Senin, 16 Juni 2014

JALAN DAMAI BERBASIS PENDIDIKAN



Ust.Hefni Zain

Pengantar
Salah satu isu penting yang mengemuka akhir-akhir ini adalah  bahwa pendidikan belum berhasil membangun manusia yang memiliki semangat kebersamaan dan menghargai keragaman. Banyaknya lulusan lembaga pendidikan yang hanya memiliki kecerdasan tetapi bermental lemah dan bermoral rendah adalah sederet fakta yang menunjukkan bahwa pembentukan manusia yang berkarakter masih jauh dari harapan. Belum lagi maraknya dekadensi moral seperti kekerasan, tawuran, eksklusifisme, lemahnya toleransi dan erosi semangat saling menghargai antar suku, etnis, ras, dan antar pemeluk agama, kiranya semakin menguatkan gagalnya pendidikan yang selama ini dijalankan. Dalam konteks inilah pendidikan berbasis keragaman menjadi urgen dan mendesak dikembangkan.
Pendidikan keragaman yang dimaksud disini adalah sebuah model pendidikan yang fokus pada pentingnya penghormatan terhadap keragaman dan pengakuan kesederajatan paedagogis terhadap semua orang (equal for all), serta penghapusan berbagai bentuk diskriminasi demi membangun kehidupan masyarakat yang adil sehingga terwujud suasana toleran, demokratis, humanis, inklusif, tenteram dan sinergis tanpa melihat latar belakang kehidupannya, apapun etnik, status sosial, agama dan jenis kelaminnya. Pendidikan keragaman yang populer disebut multikultural adalah proses penanaman sejumlah nilai keragaman yang relevan agar peserta didik dapat hidup berdampingan secara damai dan harmonis dalam realitas kemajemukan dan berperilaku positif, sehingga dapat mengelola kemajemukan menjadi kekuatan untuk mencapai kemajuan, tanpa mengaburkan nilai-nilai agama, identitas diri dan budaya
Model pendidikan semacam ini menjadi penting dikembangkan mengingat beberapa konsederan; Pertama, secara kodrati, manusia diciptakan Tuhan dalam keragaman budaya, dan oleh karenanya pembangunan manusia harus memperhatikan keragaman budaya tersebut menjdi niscaya. Kedua, ditengarai terjadinya konflik sosial bernuansa SARA (suku, agama, dan ras) yang bertubi-tubi melanda negeri ini kecuali berkaitan erat dengan lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep kearifan budaya, juga terkait dengan gagalnya pendidikan menanamkan semangat kesetiakawanan sosial, menerima dan menghargai perbedaan, menyayangi sesama, dan pengasahan kepekaan sosial. Ketiga, pengembangan pendidikan keragaman dimaksudkan sebagai langkah preventif agar berbagai bentuk konflik SARA tidak terulang lagi di masa yang akan datang.
Dengan pendidikan keragaman diharapkan dapat membantu peserta didik mengerti, menerima, dan menghargai orang dari suku, budaya, nilai, dan agama berbeda. Atau dengan kata yang lain, peserta didik diajak untuk menghargai -bahkan menjunjung tinggi- multikulturalitas, pluralitas dan heterogenitas, sebab dalam paradigma pendidikan keragaman setiap individu diarahkan untuk belajar bersama dengan individu lain dalam suasana saling menghormati, saling toleransi dan saling memahami. Pengembangan pendidikan keragaman dipandang relevan, baik dengan ajaran Islam maupun dengan entitas keberadaan masyarakat Indonesia yang multikultur. Dalam konteks ini, pendidikan keragaman diharapkan dapat menjadi  salah satu pilar penyangga bagi kerukunan umat yang beragam sehingga berfungsi sebagai fondasi integritas nasional yang kokoh dan pengayom keragaman yang hakiki.
Nilai-nilai keragaman sangat compatible dengan prinsip-prinsip Islam. Bagi Islam, keragaman merupakan desain Tuhan (sunnatulloh), dan Allah sendiri yang akan menjelaskan -di hari akhir-, mengapa manusia berbeda-beda, termasuk  dalam jalan beragama. Dalam Qs 5: 48 disebutkan “untuk masing-masing umat manusia, telah Kami berikan aturan (hukum)  dan jalan (manhaj) yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat saja (seragam/monolitik)), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberiannya kepadamu (keragaman), Maka berlomba-lombalah kalian berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah tempat kembali kalian semuanya, lalu dijelaskannya kepada kalian tentang hal yang pernah kalian perselisihkan itu”. Dalam Qs.10:99, Allah swt juga menegaskan” Jika Tuhanmu menghendaki, maka tentu manusia yang ada di muka bumi ini akan beriman semua. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia, di luar kesediaan mereka sendiri?
Melalui jalur pendidikan, pembinaan kerukunan hidup beragama dapat dilakukan secara dini. Pembinaan kerukunan hidup beragama yang dimaksud adalah upaya yang direncanakan secara sadar, terencana, terarah, sistimatis dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kerukunan hidup beragama dengan cara : Menanamkan pengertian akan nilai dan kehidupan bermasyarakat yang mampu mendukung kerukunan hidup beragama. Mengusahakan lingkungan dan keadaan yang dapat menunjang sikap dan tingkah laku yang mengarah pada kerukunan hidup beragama.  Menumbuh kembangkan sikap  dan tingkah laku yang mewujudkan kerukunan hidup bersama.
Jalan damai melalui pintu pendidikan sangat mungkin dilakukan, sebab melalui pendidikan memungkinkan untuk ‘meramahkan’ teologi agama-agama yang selama ini cenderung ditampilkan secara eklusif dan dogmatis. Sebuah teologi yang biasanya hanya mengklaim bahwa hanya agamanya yang bisa membangun kesejahteraan duniawi dan mengantar manusia dalam surga Tuhan. Pintu dan kamar surga itu pun hanya satu yang tidak bisa dibuka dan dimasuki kecuali dengan agama yang dipeluknya. Padahal berteologi semacam itu dianggap kurang kondusif bagi upaya membangun harmonisasi masyarakat dimana agama-agama dituntut untuk dapat saling menaggung nasib secara bersama-sama demi terciptanya perdamaian sejati.
Disinilah letak ‘tantangan’ bagi agama untuk kembali mendefenisikan dirinya ditengah agama-agama lain. Atau dengan meminjam bahasanya John Lyden, “what should one think about religions other than one’s own? Apa yang harus dipikirkan oleh seorang penganut agama terhadap penganut agama lain. Apakah masih dianggap sebagai musuh atau sebagai sahabat, bukankah kita adalah spesies yang sama sebagai sesama mahluk Tuhan yang lahir dari Adam dan Hawa. Sekali lagi pada titik ini, jalur pendidikan dianggap strategis sebagai media penyadaran umat akan perlunya membangun teologi inklusif dan pluralis.
 
Implementasi  Pendidikan Keragaman
Pengembangan pendidikan berwawasan keragaman dapat diterapkan pada beberapa aspek dan strategi, antara lain melalui muatan (kurikulum), orintasi pendidik, orientasi siswa dan orientasi reformasi unit pendidikan. Pada pengembangan yang berorientasi pada muatan kurikulum, dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan: pertama, pendekatan kontributif, dimana tujuan utama pendekatan ini adalah memasukkan materi-materi tentang keragaman kelompok keagamaan (termasuk kelompok etnik dan kultur masyarakat). Kedua, pendekatan aditif, yaitu melakukan penambahan muatan-muatan berupa konsep-konsep baru ke dalam kurikulum tanpa mengubah struktur dasarnya.
Dalam rangka mewujudkan pemahaman terbuka yang menganggap orang lain sebagai ‘partner’ dalam menuju Tuhan, pemeluk agama disamping harus menampilkan teologi inklusif dan ramah, mereka juga harus memasuki dialog antaragama dengan mencoba memahami cara baru yang mendalam mengenai bagaimana Tuhan mempunyai jalan ‘penyelamatan’. Dalam konteks ini, pendidikan harus memuat kurikulum berbasis keragaman sehingga pendidikan yang diberikan kepada peserta didik tidak menciptakan suatu pemahaman tunggal, melainkan kurikulum yang mendorong terwujudnya manusia demokratis, pluralis dan menekankan penghayatan hidup serta refleksi untuk menjadi manusia yang utuh. Disini diperlukan kurikulum yang memuat materi kemajemukan seperti; toleransi, aqidah inklusif, fiqih muqaranah, perbandingan agama, bahaya diskriminasi, perbedaan ethno-kultural serta tema-tema lain yang relevan. Intinya kurikulum keragaman adalah kurikulum yang mampu menghantarkan peserta didik untuk melakukan dialog antaragama dan mampu memasuki persoalan-persoalan teologis dan melibatkan iman. Karena dialog yang sejati mustahil dilakukan tanpa memasuki persoalan-persoalan teologis dan melibatkan iman. Sehingga pada akhirnya setiap umat beragama akan mampu melintas (passing over) dari satu budaya kepada budaya lain, dari satu cara hidup kepada cara hidup lain, dari satu agama kepada agama lain.
Demikian juga, untuk membangun pendidikan atau pembelajaran pendididkan berwawasan multicultural-inklusif, para pendidik harus mempunyai  intergritas dan moralitas yang tinggi sebagai bagian integral dari keperibadiannya. Dalam konteks ini, pendidik mesti memiliki pengertian yang mendalam dan felling yang tinggi dalam menganalisa isu-isu dinamika keragaman yang berkembang di masyarakat, kemudian membantu siswanya memiliki kesadaran akan pentingnya memahami keragaman budaya yang hidup dan berkembang di masyarakat, termasuk bidang keagamaan, kesukuan dan keragaman lainnya. Dengan demikian, perlu proses penyadaran di antara masing-masing budaya lokal untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman identitas budaya yang dibalut dengan kerukunan dan perdamaian.
Pada aspek orientasi siswa, yang urgen dikembangkan adalah penanaman sikap non-etnosentris sehingga kebencian dan konflik akan dapat dihindarkan secara dini. Pengembangan aspek ini bertujuan membangun kesadaran yang tidak bersifat mengunggulkan diri dan kelompoknya sebagai yang paling unggul dengan mengalahkan yang lain. Kesadaran ini penting untuk ditumbuh kembangkan sebagai jembatan di dalam memahami agama dan budaya lain yang diharapkan akan tumbuh pemahaman yang mutualistis serta empati keragaman agama dan budaya di masyarakat. Sedangkan pada orientasi  reformasi unit pendidikan, setiap unit pendidikan dapat menerapkan peraturan lembaga yang di dalamnya mencakup poin tentang larangan segala bentuk diskriminasi sehingga semua anggota di unit pendidikan dapat selalu belajar untuk saling menghargai orang lain yang berbeda. Itu semua harus dicontohkan melalui prilaku kongkrit oleh seluruh komunitas yang terdapat di lembaga tersebut.
Pengembangan pendidikan berwawasan keragaman bisa juga menggunakan pendekatan estetik. Dengan pendekatan ini peserta didik diharapkan memiliki sifat-sifat yang santun, damai, ramah, dan mencintai keindahan. Dalam pendekatan ini, -agama misalnya- tidak hanya didekati secara doktrinal yang cenderung menekankan adanya “otoritas-otoritas” kebenaran agama, tetapi lebih apresiatif terhadap gejala-gejala yang terjadi di masyarakat serta dilihat sebagai bagian dari dinamika hidup yang bernilai estetis. Pendekatan lain yang juga dapat diupayakan di dalam pendidikan keragaman adalah pendekatan sosiologis, yaitu pendekatan yang meletakkan hakikat pendidikan kepada keperluan hidup bersama di dalam masyarakat. Titik tolak pandangan ini memprioritaskan kepada kebutuhan masyarakat, dan bukan kepada kebutuhan individu. Pendekatan ini mengutamakan kebersamaan, kerjasama, dan keragaman masyarakat tanpa dominasi dan diskriminasi.
Dengan pendekatan ini, pendidikan dapat memanfaatkan muatan-muatan khas keragaaman untuk memperkaya materi ajar, konsep-konsep tentang harmoni kehidupan bersama antar umat beragama yang akan memberi nuansa untuk mencairkan kebekuan “state of mind” (pemikiran) para pelaku pendidikan dalam merespons eksistensi agama-agama lain, serta tema-tema tentang toleransi, ko-eksistensi, pro-eksistensi, kerjasama, saling menghargai dan memahami. Prof Muhaimin menyebutkan rancang bangun untuk pendidikan berwawasan multikultural sedikitnya berdasarkan susunan piranti: reformasi kurikulum, pengajaran prinsip-prinsip keadilan sosial, pengembangan kompetensi multikultural, dan pelaksanaan pendidikan kesetaraan.

Prinsip  Pendidikan Keragaman
Dalam perspektif pendidikan keragaman, konflik kemanusiaan selalu disebabkan oleh sikap ekskluisifisme dan fanatisme yang berlebihan. Oleh karena itu pendidikan keragaman membagun  prinsip-prinsip yang berbasis antitesa terhadap faktor penyebab konflik,  prinsip-prinsip tersebut antara lain: humanitas, unitas dan kontekstualitas.
1. Prinsip Humanitas.
Manusia memiliki nilai-nilai kemanusiaan, seperti kebebasan memilih dan berbuat serta bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan. Nilai-nilai ini tidak dapat dimanipulasi dan ditukar dengan nilai apapun. Nilai-nilai kemanusian harus tetap dikembangkan dengan melalui proses belajar (learning proses) secara terus-menerus guna mencapai kematangan dan kedewasaan diri. Kesediaan menerima perbedaan dan menghargai nilai budaya, agama, ras, dan etnis tidak bekembang dengan sendirinya. Apalagi kecenderungan manusia untuk mengahapkan orang lain seperti diri kita. Apabila sikap saling mempengaruhi ini tidak diletakkan pada standar serta tidak diimbangi oleh sikap saling menghormati dan menghargai akan mengakibatkan dampak negatif yang tidak diinginkan. Dalam prinsip humanitas ini ditegaskan bahwa pengembangan nilai kemenusian pada dasarnya adalah pemenuhan kodrat kemanusiaan. Sehingga manusia menjadi lebih bermartabat yang  tecermin dari keluhuran akal-budi dan moralnya yang membedakan dengan makhluk yang lainya.
2.  Prinsip Unitas
Kemajemukan dan keanekaragaman agama, etnis, ras, dan budaya mengisyaratkan perlunya kerjasama antar semua komponen. Keanekaragaman dan perbedaan dalam masyarakat tidak mengharuskan terpecah-belah. Kemajemukan itu justru dilihat sebagai potensi kekayaan yang aka menjadi modal utama untuk menghalau arus globalisasi yang akan mengikis kebudayaan lokal. Prinsip ini menegaskan bahwa  keanekaragaman itu penting dalam rangka saling memperkaya untuk menciptakan iklim kerja sama dalam segala sektor kehidupan yang menunjang kemajuan nasional.
3. Prinsip Kontekstualitas
Kesadaran multikultural mengisyaratkan akan perlunya pemahaman secara khusus berdasarkan nilai kultur. Pentingnya akan kesadaran multikultural ini tidak akan mendapatkan respon yang positif dan berjalan sebagaiman fungsinya jika tidak ditempatkan pada kontek budaya masyarakat setempat. Untuk mendapatkan suatu iklim yang kondusif dan dapat bekerja sama dengan baik maka multikulturalisme harus dijadikan sebagai basic of value system tersendiri oleh masyarakat sesuai dengan konsensus yang berlaku.
Amin Abdulloh menyebutkan prinsip utama yang terdapat dalam pendidikan multikultural atau pendidikan berwawasan keragaman meliputi : kesadaran akan pentingnya hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan kultur serta agama yang ada, penanaman semangat relasi antar manusia dengan spirit kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami, menghargai perbedaan dan keunikan agama-agama, serta menerima perbedaan-perbedaan dengan pikiran terbuka demi mengatasi konflik untuk terciptanya perdamaian dan kedamaian.. Dari prinsip-prinsip ini, secara operasional dinyatakan maksud pendidikan keragaman adalah untuk mencegah terjadinya konflik antar agama, mencegah terjadinya radikalisme agama, sekaligus pada saat yang sama memupuk terwujudnya sikap yang apresiatif positif terhadap pluralitas dalam dimensi dan perspektif apapun, karena pendidikan agama berwawasan multikultural pluralistic memiliki visi dan misi untuk mewujudkan agama pada sisi yang lebih santun, dialogis, apresiatif terhadap pluralitas dan peduli terhadap persoalan hidup yang komunal transformatif.
Pendidikan keragaman adalah model pendidikan yang menekankan untuk membuka visi pada cakrawala yang lebih luas serta mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama,  sehingga mampu melihat ‘kemanusiaan’ sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Muaranya adalah terbangunnya nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas. Pendidikan keragaman adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan untuk menggunakan dan mengelola perbedaan-perbedaan kultur yang ada di masyarakat menyangkut etnis, agama, bahasa, gender, ras, kelas sosial, usia, dan sebagainya menjadi sesuatu yang lebih potensial dan memudahkan dalam konteks pendidikan. Pendidikan keragaman juga berupaya melatih dan membangun karakter peserta didik agar memiliki sikap demokratis, humanis, dan pluralis dalam lingkungannya. Dalam hal ini, pendidikan Islam dianggap sebagai media paling efektif untuk melahirkan generasi yang berpandangan positif dan apresiatif menyikapi perbedaan.
Pendidikan keragaman adalah pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, agama (aliran kepercayaan) dan budaya. di dalam pendidikan keragaman terkait erat dengan masalah-masalah keadilan sosial, demokrasi dan hak asasi manusia. Para pakar pendidikan mengidentifikasi tiga prinsip yang menjadi dasar dalam pendidikan keragaman yakni : Pertama  apresiasi terhadap adanya realitas pluralitas budaya dalam masyarakat, kedua, Pengakuan terhadap kesetaraan harkat dan hak asasi manusia,  dan  ketiga, Pengembangan masyarakat dunia. Prinsip-prinsip diatas relevan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan Islam berupa : (1) Al-Ukhuwah, Persaudaraan (2) Al-Hurriyah, Kebebasan (3) Al-Musawah, Kesetaraan, dan (4) Al-Adalah, Keadilan.
Nilai-nilai Pendidikan Keragaman
Abdulloh Aly, merinci nilai-nilai yang terdapat dalam pendidikan keragaman atau multikultural adalah : (1) semangat demokratisasi, kesetaraan dan keadilan, (2) semangat kemanusiaan, kebersamaan dan kedamaian, (3) sikap mengakui, menerima dan menghargai keragaman. Dengan nilai-nilai tersebut dalam pendidikan keragaman peserta didik diarahkan untuk : (1) Belajar hidup dalam perbedaan, (2) Membangun saling percaya, (3) Memelihara saling pengertian (mutual understanding), (4) Menjunjung sikap saling menghargai (mutual respect), dan (5) semangat  rekonsiliasi.
Pendidikan keragaman oleh banyak pakar dianggap memiliki basis-basis doktrinal yang bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Basis doktrinal ini menjadi nilai yang melekat pada pendidikan keragaman. Dalam hal ini setidaknya terdapat tiga nilai utama yang mencirikan pendidikan keragaman versi Islam, yakni :.
Pertama, berorientasi pada prinsip-prinsip keadilan, demokrasi, dan kesetaraan. Basis-basis doktrinal yang mendukung prinsip-prinsip ini dapat ditemukan dalam al-Qur’an surat as-Syura, al-Hadid, dan al-A’raf. Para intelektual muslim mengakui bahwa ayat-ayat suci dalam al-Qur’an menyediakan basis moral dan etika yang mendukung prinsip keadilan, demokrasi, dan kesetaraan. Antara seorang muslim dengan muslim lainnya maupun seorang muslim dengan non-muslim, harus diperlakukan secara adil. Al-Qur’an mengajarkan model interaksi sosial yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan ini. Prinsip keadilan dalam berinteraksi sesama manusia ini dipraktekkan oleh Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Dalam satu kesempatan Rasulullah saw. bersabda: “tidak ada keutamaan orang Arab atas orang bukan Arab, tidak ada keutamaan orang bukan Arab atas orang Arab, kecuali karena taqwanya.” (HR. Imam Ahmad).
Al-Qur’an maupun as-Sunnah melarang rasisme maupun dominasi kebenaran oleh satu etnik terhadap etnik lainnya. Dalam Islam, perbedaan umat manusia berdasarkan unsur kebudayaan, adat-istiadat, dan warna kulit dianggap sesuatu yang tidak penting. Islam menegaskan bahwa manusia sama di hadapan Tuhan dan hukum. Karenanya, multikulturalisme dijunjung tinggi dalam doktrin-doktrin Islam. Menjadi tidak relevan apabila pendidikan Islam menyimpang dari spirit multikulturalisme yang didukung sepenunya oleh doktrin Islam sendiri.
Dengan menempatkan semua manusia pada derajat yang sama, otomatis islam hendak memberikan ruang dan kesempatan yang sama semua manusia. Semua manusia berhak eksis dengan keragaman budaya, adat, dan keyakinan masing-masing. Nuansa demokratis dalam berkehidupan, berbangsa, dan bernegara menjadi ajaran yang sangat inheren dengan Islam. Rasulullah saw. bersama para sahabatnya telah membangung Negara Madinah yang demokratis, sebagai simbol yang harus dipahami oleh umat muslim generasi penerus. Dalam pasal-pasal Piagam Madinah, misalnya, ditemukan spirit-spirit demokrasi mengental. Perhatikan pasal 16 dan 46 berikut: “dan bahwa orang Yahudi yang mengikuti kami akan memperoleh hak perlindungan dan hak persamaan tanpa ada penganiayaan dan tidak ada orang yang membantu musuh mereka.” (pasal 16) “dan bahwa Yahudi al-Aus, sekutu mereka dan diri (jiwa) mereka memperoleh hak seperti apa yang terdapat bagi pemilik shahifat ini serta memperoleh perlakuan yang baik dari pemilik shahifat ini.” (pasal 46).
Kedua, Menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme, kedamaian dan kebersamaan. Islam memahami manusia sebagai makhluk yang memiliki dua dimensi; dimensi spiritual dan dimensi sosial. Dalam konteksnya sebagai makhluk yang berdimensi spiritual, manusia memiliki relasi khusus antara dirinya dengan Tuhannya (habl min Allah). Sedangkan dalam konteksnya sebagai makhluk yang berdimensi sosial, manusia memiliki relasi dan hukum-hukum berinteraksi antar sesamanya (habl min al-nas). Pada level habl min al-nas inilah, manusia harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian. Manusia harus tunduk di bawah hukum Allah yang dikenal sebagai “hukum kesatuan kemanusiaan (the unity of humankind)”.
Dua dimensi kemanusiaan manusia di atas meniscayakan kewajiban bersama untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Kebersamaan dan perdamaian, misalnya, tidak akan terwujud apabila manusia lebih mengedepankan egoisme yang melahirkan perang. Di sisi lain, egoisme dan perang berbenturan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang menghormati perdamaian dan kebersamaan. Karenanya, dalam hidup ini terdapat lima point penting yang harus dijaga, yaitu: pemeliharaan kehidupan manusia sebagai tolok ukur utama, pemeliharaan akal manusia, perjuangan untuk kebenaran pengetahuan, menjunjung tinggi harkat manusia dan kehormatan masyarakat, dan pemeliharaan kesejahteraan individu dan kelompok.
Kebersamaan dan perdamaian tidak mungkin mewujud tanpa disertai kehendak terdalam manusia untuk hidup rukun, tolong menolong, dan menghargai perbedaan demi mewujudkan integrasi. Solusi-solusi semacam ini tergambar dalam konsep saling mengenal (ta’aruf) dan tolong-menolong (ta’awun) yang digemakan oleh Islam. Kedua konsep ini diabadikan dengan jelas oleh al-Qur’an dalam surat al-Hujurat dan al-Maidah. Dorongan al-Qur’an untuk tolong-menolong dan menghindari konflik berdarah, tak lain bertujuan untuk menciptakan kerukunan, kedamaian, harmonisme, dan keberlangsungan hidup yang tidak disertai perang dan pembunuhan.
Ketiga, konsisten mengembangkan sikap-sikap sosial yang positif:  mengakui, menerima, dan menghargai keragaman. Multikultur yang berarti keragaman budaya, tidak mungkin tetap eksis apabila manusia bersikap ekslusif terhadap keragaman itu sendiri. Kesadaran keragaman tidak mungkin diinternalisasikan oleh manusia yang berjiwa tertutup. Karenanya, pendidikan keragaman berjuang keras membuka “jeruji-jeruji” besi yang memenjarakan kesadaran kognitif manusia di ruangan yang begitu sempit. Ekslufisme dan egoisme merupakan jeruji-jeruji besi yang mengkerangkeng kesadaran manusia untuk bersikap terbuka, menerima, dan menghargai yang lain (the others).
Ekslufisme dan egoisme dapat menghancurkan upaya-upaya menciptakan tatanan sosial yang harmonis dalam masyarakat yang majemuk. Tanpa adanya sikap pengakuan, penerimaan terhadap the others, dan penghargaan (respectfull) terhadap keragamaan maka hubungan sosial yang harmonis mustahil dibangun di tengah-tengah masyarakat yang plural dan multikultur. Bagaimana mungkin totalitas-keseluruhan terbentuk sementara bagian-bagian terkecil sebagai unsur-unsur penyusunnya saling bercerai-berai? Bagaimana mungkin masyarakat majemuk dapat hidup rukun dan damai sementara satu sama lain tidak ada sikap saling menerima, saling menghargai, dan saling mengakui?  
Dalam upaya mewujudkan kehidupan damai, harmonis, toleran dan saling menghargai perbedaan, pendidikan keragaman membutuhkan dialogical consensus yang memuat paling tidak tiga hal penting, yaitu  negosiasi, kompromi dan konsensus Implikasi positif dari ketiganya adalah lahirnya perasaan empati dan simpati terhadap sesama manusia tanpa membedakan gender, agama, hak minoritas dengan mayoritas. Semuanya harus dapat berekspresi sebagai wujud kehidupan masyarakat dan budaya yang multikultural dan multireligius.

Dari Pendidikan Keragaman Menuju Jalan Damai
Pendidikan keragaman sebenarnya merupakan sikap peduli terhadap perbedaan dan keragaman, atau “politics of recognition” politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas. Sikap ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang ‘ethnic studies” untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari semangat ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadventaged.
Dengan demikian, paradigma pendidikan keragaman diharapkan dapat menghapus streotipe, sikap dan pandangan egoistik, individualistik dan eksklusif di kalangan peserta didik. Sebaliknya, mereka selalu dikondisikan kearah tumbuhnya pandangan komprehensif terhadap sesama, yaitu sebuah pandangan yang mengakui bahwa keberadaan dirinya tidak bisa dipisahkan atau terintegrasi dengan lingkungan sekeliling yang realitasnya terdiri atas pluralitas etnis, rasionalisme, agama dan budaya.
Pendidikan keragaman merupakan model pendidikan yang berprinsip pada demokrasi, kesetaraan dan keadilan, berorientasi pada kemanusiaan, kebersamaan dan kedamaian, dan mengembangkan sikap mengakui, menerima dan menghargai keragaman budaya. Tujuan utamanya adalah untuk menanamkan sikap simpatik, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Pendidikan keragaman bertujuan mewujudkan sebuah komunitas yang kuat, maju, adil, makmur, dan sejahtera tanpa perbedaan etnik, ras, agama, dan budaya. Misi pendidikan keragaman adalah terwujudnya  penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia dari manapun datangnya dan berbudaya apapun, harapannya agar dapat tercapai kedamaian sejati, keamanan yang tidak dihantui kecemasan dan kebahagiaan tanpa rekayasa.
Pendidikan keragaman yang bercita-cita ideal mewujudkan perdamaian, keadilan, persaudaraan sosial, anti konflik dan diskriminatif  menemukan dasar-dasarnya pada beberapa pesan teks suci, diantaranya: (1)  Qs. Al-Hujurat: 13 yang menegaskan bahwa diciptakannya manusia yang beragam, baik jenis, bangsa dan suku adalah dimaksudkan untuk saling mengenal, saling memahami, saling berinteraksi dan bekerja sama “ (2)  Qs. Al-Baqarah : 256,  yang menyebutkan tidak ada paksaan dalam agama karena jalan lurus dan benar telah dapat dibedakan dengan jelas dari jalan salah dan sesat. Terserah manusia memilih jalan yang dikehendakinya. Telah dijelaskan mana jalan benar yang akan membawa kepada kesengsaraan. Manusia merdeka memilih jalan yang dikehendakinya. Kemerdekaan ini diperkuat oleh (3) Qs.Al-Kafirun : 6 surah yang menyatakan: Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Dan yang paling central adalah (4) Qs. Al-Mu’miunun: yang menegaskan bahwa sesungguhnya manusia adalah umat yang satu meskipun berbeda-beda. Dari titik ini terbangun kesadaran bahwa  “satu Tuhan, banyak agama” merupakan fakta dan realitas yang  tak terbantahkan”.
Implikasi dari keyakinan bahwa seluruh manusia berasal dari sumber yang satu yaitu Tuhan, berarti manusia seluruhnya adalah makhluk Tuhan. Dengan demikian seluruh manusia adalah ber­saudara karena sama-sama makhluk Tuhan. Adanya persamaan keya­kin­an sama-sama makhluk Tuhan dan rasa persaudaraan tersebut menjadi landasan utama dalam toleransi menuju jalan damai. Pandangan ini membawa pada ke­simpulan bahwa seluruh jagad raya (universe) termasuk di dalamnya seluruh umat manusia apapun bangsa dan bahasanya adalah merupa­kan makhluk Tuhan juga, meskipun agama dan keyakinannya ber­beda.

Catatan Penutup
Pendidikan keragaman dapat dijadikan embrio bagi berkembangnya sikap menghargai keragaman budaya, agama, suku dan ras yang dikemas melalui kesadaran dan penghormatan yang tinggi terhadap segala perbedaan demi terwujudnya tatanan masyarakat humanis dan inklusif, sebab elan vital yang menjadi dasar pendidikan keragaman adalah apresiasi terhadap adanya realitas pluralitas budaya dalam masyarakat dan pengakuan terhadap kesetaraan harkat dan hak asasi manusia. Pendidikan keragaman atau yang lebih populer dengan sebutan pendidikan multikultural berperan penting dalam mewujudkan harmonisasi masyarakat plural,  sebab hakekat model pendidikan ini dapat membangun sikap, etos dan  pandangan dunia peserta didik yang egaliter dalam mewujudkan horizon kehidupan yang dilandaskan atas prinsip saling menghargai keberadaan yang lain dan  hidup berdampingan secara damai.
Pesan al-Quran bahwa Allah adalah salam dan sumber kedamaian bermakna bahwa kedamaian Tuhan melingkupi seluruh ciptaan-Nya dan mencakup semua dimensi kehidupan. Ini bermakna bahwa kedamaian bukan hanya manifestasi dari penghayatan nilai Ilahiyah dan ketenangan pribadi tetapi juga merupakan rangkaian sebab-akibat dari kedua dimensi damai ini. Upaya mewujudkan perdamaian tentu bukan pekerjaan mudah, diperlukan ongkos yang tidak murah dan proses yang tidak sederhana. Tetapi ini tidak berarti upaya tersebut tidak mungkin dilakukan terutama oleh orang yang mampu memahami dan mengikuti patronase ajaran Tuhan dan sunnatullah yang sarat dengan nilai kasih sayang dan kebersamaan dalam segala aspek kehidupan.
Dengan pendidikan berwawasan keragaman, akan terwujud equal for all, dimana semua orang memperoleh kesetaraan dan kesederajatan, sebab inti dari model pendidikan ini adalah keyakinan bahwa umat manusia adalah umat yang satu kendati beranekawarna. Dengan demikian seluruh manusia adalah ber­saudara karena sama-sama makhluk Tuhan. Adanya persamaan keya­kin­an sama-sama makhluk Tuhan dan rasa persaudaraan tersebut menjadi landasan utama dalam toleransi menuju jalan damai #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar