Ust. Hefni Zain
Perdamaian adalah cita-cita luhur yang diinginkan seluruh
umat beragama, tetapi mewujudkannya tidak semudah membalik telapak tangan,
diperlukan keterbukaan dan dorongan kecintaan antar
sesama. Islam pada substansinya mempunyai karakteristik
menyatukan bukan memecah belah. Salah satu pilar utama Islam inklusif adalah
semangat ajarannya yang fokus pada pentingnya keterbukaan, penghormatan
terhadap keragaman dan pengakuan kesederajatan terhadap semua pemeluk agama (equal
for all), serta penghapusan
berbagai bentuk diskriminasi demi membangun kehidupan masyarakat yang adil sehingga terwujud suasana toleran, demokratis,
humanis, inklusif, tentram dan
sinergis tanpa melihat latar belakang kehidupannya, apapun agama, etnik,
status sosial, dan jenis kelaminnya. Islam inklusif adalah proses penanaman sejumlah nilai islami yang
relevan agar umat beragama dapat hidup berdampingan secara damai dan harmonis
dalam realitas kemajemukan dan berprilaku positif, sehingga dapat mengelola
kemajemukan menjadi kekuatan untuk mencapai kemajuan, tanpa mengaburkan dan
menghapuskan nilai-nilai agama, identitas diri dan budaya.
Model ini relevan
dengan ajaran Islam, Sebagai risalah profetik, Islam pada
intinya adalah seruan pada semua umat manusia menuju satu cita-cita bersama
kesatuan kemanusiaan (unity of mankind) tanpa membedakan agama, ras,
warna kulit, etnik, dan kebudayaan, hal ini secara tegas disinyalir al-Qur’an:
”Katakanlah: Wahai semua penganut agama (dan kebudayaan)! Bergegaslah menuju
dialog dan perjumpaan multiagama (kalimatun sawa’) antara kami dan kamu…
Dengan demikian, kalimatun sawa’ bukan hanya mengakui pluralitas
kehidupan. Ia adalah manifesto dan gerakan yang mendorong kemajemukan (plurality)
dan keragaman (diversity) sebagai prinsip inti kehidupan dan mengukuhkan
pandangan bahwa semua kelompok multi agama diperlakukan setara (equality)
dan sama martabatnya (dignity).
Bahkan secara konseptual, emprik dan historis, Islam
terbukti berhasil mewujudkan masyarakat multikultur dan multi agama di Madinah,
Baghdad, Palestina, Andalusia dan sebagainya. Di Madinah, Nabi saw mempelopori satu negara dengan konstitusi tertulis pertama
di dunia. Di Palestina, Khalifah Umar bin Khathab adalah pemimpin pertama di
dunia yang memberikan kebebasan beragama dalam perspektif Islam di Kota
Jerusalem tahun 636 M. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa tidak ada
perdamaian sesama manusia tanpa ada perdamaian antar-agama, tidak ada
perdamaian antar-agama tanpa ada dialog antar agama dan tidak ada dialog antar
agama tanpa keterbukaan yang
tulus dari penganut agama
Guna terciptanya suatu masyarakat
yang damai, rukun, aman, tenteram dan sejahtera, perlu dibangun pilar-pilar keberagamaan inklusif, yang dikenal dengan
sebutan 9 T, yakni : Ta’aruf, Tafahum, Ta’awun, Tasyawur, Tawazun, Tatsamuh,
Tabayyun, Taghyir dan Taqorrub.
Ta’aruf, adalah semangat mengenali secara kaffah
ajaran, prinsip, karakteristik dan tujuan agama yang dianutnya, sekaligus
mengenali agama yang dianut umat lain dengan baik, berikut cara yang ditempuh
mereka dalam beragama. Dari saling mengenal, kemudian penganut agama-agama
dapat saling bertegur sapa, sehingga paling tidak hubungan antar umat beragama
bisa cair dan tidak lagi kaku, bukankah sering dikatakan bila tidak kenal maka
tidak sayang.
Tafahum, setelah saling mengenal ajaran, prinsip dan
karakteristik masing-masing agama, maka para pemeluk agama dapat memetakan
kelebihan dan kelemahan masing-masing. Disini para penganut agama, kendati
tidak bisa saling membenarkan, tetapi mereka bisa saling memahami,
sehingga masing-masing dapat berbagi
mana hal-hal yang dapat diadopsi untuk kebaikan bersama. Dengan saling
memahami, mereka akan terdorong untuk saling menghargai dan menghormati sebagai
instrumen penting bagi terwujudnya hubungan yang harmonis dan saling
menentramkan
Tasyawur, Para pemeluk agama yang sudah saling mengenal dan
saling memahami dapat meningkatkan relasinya pada musyawarah atau dialog antar
agama. Dialog tersebut dimaksudkan untuk lebih saling mengenal dan saling
menimba pengetahuan baru tentang agama mitra dialog. Dengan musyawarah
agama-agama, para penganut agama-agama dapat memperkaya wawasan dalam rangka
mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan toleransi dan hidup
rukun dalam suatu masyarakat. Disini para penganut agama-agama dapat
meningkatkan toleransi dari saling menghakimi, menjadi memahami, dan kemudian
saling mengalami. Pada tingkat paling tinggi, mereka menikmati kehadiran orang
lain dengan lapang dada,” Tentu saja dalam prinsip musyawarah yang
dibesar-besarkan bukan sisi perbedaannya, tetapi sisi persamaannya (kalimah
sawa’). Sebab perbedaan itu adalah sunnatuloh ? artinya tatkala Tuhan
memerintahkan hambanya untuk berfikir, sementara Tuhan tahu kapasitas fikir
diantara hamba itu beragam, maka pasti antara satu dengan lain akan
menghasilkan produk fikir yang juga beragam.
Tabayyun, hal-hal yang
diberatkan dan disengketakan dalam aktifitas dan gerakan masing-masing agama
dapat dimintakan klarifikasi demi menjaga kometmen membangun hubungan yang
saling menentramkan. Dengan tabayyun maka kesalah fahaman antar pemeluk agama
bisa teratasi, sehingga kebencian, sinisme, dendam akan terlikuidasi. Bukanlah
terlalu sering kesalah fahaman menjadi faktor pemicu kebencian atau bahkan
konflik berkepanjangan.
Ta’awun, Semua agama lebih banyak punya
alasan doktrinal untuk berdamai daripada berseteru hanya karena alasan-alasan
pragmatis dan politis sesaat, karena itu di relung hati yang paling dalam, mereka menyadari bahwa
tantangan keagamaan terbesar saat ini adalah sejauhmana kemampuan agama merespon tantangan dan problematika
yang dihadapi manusia. Ada sejumlah persoalan yang jauh lebih fundamental untuk ditangani bersama, ketimbang menonjol-nonjolkan
perbedaan, yakni masalah kemanusiaan
universal. Maka sudah saatnya para penganut agama mencurahkan semua
potensinya untuk merumuskan hal-hal yang merupakan keprihatinan
kemanusiaan bersama. Disiliah
makna penting tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa seperti pemberantasan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Tatsamuh, Makna toleransi bukanlah mencampuradukkan
keimanan dan ritual agama yang satu dengan agama yang lain, tetapi menghargai eksistensi agama orang
lain. Toleransi merupakan istilah yang
biasa digunakan dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan
perbuatan yang melarang diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda. Dalam
konteks agama, toleransi adalah menghargai dan menghormati keberadaan
agama-agama lainnya. Dalam bahasa Arab, istilah yang lazim dipergunakan sebagai
padanan dari kata toleransi adalah tatsamuh atau samhah, Kata ini
pada dasarnya berarti al-jûd (kemuliaan) atau sa’at al-shadr
(lapang dada) dan tasâhul (ramah, suka memaafkan). Makna ini selanjutnya berkembang
menjadi sikap lapang dada, terbuka (welcome) dalam menghadapi perbedaan
yang bersumber dari kepribadian yang mulia.
Tawazun, Islam inklusif sangat menekankan keseimbangan dalam
segala hal, dalam bidang aqidah, aql dan naql diterapkan secara seimbang, karena keduanya dianggap
sama-sama urgen dalam aqidah Islam. Dalam bidang syari’ah, Islam
iklusif mengajarkan perlakukan seimbang antara
kepentingan dunuiawi dan kepentingan ukhrawi, seimbang antara ketaqwaan
individu spiritual dan ketaqwaan sosial intelektual, seimbang antara proses
pencerahan rasional dengan proses
pembeningan emosional. Dalam bidang akhlaq, Islam iklusif selalu berposisi diantara dua
ujung tathorruf, mereka tidak takabbur (over self confidence) dan tidak tadzallul (terlalu rendah
diri), tidak tathawwur (berani yang sembrono) dan tidak pula jubn
(penakut). Dengan pilar ini sesungguhnya
dapat dimaknai bahwa faham Islam iklusif secara sistematis telah mengembangkan
dengan sungguh-sungguh sebuah cara beragama yang “al-hanifiyyah al-samhah” yaitu cara beragama yang lapang dan terbuka dan toleran
terhadap yang lain.
Taghyir , Dari berbagai pilar diatas, kemudian terjadi
perubahan, baik
pola fikir (Way of thinking), perasaan dan kepekaan (way of felling),
maupun pandangan hidup (way of life) pemeluk agama-agama menjadi lebih
akomudatif. Belajar dari trauma
masa lalu, masyarakat beragama sudah sepantasnya merubah paradigma berpikir
lama (eksklusif) kepada paradigma berpikir baru (inklusif), yaitu
dengan meyakini akan kebenaran agama yang dianut seraya mencoba memahami ajaran
agama orang lain yang juga berpotensi kebenaran yang sama-sama berasal dari
Tuhan (agama samawi), menerima pendapat orang lain (agree and disagreement)
dalam kerangka kerukunan kehidupan antar umat beragama dan istiqomah dalam
menjalankan agama dengan menyerahkan kepada Tuhan, biar Tuhan yang mengadili
siapa di antara kita yang benar dalam beragama.
Meskipun umat Islam
diharuskan meyakini bahwa Islam adalah agama yang paling benar, namun Islam
melarang untuk merendahkan agama lain, apalagi menyakiti atau merendahkan
penganut agama lain. Islam Inklusif memandang bahwa Islam adalah agama terbaik
bagi kaum muslimin, namun mereka juga menyadari bahwa keselamatan di luar agama
Islam adalah merupakan hal yang mungkin, karena itu mereka
bukan saja dekat dengan orang-orang yang sepaham, tetapi juga dengan
pihak-pihak yang tidak sepaham dengan mereka, justru dari pihak yang tidak
sepaham itulah dapat mengenal sudut pandang yang baru.
Taqorrub. Mendekatkan diri kepada Allah swt jalannya tidak tunggal, oleh
karena itu boleh saja seseorang menganggap bahwa jalan yang ditempuhnya adalah
jalan yang benar tetapi jangan serta merta menganggap jalan orang lain sebagai
salah. Perbedaan yang ada hanyalah perbedaan ‘jalan’, sedangkan yang dituju hanyalah satu dan sama yakni :
kedekatan dan keridhaan Allah swt
semata. Pilar ini merupakan pilar utama yang oleh banya ahli disebut Hum qoumun aatsarahumullohu ‘alaa kulli syai’in, komunitas yang mendahulukan Allah diatas segalanya, Hum
qoumun al akhdzu bil haqoiq wal ya’su mim maa fii aidil kholiq, komunitas yang mengambil
hakekat kehidupan dengan membuang segala bentuk kepalsuan yang ada pada selain
Allah. Mereka yang mencapai pilar ini adalah para insan yang telah berhasil
menemukan pemahaman yang sempurna tentang hakekat kehidupan, mereka melampaui
sekat sekat perbedaan, tidak terkungkung oleh segala pernik formalitas, bagi
mereka jalan yang beragam bukanlah yang utama, karena dibalik itu ada yang
lebih utama yaitu Tuhan yang maha esa.
Dengan demikian, untuk inklusifitas secara efektif, seseorang
harus memahami : (1). Prinsip kebebasan beragama. Prinsip ini menyatakan tidak
ada paksaan dalam agama, segala bentuk pemaksaan dalam agama justru melahirkan
iman tidak sejati dan tidak sah. (2). Prinsip toleransi. Yaitu setiap individu
beriman tidak bisa tidak kecuali membiarkan penganut agama lain menyatakan dan
menerapkan keimanannya atau membantunya dalam melaksanakan keimanannya itu.
(3). Prinsip aksiologi, yaitu bahwa tujuan hidup bagi tiap penganut keyakinan
(agama atau spritualitas) adalah membawa kebaikan, mencegah keburukan dan
meyakini Zat Maha Tinggi yang bisa dijadikan rujukan permanen (bench mark)
bagi tiap hubungan antar-agama dan keyakinan. (4). Prinsip kompetensi dalam
kebaikan. Tiap umat beragama berhak sekaligus wajib untuk bersaing secara sehat
dan jujur untuk mengembangkan keyakinannya. Dengan demikian dapat dicegah
bahaya ketidakpedulian (fallacy of indifference) di mana kita membatasi
keseluruhan misi Tuhan kepada Cuma satu bagian dari umat manusia dan bahaya
keangkuhan (fallacy of arrogance) di mana kita menganggap misi kita
sebagai satu-satunya misi ke seluruh umat manusia.
Beberapa aktifis Islam Inklusif menyebutkan pula
bahwa, Islam inklusif setidaknya memiliki tiga pilar uatama, yakni : Pertama, Pilar
Humanitas. Setiap manusia memiliki nilai-nilai kemanusiaan, seperti kebebasan
memilih dan berbuat serta bertanggung jawab atas apa yang dilakukan.
Nilai-nilai ini tidak dapat dimanipulasi dan ditukar dengan nilai apapun.
Nilai-nilai kemanusian harus tetap dikembangkan dengan melalui proses belajar (learning
proses) secara terus-menerus guna mencapai kematangan dan kedewasaan diri.
Kesediaan menerima perbedaan dan menghargai nilai agama, budaya, ras dan etnis
tidak bekembang dengan sendirinya. Apalagi kecenderungan manusia untuk
mengharapkan orang lain seperti diri kita. Apabila sikap saling mempengaruhi
ini tidak diletakkan pada standar serta tidak diimbangi oleh sikap saling
menghormati dan menghargai akan mengakibatkan dampak negatif yang tidak
diinginkan. Dalam prinsip humanitas ini, pengembangan nilai kemenusian pada
dasarnya adalah pemenuhan kodrat kemanusiaan. Sehingga manusia menjadi lebih
bermartabat yang tecermin dari keluhuran
akal-budi dan moralnya yang membedakan dengan makhluk lainya.
Kedua, Pilar
Unitas. Kemajemukan
dan keanekaragaman agama, etnis, ras, dan budaya mengisyaratkan perlunya
kerjasama antar semua komponen. Keanekaragaman dan perbedaan dalam masyarakat
tidak mengharuskan terpecah-belah. Kemajemukan itu justru dilihat sebagai
potensi kekayaan yang akan menjadi modal utama terwujudnya harmoni. Prinsip ini
menegaskan bahwa keanekaragaman itu
penting dalam rangka saling memperkaya untuk menciptakan iklim kerja sama dalam segala sektor kehidupan yang
menunjang kemajuan bersama.
Ketiga, Pilar Kontekstualitas. Pentingnya kesadaran
akan keberagaman tidak akan berjalan sebagaimana fungsinya atau bahkan tidak akan
mendapatkan hasil positif jika tidak ditempatkan pada konteks yang relevan.
Untuk mendapatkan suatu iklim yang kondusif dan dapat bekerja sama dengan baik
maka keberagaman musti dijadikan basic of value system tersendiri oleh
penganut agama sesuai konsensus yang berlaku. Dalam konteks internal truth
claim bisa dipandang perlu, akan tetapi dalam konteks ekternal hal itu
tidak diperlukan. karena yang diperlukan dalam kaitan dengan masyarakat yang
beragam adalah mencari persamaan bukan pada perbedaan. disinilah perlunya
mencari esensi dari nilai-nilai agama dalam wilayah konseptual maupun praksis
sosialnya.
Abdurahman
Nahlawi menyebutkan bahwa prinsip Islam
inkluisf meliputi : penanaman kesadaran akan pentingnya hidup bersama dalam
keragaman dan perbedaan agama yang ada, penanaman semangat relasi antar manusia
dengan spirit kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami,
menghargai perbedaan dan keunikan agama-agama, serta menerima
perbedaan-perbedaan dengan pikiran terbuka demi mengatasi konflik untuk
terciptanya perdamaian umat manusia.
Islam Iklusif adalah proses transformasi dan
internalisasi nilai-nilai dasar dan ideal ajaran Islam yang berusaha
mengaksentuasikan aspek-aspek perbedaan dan disparitas kemanusiaan dalam
konteksnya yang luas sebagai suatu sunnatulloh yang mesti diterima
dengan penuh kearifan dan lapang dada di
tengah kenyataan kemanusiaan yang plural dalam segala dimensinya guna
mewujudkan tatanan kehidupan yang berkeadilan. Hal ini merupakan usaha
komprehensif dalam mencegah terjadinya konflik antar agama, mencegah terjadinya
radikalisme agama, sekaligus pada saat yang sama memupuk terwujudnya sikap yang
apresiatif terhadap pluralitas dalam dimensi dan perspektif apapun, karena
Islim inklusif memiliki visi dan misi untuk mewujudkan agama pada sisi yang
lebih santun, dialogis, apresiatif dan peduli terhadap persoalan hidup umat
manusia yang komunal transformatif #.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar