Ust.Hefni
Zain
Pendahuluan
Saya pernah membaca sebuah artikel yang isinya menurut
saya penting diperhatikan sekaligus penting pula diluruskan. Penting
diperhatikan, karena tulisan tersebut berangkat dari realitas empirik yang tak
terpungkiri serta dilengkapi dengan sejumlah ayat Al-Qur’an yang tak terbantah,
sehingga dapat menjadi bahan renungan, mengaca dan evaluasi diri. Penting
diluruskan, karena penulisnya melakukan generalisasi yang tidak
tepat dengan menimpakan kesalahan “oknum penganut agama” pada diri agama.
Padahal harus dibedakan antara ajaran agama yang semestinya dengan ajaran yang
telah dipraktekkan pemeluknya berdasarkan tafsir kepentingan. Kecuali itu, sejumlah teks Al-Qur’an yang dikutip dalam artikel tersebut hanya dimaknai secara literal, harfiyah, tekstual dan
eksetoris, sehingga makna substantif, kontekstual dan esoterisnya terhilangkan.
Bagi saya secara umum tulisan dalam artikel tersebut bukan bertolak dari kekokohan epistimologis, melainkan
berangkat dari kepengapan psikologis dan kekecewaan emosional yang meletup-letup.
Berikut saya kutip sebagian isi dari artikel dimaksud;
......Beretorika dan mengatakan
bahwa Islam adalah agama damai dan membawa kedamaian tentu tidak sulit, yang
tidak mudah adalah membuktikannya secara kongkrit dalam ranah emprik dan
panggung sejarah. Menyebut Islam agama ramah, menjamin kebebasan, tidak ada
paksaan dalam beragama, mengajarkan penghormatan terhadap kelompok lain juga
sangat gampang, semua orang bisa mengucapkannya, bahkan seribu kali sehari.
Tetapi bagaimana mungkin orang
bisa percaya bahwa Islam agama toleran, kalau atas nama Islam, sambil
mengenakan jubah, sorban dan berkalung tasbih, mereka dengan bernafsu membakar
gereja, membubarkan paksa jemaat GKI Yasmin yang sedang melakukan ibadah dan
melarang pembangunan gereja dengan alasan meresahkan masyarakat ? Bagaimana
mungkin orang bisa percaya bahwa Islam agama pembawa damai, mengakui,
menghargai dan menghormati kelompok lain, kalau atas nama Islam, sambil
mengibarkan bendera tauhid, mereka menyerang, merusak, menghancurkan dan
membakar permukiman kaum Ahmadiyah?, Sambil membaca basmalah, mereka membunuh, menyerang,
mengkafirkan dan mengusir penganut Syiah dari kampung halamannya?
Bagaimana mungkin orang bisa
percaya bahwa Islam agama ramah yang berprinsip
tidak ada paksaan dalam beragama,
kalau atas nama Islam, mereka dengan marah, sangar, garang dan sadis
melakukan bom bunuh diri dan menewaskan sejumlah orang tak berdosa?, melakukan aksi-aksi kekerasan dan anarkhisme
di sejumlah tempat?, merusak dan merobohkan patung simbol agama tertentu?,
mengahalalkan darah kelompok lain yang dianggapnya sesat dan menyesatkan hanya
karena berbeda faham?. Bagaimana mungkin orang
bisa percaya bahwa Islam menjamin ketentraman, kalau atas nama Islam mereka
membiarkan kebiadaban terjadi dengan kasat mata.
Bagaimana mungkin orang bisa
percaya bahwa Islam merupakan agama pembawa rahmah bagi sekalian alam (rahmatan
lilalamin) yang didalamnya sarat dengan kedamaian, toleransi, harmonisasi, cinta kasih dan
persaudaraan, kalau dalam kitab
sucinya yang dijadikan pegangan hidup, penuh dengan ajaran dan doktrin yang
sebaliknya, sebagaimana fakta berikut :
1.
Al-Qur’an melarang kaum muslimin berteman dengan non
muslim, sebagaimana ditegaskan dalam Qs. An-Nisa’ : 144 dan Qs. At-Tawbah : 23.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
menjadikan orang-orang kafir (non muslim) sebagai wali (teman, pemimpin,
pelindung, penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kalian
mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ? (Qs. An-Nisa’ :
144).
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan
bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali (mu), jika mereka lebih
mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan
mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (Qs, At Taubah : 23).
2. Al-Qur’an menganggap
non muslim sebagai musuh bagi kaum muslimin, sebagaimana ditegaskan dalam Qs.
An-Nisa’ : 101 “Sesungguhnya orang- orang kafir (non muslim) itu adalah
musuh yang nyata bagimu.
3.
Al-Qur’an menganjurkan kaum muslimin agar mencontoh
Nabi Muhammad saw yang bersikap keras terhadap non muslim yang disebutnya
sebagai kafir, sebagaimana ditegaskan dalam Qs. Al-Fath:29 “Muhammad itu
adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap
orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang dengan sesama mereka”.
4.
Al-Qur’an menganjurkan kaum muslimin agar memerangi
non muslim, sebagaimana ditegaskan dalam Qs. At-Tawbah : 123 dan Qs. Al Anfal : 39.
Hai orang-orang yang
beriman, Perangilah orang- orang kafir yang disekitar kamu itu, dan hendaklah
mereka menemui kekerasan dari padamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertakwa. (Qs. At-Tawbah : 123)
Dan perangilah mereka,
supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika
mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya allah maha melihat apa yang
mereka kerjakan. (Qs. Al-Anfal : 39)
5. Al-Qur’an menganjurkan
kaum muslimin agar membunuh orang yang menggunakan kebebasan memilih agama yang
disebutnya murtad, seperti ditegaskan dalam Qs. Al-Nisa : 89 “Mereka ingin
supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu
menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka
penolong- penolong (mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika
mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan
janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan
(pula) menjadi penolong.
Dengan menjadikan ayat-ayat Al-Qur’an seperti diatas
sebagai pegangan hidup, masihkah ada orang yang percaya bahwa Islam merupakan
agama pembawa rahmah bagi sekalian alam (rahmatan lilalamin). Dengan
fakta doktrinal dan empirik seperti dipaparkan diatas, hanya orang keblinger
yang mempercayai bahwa misi Islam adalah
untuk mewujudkan kedamaian, toleransi,
harmonisasi, cinta kasih dan persaudaraan, tulis artikel
diatas. Karena itu –masih menurut penulis artikel
diatas- tidak salah tatkala Sam Harris (penggiat
the Unholy Trinity of Atheism), dalam The End of Faith: Religion: Terror and
the Future of Reason mengatakan ; Jika aku bisa mengayunkan tongkat sihirku
dan harus memilih apakah melenyapkan perkosaan atau agama, aku tidak akan
ragu-ragu lagi untuk melenyapkan agama. Agama sudah semestinya ditinggalkan
manusia bukan karena alasan teologis, tetapi karena agama telah menjadi sumber
kekerasan pada setiap zaman, dulu, sekarang dan yang akan datang. Hal ini
sejalan dengan pernyataan Romo Magnis bahwa banyak orang menjadi ateis karena
kecewa menyaksikan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para penganut agama.
Mereka melihat kontradiksi antara apa yang dikhotbahkan dengan apa yang
dilakukan. Demikian sebagian isi dari artikel dimaksud.
Meluruskan beberapa kekeliruan
Jika ada yang mengajarkan
dan menganjurkan keburukan, kejahatan dan kekacauan dalam segala bentuknya,
pasti itu bukan agama, bukan berasal dari agama atau agama hanya diatas
namakan, sebab yang namanya agama adalah sumber kebaikan bukan sumber
keburukan. Secara substansial, tidak ada satupun agama di dunia ini yang
mengajarkan dan menganjurkan keburukan, karena itu setiap bentuk ketidak baikan
yang terjadi dalam ranah riil kemanusiaan atas nama agama, dapat dipastikan
sebagai prilaku oknum pengikut agama yang salah faham terhadap ajaran agama
atau menggunakan faham yang salah dalam memotret agama. Maka munculnya berbagai
ketidak puasan terhadap prilaku umat beragama, karena di ranah empirik telah
“dianggap” mencederai nilai-nilai luhur kemanusiaan seperti kedamaian,
keadilan, penghormatan dan semacamnya sesungguhnya bukan konsederasi yang tepat
atau hujjah yang kuat untuk melakukan generalisasi dan menimpakan kesalahan itu
pada diri agama.
Salah faham dan faham
yang salah terhadap agama, ditambah lagi motif-motif sekuler -misalnya intress politis, ekonomi, rasial, sosial dan pragmatis lainnya- yang dilakukan
pemeluk beragama atas nama doktrin agama,
telah menyeret agama pada stigma yang mengenaskan. Bahkan campur aduknya
aspek doktrin teologis ajaran agama dengan aspek kultural-historis-sosiologis
yang merupakan hasil tafsir manusia atas ajaran agama, sering memperburuk citra
agama pada wilayah historis - empiris kemanusiaan.
Dalam banyak kasus,
pemeluk agama kerapkali sulit membedakan mana doktrin agama yang bersifat
normatif (dilandasi teks-teks suci) dan mana yang tafsir terhadap teks-teks
suci (sering dimuati kepentingan politis, kultural, sosiologis dan pragmatis).
Tumpang tindih antara konsepsional normatif dengan operasional interpretatif,
antara ajaran yang semestinya dengan ajaran yang telah dipraktekkan, pada
gilirannya menyeret agama dalam dua wajah; ramah dan marah, vital dan vatal,
memberdayakan dan mempedayakan, sumber perdamaian dan sumber pertengkaran.
Realitas seperti inilah yang salah satunya mendorong banyak pihak mencari
“pendekatan baru” (Arkoun menyebutnya, Rethinking) guna menemukan ajaran yang semestinya
sekaligus mendemarkasinya secara tegas dengan ajaran yang telah dipraktekkan
berdasarkan tafsir kepentingan. Upaya
ini urgen dalam rangka membangun paradigma agama yang madani bukan meddeni. Mustinya penulis artikel diatas mampu membedakan diantara keduanya sehingga
tidak secara serampangan menimpakan kesalahan “oknum penganut agama” pada diri
agama.
Memang secara historis, pembela agama tidak selalu memfungsikan agamanya secara positif. Dengan
mengatasnamakan agama, para pembelanya tidak jarang menodai nilai-nilai
kemanusiaan dan persaudaraan, dari sini muncul stigma bahwa agama seringkali
menimbulkan konflik, permusuhan dan kebencian. Hal ini tidak saja terjadi antar
umat beragama, tetapi juga menimpa inter kelompok seagama, bukan saja dikalangan umat Islam tetapi juga
dikalangan umat Yahudi, Kristen, Hindu, Budha dan para penganut agama-agama
lain. Semua ini -salah satunya- berawal dari cara pemaknaan teks-teks suci yang
literal, harfiyah dan eksetoris sehingga makna substantif, kontekstual dan
esoteris dari teks-teks suci tersebut terabaikan.
Cara pemaknaan teks suci yang literal, harfiyah dan
eksetoris merupakan yang paling dominan di tengah-tengah masyarakat agama,
khususnya muslim di hampir seluruh belahan dunia. Bangunan epistemologi Islam
kebanyakan dirumuskan menurut cara pemaknaan seperti itu sehingga cara
pemaknaan diluar itu akan menghadapi resistensi yang luar biasa. Tidak sedikit
pemikir besar muslim yang menjadi korban kekerasan, pemasungan dan pengucilan
hanya karena membaca teks diluar kerangka tekstualis, literal, harfiyah dan
eksetoris, sebut saja Ibn Rusyd, al-Hallaj dan Ibn ‘Arabi. Juga Ali Abd
al-Raziq, Toha Mahmud, Nasr Hamid Abu Zaid dan lainnya
Oleh karena itu, umat Islamlah yang berkewajiban
menampilkan wajah Islam yang sebenarnya, yang ramah, sejuk, damai serta
demokratis yang tumpah ruah terdapat dalam makna substantif, kontekstual dan
esoteris dari teks-teks suci . Kaum musliminlah yang harus membuktikan bahwa
Islam betul-betul sebagai agama rahmatan lil ‘alamin dengan cara
mewujudkan tatanan hidup berdasarkan persaudaraan, perdamaian, persatuan,
cinta, kasih sayang dan toleransi. Dengan demikian diharapkan semua pihak dapat
memahami betul mana ajaran Islam yang sebenarnya sekaligus mendistingsikannya
dengan ajaran yang telah dipraktekkan berdasarkan interess
interprtation. Dari sini salah faham dan faham yang salah terhadap agama diharapkan tidak lagi
terulang, juga pemanfaatan agama demi motif-motif dan intres politis, ekonomi,
rasial, sosial dan pragmatis dapat secara dini tertanggulangi.
Perlu Atensi dan Klarifikasi.
Kritik yang memaparkan kontradisksi antara ajaran
Islam yang berwajah ramah dengan tindakan sebagian pemeluknya yang berwajah
marah, merupakan realitas yang tak terbantah, karena itu agar kondisinya tidak
semakin parah, umat Islam perlu berbenah dengan bertindak dengan akal dan hati
yang cerah, kaum muslimin tidak boleh hanya diam dan pasrah, sampai eskalasinya semakin meluas dan
menyebar ke segala arah, sehingga penanganannya juga semakin susah. Kendati
konstruksi Islam ditopang oleh kekuatan naqal dan akal serta kedewasaan mental
untuk membangun ketinggian moral, namun bukan berarti telah menutup rapat ruang
bagi menculnya kelompok radikal, bahkan dalam banyak hal mereka makin ganas,
beringas dan tepramental.
Kelompok radikal gregetan melihat perbedaan agama dan
perbedaan penafsiran terhadap Islam. Mereka tak rela agama orang lain
berkembang baik dari segi jumlah
penganutnya maupun jumlah tempat ibadahnya. Tak hanya terhadap umat agama lain.
Kelompok radikal juga mengerahkan kekuatan untuk menumpas gerakan kelompok Islam
lain. Hingga hari ini mereka kukuh untuk mengenyahkan kelompok yang tak
sepaham.
Tidak sedikit tokoh Islam yang menyadari pentingnya
menampilkan Islam ramah bukan Islam marah. Islam ramah adalah Islam yang
cenderung menyelesaikan persengkataan melaui cara-cara bijaksana nir-kekerasan
dan mengacu pada hukum yang berlaku. Main hakim sendiri tidak dikenal dan
tidak dilakukan dalam Islam ramah.
Sebaliknya Islam marah adalah kelompok yang paling gemar memecahkan masalah
dengan amarah, tak hanya marah dalam ceramah, tapi juga marah dalam segala
ranah. Jika mulut melontarkan umpatan dan cacian, maka tangan melakukan
penghancuran bahkan penebasan. Tak jarang, teriakan Allahu Akbar dengan bendera
tauhid berkibar, mereka secara barbar memaksa kelompok lain enyah dan bubar.
Dalam aksinya, mereka seperti orang mabok di bar, mata liar seperti sedang
kesurupan dan kekesar, pikiran hambar
tak ingat suatu apapun kecuali mengobrak-abrik apa yang ada di sekitar. Mulut
berkata suci, lalu tangan yang mengotori dengan tindakan tak terpuji.
Prilaku Islam ramah bukan hanya ada pada ceramah,
melainkan telah dibuktikan oleh sejarah yang tampak pada ajaran dan tindakan
Rasululloh, dan inipun hingga saat ini tak terbantah ; Pertama, Islam
mengajarkan umatnya untuk memulai satu pekerjaan dengan bacaan basmalah, bukan
takbir,. Sudah mafhum, pada bacaan basmalah terdapat nama Allah, al-rahman dan
al-rahim (yang maha pengasih dan penyayang). Ini menunjukkan bahwa tindakan dan
perilaku umat Islam mesti mencerminkan kasih-sayang dan keramahan. Umat Islam
harus merefleksikan dan mengaplikasikan keramahan itu dalam kehidupan
sehari-hari. Gerak hati, lidah dan tangan harus selalu bernuasa kasih-sayang
dan keramahan. Itulah sebabnya yang disebut muslim itu adalah mereka yang
membuat orang lain selamat, aman dan damai
dari lisan dan tangannya.
Kedua, Islam menganjurkan
untuk selalu mengucapkan salam, “assalamu ‘alaikum” dalam setiap pertemuan.
Semua tahu bahwa salam itu berarti damai atau kedamaian. Mengucapkan salam
berarti mendoakan orang lain agar berada dalam kedamaian. Begitu pentingnya
salam-damai itu, tak hanya dalam kehidupan sosial, dalam ibadah ritual seperti
shalat pun umat Islam diwajibkan mendoakan salam-damai setidaknya buat orang
yang ada di kanan dan kiri (sekitar)
kita. Mendoakan damai bagi orang lain jelas menunjukkan keramahan Islam.
Orang yang sangup mendoakan kebaikan untuk orang lain adalah orang yang dalam
hatinya tak ada kebencian, melainkan rahmah dan kasih sayang.
Ketiga, Rasululloh saw adalah
figur yang ramah dan pemaaf, bukan pemarah apalagi pendendam, ditegaskan oleh
banyak riwayat bahwa jika
disakiti, beliau memaafkan dan tidak dendam (in udiya ya’fu wala
yu’aaqib), Jika
diajak bertengkar, beliau diam dan tidak menjawab (wa in khoosima yasmut wala
yujaawib). Bahkan
beliau selalu membalas kejahatan orang lain dengan kebaikan “Tidaklah sama kebaikan dan kejahatan, tolaklah (kejahatan itu) dengan cara
yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada
permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia” (Qs.41 : 34). Pernah suatu ketika, tatkala kota Mekah berhasil ditaklukkan
umat Islam, Rasululloh tidak melakukan pembalasan terhadap intimidasi, isolasi,
dan kekerasan yang pernah dilakukan Musyrik Mekah terhadap diri dan umatnya.
Alih-alih marah, Rasululloh justru berkata, “la tatsriba ‘alaikum al-yawm
yaghfiru Allah lakum idzhabu fa antum al-thulaqa” (hari ini tak ada cercaan
pada kalian, mudah-mudahan Allah mengampuni dosa kalian. Kalian boleh pergi, kemana pun. Kalian adalah
orang-orang bebas).
Keempat, suatu waktu Rasulullah
mengutus Khalid ibn Walid bersama 350 orang ke pemukiman Juzaimah Yalamlam,
untuk kepentingan dakwah. Orang-orang yang ditemui Khalid dan pasukannya itu
tak eksplisit berkata bahwa dirinya memeluk Islam seperti permintaan Khalid.
Mereka hanya berkata, “shaba’na” (kami keluar dari agama kami). Khalid tak
puas dengan perkataan itu. Ia memerintahkan untuk membunuh mereka, ada yang
melaksanakan perintah Khalid, Tapi tak sedikit juga yang menolaknya.
Abdurrahman ibn Auf dan Abdullah ibn Umar termasuk yang tak menyetujui dan
menegur Khalid. Mendengar itu, Rasulullah langsung mengadu kepada Allah, “Allahumma
inni abra’u ilaika mimma shana’a Khalid” (Ya Allah, aku berlepas diri
kepada-Mu dari apa yang dilakukan Khalid). Peristiwa ini menunjukkan penolakan
Nabi terhadap cara-cara kekerasan dalam mendakwahkan Islam, seperti yang
dilakukan Khalid ibn Walid.
Kelima, dikisahkan bahwa
Rasululloh memiliki barang-barang berharga, hasil rampasan perang yang dikirim
Ali ibn Abi Thlib dari Yaman. Nabi membagi harta rampasan itu kepada
orang-orang yang berhak. Namun, Uyanah ibn Badr mengkritik Nabi menganggap
pembagian tersebut tidak adil. Mendengar itu, Khalid ibn Walid bangkit dan
minta ijin untuk membunuh Uyanah ibn Badr. Tapi, Nabi tak mengijinkan Khalid,
Jangan, boleh jadi dia shalat ( La’allahu yushalli ), kata Nabi. Lalu
Khalid berkata, “betapa banyak orang shalat dengan lidahnya, tapi tidak dengan
hatinya”. Nabi kemudian bersabda, “inni lam u’mar an anquba ‘ala qulubi
al-nas wa la asyuqqa buthunahum” (aku tak disuruh untuk menggali isi hati
manusia dan untuk membelah perut mereka). Belajar dari paparan ini, dalam
konteks internal Islam, sekiranya faham lain
masih shalat, maka mestinya mereka tak boleh dibunuh atas dasar apapun,
apalagi hanya berdasar tafsir keislaman yang berbeda.
Umat Islam musti menampilkan wajah Islam yang sebenarnya, sebagaimana
dicontohkan Rasululloh saw, yakni Islam yang ramah, damai dan toleran, serta
menjauhi tindakan kekerasan dan anarkistis dalam perikehidupan di masyarakat
sehingga misi Islam untuk mewujudkan rahmat bagi semesta alam dapat terwujud dengan baik. Tidak ada satupun yang
menghalalkan tindak kekerasan secara semena-mena, apalagi berlaku zalim
terhadap sesame, apapun
alasannya. Janganlah kita mengatasnamakan Islam, tetapi pada praktiknya tidak
menunjukkan jati diri keislaman #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar