Oleh Ust. Hefni Zain
Pendahuluan
Abad ke-7 Masehi,
daratan Eropa, tepatnya Inggris Anglo Saxon masih berupa negeri tandus,
terisolir, kumuh, dan liar. Rumah-rumah dibangun dengan batu kasar tanpa dipahat
dan diperkuat dengan tanah halus. Rumah-rumahnya dibangun di dataran rendah,
berpintu sempit, tidak terkunci kokoh, dan dinding tidak berjendela. Wabah
penyakit menimpa binatang ternak yang menjadi sumber penghidupan satu-satunya.
Tempat kediaman manusia dan hewan hampir tidak jauh berbeda. Kepala suku
tinggal bersama keluarga dengan satu ruangan dan api unggun di tengahnya.
Pemilik rumah beranjak ke biliknya pada sore hari setelah makan. Meja dan
perkakas kemudian diangkat. Semua penghuni rumah tidur di atas tanah atau
bangku panjang. Senjata disiapkan di dekat mereka untuk menghadapi pencuri yang
pada saat sangat berani dan merupakan hal yang lumrah.
Eropa pada saat itu
adalah wilayah tertinggal dan sebagian besar adalah hutan belantara. Tata kota yang
edemikian buruknya mengakibatkan masalah serius. Bau busuk akibat kotoran hewan
dan manusia sudah menjadi biasa. Wabah penyakit akibat gaya hidup terbelakang
menjadi masalah yang tidak ada habisnya. Infrastrukturnya pun tidak jauh beda
tertinggalnya. Jalan-jalannya tidak diperkeras, tidak ada penerangan dan tidak
terdapat saluran air. Kondisi yang semrawut ini terjadi sampai pada abad 11 M.
Jauh berbeda dengan
Eropa waktu itu, Islam telah berkembang dengan kota-kota besar yang
well-planned seperti Baghdad, Damaskus, Cordoba, Granada, dan Sevilla. Cordoba
misalnya. Kota ini berpenduduk 4 kali jumlah penduduk kota terbesar waktu itu,
yakni 1 juta jiwa. Jalan-jalannya terdapat trotoar dan penuh dengan penerangan.
Lorong-lorong dan dinding kota dihias indah dengan batu ubin. Kebersihan sangat
terjaga dan taman-taman menghiasi tiap sudut kota. Kemudian Baghdad, kota ini
sebelumnya merupakan daerah kecil dan sempit. Khalifah Al-Mansur lalu
mengubahnya dengan mendatangkan para insinyur, arsitek, dan pakar ilmu ukur
menjadi kota yang memiliki perpustakaan terbesar di dunia, Iskandariyah.
Menelan biaya 4,8 juta dirham dan 100.000 pekerja, Baghdad membangun dirinya
menjadi kota sentral yang penuh dengan nuansa kemajuan teknologi. Sungai Tigris
dan Eufrat dimanfaatkan untuk menghidupi rakyatnya dengan membuat 11 cabang
anak sungai. Infrastruktur jembatan pun dibangun hingga 30.000 buah untuk
Sungai Tigris.
Peradaban ini pun
menjadi yang terdepan dalam melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar yang kontribusi
nya luar biasa bagi ilmu pengetahuan. Sebut saja Al Khwarizmi, ahli matematika,
astronomi, dan geografi, yang merupakan sang penemu aljabar. Ibnu Sina sang
Bapak Kedokteran. Al Biruni dkk ahli astronomi yang mencetuskan sistem
heliosentris. Jabir Ibn Hayyan sang ahli kimia yang menemukan proses distilasi
dan kristalisasi. Ibnu Al haytsam, seorang fisakawan di bidang optika yang
menemukan teori bahwa proses melihat adalah jatuhnya cahaya ke mata, bukan
karena sorot mata seperti keyakinan pada zaman Aristoteles. Dan masih banyak
ilmuwan-ilmuwan muslim lainnya dengan segudang penemuannya.
Intelektual Dalam Peradaban Islam.
Peradaban yang gemilang
tersebut adalah buah dari sistem yang cemerlang. Peradaban Islam yang sangat
mengutamakan orang berilmu. Waktu itu para pelajar sangat dimuliakan dan diberi
pelayanan yang terbaik dengan cuma-cuma. Mereka tidak dipusingkan dengan bea
studi, apalagi mencari penghasilan tambahan. Di Madrasah al-Muntashiriah,
Baghdad, misalnya, setiap siswanya diberi beasiswa sebesar satu dinar (4,25 gram
emas) per bulan. Guru digaji sangat tinggi. Setiap orang yang menghasilkan
kitab/publikasi diganjar dengan emas seberat hasil karangannya pada era Harun
Al Rasyid.
Perpustakaan terdapat
di seluruh kota Besar. Cordoba memiliki perpustakaan yang jumlahnya sekitar 20
dengan koleksi sekitar 400 ribu judul buku. Perpustakaan Darul Hikmah di Cairo
memliki 2 juta koleksi buku. Perpustakaan Umum Tripoli di Syam, yang pernah
dibakar oleh Pasukan Salib Eropa, mengoleksi lebih dari 3 juta judul buku,
termasuk 50 ribu eksemplar al-Quran dan tafsirnya. Jumlah koleksi buku di
perpustakaan-perpustakaan ini termasuk yang terbesar pada zaman itu. Bandingkan
dengan Perpustakaan Gereja Canterbury yang berdiri empat abad setelahnya, yang
dalam catatan Chatolique Encyclopedia, perpustakaan tersebut memiliki tidak
lebih dari 2 ribu judul buku saja. Iklim yang terbangun adalah iklim
intelektual yang kesehariannya dipenuhi dengan menuntut ilmu dan kegiatan
riset. Wajar saja bila ilmuwan-ilmuwan besar lahir pada peradaban ini.
Masa keemasan peradaban Islam sering
diindikasikan dengan berbagai kemajuan pada bidang ilmu-ilmu agama (ushuluddin,
tafsir, hadits, fiqih dan tasawuf) dan ilmu-ilmu alam atau sains (astronomi,
matematika, fisika, kimia, kedokteran dan sebagainya). Pertanyaan yang
kemudian muncul, di mana posisi ilmu-ilmu sosial? Ilmu-ilmu sosial memang
berbeda dengan sains maupun ilmu-ilmu agama. Sementara sains relatif
netral dan ilmu-ilmu agama jelas bersumber dari Islam, maka ilmu-ilmu sosial
sering tercampur aduk, antara kajian ilmiah dengan pandangan hidup. Ilmu
sejarah atau sosiologi misalnya, sering hanya ditinjau dari sudut pemenang
peradaban.
Ilmu Sejarah termasuk yang paling awal
dipelajari oleh para sarjana Muslim. Abu Muhammad Abdul Malik Ibnu Hisyam
(wafat 834 M) sudah menulis “Sirah Nabawiyah” (sejarah Rasulullah) sekaligus
memulai suatu tradisi ilmu sejarah yang tidak sekadar menceritakan suatu
peristiwa dari sudut pandangnya, tetapi juga melengkapinya dengan metode
periwayatan, suatu hal yang diadopsinya dari ilmu hadits. Terobosan Ibnu
Hisyam kemudian dilanjutkan sejarawan Muslim yang lain seperti Abul Hasan Ali
ibn al-Husayn ibn Ali Al-Mas’udi (wafat 956 M) yang menulis karya agung “Muruj
al-Zabab wa Muadin al-Jawhar” (Lahan Emas dan Tambang Mutiara) tentang kajian
geografi sosial (termasuk sejarah, sosiologi dan ekonomi) bangsa-bangsa di
dunia (dari Mesir, Romawi, Perancis, Persia, hingga India) yang pernah
dikunjunginya.
Imam Jalaluddin As-Suyuthi (wafat 903 H / 1498
M) menulis “Tarikhul Khulafa” (sejarah para Khalifah hingga masanya).
Dalam kitabnya itu dia menulis bahwa rujukannya adalah “Tarikh” karya
Adz-Dzahabi yang berakhir pada 700 H, lalu “Tarikh” karya Ibnu Katsir yang
berakhir pada 738 H, kemudian “Kitab Anbaa’ Al Ghumr” karya Ibnu Hajar al Asqalani
yang berakhir tahun 850 H sedang dari masanya dia merujuk “Tarikh Baghdad”
karya Khatib Al-Baghdadi sebanyak 10 jilid dan “Tarikh Dimasyq” karya
Ibnu Asakir sebanyak 57 jilid.
Ilmu ekonomi, yang membahas berbagai hal teknis
dalam urusan pertanahan, administrasi dan keuangan, sudah dimulai oleh Abu
Hanifa an-Nu’man (699-767 M), Abu Yusuf (731-798 M), Ishaq bin Ali al-Rahwi
(854931 M), al-Farabi (873950 M), Qabus (wafat 1012 M), Ibn Sina (9801037 M),
Ibn Miskawayh (lahir 1030 M), al-Ghazali (10581111 M), al-Mawardi (10751158 M),
Nasīr al-Dīn al-Tūsī (1201-1274 M), Ibn Taymiyyah (12631328 M) dan al-Maqrizi
(1364-1442 M).
Abu al-Rayhan al-Biruni (973-1048 M) sering
disebut sebagai “antropolog pertama”. Dia menulis detail studi komparasi
antropologi dari bangsa-bangsa, agama dan budaya di Timur Tengah, Mediteran dan
Asia Selatan. Al-Biruni juga bapak dari Indologi ilmu tentang
India. Dari semua ilmuwan sosial Muslim, tidak diragukan bahwa yang terbesar
adalah Ibnu Khaldun. Abū Zayd ‘Abdur-Rahman bin Muhammad bin Khaldūn
Al-Hadrami (1332 1406 M) dari Tunisia adalah seorang polymath yang
menguasai banyak keahlian sekaligus; beliau adalah hafidz, fuqaha, astronom,
geografer, matematikawan, sejarawan, sosiolog, ekonom dan negarawan.
Bukunya yang paling terkenal adalah “Muqaddimah” (di Barat dijuduli
“Prolegomenon”), yaitu juz pertama dari tujuh juz buku sejarah dunia
universalnya “Kitab al-Ibar”.
Sejarawan terkenal Inggris Arnold J Toynbee
menyebut Muqaddimah adalah karya terbesar dalam filsafat sejarah yang pernah
dibuat pikiran manusia sepanjang masa. Bahkan sejarawan Inggris lainnya,
Robert Flint menulis bahwa Plato maupun Aristoteles belum mencapai jenjang
keilmuan setaraf Ibnu Khaldun. Di antara pemikiran jenius Ibnu Khaldun adalah ketika
mendefinisikan pemerintahan sebagai “institusi pencegah kezaliman“ adalah teori
terbaik dalam ilmu politik. Sedang konsep Ibnu Khaldun dalam meramalkan kegagalan ekonomi pasar
dinilai sebagai dasar-dasar sosionomi (sosiologi-ekonomi). Menurut Ibnu Khaldun, ada semacam siklus perubahan sosial yang pada
momentum tertentu dapat berubah secara tajam. Idenya didasarkan pada
tesis manfaat dari spesialisasi pekerjaan: semakin besar kohesi sosial, semakin
berhasil pembagian kerja yang kompleks, maka ekonomi akan tumbuh semakin
besar. Dia juga mencatat bahwa pembangunan memberikan stimulasi positif
baik untuk supply dan demand dan ini adalah penentu dari harga barang dan
jasa. Ibnu Khaldun juga mencatat kekuatan makro-ekonomi dari pertumbuhan
populasi, pengembangan SDM dan perkembangan teknologi. Ibnu Khaldun
berpikir bahwa pertumbuhan populasi adalah fungsi dari kemakmuran.
Untuk melihat watak
atau karakteristik peradaban Islam, ada baiknya jika dilihat dari apa yang
disumbangkan Islam kepada peradaban lain, khususnya Barat. Atau dengan
perkataan lain apa yang dimanfaatkan peradaban lain dari Islam telah
menunjukkan karakter peradaban Islam itu sendiri. Fakta sejarah membuktikan
bahwa di Spanyol orang-orang Kristen tenggelam kedalam apa yang disebut sebagai
Mozarabic Culture. Kultur Islam yang dominan inilah mungkin yang memberi
sumbangan besar bagi lahirnya pandangan hidup baru di Barat. Morris
menggambarkan bahwa kontak dan konflik antara Kristen-Yahudi dan Muslim memberi
stimulus tidak saja kepada bangkitnya ideologi dan intelektualitas Eropa Abad
Pertengahan, tapi juga imaginasinya. Maksudnya keingintahuan orang-orang
Barat tumbuh ketika menyadari bahwa Muslim memiliki pandangan hidup yang
canggih (sophisticated) dan ilmu pengetahuan yang kaya lebih dari apa
yang terdapat di dunia Latin. Inilah yang sebenarnya terjadi.
Dari perspektif teori
terbentuknya pandangan hidup kita dapat menyatakan bahwa Spanyol adalah
tempat dimana Barat menyerap aspirasi dari Muslim bagi pengembangan pandangan
hidup mereka. Atau setidaknya, Barat memanfaatkan pertemuan mereka dengan
Muslim untuk memperkaya pandangan hidup mereka. Fakta sejarah menunjukkan bahwa
Barat menempuh berbagai macam cara untuk mentransfer aspek-aspek penting
pandangan hidup Islam yang berupa konsep-konsep itu. Jayusi mengkaji dan
menemukan bahwa model transformasi kultur Islam ke dalam kebudayaan Barat ada
lima: pertama, melalui cerita-cerita dan syair-syair yang ditransmisikan secara
oral oleh orang-orang Barat. Kedua, dengan cara kunjungan atau turisme, pada
abad ke 7 M, Cordoba adalah ibukota negara Islam yang menonjol dan merupakan
kota yang paling berperadaban di Eropa, dan karena itu orang Eropa
berduyun-duyun mengunjungi tempat ini untuk belajar dari peradaban Islam.
Ketiga, waktu itu terdapat hubungan perdagangan dan politik resmi melalui
utusan yang dikirim dari kerajaan-kerajaan di Eropa. Keempat, dengan cara menterjemahkan
karya-karya ilmiyah orang Islam. Faktanya, monastri-monastri Eropa, khususnya
Santa Marie de Rippol, pada abad 12 dan 13 M memiliki ruangan penyimpan
manuskrip bagi sejumlah besar karya-karya ilmiyah orang Islam untuk mereka
terjemahkan. Kelima, untuk kelancaran proses penterjemahan raja-raja Eropa
mendirikan sekolah untuk para penterjemah di Toledo, tepat sesudah pasukan
Kristen merebut kembali kota tersebut pada tahun 1085. tujuannya adalah untuk
menggali ilmu pengetahuan Islam yang terdapat pada perpustakaan-perpustakaan
bekas jajahan Muslim itu.
Namun, kebangkitan
Barat tidak terjadi langsung sesudah proses tranformasi tersebut di atas. Sebab
tidak ada peradaban yang bangkit secara mendadak dan tiba-tiba,
sekurang-kurangnya diperlukan waktu satu abad lamanya bagi suatu peradaban
untuk bangkit. Islam sendiri bangkit menjadi sebuah peradaban yang memiliki
konsep-konsep kepercayaan, kehidupan, keilmuan dan lain sebagainya sesudah
beberapa abad lamanya. Dari awal kemunculannya pada abad ke 7 M, Muslim baru
dapat dianggap sebagai peradaban yang kuat pada abad ke 10 M, di saat mana para
cendekiawannya mampu menguasai ilmu pengetahuan Yunani, Persia dan India, dan
kemudian menghasilkan ilmu pengetahuan baru yang telah disesuaikan dengan
konsep-konsep penting dalam pandangan hidup Islam. Ilmu-ilmu yang dihasilkan di
antaranya adalah matematika, kedokteran, farmasi, optik dan lain-lain. Ini
bukan sekedar sistematisasi ilmu pengetahuan Yunani, seperti yang diduga para
orientalis, tapi menyangkut hal-hal yang detail dan bahkan menghasilkan
prinsip-prinsip baru dalam bidang sains
Dengan datangnya Islam
yang menyatukan kawasan-kawasan Timur Dekat kedalam kekhalifahan Islam,
kepeloporan di bidang sains berpindah ketangan orang-orang Islam dan bertahan
hingga abad ke 12. Namun, menurut Ahmad Y al-Hassan, professor sains di
Universitas Toronto, sains Islam masih berkembang dan Muslim masih menjadi
pelopor sains pada abad ke 13 hingga ke 16, khususnya di negara-negara Islam
bagian Timur. Sebab pada tahun 1259 di Maragha didirikan Observatorium
astronomi dan terus beroperasi hingga tahun 1304. Observatorium ini memiliki
perpustakaan dengan 400.000 judul buku, dan didukung oleh para saintis yang
mumpuni di bawah pimpinan Nuruddin al-Tusi. Mereka itu adalah Syihabuddin al-Syirazi,
Muhyidin al-Urdi, Muhyiddin al-Maghribi dan lain-lain. Lembaga ini bukan hanya
institusi pengkajian dalam bidang astronomi, tapi juga merupakan sebuah akademi
yang memberi kesempatan untuk kerjasama dengan lembaga lain dan bertukar
pikiran dengan saintis lain.
Lebih canggih dari
Maragha adalah observatorium yang didirikan di Samarqand. Sponsornya adalah
Ulugh Beg putra mahkota yang juga saintis. Observatorium ini selesai dibangun
pada tahun 1420 dan terus beroperasi hingga tahun 1470 an. Yang terlibat dalam
pusat sains ini adalah ahli astronomi matematika terkenal Giyeth al-Din Jamshid
al-Kishi, Qidizada al-Rumi dan ‘Aied ibn Muhammad al-Qishdi. Observatorium yang
terakhir dalam Islam dibangun di Istanbul tahun 1577, di zaman kekuasaan Sultan
Murad III (1574-1595). Pendiri dan Direkturnya adalah Taqiyuddin Muhammad ibn
Ma’arif al-Rashid al-Dimshqi.
Pusat-pusat kajian
sains tersebut tidak bertahan lama karena pada abad-abad ke 12 hingga ke 15
keadaan ekonomi dan politik ummat Islam mulai melemah sehingga kerja saintifik
kehilangan momentumnya. Dukungan moral dari masyarakat pun semakin mengecil.
Al-Hassan berasumsi bahwa jika ummat Islam tidak kehilangan kekuatannya, dan
jika ekonomi ummat Islam tidak rusak dan jika stabilitas politik tidak terganggu
dan jika para ilmuwan itu diberi waktu lebih lama lagi untuk berkreasi, maka
mereka akan berhasil melebihi apa yang dicapai Copernicus, Galileo, Kepler dan
Newton. Sebab model planetarium Ibn Shyir dan astronomer Muslim lainnya
ternyata telah membuktikan adanya sistem heliosentris lebih dulu 200 tahun dari
Cipernicus.
Sebaliknya Eropa yang
pada waktu itu secara ekonomis mulai naik, bergiat mentransfer dan
mengasimiliasi buku-buku filsafat dan sain dalam Islam. Oleh karena itu tidak
heran jika karya-karya ilmuwan Eropa Abad Pertengahan tidak lepas dari
karya-karya terjemahan dari bahasa Arab. Maka dari itu sejarawan mencatat bahwa
perkembangan Eropa Barat yang terjadi pada pertengahan abad ke 13 merupakan
kombinasi elemen yang dinamakan Greco-Arabic-Latin. Meskipun begitu di Eropa
nama-nama saintis Muslim tidak menonjol bahkan tidak banyak mereka sebut secara
eksplisit. Yang pasti setelah mereka mentransfer filsafat dan sains dari Islam
Eropa pada akhir abad ke 15 konsep-konsep mereka tentang alam semesta dan ilmu
pengetahuan menjadi matang dan melapangkan jalan bagi perkembangan filsafat dan
sains di Barat. Kristen di Barat menjadi kekuatan kultural yang
menonjol, dan Eropa mencatat peristiwa sejarah yang disebut Revolusi Sains
(Scientific Revolution). Itulah sumbangan penting peradaban Islam terhadap
peradaban Barat.
Meskipun demikian kita
tidak bisa mengambil kesimpulan bahwa karena konsep-konsep penting di dalam
kebudayaan Barat itu hasil adapsi dari peradaban Islam, maka kita dapat
mengambil kembali begitu saja konsep-konsep itu langsung dari Barat, tanpa
proses. Sebab orang-orang Barat mengambil konsep-konsep itu dengan proses
epistemologis yang panjang yang pada akhirnya menghasilkan konsep-konsep yang
sudah tidak lagi dapat dikenali konsep aslinya, yaitu Islam. Hal yang sama
dilakukan orang Islam ketika mengadapsi warisan Yunani. Professor Cemil Akdogan
memberi contoh bahwa David Hume, yang meniru konsep dan pandangan al-Ghazali
tentang hubungan kausalitas, ternyata memodifikasinya sehingga menjadi sekuler,
dan hasilnya berbeda dari konsep al-Ghazali sendiri.
Romantisisme
Selama ini ada sebuah
adagium yang berkembang di dunia Islam dan sangat diyakini kebenarannya, agama
Islam itu “Ya’lu wa la yu’la alaihi” (unggul dan tidak ada yang lebih
unggul darinya). Adagium ini tidak hanya menjadi sebuah slogan kebanggaan
semata, tetapi telah dibuktikan oleh umat Islam dengan menguasai sebagian besar
wilayah di dunia dan membangun sebuah peradaban yang tak tertandingi pada
masanya. Kemajuan
peradaban ini ditandai dengan revolusi ilmiah yang terjadi secara besar-besaran
di dunia Islam. Cendekia-cendekia muslim pun bermunculan dalam berbagai
disiplin pengetahuan, baik dalam bidang agama maupun non-agama (pengetahuan
umum). Tidak hanya menyangkut permasalahan fiqih dan teologi, tetapi juga dalam
bidang filsafat, matematika, astronomi, kedokteran dan lain sebagainya. Satu
hal yang menarik adalah para cerdik cendekia tersebut mempunyai pandangan yang
menunjukkan adanya kesatupaduan antara ilmu pengetahuan dan iman. Tradisi
ilmiah dalam masyarakat muslim pada saat itu mempunyai nilai yang sangat
“Islamis” karena kuatnya pengaruh dari kitab suci Al-Quran.
Namun kegemilangan peradaban umat Islam
tersebut, pada saat ini hanya menjadi artefak yang menyimpan nostalgia keindahan
sejarah. Sedikit demi sedikit umat Islam mulai mengalami kemunduran dan
kelemahan di berbagai bidang. Dimulai dengan terjadinya perpecahan di kalangan
umat Islam dan saling berebut kekuasaan di kalangan kerajaan yang mengakibatkan
merosot nya kekuasaan khalifah serta melemahnya posisi umat Islam sampai
akhirnya terjadi tragedi yang menjadi catatan hitam dalam sejarah, jatuhnya
Baghdad ke tangan Hulagu yang diikuti dengan pengrusakan pusat-pusat kegiatan
ilmiah dan pembantaian secara besar-besaran terhadap para guru dan ilmuwan.
Jalan kosmopolitanisme
peradaban Islam yang diwariskan Rasululloh saw, para sahabat dan para pemikir
Islam harus diteruskan sepanjang masa. Umat Islam harus berperan aktif
mewujudkan jejak kosmopolitis tersebut, yakni dengan mengusung spirit
keterbukaan lintas peradaban. Dalam spirit inilah akan lahir sebuah pemahaman
baru yang kritis, progresif, dan visioner. Dari pemahaman inilah akan lahir
sosok-sosok masa depan, yang dalam bahasa Arnold J. Toynbee dikatakan sebagai
minoritas kreatif yang nantinya bisa merubah jarum sejarah peradaban dunia. Semoga #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar