Jumat, 06 Juni 2014

ISLAM & PEACE BUILDING COMMUNITY



Ust. Hefni Zain
 Perdamaian adalah cita-cita luhur yang diinginkan seluruh umat beragama, tetapi mewujudkannya tidak semudah membalik telapak tangan, diperlukan keterbukaan dan dorongan kecintaan antar sesama.  Islam pada substansinya mempunyai karakteristik menyatukan bukan memecah belah. Salah satu pilar utama Islam inklusif adalah semangat ajarannya yang fokus pada pentingnya keterbukaan, penghormatan terhadap keragaman dan pengakuan kesederajatan terhadap semua pemeluk agama (equal for all), serta penghapusan berbagai bentuk diskriminasi demi membangun kehidupan masyarakat yang adil sehingga terwujud suasana toleran, demokratis, humanis, inklusif, tentram dan sinergis tanpa melihat latar belakang kehidupannya, apapun agama, etnik, status sosial, dan jenis kelaminnya. Islam inklusif adalah proses penanaman sejumlah nilai islami yang relevan agar umat beragama dapat hidup berdampingan secara damai dan harmonis dalam realitas kemajemukan dan berprilaku positif, sehingga dapat mengelola kemajemukan menjadi kekuatan untuk mencapai kemajuan, tanpa mengaburkan dan menghapuskan nilai-nilai agama, identitas diri dan budaya.
Model ini relevan dengan ajaran Islam, Sebagai risalah profetik, Islam pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia menuju satu cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan (unity of mankind) tanpa membedakan agama, ras, warna kulit, etnik, dan kebudayaan, hal ini secara tegas disinyalir al-Qur’an: ”Katakanlah: Wahai semua penganut agama (dan kebudayaan)! Bergegaslah menuju dialog dan perjumpaan multiagama (kalimatun sawa’) antara kami dan kamu… Dengan demikian, kalimatun sawa’ bukan hanya mengakui pluralitas kehidupan. Ia adalah manifesto dan gerakan yang mendorong kemajemukan (plurality) dan keragaman (diversity) sebagai prinsip inti kehidupan dan mengukuhkan pandangan bahwa semua kelompok multi agama diperlakukan setara (equality) dan sama martabatnya (dignity). 
Bahkan secara konseptual, emprik dan historis, Islam terbukti berhasil mewujudkan masyarakat multikultur dan multi agama di Madinah, Baghdad, Palestina, Andalusia dan sebagainya. Di Madinah, Nabi saw mempelopori satu negara dengan konstitusi tertulis pertama di dunia. Di Palestina, Khalifah Umar bin Khathab adalah pemimpin pertama di dunia yang memberikan kebebasan beragama dalam perspektif Islam di Kota Jerusalem tahun 636 M. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa tidak ada perdamaian sesama manusia tanpa ada perdamaian antar-agama, tidak ada perdamaian antar-agama tanpa ada dialog antar agama dan tidak ada dialog antar agama tanpa keterbukaan yang tulus dari penganut agama
Guna terciptanya suatu masyarakat yang damai, rukun, aman, tenteram dan sejahtera, perlu dibangun pilar-pilar  keberagamaan inklusif, yang dikenal dengan sebutan 9 T, yakni : Ta’aruf, Tafahum, Ta’awun, Tasyawur, Tawazun, Tatsamuh, Tabayyun, Taghyir dan Taqorrub.
Ta’aruf, adalah semangat mengenali secara kaffah ajaran, prinsip, karakteristik dan tujuan agama yang dianutnya, sekaligus mengenali agama yang dianut umat lain dengan baik, berikut cara yang ditempuh mereka dalam beragama. Dari saling mengenal, kemudian penganut agama-agama dapat saling bertegur sapa, sehingga paling tidak hubungan antar umat beragama bisa cair dan tidak lagi kaku, bukankah sering dikatakan bila tidak kenal maka tidak sayang.
Tafahum, setelah saling mengenal ajaran, prinsip dan karakteristik masing-masing agama, maka para pemeluk agama dapat memetakan kelebihan dan kelemahan masing-masing. Disini para penganut agama, kendati tidak bisa saling membenarkan, tetapi mereka bisa saling memahami, sehingga  masing-masing dapat berbagi mana hal-hal yang dapat diadopsi untuk kebaikan bersama. Dengan saling memahami, mereka akan terdorong untuk saling menghargai dan menghormati sebagai instrumen penting bagi terwujudnya hubungan yang harmonis dan saling menentramkan
Tasyawur, Para pemeluk agama yang sudah saling mengenal dan saling memahami dapat meningkatkan relasinya pada musyawarah atau dialog antar agama. Dialog tersebut dimaksudkan untuk lebih saling mengenal dan saling menimba pengetahuan baru tentang agama mitra dialog. Dengan musyawarah agama-agama, para penganut agama-agama dapat memperkaya wawasan dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan toleransi dan hidup rukun dalam suatu masyarakat.  Disini para penganut agama-agama dapat meningkatkan toleransi dari saling menghakimi, menjadi memahami, dan kemudian saling mengalami. Pada tingkat paling tinggi, mereka menikmati kehadiran orang lain dengan lapang dada,” Tentu saja dalam prinsip musyawarah yang dibesar-besarkan bukan sisi perbedaannya, tetapi sisi persamaannya (kalimah sawa’). Sebab perbedaan itu adalah sunnatuloh ? artinya tatkala Tuhan memerintahkan hambanya untuk berfikir, sementara Tuhan tahu kapasitas fikir diantara hamba itu beragam, maka pasti antara satu dengan lain akan menghasilkan produk fikir yang juga beragam.
Tabayyun, hal-hal yang diberatkan dan disengketakan dalam aktifitas dan gerakan masing-masing agama dapat dimintakan klarifikasi demi menjaga kometmen membangun hubungan yang saling menentramkan. Dengan tabayyun maka kesalah fahaman antar pemeluk agama bisa teratasi, sehingga kebencian, sinisme, dendam akan terlikuidasi. Bukanlah terlalu sering kesalah fahaman menjadi faktor pemicu kebencian atau bahkan konflik berkepanjangan.
Ta’awun, Semua agama lebih banyak punya alasan doktrinal untuk berdamai daripada berseteru hanya karena alasan-alasan pragmatis dan politis sesaat, karena itu di relung hati yang paling dalam, mereka menyadari bahwa tantangan keagamaan terbesar saat ini adalah sejauhmana kemampuan  agama merespon tantangan dan problematika yang dihadapi manusia. Ada sejumlah persoalan yang jauh lebih fundamental untuk ditangani bersama, ketimbang menonjol-nonjolkan perbedaan, yakni masalah kemanusiaan universal.  Maka sudah saatnya para penganut agama mencurahkan semua potensinya untuk merumuskan hal-hal yang merupakan keprihatinan kemanusiaan  bersama. Disiliah makna penting tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa seperti pemberantasan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Tatsamuh, Makna toleransi bukanlah mencampuradukkan keimanan dan ritual agama yang satu dengan agama yang lain,  tetapi menghargai eksistensi agama orang lain. Toleransi merupakan istilah yang biasa digunakan dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda. Dalam konteks agama, toleransi adalah menghargai dan menghormati keberadaan agama-agama lainnya. Dalam bahasa Arab, istilah yang lazim dipergunakan sebagai padanan dari kata toleransi adalah tatsamuh atau samhah, Kata ini pada dasarnya berarti al-jûd (kemuliaan) atau sa’at al-shadr (lapang dada) dan tasâhul (ramah, suka memaafkan). Makna ini selanjutnya berkembang menjadi sikap lapang dada, terbuka (welcome) dalam menghadapi perbedaan yang bersumber dari kepribadian yang mulia.
Tawazun, Islam inklusif sangat menekankan keseimbangan dalam segala hal, dalam bidang aqidah, aql dan naql diterapkan secara seimbang, karena keduanya dianggap sama-sama urgen dalam aqidah Islam. Dalam bidang syari’ah, Islam iklusif mengajarkan perlakukan seimbang antara kepentingan dunuiawi dan kepentingan ukhrawi, seimbang antara ketaqwaan individu spiritual dan ketaqwaan sosial intelektual, seimbang antara proses pencerahan rasional  dengan proses pembeningan emosional. Dalam bidang akhlaq, Islam iklusif selalu berposisi diantara dua ujung tathorruf, mereka tidak takabbur (over self confidence) dan tidak tadzallul (terlalu rendah diri), tidak tathawwur (berani yang sembrono) dan tidak pula jubn (penakut).  Dengan pilar ini sesungguhnya dapat dimaknai bahwa faham Islam iklusif secara sistematis telah mengembangkan dengan sungguh-sungguh sebuah cara beragama  yang “al-hanifiyyah al-samhah” yaitu cara beragama yang lapang dan terbuka dan toleran terhadap yang lain.
Taghyir , Dari berbagai pilar diatas, kemudian terjadi perubahan, baik pola fikir (Way of thinking), perasaan dan kepekaan (way of felling), maupun pandangan hidup (way of life) pemeluk agama-agama menjadi lebih akomudatif. Belajar dari trauma masa lalu, masyarakat beragama sudah sepantasnya merubah paradigma berpikir lama (eksklusif) kepada paradigma berpikir baru (inklusif), yaitu dengan meyakini akan kebenaran agama yang dianut seraya mencoba memahami ajaran agama orang lain yang juga berpotensi kebenaran yang sama-sama berasal dari Tuhan (agama samawi), menerima pendapat orang lain (agree and disagreement) dalam kerangka kerukunan kehidupan antar umat beragama dan istiqomah dalam menjalankan agama dengan menyerahkan kepada Tuhan, biar Tuhan yang mengadili siapa di antara kita yang benar dalam beragama.
Meskipun umat Islam diharuskan meyakini bahwa Islam adalah agama yang paling benar, namun Islam melarang untuk merendahkan agama lain, apalagi menyakiti atau merendahkan penganut agama lain. Islam Inklusif memandang bahwa Islam adalah agama terbaik bagi kaum muslimin, namun mereka juga menyadari bahwa keselamatan di luar agama Islam adalah merupakan hal yang mungkin, karena itu mereka bukan saja dekat dengan orang-orang yang sepaham, tetapi juga dengan pihak-pihak yang tidak sepaham dengan mereka, justru dari pihak yang tidak sepaham itulah dapat mengenal sudut pandang yang baru.
Taqorrub. Mendekatkan diri kepada Allah swt jalannya tidak tunggal, oleh karena itu boleh saja seseorang menganggap bahwa jalan yang ditempuhnya adalah jalan yang benar tetapi jangan serta merta menganggap jalan orang lain sebagai salah. Perbedaan yang ada hanyalah perbedaan jalan’, sedangkan yang dituju hanyalah satu dan sama yakni : kedekatan dan keridhaan Allah swt  semata. Pilar ini merupakan pilar utama yang oleh banya ahli disebut Hum qoumun aatsarahumullohu ‘alaa kulli syai’in, komunitas yang mendahulukan Allah diatas segalanya, Hum qoumun al akhdzu bil haqoiq wal ya’su mim maa fii aidil kholiq, komunitas yang mengambil hakekat kehidupan dengan membuang segala bentuk kepalsuan yang ada pada selain Allah. Mereka yang mencapai pilar ini adalah para insan yang telah berhasil menemukan pemahaman yang sempurna tentang hakekat kehidupan, mereka melampaui sekat sekat perbedaan, tidak terkungkung oleh segala pernik formalitas, bagi mereka jalan yang beragam bukanlah yang utama, karena dibalik itu ada yang lebih utama yaitu Tuhan yang maha esa.
Dengan demikian,  untuk inklusifitas secara efektif, seseorang harus memahami : (1). Prinsip kebebasan beragama. Prinsip ini menyatakan tidak ada paksaan dalam agama, segala bentuk pemaksaan dalam agama justru melahirkan iman tidak sejati dan tidak sah. (2). Prinsip toleransi. Yaitu setiap individu beriman tidak bisa tidak kecuali membiarkan penganut agama lain menyatakan dan menerapkan keimanannya atau membantunya dalam melaksanakan keimanannya itu. (3). Prinsip aksiologi, yaitu bahwa tujuan hidup bagi tiap penganut keyakinan (agama atau spritualitas) adalah membawa kebaikan, mencegah keburukan dan meyakini Zat Maha Tinggi yang bisa dijadikan rujukan permanen (bench mark) bagi tiap hubungan antar-agama dan keyakinan. (4). Prinsip kompetensi dalam kebaikan. Tiap umat beragama berhak sekaligus wajib untuk bersaing secara sehat dan jujur untuk mengembangkan keyakinannya. Dengan demikian dapat dicegah bahaya ketidakpedulian (fallacy of indifference) di mana kita membatasi keseluruhan misi Tuhan kepada Cuma satu bagian dari umat manusia dan bahaya keangkuhan (fallacy of arrogance) di mana kita menganggap misi kita sebagai satu-satunya misi ke seluruh umat manusia.
Beberapa aktifis Islam Inklusif menyebutkan pula bahwa, Islam inklusif setidaknya memiliki tiga pilar uatama, yakni :  Pertama, Pilar Humanitas. Setiap manusia memiliki nilai-nilai kemanusiaan, seperti kebebasan memilih dan berbuat serta bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Nilai-nilai ini tidak dapat dimanipulasi dan ditukar dengan nilai apapun. Nilai-nilai kemanusian harus tetap dikembangkan dengan melalui proses belajar (learning proses) secara terus-menerus guna mencapai kematangan dan kedewasaan diri. Kesediaan menerima perbedaan dan menghargai nilai agama, budaya, ras dan etnis tidak bekembang dengan sendirinya. Apalagi kecenderungan manusia untuk mengharapkan orang lain seperti diri kita. Apabila sikap saling mempengaruhi ini tidak diletakkan pada standar serta tidak diimbangi oleh sikap saling menghormati dan menghargai akan mengakibatkan dampak negatif yang tidak diinginkan. Dalam prinsip humanitas ini, pengembangan nilai kemenusian pada dasarnya adalah pemenuhan kodrat kemanusiaan. Sehingga manusia menjadi lebih bermartabat yang  tecermin dari keluhuran akal-budi dan moralnya yang membedakan dengan makhluk lainya.
Kedua, Pilar Unitas. Kemajemukan dan keanekaragaman agama, etnis, ras, dan budaya mengisyaratkan perlunya kerjasama antar semua komponen. Keanekaragaman dan perbedaan dalam masyarakat tidak mengharuskan terpecah-belah. Kemajemukan itu justru dilihat sebagai potensi kekayaan yang akan menjadi modal utama terwujudnya harmoni. Prinsip ini menegaskan bahwa  keanekaragaman itu penting dalam rangka saling memperkaya untuk menciptakan iklim  kerja sama dalam segala sektor kehidupan yang menunjang kemajuan bersama.
Ketiga, Pilar Kontekstualitas. Pentingnya kesadaran akan keberagaman tidak akan berjalan sebagaimana fungsinya atau bahkan tidak akan mendapatkan hasil positif jika tidak ditempatkan pada konteks yang relevan. Untuk mendapatkan suatu iklim yang kondusif dan dapat bekerja sama dengan baik maka keberagaman musti dijadikan basic of value system tersendiri oleh penganut agama sesuai konsensus yang berlaku. Dalam konteks internal truth claim bisa dipandang perlu, akan tetapi dalam konteks ekternal hal itu tidak diperlukan. karena yang diperlukan dalam kaitan dengan masyarakat yang beragam adalah mencari persamaan bukan pada perbedaan. disinilah perlunya mencari esensi dari nilai-nilai agama dalam wilayah konseptual maupun praksis sosialnya. 
Abdurahman Nahlawi menyebutkan  bahwa prinsip Islam inkluisf meliputi : penanaman kesadaran akan pentingnya hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan agama yang ada, penanaman semangat relasi antar manusia dengan spirit kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami, menghargai perbedaan dan keunikan agama-agama, serta menerima perbedaan-perbedaan dengan pikiran terbuka demi mengatasi konflik untuk terciptanya perdamaian umat manusia.
Islam Iklusif adalah proses transformasi dan internalisasi nilai-nilai dasar dan ideal ajaran Islam yang berusaha mengaksentuasikan aspek-aspek perbedaan dan disparitas kemanusiaan dalam konteksnya yang luas sebagai suatu sunnatulloh yang mesti diterima dengan penuh kearifan  dan lapang dada di tengah kenyataan kemanusiaan yang plural dalam segala dimensinya guna mewujudkan tatanan kehidupan yang berkeadilan. Hal ini merupakan usaha komprehensif dalam mencegah terjadinya konflik antar agama, mencegah terjadinya radikalisme agama, sekaligus pada saat yang sama memupuk terwujudnya sikap yang apresiatif terhadap pluralitas dalam dimensi dan perspektif apapun, karena Islim inklusif memiliki visi dan misi untuk mewujudkan agama pada sisi yang lebih santun, dialogis, apresiatif dan peduli terhadap persoalan hidup umat manusia yang komunal transformatif #.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar