Selasa, 03 Juni 2014

ISLAM PEMBAWA DAMAI ; BENARKAH ?



 Ust.Hefni Zain
Pendahuluan
Saya pernah membaca sebuah artikel yang isinya menurut saya penting diperhatikan sekaligus penting pula diluruskan. Penting diperhatikan, karena tulisan tersebut berangkat dari realitas empirik yang tak terpungkiri serta dilengkapi dengan sejumlah ayat Al-Qur’an yang tak terbantah, sehingga dapat menjadi bahan renungan, mengaca dan evaluasi diri. Penting diluruskan, karena penulisnya melakukan generalisasi yang tidak tepat dengan menimpakan kesalahan “oknum penganut agama” pada diri agama. Padahal harus dibedakan antara ajaran agama yang semestinya dengan ajaran yang telah dipraktekkan pemeluknya berdasarkan tafsir kepentingan. Kecuali itu, sejumlah teks Al-Qur’an yang dikutip dalam artikel tersebut hanya dimaknai secara literal, harfiyah, tekstual dan eksetoris, sehingga makna substantif, kontekstual dan esoterisnya terhilangkan. Bagi saya secara umum tulisan dalam artikel tersebut bukan bertolak dari kekokohan epistimologis, melainkan berangkat dari kepengapan psikologis dan kekecewaan emosional yang meletup-letup.
Berikut saya kutip sebagian isi dari artikel dimaksud; ......Beretorika dan mengatakan bahwa Islam adalah agama damai dan membawa kedamaian tentu tidak sulit, yang tidak mudah adalah membuktikannya secara kongkrit dalam ranah emprik dan panggung sejarah. Menyebut Islam agama ramah, menjamin kebebasan, tidak ada paksaan dalam beragama, mengajarkan penghormatan terhadap kelompok lain juga sangat gampang, semua orang bisa mengucapkannya, bahkan seribu kali sehari.
Tetapi bagaimana mungkin orang bisa percaya bahwa Islam agama toleran, kalau atas nama Islam, sambil mengenakan jubah, sorban dan berkalung tasbih, mereka dengan bernafsu membakar gereja, membubarkan paksa jemaat GKI Yasmin yang sedang melakukan ibadah dan melarang pembangunan gereja dengan alasan meresahkan masyarakat ? Bagaimana mungkin orang bisa percaya bahwa Islam agama pembawa damai, mengakui, menghargai dan menghormati kelompok lain, kalau atas nama Islam, sambil mengibarkan bendera tauhid, mereka menyerang, merusak, menghancurkan dan membakar permukiman kaum Ahmadiyah?, Sambil membaca basmalah, mereka membunuh, menyerang, mengkafirkan dan mengusir  penganut  Syiah dari kampung halamannya?
Bagaimana mungkin orang bisa percaya bahwa Islam agama ramah yang berprinsip  tidak ada paksaan dalam beragama,  kalau atas nama Islam, mereka dengan marah, sangar, garang dan sadis melakukan bom bunuh diri dan menewaskan sejumlah orang tak berdosa?,  melakukan aksi-aksi kekerasan dan anarkhisme di sejumlah tempat?, merusak dan merobohkan patung simbol agama tertentu?, mengahalalkan darah kelompok lain yang dianggapnya sesat dan menyesatkan hanya karena berbeda faham?. Bagaimana mungkin orang bisa percaya bahwa Islam menjamin ketentraman, kalau atas nama Islam mereka membiarkan kebiadaban terjadi dengan kasat mata.
Bagaimana mungkin orang bisa percaya bahwa Islam merupakan agama pembawa rahmah bagi sekalian alam (rahmatan lilalamin) yang didalamnya sarat dengan kedamaian, toleransi, harmonisasi, cinta kasih dan persaudaraan, kalau dalam kitab sucinya yang dijadikan pegangan hidup, penuh dengan ajaran dan doktrin yang sebaliknya, sebagaimana fakta berikut :
1.      Al-Qur’an melarang kaum muslimin berteman dengan non muslim, sebagaimana ditegaskan dalam Qs. An-Nisa’ : 144 dan Qs. At-Tawbah : 23.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang kafir (non muslim) sebagai wali (teman, pemimpin, pelindung, penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kalian mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ? (Qs. An-Nisa’ :  144).
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali (mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (Qs, At Taubah : 23).
2.      Al-Qur’an menganggap non muslim sebagai musuh bagi kaum muslimin, sebagaimana ditegaskan dalam Qs. An-Nisa’ : 101 “Sesungguhnya orang- orang kafir (non muslim) itu adalah musuh yang nyata bagimu.
3.      Al-Qur’an menganjurkan kaum muslimin agar mencontoh Nabi Muhammad saw yang bersikap keras terhadap non muslim yang disebutnya sebagai kafir, sebagaimana ditegaskan dalam Qs. Al-Fath:29 “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang dengan sesama mereka”.
4.      Al-Qur’an menganjurkan kaum muslimin agar memerangi non muslim, sebagaimana ditegaskan dalam Qs. At-Tawbah : 123  dan Qs. Al Anfal : 39.
Hai orang-orang yang beriman, Perangilah orang- orang kafir yang disekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan dari padamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertakwa. (Qs. At-Tawbah : 123)
Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya allah maha melihat apa yang mereka kerjakan. (Qs. Al-Anfal : 39)
5.      Al-Qur’an menganjurkan kaum muslimin agar membunuh orang yang menggunakan kebebasan memilih agama yang disebutnya murtad, seperti ditegaskan dalam Qs. Al-Nisa : 89 “Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong- penolong (mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong.
Dengan menjadikan ayat-ayat Al-Qur’an seperti diatas sebagai pegangan hidup, masihkah ada orang yang percaya bahwa Islam merupakan agama pembawa rahmah bagi sekalian alam (rahmatan lilalamin). Dengan fakta doktrinal dan empirik seperti dipaparkan diatas, hanya orang keblinger yang mempercayai bahwa misi  Islam adalah untuk mewujudkan kedamaian, toleransi, harmonisasi, cinta kasih dan persaudaraan, tulis artikel  diatas. Karena itu –masih menurut penulis artikel diatas- tidak salah tatkala Sam Harris (penggiat the Unholy Trinity of Atheism), dalam The End of Faith: Religion: Terror and the Future of Reason mengatakan ; Jika aku bisa mengayunkan tongkat sihirku dan harus memilih apakah melenyapkan perkosaan atau agama, aku tidak akan ragu-ragu lagi untuk melenyapkan agama. Agama sudah semestinya ditinggalkan manusia bukan karena alasan teologis, tetapi karena agama telah menjadi sumber kekerasan pada setiap zaman, dulu, sekarang dan yang akan datang. Hal ini sejalan dengan pernyataan Romo Magnis bahwa banyak orang menjadi ateis karena kecewa menyaksikan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para penganut agama. Mereka melihat kontradiksi antara apa yang dikhotbahkan dengan apa yang dilakukan. Demikian sebagian isi dari artikel dimaksud.
Meluruskan beberapa kekeliruan
Jika ada yang mengajarkan dan menganjurkan keburukan, kejahatan dan kekacauan dalam segala bentuknya, pasti itu bukan agama, bukan berasal dari agama atau agama hanya diatas namakan, sebab yang namanya agama adalah sumber kebaikan bukan sumber keburukan. Secara substansial, tidak ada satupun agama di dunia ini yang mengajarkan dan menganjurkan keburukan, karena itu setiap bentuk ketidak baikan yang terjadi dalam ranah riil kemanusiaan atas nama agama, dapat dipastikan sebagai prilaku oknum pengikut agama yang salah faham terhadap ajaran agama atau menggunakan faham yang salah dalam memotret agama. Maka munculnya berbagai ketidak puasan terhadap prilaku umat beragama, karena di ranah empirik telah “dianggap” mencederai nilai-nilai luhur kemanusiaan seperti kedamaian, keadilan, penghormatan dan semacamnya sesungguhnya bukan konsederasi yang tepat atau hujjah yang kuat untuk melakukan generalisasi dan menimpakan kesalahan itu pada diri agama.
Salah faham dan faham yang salah terhadap agama, ditambah lagi motif-motif sekuler -misalnya intress politis, ekonomi, rasial, sosial dan pragmatis lainnya- yang dilakukan pemeluk beragama atas nama doktrin agama,  telah menyeret agama pada stigma yang mengenaskan. Bahkan campur aduknya aspek doktrin teologis ajaran agama dengan aspek kultural-historis-sosiologis yang merupakan hasil tafsir manusia atas ajaran agama, sering memperburuk citra agama pada wilayah historis - empiris kemanusiaan.
Dalam banyak kasus, pemeluk agama kerapkali sulit membedakan mana doktrin agama yang bersifat normatif (dilandasi teks-teks suci) dan mana yang tafsir terhadap teks-teks suci (sering dimuati kepentingan politis, kultural, sosiologis dan pragmatis). Tumpang tindih antara konsepsional normatif dengan operasional interpretatif, antara ajaran yang semestinya dengan ajaran yang telah dipraktekkan, pada gilirannya menyeret agama dalam dua wajah; ramah dan marah, vital dan vatal, memberdayakan dan mempedayakan, sumber perdamaian dan sumber pertengkaran. Realitas seperti inilah yang salah satunya mendorong banyak pihak mencari “pendekatan baru” (Arkoun menyebutnya, Rethinking)  guna menemukan ajaran yang semestinya sekaligus mendemarkasinya secara tegas dengan ajaran yang telah dipraktekkan berdasarkan tafsir kepentingan.  Upaya ini urgen dalam rangka membangun paradigma agama yang madani bukan meddeni. Mustinya penulis artikel diatas mampu membedakan diantara keduanya sehingga tidak secara serampangan menimpakan kesalahan “oknum penganut agama” pada diri agama.
Memang secara historis, pembela agama tidak selalu  memfungsikan agamanya secara positif. Dengan mengatasnamakan agama, para pembelanya tidak jarang menodai nilai-nilai kemanusiaan dan persaudaraan, dari sini muncul stigma bahwa agama seringkali menimbulkan konflik, permusuhan dan kebencian. Hal ini tidak saja terjadi antar umat beragama, tetapi juga menimpa inter kelompok seagama,  bukan saja dikalangan umat Islam tetapi juga dikalangan umat Yahudi, Kristen, Hindu, Budha dan para penganut agama-agama lain. Semua ini -salah satunya- berawal dari cara pemaknaan teks-teks suci yang literal, harfiyah dan eksetoris sehingga makna substantif, kontekstual dan esoteris dari teks-teks suci tersebut terabaikan.
Cara pemaknaan teks suci yang literal, harfiyah dan eksetoris merupakan yang paling dominan di tengah-tengah masyarakat agama, khususnya muslim di hampir seluruh belahan dunia. Bangunan epistemologi Islam kebanyakan dirumuskan menurut cara pemaknaan seperti itu sehingga cara pemaknaan diluar itu akan menghadapi resistensi yang luar biasa. Tidak sedikit pemikir besar muslim yang menjadi korban kekerasan, pemasungan dan pengucilan hanya karena membaca teks diluar kerangka tekstualis, literal, harfiyah dan eksetoris, sebut saja Ibn Rusyd, al-Hallaj dan Ibn ‘Arabi. Juga Ali Abd al-Raziq, Toha Mahmud, Nasr Hamid Abu Zaid dan lainnya
Oleh karena itu, umat Islamlah yang berkewajiban menampilkan wajah Islam yang sebenarnya, yang ramah, sejuk, damai serta demokratis yang tumpah ruah terdapat dalam makna substantif, kontekstual dan esoteris dari teks-teks suci . Kaum musliminlah yang harus membuktikan bahwa Islam betul-betul sebagai agama rahmatan lil ‘alamin dengan cara mewujudkan tatanan hidup berdasarkan persaudaraan, perdamaian, persatuan, cinta, kasih sayang dan toleransi. Dengan demikian diharapkan semua pihak dapat memahami betul mana ajaran Islam yang sebenarnya sekaligus mendistingsikannya dengan ajaran yang telah dipraktekkan berdasarkan interess interprtation.  Dari sini salah faham dan faham yang salah terhadap agama diharapkan tidak lagi terulang, juga pemanfaatan agama demi motif-motif dan intres politis, ekonomi, rasial, sosial dan pragmatis dapat secara dini tertanggulangi.
Perlu Atensi dan Klarifikasi.
Kritik yang memaparkan kontradisksi antara ajaran Islam yang berwajah ramah dengan tindakan sebagian pemeluknya yang berwajah marah, merupakan realitas yang tak terbantah, karena itu agar kondisinya tidak semakin parah, umat Islam perlu berbenah dengan bertindak dengan akal dan hati yang cerah, kaum muslimin tidak boleh hanya diam dan pasrah,  sampai eskalasinya semakin meluas dan menyebar ke segala arah, sehingga penanganannya juga semakin susah. Kendati konstruksi Islam ditopang oleh kekuatan naqal dan akal serta kedewasaan mental untuk membangun ketinggian moral, namun bukan berarti telah menutup rapat ruang bagi menculnya kelompok radikal, bahkan dalam banyak hal mereka makin ganas, beringas dan tepramental.
Kelompok radikal gregetan melihat perbedaan agama dan perbedaan penafsiran terhadap Islam. Mereka tak rela agama orang lain berkembang baik  dari segi jumlah penganutnya maupun jumlah tempat ibadahnya. Tak hanya terhadap umat agama lain. Kelompok radikal juga mengerahkan kekuatan untuk menumpas gerakan kelompok Islam lain. Hingga hari ini mereka kukuh untuk mengenyahkan kelompok yang tak sepaham.
Tidak sedikit tokoh Islam yang menyadari pentingnya menampilkan Islam ramah bukan Islam marah. Islam ramah adalah Islam yang cenderung menyelesaikan persengkataan melaui cara-cara bijaksana nir-kekerasan dan mengacu pada hukum yang berlaku. Main hakim sendiri tidak dikenal dan tidak  dilakukan dalam Islam ramah. Sebaliknya Islam marah adalah kelompok yang paling gemar memecahkan masalah dengan amarah, tak hanya marah dalam ceramah, tapi juga marah dalam segala ranah. Jika mulut melontarkan umpatan dan cacian, maka tangan melakukan penghancuran bahkan penebasan. Tak jarang, teriakan Allahu Akbar dengan bendera tauhid berkibar, mereka secara barbar memaksa kelompok lain enyah dan bubar. Dalam aksinya, mereka seperti orang mabok di bar, mata liar seperti sedang kesurupan dan kekesar,  pikiran hambar tak ingat suatu apapun kecuali mengobrak-abrik apa yang ada di sekitar. Mulut berkata suci, lalu tangan yang mengotori dengan tindakan tak terpuji.
Prilaku Islam ramah bukan hanya ada pada ceramah, melainkan telah dibuktikan oleh sejarah yang tampak pada ajaran dan tindakan Rasululloh, dan inipun hingga saat ini tak terbantah ; Pertama, Islam mengajarkan umatnya untuk memulai satu pekerjaan dengan bacaan basmalah, bukan takbir,. Sudah mafhum, pada bacaan basmalah terdapat nama Allah, al-rahman dan al-rahim (yang maha pengasih dan penyayang). Ini menunjukkan bahwa tindakan dan perilaku umat Islam mesti mencerminkan kasih-sayang dan keramahan. Umat Islam harus merefleksikan dan mengaplikasikan keramahan itu dalam kehidupan sehari-hari. Gerak hati, lidah dan tangan harus selalu bernuasa kasih-sayang dan keramahan. Itulah sebabnya yang disebut muslim itu adalah mereka yang membuat orang lain selamat, aman dan damai  dari lisan dan tangannya.
Kedua, Islam menganjurkan untuk selalu mengucapkan salam, “assalamu ‘alaikum” dalam setiap pertemuan. Semua tahu bahwa salam itu berarti damai atau kedamaian. Mengucapkan salam berarti mendoakan orang lain agar berada dalam kedamaian. Begitu pentingnya salam-damai itu, tak hanya dalam kehidupan sosial, dalam ibadah ritual seperti shalat pun umat Islam diwajibkan mendoakan salam-damai setidaknya buat orang yang ada di kanan dan kiri (sekitar)  kita. Mendoakan damai bagi orang lain jelas menunjukkan keramahan Islam. Orang yang sangup mendoakan kebaikan untuk orang lain adalah orang yang dalam hatinya tak ada kebencian, melainkan rahmah dan kasih sayang.
Ketiga, Rasululloh saw adalah figur yang ramah dan pemaaf, bukan pemarah apalagi pendendam, ditegaskan oleh banyak riwayat bahwa jika disakiti, beliau memaafkan dan tidak dendam (in udiya ya’fu wala yu’aaqib), Jika diajak bertengkar, beliau diam dan tidak menjawab (wa in khoosima yasmut wala yujaawib). Bahkan beliau selalu membalas kejahatan orang lain dengan kebaikan “Tidaklah sama kebaikan dan kejahatan, tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia” (Qs.41 : 34). Pernah suatu ketika, tatkala kota Mekah berhasil ditaklukkan umat Islam, Rasululloh tidak melakukan pembalasan terhadap intimidasi, isolasi, dan kekerasan yang pernah dilakukan Musyrik Mekah terhadap diri dan umatnya. Alih-alih marah, Rasululloh justru berkata, “la tatsriba ‘alaikum al-yawm yaghfiru Allah lakum idzhabu fa antum al-thulaqa” (hari ini tak ada cercaan pada kalian, mudah-mudahan Allah mengampuni dosa kalian. Kalian boleh pergi, kemana pun. Kalian adalah orang-orang bebas).
Keempat, suatu waktu Rasulullah mengutus Khalid ibn Walid bersama 350 orang ke pemukiman Juzaimah Yalamlam, untuk kepentingan dakwah. Orang-orang yang ditemui Khalid dan pasukannya itu tak eksplisit berkata bahwa dirinya memeluk Islam seperti permintaan Khalid. Mereka hanya berkata, “shaba’na” (kami keluar dari agama kami). Khalid tak puas dengan perkataan itu. Ia memerintahkan untuk membunuh mereka, ada yang melaksanakan perintah Khalid, Tapi tak sedikit juga yang menolaknya. Abdurrahman ibn Auf dan Abdullah ibn Umar termasuk yang tak menyetujui dan menegur Khalid. Mendengar itu, Rasulullah langsung mengadu kepada Allah, “Allahumma inni abra’u ilaika mimma shana’a Khalid” (Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dilakukan Khalid). Peristiwa ini menunjukkan penolakan Nabi terhadap cara-cara kekerasan dalam mendakwahkan Islam, seperti yang dilakukan Khalid ibn Walid.
Kelima, dikisahkan bahwa Rasululloh memiliki barang-barang berharga, hasil rampasan perang yang dikirim Ali ibn Abi Thlib dari Yaman. Nabi membagi harta rampasan itu kepada orang-orang yang berhak. Namun, Uyanah ibn Badr mengkritik Nabi menganggap pembagian tersebut tidak adil. Mendengar itu, Khalid ibn Walid bangkit dan minta ijin untuk membunuh Uyanah ibn Badr. Tapi, Nabi tak mengijinkan Khalid, Jangan, boleh jadi dia shalat ( La’allahu yushalli ), kata Nabi. Lalu Khalid berkata, “betapa banyak orang shalat dengan lidahnya, tapi tidak dengan hatinya”. Nabi kemudian bersabda, “inni lam u’mar an anquba ‘ala qulubi al-nas wa la asyuqqa buthunahum” (aku tak disuruh untuk menggali isi hati manusia dan untuk membelah perut mereka). Belajar dari paparan ini, dalam konteks internal Islam, sekiranya faham lain  masih shalat, maka mestinya mereka tak boleh dibunuh atas dasar apapun, apalagi hanya berdasar tafsir keislaman yang berbeda.
Umat Islam musti menampilkan wajah Islam yang sebenarnya, sebagaimana dicontohkan Rasululloh saw, yakni Islam yang ramah, damai dan toleran, serta menjauhi tindakan kekerasan dan anarkistis dalam perikehidupan di masyarakat sehingga misi Islam untuk mewujudkan rahmat bagi semesta alam dapat terwujud dengan baik. Tidak ada satupun yang menghalalkan tindak kekerasan secara semena-mena, apalagi berlaku zalim terhadap sesame, apapun alasannya. Janganlah kita mengatasnamakan Islam, tetapi pada praktiknya tidak menunjukkan jati diri keislaman #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar