yang berbeda. Islam sangat menganjurkan toleransi, bahkan Al-Qur’an menyebut toleransi dapat
mengubah lawan menjadi kawan, seperti ditegaskan dalam Qs.Fushshilat:34 “Dan
tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara
yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia
akan seperti teman yang setia”. Karena itulah, Islam memberikan apresiasi
yang tinggi terhadap sikap toleran, antara lain:
1.
Allah
menyiapkan balasan berupa ampunan dan surga bagi yang menahan amarah dan
memaafkan orang lain (Q.s. Ali Imran 133-134).
2.
Toleransi
merupakan akhlak terbaik penghuni dunia dan akhirat. “Maukah kalian aku
tunjukkan akhlak penghuni dunia dan akhirat? (Yaitu) siapa yang memaafkan orang
yang menzaliminya, memberi kepada orang yang pernah memboikotnya, dan
menyambung silaturahim kepada yang memutusnya” (Mushannaf Ibn Abi Syaibah,
7/238).
3.
Orang yang
bersikap kasih akan dikasihi oleh Allah.“Orang-orang yang mengasihi akan
disayang oleh Dzat Yang Maha Pengasih. Sayangilah yang di bumi kalian akan
disayang yang di langit”. (HR. Al-Tirmidzi).
4. Toleransi merupakan bentuk lain dari sedekah.
Rasulullah memuji dan meminta setiap Muslim untuk meniru sikap Abi Dhamdham yag
setiap pagi selalu berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah bersedekah
dengan kehormatanku (jika mendapat cemoohan, cibiran dan hal negatif lainnya)
kepada hamba-hamba Mu yang menyakitiku”. (HR. Abu Daud).
5.
Toleransi
jalan menuju surga. “Seseorang masuk surga karena sikap toleran” (Musnad
Ahmad).
6.
Sikap
keberagamaan yang toleran, memudahkan dan tidak mempersulit adalah yang paling
dicintai oleh Allah swt. “Agama (atau sikap hidup keberagamaan) yang paling
disukai oleh Allah adalah yang lurus, memudahkan dan tidak mempersulit”.
(HR. Al-Bukhari).
Toleransi Dalam Agama-Agama
Konsep toleransi dalam
ajaran agama Katholik tercantum dalam deklarasi konsili Vatikan II tentang
sikap gereja terhadap agama-agama lain yang didasarkan pada asal kisah
rasul-rasul 17 : 26 sebagai berikut: “Adapun segala bangsa itu merupakan satu
masyarakat dan asalnyapun satu juga, karena Tuhan menjadikan seluruh bangsa
manusia untuk menghuni seluruh bumi." Di bagian lain dari mukadimah deklarasi
tersebut disebutkan "Dalam zaman
kita ini, dimana bangsa, manusia makin hari makin erat bersatu, hubungan antara
bangsa menjadi kokoh, gereja lebih seksama mempertimbangkan bagaimana
hubungannya dengan agama-agama lain. Karena tugasnya memelihara persatuan dan
perdamaian di antara manusia dan juga di antara para bangsa, maka di dalam
deklarasi ini gereja mempertimbangkan secara istimewa apakah kesamaan manusia
dan apa yang menarik mereka untuk hidup berkawan."
Sementara dalam agama
kristen protestan, ajaran, anjuran dan dasar toleransi serta kerukunan termaktub
dalam Injil Matins 22:37. Sebagaimana Katholik, Kristen Protestan juga
menganjurkan agar antar sesama umat manusia selalu hidup rukun dan harmonis.
Agama Protestan beranggapan bahwa aspek kerukunan hidup beragama dapat
diwujudkan melalui hukum kasih yang merupakan norma dan pedoman hidup yang
terdapat dalam Al Kitab. Hukum Kasih tersebut ialah mengasihi Allah dan
mengasihi sesama manusia.
Menurut Kristen Protestan, Kasih adalah hukum utama dan yang terutama dalam kehidupan. orang Kristen.
Menurut Kristen Protestan, Kasih adalah hukum utama dan yang terutama dalam kehidupan. orang Kristen.
Pada agama Hindu ajaran tentang kerukunan
tercermin dalam Catur Purusa Artha. Dalam perspektif agama Hindu disebutkan
bahwa untuk mencapai kerukunan hidup antarumat beragama, manusia harus
mempunyai dasar hidup yang disebut Catur Purusa Artha, yang mencakup Dharma,
Artha, Kama, dan Moksha. Dharma berarti susila atau berbudi luhur. Dengan
Dharma seseorang dapat mencapai kesempurnaan hidup, baik untuk diri sendiri,
keluarga, dan masyarakat. Artha, berarti kekayaan dapat memberikan kenikmatan
dan kepuasan hidup. Mencari harta didasarkan pada Dharma. Kama berarti
kenikmatan dan kepuasan. Kama pun harus diperoleh berdasarkan Dharma. Moskha
berarti kebahagiaan abadi, yakni terlepasnya atman dari lingkaran samsara.
Moskha merupakan tujuan akhir dari agama Hindu yang setiap saat selalu dicari
sampai berhasil. Upaya mencari Moskha juga mesti berdasarkan Dharma. Keempat
dasar inilah yang merupakan titik tolak terbinanya kerukunan antarumat
beragama. Ke¬empat dasar tersebut dapat memberikan sikap hormat-menghormati dan
harga menghargai keberadaan umat beragama lain. Tidak saling mencurigai dan
saling menyalahkan.
Hampir senada dengan
agama-agama lain, agama budha juga memiliki ajaran tentang toleransi dan
kerukunan hidup. Menurut pandangan agama Budha, kerukunan hidup umat beragama
dapat dicapai dengan melalui empat jalan kebenaran. Pertama, hidup
adalah suatu penderitaan (dukha). Kedua, penderitaan disebabkan karena
keinginan yang rendah (samudaya). Ketiga, apabila keinginan rendah dapat
dihilangkan maka penderitaan akan berakhir. Keempat, jalan untuk
menghilangkan keinginan rendah. Dalam upaya mewujudkan empat jalan diatas harus
melewati delapan jalan utama; yakni : (1). Kepe¬cayaan yang benar. (2).
Niat/pikiran yang benar. (3). Ucapan yang benar. (4). Perbuatan yang benar. (5).
Kesadaran yang benar. (6). Mata pencaharian/usaha yang benar. (7). Daya upaya
yang benar. Dan (8). Semadhi/ pemusatan pikiran yang benar)
Konsep toleransi dan
kerukunan yang dapat mengantarkan pemeluknya untuk hidup harmonis dengan
pemeluk agama lain juga dijumpai dalam Agama Khonghucu. Dalam agama Khonghucu ada yang disebut dengan lima sifat
mulia (Wu Chang) yang dipandang sebagai konsep ajaran toleransi yang dapat
menciptakan kehidupan harmonis antara sesama manusia, yakni : (1) .Ren/Jin,
cinta kasih, tabu diri, halus budi pekerti, rasa tenggang rasa serta dapat
menyelami perasaan orang lain. (2) I/Gi, yaitu rasa solidaritas, senasib
sepenanggungan dan rasa membela kebenaran. (3) .Li atau Lee, yaitu sikap sopan santun,
tata krama, dan budi pekerti. (4) .Ce atau Ti, yaitu sikap bijaksana, rasa
pengertian, dan kearifan. (5) Sin, yaitu kepercayaan, rasa untuk dapat
dipercaya oleh orang lain serta dapat memegang janji dan menepatinya.
Memperhatikan ajaran
lima sifat yang mulia diatas dimana Khonghucu sangat menekankan hubungan yang
harmonis antara sesama manusia dengan manusia lainnya, di samping hubungan
harmonis dengan Tuhan dan juga antara manusia dengan alam lingkungan. Setiap
penganut Khonghucu hendaknya mampu memahami dan mengamalkan kelima sifat di
atas, sehingga kerukunan atau keharmonisan dapat terwujud tanpa memandang dan
membedakan agama dari keyakinan.
Sementara dalam Islam,
kecuali seperti telah disinggung sebelumnya, toleransi termasuk ajaran yang
prinsip dan mendasar, sampai-sampai disematkan dan dilekatkan pada namanya,
yakni Islam yang salah satunya berarti Salam atau keselamatan, rasa aman dan
perdamaian. Kata ini sampai disebut 140 kali dalam Al-Qur’an, sebuah jumlah
yang sangat signifikan untuk menegaskan bahwa Islam betul-betul serius
memberikan keselamatan, rasa aman dan kedamaian tidak saja bagi seluruh umat
manusia, bahkan bagi semesta alam. Dan hal ini tidak saja berputar pada tataran
konsepsional, tetapi telah dipraktekkan secara nyata oleh Rasululloh saw
beserta para sahabat.
Kehidupan Rasulullah
merupakan contoh kongkrit dari ajaran Al-Qur’an. Kepribadiaan beliau
mencerminkan akhlak Al-Qur’an yang sangat mulia, dan memang untuk itu beliau
diutus. Tugas tersebut telah dilaksanakan dengan sangat baik, dan bisa kita
lihat dalam berbagai literatur hadis dan sejarah yang berisikan perkataan dan
sikap Rasulullah. Terkait dengan toleransi, Rasulullah mengajarkan umatnya
untuk selalu bersikap toleran dalam segala hal, baik kepada sesama muslim
maupun kepada yang bukan muslim. Di tangan Rasulullah Islam datang untuk menjadi
agama kasih yang memudahkan orang, bukan menyulitkan. Perhatikanlah bagaimana
beliau menyikapi seorang badui yang terkenal keras watak dan terbelakang ketika
datang ke masjid dan kencing di situ. Serentak semua orang memarahinya, tetapi
Rasulullah justru membiarkannya dan mengatakan kepada para sahabatnya, fa
innamaa bu’itstum muyassiriin wa lam tub’abtsuu mu’assiriin (kalian diutus
untuk memberikan kemudahan, bukan untuk menyulitkan).
Ketika ditanya tentang
agama atau sikap keberagamaan yang paling dicintai Allah, beliau menjawab,
“Itulah agama yang memberikan kemudahan, bukan kesulitan (al-haniiyyah
al-samhah)” (HR. Ahmad). Berdasarkan hadis ini, Imam Syafi’I merumuskan
sebuah kaidah “kesulitan mendatangkan kemudahan” (al-masyaqqatu tajlibu
al-taysir). Rasulullah bersifat pengasih dan pemaaf kepada semua orang,
termasuk yang pernah meyakitinya. Sikap toleran Rasulullah terhadap mereka yang
berbeda agama dan keyakinan dapat dilihat dari pengakuan terhadap ajaran
sebelumnya. Dalam pandangan beliau, nabi-nabi utusan Allah itu adalah seperti
bersaudara satu bapak lain ibu (ikhwatun min ‘allaat), agamanya satu
tetapi syariatnya beragam. Pernyataan tersebut beliau sampaikan melanjutkan
pernyataan sebelumnya bahwa beliau adalah orang yang berhak menghormati Nabi
Isa di dunia dan akhirat (HR. Muslim). Begitu juga terhadap Nabi Musa yang
sangat diagungkan oleh umat Yahudi. Beliau sangat memuliakannya dan sebagian
ajarannya. Ketika datang ke Madinnah, Rasulullah mendapati orang-orang Yahudi
yang ada di sana berpuasa pada tanggal 10 Muharram (‘asyura). Setelah
mendapatkan penjelasan bahwa mereka berpuasa mengikuti tradisi Nabi Musa
sebagai ungkapan rasa syukur atas diselamatkannya Nabi Musa dan bani Israil
dari kejaran Fir’aun yang berakhir dengan tenggelamnya Fir’aun dan bala
tentaranya di Laut Merah, beliau berkata, “kami lebih berhak untuk menghormati
Nabi Musa dari pada kalian”. Beliapun berpuasa, dan menganjurkan kepada umatnya
untuk berpuasa di hari itu.
Berangkat dari
paengakuan dan penghormatan terhadap nabi-nabi terdahulu, Rasulullah
memualiakan para penganut agama-agama lain. Terhadap kelompok Yahudi yang telah
lebih dahulu mendominasi kota Madinah, beliau membuat perjanjian dan
kesepakatan untuk hidup rukun dan harmonis yang dituangkan dalam piagam
Madinah. Piagam itu dapat disebut sebagai konstitusi Negara Madinah. Dari 52
pasal yang ada dalam konstitusi tersebut, pembicaraan tentang Yahudi terdapat
dalam 14 pasal, yang menganggap mereka sebagai bagian dari warga masyarakat,
sehingga berhak mendapat hak-hak mereka secara penuh sebagai warganegara. Di
situ dinyatakan antara lain, “Kelompok Yahudi adalah sebuah komunitas
(ummah) yang hidup bersama kaum Muslimin. Masing- masing menganut agamanya
tersendiri. Orang-orang Yahudi dan kaum Muslimin berhak untuk mendapatkan
nafkah. Jika diantara mereka ada yang diserang atau diperangi maka yang lain
berkewajiban membantu. Hendaknya di antara mereka yang akan merugikan semua
pihak, maka keputusan terakhir ada di tangan Nabi Muhammad. Hal yang sama
dilakukan kepada penganut Kristen. Ketika datang utusan kelompok Kristen dari
Najran di Yaman pada 10 H/631 menghadap beliau di Madinah, dan tiba saat
melakukan peribadatan, mereka diperkenankan melakukannya di Masjid Nabawi.
Setelah menyatakan tunduk kepada kekuasaan Islam, bersam mereka Rasulullah
membuat perjanjian sebagai berikut: “Najran dan daerah sekitarnya adalah
tetangga Allah. Jiwa, agama, tanah air, harta, seluruh penduduknya, keluarga
dan rumah-rumah ibadah mereka berada di bawah tanggung jawab Nabi Muhammad.
Mereka tidak boleh dirubah dari keadaan mereka semula. Demikian pula hak dan
agama mereka tidak boleh diganti. Para pendeta mereka tidak boleh dicabut
kependetaannya. Negeri mereka tidak boleh dibiarkan diserang oleh pasukan
tentara. Jika masih ada praktik riba yang sebelumnya telah berlangsung, saya
(Nabi Muhammad) tidak bertanggungjawab atas itu. Perjanjian ini berlaku
selamanya, selama mereka masih berkomitmen dan memiliki niat baik”
Selain komunitas Yahudi
di Madinah dan Kristen di Yaman (Najran dan sekitarnya), di Madinah juga
terdapat kelompok yang selalu merongrong kekuatan umat Islam, tetapi secara
lahir mereka menyatakan sebagai bagian dari umat Islam. Mereka ibarat duri
dalam daging, atau orang yang menggunting dalam lipatan. Itulah kelompk
munafik. Jumlah mereka sangat banyak. Menurut sebagian riwayat, mencapai tidak
kurang dari 300 orang. Rasulullah tahu persis kelakuan mereka ysng selalu
berpura-pura, sebab Allah selalu membuka kedok mereka melalui wahyu yang
diturunkan-Nya. Oleh karena itu dalam Al-Qur’an ditemukan banyak sekali
pembicaraan tentang orang munafik. Bahkan terdapat satu surat khusus yang
diberi nama al-munaafiqiin, yang jumlah ayatnya jauh lebih banyak dari
surat al-kaafiruun. Rasulullah hanya bersikap hati-hati terhadap mereka
yang selalu merongrong kekuatan umat Islam, dan tidak membunuh mereka. Padahal
di antara sahabatnya, seperti Umar, berkeinginan untuk membunuh karena kelakuan
mereka yang sudah keterlaluan. Rasulullah mencegahnya dan berkata, “biarkan,
saya tidak ingin orang berkata Muhammad telah membunuh sahabat-sahabatnya” (HR.
Al Bukhari)
Terhadap orang murtad
yang keluar dari agma Islam Nabi juga tidak menghukum mereka, kecuali dalam
kasus yang disertai dengan hiraabah/gangguan terhadap stabilitas
keamanan dengan menggunakan senjata/kekerasan, seperti yang terjadi dengan
sekelompok orang yang merampas onta yang diperuntukkan sedekah (harta milik
Negara), dan membunuh anak-anak penggembala onta (aparat Negara). Riddah
jika menjadi pilihan pribadi itu bagian dari kebebasan beragama, ‘disembuhkan’
dengan hiwar (dialog). Di sini berlaku istitaabah. Jika disertai
gangguan keamanan maka berlaku had al-hiraabah (pidana hiraabah)
seperti dalam Q.s. Al-Maidah 33-34. Demikian contoh keteladanan toleransi dalam
kehidupan Nabi yang diperlihatkan kepada sesama muslim, yahudi, kristen, musyrik, munafik dan murtad.
Toleransi Sebagai Kebutuhan Hidup
Toleransi Islam
dibangun di atas Islamic worldview, pandangan dunia Islam terhadap alam
semesta. Dalam filsafat Islam kita mengenal ada al-haqq, yaitu Allah swt
dan ada al-khalq yang mencakup semua makhluk/ciptaan. Ada yang wajib
al-wujuud (wajib adanya) dan ada yang wujuud, yaitu yang diciptakan
oleh waajib al-wujuud. Al-Haqq dan waajib al-wujuud
bersifat tunggal dan Esa, sedangkan seluruh al-khalq (ciptaan/makhluk);
benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia, pemikiran dan lainnya yang selain
Allah beragam.
Keragaman alam semesta
ciptaan Allah dapat dilihat dari beberapa petunjuk Al-Qur’an sebagai berikut:
1.
Keragaman
tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, hewan, gunung dan lain sebagainya.
“Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menurunkan air
dari langit lalu dengan air itu Kami hasilkan buah-buahan yang beraneka macam
jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang
beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di
antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang
bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut
kepada Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun”.
(Q.s. Fathir 27-28).
“Dan Dialah yang menjadikan tanaman-tanaman yang
merambat dan yang tidak merambat, pohon kurma, tanaman yang beraneka ragam
rasanya, yaitu zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak
serupa (rasanya)”. (Q.s. Al-An’am 141).
2.
Keragaman suku,
bangsa, bahasa, warna kulit.
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti”. (Q.s. Al-Hujurat 13).
“Dan diantara tanda-tanda (kebesaran) Nya ialah
penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang-orang yang mengetahui”
(Q.s. Al-Rum 22).
3.
Keragaman agama dan
pandangan keagamaan.
“Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan”. (Q.s. Al-Maidah 48).
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan
manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat), kecuali
orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah meciptakan mereka”.
(Q.s. hud 118-119).
Keragaman agama, budaya
dan peradaban merupakan ‘illat (sebab) penciptaan (walidzaalika
khalaqahum), dalam artian manusia diciptakan untuk berbeda. Oleh karenanya,
tanpa toleransi tidak akan tercipta keharmonisan dalam keragaman. Atas
dasar itu, keragaman dan perbedaan merupakan sebuah ketetapan Allah di alam
semesta yang selamanya tidak pernah berubah. Keragaman tersebut menurut adanya
hubungan yang harmonis dan saling mengenal antara pihak-pihak yang berbeda. Di
sinilah sikap toleran menjadi penting dalam membangun hubungan antara kelompok
manusia, budaya, peradaban, aliran/mazhab, agama, syariat, ras, suku bangsa,
warna kulit, bahasa, kebangsaan dan sebagainya. Tanpa itu kehidupan akan
dipenuhi perseteruan dan permusuhan serta saling menafikan satu dengan lainnya.
Oleh karena itu tidak berlebihan jika dikatakan toleransi sebagai
kebutuhan/keharusan dalam hidup (dharuurah hayaatiyyah), salain sebagai
kewajiban agama (fariidhah diniyyah) seperti dijelaskan pada ayat-ayat
dan hadis di atas. Dalam pandangan Islam, toleransi bukanlah pemberian dari
orang atau kelompok yang kuat kepada yang lemah, tetapi sebuah nilai esensial
yang diajarkan Islam dan menjadi cirri yang melekat dari ajaran Islam.
Berangkat dari sikap
Al-Qur’an yang menjadikan keragaman dan perbedaan sebagai ketetapan Allah
(sunnatullah) di alam semesta, maka keadilan dan obyektifitas yang merupakan
tolak ukur sikap Al-Qur’an, menjadi landasan dalam bersikap terhadap orang lain
yang berbeda, bahkan jug kepada diri sendiri. Dalam rangka mewujudkan toleransi
berkeadilan itu Al-Qur’an meminta kepada kita untuk bersikap adil dan obyektif
dalam melihat atau bersikap, kepada:
1.
Diri Sendiri;
Wahai orang-orang yang
beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun
terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu”. (Q.s. Al-Nisaa’ 135).
Orang yang tidak kita
senangi. Kebencian terhadap seseorang tidak seharusnya menjadi penghambat untuk
berlaku adil kepadanya. “Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum
mendorong kamu untuk tidak berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil)
itu lebih dekat kepada takwa”. (Al-Maidah 8).
2.
Yang memusuhi,
menyakiti dan memerangi;
Barangsiapa menyerang
kamu, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadap kamu (Q.s. Al-Baqarah 194).
Dalam membalas
kejahatan mereka Al-Qur’an mengajarkan untuk melakukan yang setimpal, sambil
menawarkan opsi lain yang terbaik, yaitu bersabar. “Dan jika kamu membalas,
maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan
kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi
orang yang bersabar”. (Q.s. Al-Nahl 126).
3.
Yang berbeda agama
atau paham keagamaan, dengan tidak melakukan generalisasi.
“Mereka itu tidak
(seluruhnya) sama. Di antara Ahli Kitab ada golongan yang jujur, mereka membaca
ayat-ayat Allah pada malam hari, dan mereka (juga) bersujud (salat). Mereka
beriman kepada Allah dan hari akhir, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan
mencegah dari yang mungkar dan bersegera (mengerjakan) berbagai kebajikan.
Mereka termasuk orang-orang saleh”. (Q.s. Ali Imran 113-114).
Tuntutan berbuat adil
dan objektif dalam memandang orang lain KarenA Allah adalah Tuhan seluruh umat
manusia dan alam semesta, yang telah memuliakan seluruh umat manusia (bani
Adam) tanpa melihat perbedaan agama, warna kulit, ras, bahasa dan lainnya (Q.s.
Al-Isra 70). Semua manusia berasal dari satu bapak dan ibu; Adam dan Hawa.
Seorang penggiat hikmah,As-Sya’di
bertutur” wahai kaum muslimin, kalian harus berbuat adil dan objektif
terhadap mereka, bukan karena siapa mereka, tetapi karena siapa kamu “ .
Catatan Akhir
Sejatinya semua agama
telah memberikan ajaran yang jelas dan tegas bagaimana semestinya bergaul,
berhubungan dengan pemeluk agama lain. Toleransi dalam agama-agama adalah
otentik bahkan sudah eksis sejak agama itu ada. Karena sifatnya yang organik,
maka toleransi di dalam agama-agama hanyalah persoalan implementasi dan
komitmen untuk mempraktikkannya secara konsisten. Tentu saja mesti ditegaskan
berulang kali, bahwa toleransi beragama bukan untuk saling melebur dalam
keyakinan. Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara agama yang
berbeda itu. Jadi, ada batas-batas bersama yang boleh dan tak boleh dilanggar.
Inilah esensi toleransi di mana masing-masing pihak untuk mengendalikan diri
dan menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikan masing-masing tanpa
merasa terancam keyakinan maupun hak-haknya.Dengan demikian, toleransi dapat
menjadi perekat hubungan umat beragama yang telah sekian lama “tercabik “.#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar