Ust.Hefni Zain
Muqoddimah
Menarik
mencermati tulisan Nurcholish Madjid yang memetakan kecenderungan pola
keberagamaan dalam tiga perspektif, yakni : beragama secara eksklusif, beragama
secara insklusif dan beragama secara pluralis. Pertama, beragama
secara eksklusif adalah cara beragama yang meyakini bahwa hanya agamanyalah
yang paling benar dan mampu memberikan penyelamatan dunia akherat, sebaliknya
agama lain adalah jalan yang salah dan
menyesatkan. Pola keberagamaan seperti ini biasanya lebih literal-tektual-normatif
sehingga diidentikkan dengan fundamentalisme. Kedua, beragama
secara inklusif adalah cara beragama yang lebih terbuka dan mengakui serta
memahami eksistensi keanekaragaman teologis, dalam pola keberagamaan inklusif
sering disebutkan agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita. Ketiga,
beragama secara pluralis yakni cara keberagamaan yang memandang bahwa agamanya
dan agama-agama lain adalah menempuh jalan yang berbeda tetapi sama-sama sah
untuk mencapai tujuan kebenaran yang sama”, Pola keberagaan pluralis menganggap
setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran. Dua pola terakhir
biasanya lebih non literal-historikal-kontekstual, sehingga diidentikkan
dengan liberalisme.
Ketiga
pola pemahaman ini tidak hanya terjadi pada agama tertentu, tetapi berlaku
secara umum. Dalam Islampun ketiga pola beragama ini berkembang secara
intensif. Yang menarik, masing-masing pola pemahaman diatas sama-sama membangun
pandangan-pandangannya dengan merujuk dan mendasarkan diri pada realitas teks (kitab
suci) yang memang memiliki berbagai kemungkinan makna (yahtamil al-wujuh).
Bila keberagamaan eksklusif merujuk pada penegasan eksplisit al-Qur’an yang
menyatakan bahwa keselamatan hanya hanya bagi pemeluk Islam (Qs. 3: 19 dan 85),
keselamatan yang dijanjikan bagi umat
non Muslim (Yahudi, Nasrani dan Sabiah) dalam Qs 2: 62 dan Qs 5: 69 hanya
berlaku bagi umat sebelum Nabi Muhammad Saw. Setelah kedatangan dakwah Nabi,
maka keselamatan diberikan kepada mereka dengan syarat mengikuti syariat Nabi
Muhammad Saw. Maka keberagamaan inklusif-pluralis mendasarkan keyakinannya pada
pengakuan terhadap eksistensi dan kebenaran kitab-kitab sebelum Islam. (Qs. 5:
44; 46-47; dan 66), pengakuan terhadap
para pembawa agama sebelumnya seperti Musa dan Isa al-Masih, pengakuan
eksplisit al-Qur’an terhadap Yahudi, Nashrani, Sabi`in yang beriman
kepada Allah, percaya akan Hari Akhir, dan melakukan amal saleh, serta
kebolehan umat Islam untuk berteman dengan umat agama lain, selama umat agama
lain itu tak memusuhi dan tak mengusir umat Islam dari tempat tinggalnya. Jadi
bila yang pertama memilih ayat-ayat yang menunjukkan sikap menegasikan
keselamatan bagi pemeluk agama lain hingga memerintahkan untuk memerangi kuffar
(non Muslim) dengan kriteria tertentu. Maka yang kedua memilih ayat-ayat yang secara
tegas menunjukkan sikap simpati, penghargaan, bahkan pengakuan keselamatan bagi
para pemeluk agama lain.
Dinamika
pergumulan ragam perspektif diatas terus berkembang menjadi semakin intens dan
massif, mulai dari sekadar mengoreksi, mengkritisi, menyalahkan, dan bahkan
menyematkan label sesat kepada pihak yang berseberangan. Dan yang paling
penting adalah intensitas dinamika pergumulan ragam perspektif itu melahirkan
ketegangan kreatif (creative tension), yang kemudian melahirkan
karya-karya yang cukup berharga dalam diskursus tafsir. Namun harus tetap
dijaga agar ketegangan tersebut tidak mengarah pada usaha menegasikan eksistensi
kelompok yang berseberangan yang justru melahirkan ketegangan destruktif (destructive
tension).
Ragam Pemahaman; Implikasi Keterbatasan Manusia
Kebenaran mutlaq dan kebenaran puncak yang tak
terbatas hanyalah milik Allah yang maha tak terbatas, maka setiap pencari
kebenaran pada hakekatnya sedang mencari kebenaran yang tak terbatas, namun
betapapun ditemukan dan diyakini suatu kebenaran insan, tetap saja ia tebatas.
Setiap
model pemahaman manusia tentang kebenaran hakikinya bersifat terbatas (relatif)
yang didalamnya mengandung probabilitas benar disamping probabilitas salah. Jadi pencarian kebenaran yang dilakukan manusia
tidak mungkin berpuncak pada kebenaran puncak, apalagi menjadi puncak itu
sendiri, sebab hal itu adalah kewenangan Allah. Disinilah letak keterbatasan
manusia.
Karena keterbatasan manusia inilah, maka perbedaan
dan keragaman menjadi tidak terelekkan, termasuk dalam memahami kebenaran. Tatkala Allah
memerintahkan manusia untuk berfikir dan Allah mengetahui persis bahwa
kapasitas fikir manusia adalah beragam dan berbeda antara satu dengan lainnya,
maka produk fikir yang dihasilkanpun akan beragam, Karena itulah keragaman dan perbedaan adalah sunnatulloh. Dalam pepatah Arab disebutkan Li Kulli Ro'sin Ro'yun (Lain kepala lain pendapat). Bahkan
ditegaskan dalam Qs.5 : 48 “Sekiranya Tuhanmu menghendaki, niscaya kamu
dijadikannya satu umat saja (seragam), tetapi Allah hendak menguji kamu
terhadap pemberianNya (keberagaman)
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah kembali
kamu semuanya, lalu diberitahukannya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
Sayid Abu Bakr al-Adni al- Masyhur dalam karyanya “al-Zauba'ah
al- Aashifah” menerangkan bahwa perbedaan tak lain merupakan hikmah ilahi,
maka bagi yang memahami hikmah ini, seyogyanya selalu memaklumi perbedaan dari
yang lain, dan mengukurnya dengan barometer etika terhadap Allah dan semua
hamba-Nya. Maka pencarian kebenaran yang dilakukan
seseorang menuntut sikap terbuka (non sektarian), dialektis, dan sharing dengan yang lain, sebab sikap monopoli kebenaran, tidak menghargai
perbedaan pendapat, menilai pandangan orang lain selalu salah dan menilai pandangannya
sendiri selalu benar, pada dasarnya bertolak belakang dengan sunnatulloh dan sifat
manusia. Sikap-sikap demikian paradoks dengan prinsip tauhid dan tidak kondusif
bagi tumbuhnya kesadaran ukuwah insaniyah. Dalam Islam, menurut Sayid Muhammad al-Shathiry dalam bukunya “al-wahdah al-islamiyah’ bahwa
Islam pada substansinya mempunyai karakteristik menyatukan bukan memecah belah. Yang absolut
hanyalah ajaran pada tataran langit atau wahyu, sementara interpretasi terhadap
ajaran (tataran bumi) adalah bersifat relatif. Al-Qur’an menyindir orang-orang yang
terus berselisih padahal mereka sama-sama merujuk pada kitab suci yang sama
yang bersumber dari Allah swt.
Sejarah
Islam telah mencatat bahwa perbedaan dalam menafsirkan Islam sudah berlangsung
hanya sesaat setelah Rasulullah saw wafat dan terus berlangsung hingga hari
ini. Itu artinya, bahwa Islam sebagaimana ditunjukkan oleh sejarahnya adalah
beragam warna, Dalam bidang aqidah dan teologi terdapat puluhan firqoh dan
sekte, dalam bidang syariah dan fiqh terdapat puluhan mazhab, juga dalam bidang
akhlaq tasawwuf terdapat puluhan tariqoh dan aliran. Namun demikian, bukan
berarti masing-masing firqoh, mazhab dan aliran tidak bisa bekerjasama atau
bersatu. Persatuan tidak harus dimaknai
sebagai keseragaman, lebih-lebih dalam masyarakat majmuk yang multi ideologi
dan multikultur. Dengan kata lain, seseorang harus mempercayai sesuatu yang
mutlak, tetapi pada saat yang sama mentoleransi kemungkinan orang lain
mempercayai kemutlakan berbeda." Menerima kemutlakan sekaligus mengakui
relativitas adalah keniscayaan dalam beragama seraya bisa hidup berdampingan
secara damai dengan kelompok lain.
Memaksakan
"satu pemahaman Islam" kepada semua penganut Islam, tentulah
menyalahi watak toleransi Islam. Obsesi seseorang atau suatu kelompok terhadap
"satu model pemahaman" hanya mungkin dilakukan lewat pemaksaan,
kekerasan, penindasan atau bahkan senjata, dan itu menyalahi konsep dasar Islam
tentang "tidak ada paksaan dalam beragama". Cara beragama pada era global
seperti dewasa ini memiliki tantangan tersendiri, karena selain dihadapkan pada
makin banyaknya perspektif pemahaman yang berbeda dalam lingkup agama tertentu
di satu sisi, di sisi lain umat beragama juga dihadapkan pada realitas beragama
di tengah agama orang lain.
Seperti
disinggung sebelumnya, Nurcholish Madjid memetakan kecenderungan pola
keberagamaan pada tiga perspektif, yakni : beragama secara eksklusif, beragama
secara insklusif dan beragama secara pluralis.
1. Beragama secara eksklusif
Beragama
secara eksklusif merupakan suatu sikap beragama yang berpegang teguh pada formal teks secara literal, berpedoman pada tradisi
yang terbentuk dimasa silam dan mengikatkannya secara ketat serta menganggap
ajaran yang mereka yakini sebagai kebenaran mutlak yang tidak perlu dirubah
lagi karena secara otoritatif telah dirumuskan oleh para pendahulu secara final dan tuntas. Ekslusifisme
biasanya dipahami sebagai respon tradisional sebuah agama terhadap agama-agama
lain dengan kacamata agamanya sendiri yang didukung oleh penafsiran yang harfiyah
dan literal atas doktrin-doktrin keagamaan yang tertulis dalam teks suci agama.
Bagi mereka umat terbaik
adalah umat terdahulu, sehingga apabila ingin memperbaiki kehidupan masyarakat,
mesti meniru metode dakwah yang dipraktekkan umat terdahulu. Karena model pendekatan
ini dalam wilayah kerjanya selalu berpegang pada fundamen-fundamen pokok islam
sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits atau kembali kepada fundamen-fundamen keimanan,
penegakan kekuasaan politik ummah dan pengukuhan dasar-dasar otoritas yang absah
(Syar’iyyah al hukm), maka ia juga disebut
sebagai pemahaman
fundamental.
Fundamentalisme
seperti yang dideskripsikan diatas sebenarnya bukanlah monopoli dan berlaku
khusus untuk agama tertentu, tetapi berlaku secara menyeluruh pada setiap
agama. Hal ini dalam agama Katolik dimonopoli oleh doktrin exstra ecclesiam nulla salus
est, no salvation out side the church (tidak ada keselamatan di luar Gereja), klaim ini mendapat penegasan normatif dalam Yohanes 14 : 6” Jesus said: I’m the way
and the truth and the life, no one cames to the father except through me” (Kata Yesus; Akulah jalan dan kebenaran dari
hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku).
Dalam
Islam sikap eksklusif yang identik dengan deskripsi diatas dapat dijumpai dalam
beberapa ayat, antara lain “ Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah
hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali
sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di
antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka
Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya (Qs.Ali Imron : 19). “Sesungguhnya
kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang
yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. dan Sesungguhnya
kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman
ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Kami ini orang
Nasrani". yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu
(orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena
Sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri. (Qs. Al-Maidah : 82)
Beberapa karakteristik yang mencirikan penganut model ini : (a) Memagang kokoh agama dalam
bentuk harfiah atau literal, mereka menolak hermeneutika dan upaya interprertasi kritis
terhadap teks suci, karena akal dianggap tidak mampu memberikan interpreatasi
yang tepat terhadap teks. (b) Prinsip utamanya adalah
oppositionalism (paham perlawanan) yang mengambil bentuk perlawanan radikal
terhadap berbagai ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agamanya. (c)
Perkembangan masyarakat dalam sejarah
dipandang sebagai “as it should be”
dan bukan “as it is”, karena itu bagi mereka masyarakat yang harus
menyesuaikan diri dengan teks suci dan bukan sebaliknya, (teks suci ditarik
tarik dan dipaksa menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat). Menurutnya
kebenaran yang diyakininya bersifat universal dan holistik, ia merupakan sistem komprehensip
yang mampu berkembang sendiri (mutakamil bi dzatihi), dan berlaku untuk
segala waktu dan tempat sehingga tidak perlu bongkar pasang.
Persoalannya
kemudian adalah sikap beragama yang diidentikkan dengan fundamentalisme atau
sikap yang menjunjung tinggi eksklusivisme akhir-akhir ini sedang menghiasi
wacana global yang oleh kalangan tertentu dinilai sebagai ancaman terhadap
perdamaian global. Fundamentalisme merupakan fenomena global yang hampir
ditemui pada semua agama besar. Meski masing-masing memiliki hukum dan
dinamikanya sendiri, semua gerakan fundamentalisme mempunyai ciri yang khas
yang nyaris serupa. Kelompok ini merupakan gerakan dengan penggunaan
simbol-simbol agama sebagai reaksi atas modernisasi yang telah mengakibatkan
krisis kemanusiaan global dan lingkungan yang akut. Dalam respon modernitas itu
gerakan ini mencoba kembali pada agamanya dimasa lampau dengan mengangkat
teks-teks suci melalui pemahaman yang literatistik.
Fundamentalisme
apabila ditarik pada wilayah historisitas Islam, maka istilah ini tergolong
baru bahkan penterjemahan fundamentalisme ke dalam bahasa Arab tidak begitu
populer kecuali setelah dua dekade terakhir. Fundamentalisme dalam bahasa Arab
disebut dengan al-Ushuliyah. Fundamentalisme
dapat dimaknai sebagai paham yang ingin kembali pada dasar-dasar keagamaan.
Akar-akarnya dapat dilihat pada model pemikiran yang berkembang pada abad
pertengahan terutama pada pemerintahan al-Mansur dalam dinasti Abbasiyah,
ketika dasar-dasar keagamaan mulai dikodifikasi. Dasar-dasar yang berkaitan
dengan teologi disebut ushuliyah, sedangkan dalam
wilayah fiqih disebut dengan ushul fiqh.
Dari
deskripsi ini dapat dimengerti dengan jelas bahwa fundamentalisme yang berakar
dari sikap eksklusif dalam beragama yang memandang teks-teks suci secara
literer yang memiliki kecenderungan tertutup yang awalnya merupakan gerakan
pemahaman agama karena adanya respon dialogis dengan modernitas dan peradaban
secara berangsur berubah menjadi gerakan politis yang mengusung atas nama agama
untuk menyatakan eksistensi mereka, jadi fundamentalisme yang selama ini
diidentikkan dengan agama terutama Islam sebenarnya merupakan gerakan
politisasi agama dalam kegamangan eksistensi.
2. Beragama secara inklusif
Beragama
secara inklusif adalah sikap beragama yang
mengajarkan keterbukaan dalam berhubungan dengan agama lain. Sikap terbuka ini
akan berdampak pada relasi sosial yang sehat dan harmonis antar sesama penganut
agama. Inklusifitas ini berlandaskan
toleransi dan penghormatan akan kebebasan setiap orang untuk meyakini,
menjalani dan mengekspresikan agama yang dianutnya, perbedaan cara beragama ini
tidak boleh menjadi penghalang bagi upaya saling menghormati, menghargai, dan
bekerjasama. Inklusifitas yang dikandung ajaran agama adalah menganut
prinsip-prinsip moderat, karenanya penegakkan kebenaran harus dilakukan dengan
jalan kebenaran pula, bukan dengan
jalan kekerasan. Penghormatan terhadap agama lain adalah perwujudan dari sikap
moderat. Sikap moderat seperti ini tidak berarti bahwa kita tidak konsisten
dalam beragama, sebab inklusifitas bukan membenarkan semua agama tetapi
menyakini bahwa semua agama memiliki kebenaran. Semangat inklusif adalah
membuka diri untuk mencari dan menerima berbagai kebenaran yang memang tidak
tunggal dan seragam tetapi plural dan
beragam.
Inklusifisme
sebagai sebuah perspektif beragama adalah respon terhadap dilema yang yang
belum diakomodasi dalam eksklusifisme, jika kaum ekslusif mengajarkan bahwa
keselamatan hanya ditemukan dalam satu agama tertentu dan diperoleh melalui ketaatan
terhadap aturan-aturan yang ada dalam kitab suci salafiyah, maka kaum
inklusifisme melihat adanya keluasan dari kasih Tuhan dan ia diperoleh
berdasarkan cinta Tuhan kepada manusia.karena itu dalam Islam, umatnya
sangat didorong untuk belajar dan memperkaya dirinya dengan berbagai
pengetahuan dan hikmah tak peduli dari manapun datangnya. Bagi Islam tidak ada
satupun yang diciptakan Allah swt yang sia-sia, semua agama mengandung kebenaran, pengetahuan dan himkah
yang bermanfaat bagi keselamatan manusia, hanya saja cara yang digunakan bisa
saja berbeda antara agama yang satu dengan agama yag lainnya.
Karakteristik yang paling nampak dari cara
beragama inklusif, antara lain adalah : penekanan pada semangat religio etik,
bukan pada makna literal sebuah teks, penafsiran terhadap teks
suci agama adalah didasarkan pada semangat dan spirit teks, memahami latar teks
secara kontekstual, substansial dan non literal, menurut mereka kasih sayang Tuhan
tidak terbatas pada orang-orang tertentu saja karena kasih sayang Tuhan
melingkupi seluruh umat manusia dari agama apapun, ras apapun dan negara
manapun. Sikap Inklusif inilah yang nantinya sebagai dasar untuk menuju sikap
pluralistik. Dalam pandangan mereka hanya dengan
model
keberagamaan seperti ini, agama-agama akan berkembang secara kreatif menjadi bagian
dari peradaban manusia universal.
Secara
garis besar keberagamaan inklusif dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu
inklusifisme monistik dan inklusifisme pluralistik. Inklusif
monistik; Secara mendasar berargumen bahwa keselamatan dan
kebenaran bukanlah milik agama tertentu, tetapi agama-agama lainpun
memilikinya. Hanya saja, kebenaran yang ada ada agama-agama lain tersebut
diposisikan sebagai “agama anonim". Sedangkan inklusifisme
pluralistik beranggapan bahwa kebenaran suatu agama bernilai sama dengan
kebenaran agama-agama lain dan tidak berposisi sebagai agama anonim. Kedua hal
diatas, masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatan inklusifisme
monistik adalah dapat mempertahankan keagamaan dan menghubungkan dengan karunia
diluarnya, sedangkan kelemahannya adalah memandang orang yang beragama lain
sebagai penganut agama anonim, dan mengabaikan perbedaan yang mendasar antara
pemeluk agama yang satu dengan yang lain.
Sikap
inklusif dalam Islam mendapatkan pengesahan normatif, diantaranya :Tidak
ada paksaan untuk beragama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari
jalan yang salah (Qs. Al-Baqoroh : 256), Sungguh
kami (Tuhan) telah mengutus seorang Rasul pada setiap ummat, (Qs. Al-Nahl :
36), Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa
yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama
dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (Qs. As Syura : 13), Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu
kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang
kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il,
Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan Kami
berikan Zabur kepada Daud. (QS. An Nisa’ : 163)
Dalam keberagamaan inklusif, agama ditampilkan sebagai pembawa
kebaikan bagi semua mahluk Tuhan di muka bumi, karena itu salah satu
orientasinya adalah menempatkan
agama sebagai kekuatan moral membendung kekerasan, hal ini dimulai dengan
membuka wacana keberagamaan yang memberi ruang kebebasan bagi setiap individu
untuk memilih dan mengembangkan keyakinan pribadinya, mengajarkan sikap terbuka
dalam beragama dan dengan berhubungan dengan penganut agama lain, sikap terbuka
ini diyakini akan berdampak pada relasi sosial yang menentramkan baik inter
maupun antar pemeluk agama.
3. Beragama secara
Pluralistik
Beragama secara pluralistik adalah sikap beragama yang
meyakini akan banyak dan beragamnya hakikat realitas kehidupan, termasuk
realitas keberagamaan manusia. Pluralisme agama diartikan sebagai
pandangan dan sikap bahwa hakikat agama di dunia ini tidak hanya satu tetapi
banyak atau beragam. Ajaran pluralistik menganggap semua agama, sebagai “ruang-ruang” soteriologis (soteriological spaces)
atau jalan-jalan soteriologis (soteriological
ways) yang melaluinya manusia bisa mendapatkan keselamatan,
kebebasan dan pencerahan. Semuanya valid, karena pada dasarnya semuanya
sama-sama merupakan bentuk-bentuk respon otentik yang berbeda dan beragam
terhadap hakikat ketuhanan (the Real)
yang sama dan transenden. Ajaran ini diharapkan mampu memberikan solusi yang ramah terhadap
konflik-konflik antar agama.
Pluralisme bukan
sekedar keadaan atau fakta yang bersifat plural, jamak, atau banyak, juga bukan sekedar pengakuan
bahwa heterogenitas itu ada dalam realitas,
lebih dari itu, pluralisme secara substansial termanifestasi dalam sikap untuk
saling mengakui sekaligus menghargai, menghormati, memelihara, dan bahkan
mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak atau banyak.
Menurut Nurcholish Madjid pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati
kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities
withi the bond of civility). Pluralisme adalah sebuah paham tentang pluralitas.
Paham, bagaimana melihat keragaman dalam agama-agama, mengapa dan bagaimana
memandang agama-agama, yang begitu banyak dan beragam. Apakah hanya ada satu
agama yang benar atau semua agama benar. pluralisme
diartikan sebagai kemampuan untuk hidup damai bersama satu pemeluk agama dengan
pemeluk agama lain.
Dalam konteks agama-agama,
pluralistik mengacu kepada teori atau sikap bahwa semua agama, meskipun dengan
jalan yang berbeda-beda, menuju kepada satu tujuan yang sama, Yang Absolut,
Yang Terakhir, yakni Tuhan. Tetapi pluralisme bukanlah relativisme, atau
memandang semua agama sama saja. Pluralisme adalah sikap tenang dan tidak
terganggu dengan iman dan keberagamaan orang lain. Pluralisme itu bukan berarti
memandang semua agama sama. Sebagai sebuah sikap yang terbuka terhadap
kemajemukan, paham pluralisme juga tidak mengenal sikap memaksakan ajaran agama
yang satu ke pemeluk agama yang lain.
Dalam perspektif Islam, perbedaan dan keragaman
agama dianggap sebagai suatu hakikat
ontologis (haqiqah wujudiyah/kauniyah) dan sunnatullah, oleh karenanya ia
genuine. Termasuk didalamnya adalah truth-claim (klaim
kebenaran) yang absolut yang mana tanpanya jati diri dan identitas sebuah agama
menjadi kabur. Dengan kata lain, Islam
memperlakukan agama-agama lain sebagaimana adanya (as the way they are)
dan membiarkan mereka untuk menjadi diri mereka sendiri, tanpa reduksi dan
manipulasi. Apapun kondisinya, klaim kebenaran agama harus diapresiasi, tidak
boleh disimplifikasikan, apalagi dinafikan atau dinegasikan.
Klaim kebenaran bagi agama adalah sesuatu
yang alami atau natural dan ia merupakan esensi jati-diri sebuah agama. Dengan pluralisme
setiap agama dibiarkan menjadi dirinya sendiri (to let the others to be really other) sambil menghormati kedirian agama lain
Gamal al-Banna dalam Al-Ta’addudiyah fi al-Mujtama
al-Islamy dan Muhammad Sachedina dalam the Islamic Roots of Democratic
Pluralism, menyebutkan bahwa Al-Qur’an merupakan fondasi otentik
pluralisme. Alqur’an telah mengakui perbedaan bahasa dan warna kulit,
kemajemukan suku -bangsa, mengakui perbedaan kapasitas dan intelektualitas
manusia, serta mengajak berlomba dalam kebajikan dan membiarkan
sinagog-sinagog, gereja-gereja, masjid-masjid, dan tempat-tempat ibadah lainnya
tetap berdiri kokoh. Bahkan, Al-Qur’an mengakui kebebasan berkeyakinan (untuk
beriman atau tidak), serta masuk dan keluar dari agama tertentu. Alqur’an juga
sudah menjelaskan bahwa Nabi dan manusia manapun tidak berwenang memberi
petunjuk pada manusia lain, atau menyatakan sesat dan kufur kepada manusia
lain.
Ajaran bahwa manusia adalah umat yang satu, seperti kata
Sachedina “merupakan dasar pluralisme teologis yang menuntut adanya kesetaraan
hak yang diberikan Tuhan bagi semua. Karena itulah diperlukan suatu “etika
global” yang bisa memberikan dasar pluralistik untuk memperantarai hubungan
antar agama di antara orang-orang yang memiliki komitmen spritual berbeda”. Melalui
keberagamaan pluralistik bukanlah untuk membuat suatu kesamaan pandangan,
apalagi keseragaman, karena hal itu adalah sesuatu yang absurd dan agak
mengkhianati tradisi suatu agama. yang dicari adalah mendapatkan titik-titik
pertemuan yang dimungkinkan secara teologis oleh masing-masing agama. Kecuali
itu keberagamaan pluralistik dimaksudkan untuk membuka visi pemeluk agama pada
cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi
budaya dan agama sehingga mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga
yang memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Inilah ajaran akan
nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.
Setiap
agama sebagai jalan menuju Tuhan berwatak plural, ia bukan sebagai tujuan
tetapi hanya sekedar jalan menuju Tuhan meskipun konstruksi lahir jalan itu
sangat plural beragama bahkan bertentangan, tetapi secara eksoterik, kata
Huston Smith semua itu akan mencapai “Kesatuan Transendental Agama-agama”. Setiap agama sebagai jalan menuju
Tuhan bisa diibaratkan seperti roda sepeda, jari-jari sepeda itu semakin jauh
dari as (pusat), maka akan semakin merenggang dan sebaliknya. Secara filosofis
itu diungkapkan, ”Barang siapa hanya suka melihat perbedaan-perbedaan sebagai
sesuatu yang sangat penting, maka ibarat orang itu berada pada lingkaran dan
berada pada posisi pinggir, tetapi barang siapa telah mampu membuka tabir (The Heart of Religion), maka semua agama akan bertemu.
Sikap Keberagamaan
dalam Tradisi Islam.
Islam,
di samping memiliki doktrin-dokrin eksklusif sebagaimana agama lainnya, juga
memiliki dokrin-doktrin inklusif-pluralis, yang menghargai dan mengakui
eksistensi dan kebenaran agama lain. Tidak seperti agama lainnya yang memiliki
babakan sejarah yang menandai pergeseran sikap keagamaan yang eksklusif
hingga pluralis, dalam Islam teologi inklusif-pluralis telah diteladankan
pada tingkat praksis oleh Rasulullah ketika menjadi pemimpin politik dan
agama di Madinah. Beliau memberikan jaminan perlindungan dan hak yang sama bagi
warga negara yang beragama lain sepanjang tidak memusuhi Islam. Komitmen
sosio-teologis ini, terangkum dalam Mithaq Madinah, yang tidak saja disusun
secara sepihak oleh Rasulullah, tetapi melibatkan elemen-elemen Madinah, sesaat
setelah beliau hijrah ke wilayah ini. Penghargaan atas eksistensi agama lain,
juga dilakukan oleh generasi sahabat. Beberapa keberhasilan ekspansi politik,
tidak selalu diikuti keberhasilan da’wah secara kuantitatif, karena dalam Islam
terdapat prinsip penghormatan terhadap keyakinan agama, yakni tidak ada
pemaksaan untuk memeluk Islam Masuknya Islam ke Sisilia, ke daratan Spanyol
hingga ke anak benua India, membuktikan kebenaran tesis tersebut.
Al-Qur’an
memberikan apresiasi bahwa masyarakat dunia terdiri dari beragam komunitas yang
memiliki orientasi kehidupan masing-masing. Komunitas-komunitas tersebut
harus menerima kenyataan akan keragaman sehingga mampu memberikan
toleransi. Dengan perbedaan ditekankan perlunya masing-masing untuk
saling berlomba dalam menuju kebaikan, karena mereka akan dikumpulkan oleh
Allah untuk memperoleh keputusan final. Apresiasi demikian artikulatif terhadap
pluralisme, diillustrasikan misalnya dalam al-Qur’an,16: 36, 13: 7, 35: 24 dan
14: 4. Tuhan menghendaki umatnya beragam, karena keragaman merupakan bagian
dari sunnat Allah. Hal ini terbukti dengan diberikannya pilihan-pilihan
yang bisa diambil oleh manusia apakah akan mengimani atau
mengingkari kebenaran Tuhan (al-Qur’an, 18: 29) serta watak kerahmatan
Tuhan yang tidak terbatas (al-Qur’an, 5: 118). Penjelasan yang termuat dalam
al-Qur’an, 2: 148 tentang kesempatan bagi setiap umat untuk berlomba-lomba
dalam berbuat kebaikan, secara langsung telah memecahkan problema pluralisme
agama tersebut. Banyak jalan menuju keselamatan dam setiap
agama merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama lebih-lebih jika dilihat
dari aspek esoterik #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar