Selasa, 03 Juni 2014

INTELEKTUAL ISLAM : ANTARA ROMANTISISME & FUTURITISME



Oleh Ust. Hefni Zain
 Pendahuluan
Abad ke-7 Masehi, daratan Eropa, tepatnya Inggris Anglo Saxon masih berupa negeri tandus, terisolir, kumuh, dan liar. Rumah-rumah dibangun dengan batu kasar tanpa dipahat dan diperkuat dengan tanah halus. Rumah-rumahnya dibangun di dataran rendah, berpintu sempit, tidak terkunci kokoh, dan dinding tidak berjendela. Wabah penyakit menimpa binatang ternak yang menjadi sumber penghidupan satu-satunya. Tempat kediaman manusia dan hewan hampir tidak jauh berbeda. Kepala suku tinggal bersama keluarga dengan satu ruangan dan api unggun di tengahnya. Pemilik rumah beranjak ke biliknya pada sore hari setelah makan. Meja dan perkakas kemudian diangkat. Semua penghuni rumah tidur di atas tanah atau bangku panjang. Senjata disiapkan di dekat mereka untuk menghadapi pencuri yang pada saat sangat berani dan merupakan hal yang lumrah.
Eropa pada saat itu adalah wilayah tertinggal dan sebagian besar adalah hutan belantara. Tata kota yang edemikian buruknya mengakibatkan masalah serius. Bau busuk akibat kotoran hewan dan manusia sudah menjadi biasa. Wabah penyakit akibat gaya hidup terbelakang menjadi masalah yang tidak ada habisnya. Infrastrukturnya pun tidak jauh beda tertinggalnya. Jalan-jalannya tidak diperkeras, tidak ada penerangan dan tidak terdapat saluran air. Kondisi yang semrawut ini terjadi sampai pada abad 11 M.
Jauh berbeda dengan Eropa waktu itu, Islam telah berkembang dengan kota-kota besar yang well-planned seperti Baghdad, Damaskus, Cordoba, Granada, dan Sevilla. Cordoba misalnya. Kota ini berpenduduk 4 kali jumlah penduduk kota terbesar waktu itu, yakni 1 juta jiwa. Jalan-jalannya terdapat trotoar dan penuh dengan penerangan. Lorong-lorong dan dinding kota dihias indah dengan batu ubin. Kebersihan sangat terjaga dan taman-taman menghiasi tiap sudut kota. Kemudian Baghdad, kota ini sebelumnya merupakan daerah kecil dan sempit. Khalifah Al-Mansur lalu mengubahnya dengan mendatangkan para insinyur, arsitek, dan pakar ilmu ukur menjadi kota yang memiliki perpustakaan terbesar di dunia, Iskandariyah. Menelan biaya 4,8 juta dirham dan 100.000 pekerja, Baghdad membangun dirinya menjadi kota sentral yang penuh dengan nuansa kemajuan teknologi. Sungai Tigris dan Eufrat dimanfaatkan untuk menghidupi rakyatnya dengan membuat 11 cabang anak sungai. Infrastruktur jembatan pun dibangun hingga 30.000 buah untuk Sungai Tigris.
Peradaban ini pun menjadi yang terdepan dalam melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar yang kontribusi nya luar biasa bagi ilmu pengetahuan. Sebut saja Al Khwarizmi, ahli matematika, astronomi, dan geografi, yang merupakan sang penemu aljabar. Ibnu Sina sang Bapak Kedokteran. Al Biruni dkk ahli astronomi yang mencetuskan sistem heliosentris. Jabir Ibn Hayyan sang ahli kimia yang menemukan proses distilasi dan kristalisasi. Ibnu Al haytsam, seorang fisakawan di bidang optika yang menemukan teori bahwa proses melihat adalah jatuhnya cahaya ke mata, bukan karena sorot mata seperti keyakinan pada zaman Aristoteles. Dan masih banyak ilmuwan-ilmuwan muslim lainnya dengan segudang penemuannya.

Intelektual Dalam Peradaban Islam.
Peradaban yang gemilang tersebut adalah buah dari sistem yang cemerlang. Peradaban Islam yang sangat mengutamakan orang berilmu. Waktu itu para pelajar sangat dimuliakan dan diberi pelayanan yang terbaik dengan cuma-cuma. Mereka tidak dipusingkan dengan bea studi, apalagi mencari penghasilan tambahan. Di Madrasah al-Muntashiriah, Baghdad, misalnya, setiap siswanya diberi beasiswa sebesar satu dinar (4,25 gram emas) per bulan. Guru digaji sangat tinggi. Setiap orang yang menghasilkan kitab/publikasi diganjar dengan emas seberat hasil karangannya pada era Harun Al Rasyid.
Perpustakaan terdapat di seluruh kota Besar. Cordoba memiliki perpustakaan yang jumlahnya sekitar 20 dengan koleksi sekitar 400 ribu judul buku. Perpustakaan Darul Hikmah di Cairo memliki 2 juta koleksi buku. Perpustakaan Umum Tripoli di Syam, yang pernah dibakar oleh Pasukan Salib Eropa, mengoleksi lebih dari 3 juta judul buku, termasuk 50 ribu eksemplar al-Quran dan tafsirnya. Jumlah koleksi buku di perpustakaan-perpustakaan ini termasuk yang terbesar pada zaman itu. Bandingkan dengan Perpustakaan Gereja Canterbury yang berdiri empat abad setelahnya, yang dalam catatan Chatolique Encyclopedia, perpustakaan tersebut memiliki tidak lebih dari 2 ribu judul buku saja. Iklim yang terbangun adalah iklim intelektual yang kesehariannya dipenuhi dengan menuntut ilmu dan kegiatan riset. Wajar saja bila ilmuwan-ilmuwan besar lahir pada peradaban ini.
Masa keemasan peradaban Islam sering diindikasikan dengan berbagai kemajuan pada bidang ilmu-ilmu agama (ushuluddin, tafsir, hadits, fiqih dan tasawuf) dan ilmu-ilmu alam atau sains (astronomi, matematika, fisika, kimia, kedokteran dan sebagainya).  Pertanyaan yang kemudian muncul, di mana posisi ilmu-ilmu sosial? Ilmu-ilmu sosial memang berbeda dengan sains maupun ilmu-ilmu agama.  Sementara sains relatif netral dan ilmu-ilmu agama jelas bersumber dari Islam, maka ilmu-ilmu sosial sering tercampur aduk, antara kajian ilmiah dengan pandangan hidup.  Ilmu sejarah atau sosiologi misalnya, sering hanya ditinjau dari sudut pemenang peradaban.
Ilmu Sejarah termasuk yang paling awal dipelajari oleh para sarjana Muslim.  Abu Muhammad Abdul Malik Ibnu Hisyam (wafat 834 M) sudah menulis “Sirah Nabawiyah” (sejarah Rasulullah) sekaligus memulai suatu tradisi ilmu sejarah yang tidak sekadar menceritakan suatu peristiwa dari sudut pandangnya, tetapi juga melengkapinya dengan metode periwayatan, suatu hal yang diadopsinya dari ilmu hadits.  Terobosan Ibnu Hisyam kemudian dilanjutkan sejarawan Muslim yang lain seperti Abul Hasan Ali ibn al-Husayn ibn Ali Al-Mas’udi (wafat 956 M) yang menulis karya agung “Muruj al-Zabab wa Muadin al-Jawhar” (Lahan Emas dan Tambang Mutiara) tentang kajian geografi sosial (termasuk sejarah, sosiologi dan ekonomi) bangsa-bangsa di dunia (dari Mesir, Romawi, Perancis, Persia, hingga India) yang pernah dikunjunginya.
Imam Jalaluddin As-Suyuthi (wafat 903 H / 1498 M) menulis “Tarikhul Khulafa” (sejarah para Khalifah hingga masanya).  Dalam kitabnya itu dia menulis bahwa rujukannya adalah “Tarikh” karya Adz-Dzahabi yang berakhir pada 700 H, lalu “Tarikh” karya Ibnu Katsir yang berakhir pada 738 H, kemudian “Kitab Anbaa’ Al Ghumr” karya Ibnu Hajar al Asqalani yang berakhir tahun 850 H sedang dari masanya dia merujuk “Tarikh Baghdad” karya  Khatib Al-Baghdadi sebanyak 10 jilid dan “Tarikh Dimasyq” karya Ibnu Asakir sebanyak 57 jilid.
Ilmu ekonomi, yang membahas berbagai hal teknis dalam urusan pertanahan, administrasi dan keuangan, sudah dimulai oleh Abu Hanifa an-Nu’man (699-767 M), Abu Yusuf (731-798 M), Ishaq bin Ali al-Rahwi (854931 M), al-Farabi (873950 M), Qabus (wafat 1012 M), Ibn Sina (9801037 M), Ibn Miskawayh (lahir 1030 M), al-Ghazali (10581111 M), al-Mawardi (10751158 M), Nasīr al-Dīn al-Tūsī (1201-1274 M), Ibn Taymiyyah (12631328 M) dan al-Maqrizi (1364-1442 M).
Abu al-Rayhan al-Biruni (973-1048 M) sering disebut sebagai “antropolog pertama”.  Dia menulis detail studi komparasi antropologi dari bangsa-bangsa, agama dan budaya di Timur Tengah, Mediteran dan Asia Selatan.  Al-Biruni juga bapak dari Indologi  ilmu tentang India. Dari semua ilmuwan sosial Muslim, tidak diragukan bahwa yang terbesar adalah Ibnu Khaldun.  Abū Zayd ‘Abdur-Rahman bin Muhammad bin Khaldūn Al-Hadrami (1332  1406 M) dari Tunisia adalah seorang polymath yang menguasai banyak keahlian sekaligus; beliau adalah hafidz, fuqaha, astronom, geografer, matematikawan, sejarawan, sosiolog, ekonom dan negarawan.  Bukunya yang paling terkenal adalah “Muqaddimah” (di Barat dijuduli “Prolegomenon”), yaitu juz pertama dari tujuh juz buku sejarah dunia universalnya “Kitab al-Ibar”.
Sejarawan terkenal Inggris Arnold J Toynbee menyebut Muqaddimah adalah karya terbesar dalam filsafat sejarah yang pernah dibuat pikiran manusia sepanjang masa.  Bahkan sejarawan Inggris lainnya, Robert Flint menulis bahwa Plato maupun Aristoteles belum mencapai jenjang keilmuan setaraf Ibnu Khaldun. Di antara pemikiran jenius Ibnu Khaldun adalah ketika mendefinisikan pemerintahan sebagai “institusi pencegah kezaliman“ adalah teori terbaik dalam ilmu politik.  Sedang konsep Ibnu Khaldun dalam meramalkan kegagalan ekonomi pasar dinilai sebagai dasar-dasar sosionomi (sosiologi-ekonomi).  Menurut Ibnu Khaldun, ada semacam siklus perubahan sosial yang pada momentum tertentu dapat berubah secara tajam.  Idenya didasarkan pada tesis manfaat dari spesialisasi pekerjaan: semakin besar kohesi sosial, semakin berhasil pembagian kerja yang kompleks, maka ekonomi akan tumbuh semakin besar.  Dia juga mencatat bahwa pembangunan memberikan stimulasi positif baik untuk supply dan demand dan ini adalah penentu dari harga barang dan jasa.  Ibnu Khaldun juga mencatat kekuatan makro-ekonomi dari pertumbuhan populasi, pengembangan SDM dan perkembangan teknologi.  Ibnu Khaldun berpikir bahwa pertumbuhan populasi adalah fungsi dari kemakmuran.

Untuk melihat watak atau karakteristik peradaban Islam, ada baiknya jika dilihat dari apa yang disumbangkan Islam kepada peradaban lain, khususnya Barat. Atau dengan perkataan lain apa yang dimanfaatkan peradaban lain dari Islam telah menunjukkan karakter peradaban Islam itu sendiri. Fakta sejarah membuktikan bahwa di Spanyol orang-orang Kristen tenggelam kedalam apa yang disebut sebagai Mozarabic Culture. Kultur Islam yang dominan inilah mungkin yang memberi sumbangan besar bagi lahirnya pandangan hidup baru di Barat. Morris menggambarkan bahwa kontak dan konflik antara Kristen-Yahudi dan Muslim memberi stimulus tidak saja kepada bangkitnya ideologi dan intelektualitas Eropa Abad Pertengahan, tapi juga imaginasinya. Maksudnya keingintahuan orang-orang Barat tumbuh ketika menyadari bahwa Muslim memiliki pandangan hidup yang canggih (sophisticated) dan ilmu pengetahuan yang kaya lebih dari apa yang terdapat di dunia Latin. Inilah yang sebenarnya terjadi.
Dari perspektif teori terbentuknya pandangan hidup kita dapat menyatakan bahwa Spanyol adalah tempat dimana Barat menyerap aspirasi dari Muslim bagi pengembangan pandangan hidup mereka. Atau setidaknya, Barat memanfaatkan pertemuan mereka dengan Muslim untuk memperkaya pandangan hidup mereka. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Barat menempuh berbagai macam cara untuk mentransfer aspek-aspek penting pandangan hidup Islam yang berupa konsep-konsep itu. Jayusi mengkaji dan menemukan bahwa model transformasi kultur Islam ke dalam kebudayaan Barat ada lima: pertama, melalui cerita-cerita dan syair-syair yang ditransmisikan secara oral oleh orang-orang Barat. Kedua, dengan cara kunjungan atau turisme, pada abad ke 7 M, Cordoba adalah ibukota negara Islam yang menonjol dan merupakan kota yang paling berperadaban di Eropa, dan karena itu orang Eropa berduyun-duyun mengunjungi tempat ini untuk belajar dari peradaban Islam. Ketiga, waktu itu terdapat hubungan perdagangan dan politik resmi melalui utusan yang dikirim dari kerajaan-kerajaan di Eropa. Keempat, dengan cara menterjemahkan karya-karya ilmiyah orang Islam. Faktanya, monastri-monastri Eropa, khususnya Santa Marie de Rippol, pada abad 12 dan 13 M memiliki ruangan penyimpan manuskrip bagi sejumlah besar karya-karya ilmiyah orang Islam untuk mereka terjemahkan. Kelima, untuk kelancaran proses penterjemahan raja-raja Eropa mendirikan sekolah untuk para penterjemah di Toledo, tepat sesudah pasukan Kristen merebut kembali kota tersebut pada tahun 1085. tujuannya adalah untuk menggali ilmu pengetahuan Islam yang terdapat pada perpustakaan-perpustakaan bekas jajahan Muslim itu.
Namun, kebangkitan Barat tidak terjadi langsung sesudah proses tranformasi tersebut di atas. Sebab tidak ada peradaban yang bangkit secara mendadak dan tiba-tiba, sekurang-kurangnya diperlukan waktu satu abad lamanya bagi suatu peradaban untuk bangkit. Islam sendiri bangkit menjadi sebuah peradaban yang memiliki konsep-konsep kepercayaan, kehidupan, keilmuan dan lain sebagainya sesudah beberapa abad lamanya. Dari awal kemunculannya pada abad ke 7 M, Muslim baru dapat dianggap sebagai peradaban yang kuat pada abad ke 10 M, di saat mana para cendekiawannya mampu menguasai ilmu pengetahuan Yunani, Persia dan India, dan kemudian menghasilkan ilmu pengetahuan baru yang telah disesuaikan dengan konsep-konsep penting dalam pandangan hidup Islam. Ilmu-ilmu yang dihasilkan di antaranya adalah matematika, kedokteran, farmasi, optik dan lain-lain. Ini bukan sekedar sistematisasi ilmu pengetahuan Yunani, seperti yang diduga para orientalis, tapi menyangkut hal-hal yang detail dan bahkan menghasilkan prinsip-prinsip baru dalam bidang sains
Dengan datangnya Islam yang menyatukan kawasan-kawasan Timur Dekat kedalam kekhalifahan Islam, kepeloporan di bidang sains berpindah ketangan orang-orang Islam dan bertahan hingga abad ke 12. Namun, menurut Ahmad Y al-Hassan, professor sains di Universitas Toronto, sains Islam masih berkembang dan Muslim masih menjadi pelopor sains pada abad ke 13 hingga ke 16, khususnya di negara-negara Islam bagian Timur. Sebab pada tahun 1259 di Maragha didirikan Observatorium astronomi dan terus beroperasi hingga tahun 1304. Observatorium ini memiliki perpustakaan dengan 400.000 judul buku, dan didukung oleh para saintis yang mumpuni di bawah pimpinan Nuruddin al-Tusi. Mereka itu adalah Syihabuddin al-Syirazi, Muhyidin al-Urdi, Muhyiddin al-Maghribi dan lain-lain. Lembaga ini bukan hanya institusi pengkajian dalam bidang astronomi, tapi juga merupakan sebuah akademi yang memberi kesempatan untuk kerjasama dengan lembaga lain dan bertukar pikiran dengan saintis lain. 
Lebih canggih dari Maragha adalah observatorium yang didirikan di Samarqand. Sponsornya adalah Ulugh Beg putra mahkota yang juga saintis. Observatorium ini selesai dibangun pada tahun 1420 dan terus beroperasi hingga tahun 1470 an. Yang terlibat dalam pusat sains ini adalah ahli astronomi matematika terkenal Giyeth al-Din Jamshid al-Kishi, Qidizada al-Rumi dan ‘Aied ibn Muhammad al-Qishdi. Observatorium yang terakhir dalam Islam dibangun di Istanbul tahun 1577, di zaman kekuasaan Sultan Murad III (1574-1595). Pendiri dan Direkturnya adalah Taqiyuddin Muhammad ibn Ma’arif al-Rashid al-Dimshqi. 
Pusat-pusat kajian sains tersebut tidak bertahan lama karena pada abad-abad ke 12 hingga ke 15 keadaan ekonomi dan politik ummat Islam mulai melemah sehingga kerja saintifik kehilangan momentumnya. Dukungan moral dari masyarakat pun semakin mengecil. Al-Hassan berasumsi bahwa jika ummat Islam tidak kehilangan kekuatannya, dan jika ekonomi ummat Islam tidak rusak dan jika stabilitas politik tidak terganggu dan jika para ilmuwan itu diberi waktu lebih lama lagi untuk berkreasi, maka mereka akan berhasil melebihi apa yang dicapai Copernicus, Galileo, Kepler dan Newton. Sebab model planetarium Ibn Shyir dan astronomer Muslim lainnya ternyata telah membuktikan adanya sistem heliosentris lebih dulu 200 tahun dari Cipernicus. 
Sebaliknya Eropa yang pada waktu itu secara ekonomis mulai naik, bergiat mentransfer dan mengasimiliasi buku-buku filsafat dan sain dalam Islam. Oleh karena itu tidak heran jika karya-karya ilmuwan Eropa Abad Pertengahan tidak lepas dari karya-karya terjemahan dari bahasa Arab. Maka dari itu sejarawan mencatat bahwa perkembangan Eropa Barat yang terjadi pada pertengahan abad ke 13 merupakan kombinasi elemen yang dinamakan Greco-Arabic-Latin. Meskipun begitu di Eropa nama-nama saintis Muslim tidak menonjol bahkan tidak banyak mereka sebut secara eksplisit. Yang pasti setelah mereka mentransfer filsafat dan sains dari Islam Eropa pada akhir abad ke 15 konsep-konsep mereka tentang alam semesta dan ilmu pengetahuan menjadi matang dan melapangkan jalan bagi perkembangan filsafat dan sains di Barat. Kristen di Barat menjadi kekuatan kultural yang menonjol, dan Eropa mencatat peristiwa sejarah yang disebut Revolusi Sains (Scientific Revolution). Itulah sumbangan penting peradaban Islam terhadap peradaban Barat.
Meskipun demikian kita tidak bisa mengambil kesimpulan bahwa karena konsep-konsep penting di dalam kebudayaan Barat itu hasil adapsi dari peradaban Islam, maka kita dapat mengambil kembali begitu saja konsep-konsep itu langsung dari Barat, tanpa proses. Sebab orang-orang Barat mengambil konsep-konsep itu dengan proses epistemologis yang panjang yang pada akhirnya menghasilkan konsep-konsep yang sudah tidak lagi dapat dikenali konsep aslinya, yaitu Islam. Hal yang sama dilakukan orang Islam ketika mengadapsi warisan Yunani. Professor Cemil Akdogan memberi contoh bahwa David Hume, yang meniru konsep dan pandangan al-Ghazali tentang hubungan kausalitas, ternyata memodifikasinya sehingga menjadi sekuler, dan hasilnya berbeda dari konsep al-Ghazali sendiri.

Romantisisme
Selama ini ada sebuah adagium yang berkembang di dunia Islam dan sangat diyakini kebenarannya, agama Islam itu “Ya’lu wa la yu’la alaihi” (unggul dan tidak ada yang lebih unggul darinya). Adagium ini tidak hanya menjadi sebuah slogan kebanggaan semata, tetapi telah dibuktikan oleh umat Islam dengan menguasai sebagian besar wilayah di dunia dan membangun sebuah peradaban yang tak tertandingi pada masanya. Kemajuan peradaban ini ditandai dengan revolusi ilmiah yang terjadi secara besar-besaran di dunia Islam. Cendekia-cendekia muslim pun bermunculan dalam berbagai disiplin pengetahuan, baik dalam bidang agama maupun non-agama (pengetahuan umum). Tidak hanya menyangkut permasalahan fiqih dan teologi, tetapi juga dalam bidang filsafat, matematika, astronomi, kedokteran dan lain sebagainya. Satu hal yang menarik adalah para cerdik cendekia tersebut mempunyai pandangan yang menunjukkan adanya kesatupaduan antara ilmu pengetahuan dan iman. Tradisi ilmiah dalam masyarakat muslim pada saat itu mempunyai nilai yang sangat “Islamis” karena kuatnya pengaruh dari kitab suci Al-Quran.
Namun kegemilangan peradaban umat Islam tersebut, pada saat ini hanya menjadi artefak yang menyimpan nostalgia keindahan sejarah. Sedikit demi sedikit umat Islam mulai mengalami kemunduran dan kelemahan di berbagai bidang. Dimulai dengan terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam dan saling berebut kekuasaan di kalangan kerajaan yang mengakibatkan merosot nya kekuasaan khalifah serta melemahnya posisi umat Islam sampai akhirnya terjadi tragedi yang menjadi catatan hitam dalam sejarah, jatuhnya Baghdad ke tangan Hulagu yang diikuti dengan pengrusakan pusat-pusat kegiatan ilmiah dan pembantaian secara besar-besaran terhadap para guru dan ilmuwan.
Jalan kosmopolitanisme peradaban Islam yang diwariskan Rasululloh saw, para sahabat dan para pemikir Islam harus diteruskan sepanjang masa. Umat Islam harus berperan aktif mewujudkan jejak kosmopolitis tersebut, yakni dengan mengusung spirit keterbukaan lintas peradaban. Dalam spirit inilah akan lahir sebuah pemahaman baru yang kritis, progresif, dan visioner. Dari pemahaman inilah akan lahir sosok-sosok masa depan, yang dalam bahasa Arnold J. Toynbee dikatakan sebagai minoritas kreatif yang nantinya bisa merubah jarum sejarah peradaban dunia.  Semoga #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar