Sabtu, 07 Juni 2014

SATU AGAMA; BERAGAM PEMAHAMAN



Ust.Hefni Zain
Muqoddimah
Menarik mencermati tulisan Nurcholish Madjid yang memetakan kecenderungan pola keberagamaan dalam tiga perspektif, yakni : beragama secara eksklusif, beragama secara insklusif dan beragama secara pluralis. Pertama, beragama secara eksklusif adalah cara beragama yang meyakini bahwa hanya agamanyalah yang paling benar dan mampu memberikan penyelamatan dunia akherat, sebaliknya  agama lain adalah jalan yang salah dan menyesatkan. Pola keberagamaan seperti ini biasanya lebih literal-tektual-normatif sehingga diidentikkan dengan fundamentalisme. Kedua, beragama secara inklusif adalah cara beragama yang lebih terbuka dan mengakui serta memahami eksistensi keanekaragaman teologis, dalam pola keberagamaan inklusif sering disebutkan agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita. Ketiga, beragama secara pluralis yakni cara keberagamaan yang memandang bahwa agamanya dan agama-agama lain adalah menempuh jalan yang berbeda tetapi sama-sama sah untuk mencapai tujuan kebenaran yang sama”, Pola keberagaan pluralis menganggap setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran. Dua pola terakhir biasanya lebih non literal-historikal-kontekstual, sehingga diidentikkan dengan liberalisme.
Ketiga pola pemahaman ini tidak hanya terjadi pada agama tertentu, tetapi berlaku secara umum. Dalam Islampun ketiga pola beragama ini berkembang secara intensif. Yang menarik, masing-masing pola pemahaman diatas sama-sama membangun pandangan-pandangannya dengan merujuk dan mendasarkan diri pada realitas teks (kitab suci) yang memang memiliki berbagai kemungkinan makna (yahtamil al-wujuh). Bila keberagamaan eksklusif merujuk pada penegasan eksplisit al-Qur’an yang menyatakan bahwa keselamatan hanya hanya bagi pemeluk Islam (Qs. 3: 19 dan 85),  keselamatan yang dijanjikan bagi umat non Muslim (Yahudi, Nasrani dan Sabiah) dalam Qs 2: 62 dan Qs 5: 69 hanya berlaku bagi umat sebelum Nabi Muhammad Saw. Setelah kedatangan dakwah Nabi, maka keselamatan diberikan kepada mereka dengan syarat mengikuti syariat Nabi Muhammad Saw. Maka keberagamaan inklusif-pluralis mendasarkan keyakinannya pada pengakuan terhadap eksistensi dan kebenaran kitab-kitab sebelum Islam. (Qs. 5: 44; 46-47; dan 66),  pengakuan terhadap para pembawa agama sebelumnya seperti Musa dan Isa al-Masih, pengakuan eksplisit al-Qur’an terhadap Yahudi, Nashrani, Sabi`in yang beriman kepada Allah, percaya akan Hari Akhir, dan melakukan amal saleh, serta kebolehan umat Islam untuk berteman dengan umat agama lain, selama umat agama lain itu tak memusuhi dan tak mengusir umat Islam dari tempat tinggalnya. Jadi bila yang pertama memilih ayat-ayat yang menunjukkan sikap menegasikan keselamatan bagi pemeluk agama lain hingga memerintahkan untuk memerangi kuffar (non Muslim) dengan kriteria tertentu.  Maka yang kedua memilih ayat-ayat yang secara tegas menunjukkan sikap simpati, penghargaan, bahkan pengakuan keselamatan bagi para pemeluk agama lain.
Dinamika pergumulan ragam perspektif diatas terus berkembang menjadi semakin intens dan massif, mulai dari sekadar mengoreksi, mengkritisi, menyalahkan, dan bahkan menyematkan label sesat kepada pihak yang berseberangan. Dan yang paling penting adalah intensitas dinamika pergumulan ragam perspektif itu melahirkan ketegangan kreatif (creative tension), yang kemudian melahirkan karya-karya yang cukup berharga dalam diskursus tafsir. Namun harus tetap dijaga agar ketegangan tersebut tidak mengarah pada usaha menegasikan eksistensi kelompok yang berseberangan yang justru melahirkan ketegangan destruktif (destructive tension).

Ragam Pemahaman; Implikasi Keterbatasan Manusia
Kebenaran mutlaq dan kebenaran puncak yang tak terbatas hanyalah milik Allah yang maha tak terbatas, maka setiap pencari kebenaran pada hakekatnya sedang mencari kebenaran yang tak terbatas, namun betapapun ditemukan dan diyakini suatu kebenaran insan, tetap saja ia tebatas. Setiap model pemahaman manusia tentang kebenaran hakikinya bersifat terbatas (relatif) yang didalamnya mengandung probabilitas benar disamping probabilitas salah. Jadi pencarian kebenaran yang dilakukan manusia tidak mungkin berpuncak pada kebenaran puncak, apalagi menjadi puncak itu sendiri, sebab hal itu adalah kewenangan Allah. Disinilah letak keterbatasan manusia.
Karena keterbatasan manusia inilah, maka perbedaan dan keragaman menjadi tidak terelekkan, termasuk dalam memahami kebenaran. Tatkala Allah memerintahkan manusia untuk berfikir dan Allah mengetahui persis bahwa kapasitas fikir manusia adalah beragam dan berbeda antara satu dengan lainnya, maka produk fikir yang dihasilkanpun akan beragam, Karena itulah keragaman dan perbedaan adalah sunnatulloh. Dalam pepatah Arab disebutkan  Li Kulli Ro'sin Ro'yun (Lain kepala lain pendapat). Bahkan ditegaskan dalam Qs.5 : 48 “Sekiranya Tuhanmu menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat saja (seragam), tetapi Allah hendak menguji  kamu  terhadap  pemberianNya (keberagaman) kepadamu,  maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah  kembali kamu semuanya, lalu diberitahukannya kepadamu apa yang telah kamu  perselisihkan itu.
Sayid Abu Bakr al-Adni al- Masyhur dalam karyanya “al-Zauba'ah al- Aashifah” menerangkan bahwa perbedaan tak lain merupakan hikmah ilahi, maka bagi yang memahami hikmah ini, seyogyanya selalu memaklumi perbedaan dari yang lain, dan mengukurnya dengan barometer etika terhadap Allah dan semua hamba-Nya. Maka pencarian kebenaran yang dilakukan seseorang menuntut sikap terbuka (non sektarian), dialektis, dan sharing dengan yang lain, sebab sikap monopoli kebenaran, tidak menghargai perbedaan pendapat, menilai pandangan orang lain selalu salah dan menilai pandangannya sendiri selalu benar, pada dasarnya bertolak belakang dengan sunnatulloh dan sifat manusia. Sikap-sikap demikian paradoks dengan prinsip tauhid dan tidak kondusif bagi tumbuhnya kesadaran ukuwah insaniyah. Dalam Islam, menurut Sayid Muhammad al-Shathiry dalam bukunya “al-wahdah al-islamiyah’ bahwa Islam pada substansinya mempunyai karakteristik menyatukan bukan memecah belah. Yang absolut hanyalah ajaran pada tataran langit atau wahyu, sementara interpretasi terhadap ajaran (tataran bumi) adalah bersifat relatif. Al-Qur’an menyindir orang-orang yang terus berselisih padahal mereka sama-sama merujuk pada kitab suci yang sama yang bersumber dari Allah swt.
Sejarah Islam telah mencatat bahwa perbedaan dalam menafsirkan Islam sudah berlangsung hanya sesaat setelah Rasulullah saw wafat dan terus berlangsung hingga hari ini. Itu artinya, bahwa Islam sebagaimana ditunjukkan oleh sejarahnya adalah beragam warna, Dalam bidang aqidah dan teologi terdapat puluhan firqoh dan sekte, dalam bidang syariah dan fiqh terdapat puluhan mazhab, juga dalam bidang akhlaq tasawwuf terdapat puluhan tariqoh dan aliran. Namun demikian, bukan berarti masing-masing firqoh, mazhab dan aliran tidak bisa bekerjasama atau bersatu.  Persatuan tidak harus dimaknai sebagai keseragaman, lebih-lebih dalam masyarakat majmuk yang multi ideologi dan multikultur. Dengan kata lain, seseorang harus mempercayai sesuatu yang mutlak, tetapi pada saat yang sama mentoleransi kemungkinan orang lain mempercayai kemutlakan berbeda." Menerima kemutlakan sekaligus mengakui relativitas adalah keniscayaan dalam beragama seraya bisa hidup berdampingan secara damai dengan kelompok lain.
Memaksakan "satu pemahaman Islam" kepada semua penganut Islam, tentulah menyalahi watak toleransi Islam. Obsesi seseorang atau suatu kelompok terhadap "satu model pemahaman" hanya mungkin dilakukan lewat pemaksaan, kekerasan, penindasan atau bahkan senjata, dan itu menyalahi konsep dasar Islam tentang "tidak ada paksaan dalam beragama". Cara beragama pada era global seperti dewasa ini memiliki tantangan tersendiri, karena selain dihadapkan pada makin banyaknya perspektif pemahaman yang berbeda dalam lingkup agama tertentu di satu sisi, di sisi lain umat beragama juga dihadapkan pada realitas beragama di tengah agama orang lain.
Seperti disinggung sebelumnya, Nurcholish Madjid memetakan kecenderungan pola keberagamaan pada tiga perspektif, yakni : beragama secara eksklusif, beragama secara insklusif dan beragama secara pluralis.
1.    Beragama secara eksklusif
Beragama secara eksklusif merupakan suatu sikap beragama yang berpegang teguh pada formal teks secara literal, berpedoman pada tradisi yang terbentuk dimasa silam dan mengikatkannya secara ketat serta menganggap ajaran yang mereka yakini sebagai kebenaran mutlak yang tidak perlu dirubah lagi karena secara otoritatif telah dirumuskan oleh para pendahulu secara final dan tuntas. Ekslusifisme biasanya dipahami sebagai respon tradisional sebuah agama terhadap agama-agama lain dengan kacamata agamanya sendiri yang didukung oleh penafsiran yang harfiyah dan literal atas doktrin-doktrin keagamaan yang tertulis dalam teks suci agama. Bagi mereka umat terbaik adalah umat terdahulu, sehingga apabila ingin memperbaiki kehidupan masyarakat, mesti meniru metode dakwah yang dipraktekkan umat terdahulu. Karena model pendekatan ini dalam wilayah kerjanya selalu berpegang pada fundamen-fundamen pokok islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits atau kembali kepada  fundamen-fundamen keimanan, penegakan kekuasaan politik ummah dan pengukuhan dasar-dasar otoritas yang absah (Syar’iyyah al hukm), maka ia juga disebut  sebagai pemahaman fundamental.
Fundamentalisme seperti yang dideskripsikan diatas sebenarnya bukanlah monopoli dan berlaku khusus untuk agama tertentu, tetapi berlaku secara menyeluruh pada setiap agama. Hal ini dalam agama Katolik dimonopoli oleh doktrin exstra ecclesiam nulla salus est, no salvation out side the church (tidak ada keselamatan di luar Gereja), klaim ini mendapat penegasan normatif dalam Yohanes 14 : 6” Jesus said: I’m the way and the truth and the life, no one cames to the father except through me” (Kata Yesus; Akulah jalan dan kebenaran dari hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku).
Dalam Islam sikap eksklusif yang identik dengan deskripsi diatas dapat dijumpai dalam beberapa ayat, antara lain “ Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya (Qs.Ali Imron : 19). “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. dan Sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Kami ini orang Nasrani". yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena Sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri. (Qs. Al-Maidah : 82)
Beberapa karakteristik yang mencirikan penganut model ini : (a) Memagang kokoh agama dalam bentuk harfiah atau literal, mereka menolak hermeneutika dan upaya interprertasi kritis terhadap teks suci, karena akal dianggap tidak mampu memberikan interpreatasi yang tepat terhadap teks. (b) Prinsip utamanya adalah oppositionalism (paham perlawanan) yang mengambil bentuk perlawanan radikal terhadap berbagai ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agamanya. (c) Perkembangan masyarakat dalam sejarah dipandang sebagai  “as it should be” dan bukan “as it is”, karena itu bagi mereka masyarakat yang harus menyesuaikan diri dengan teks suci dan bukan sebaliknya, (teks suci ditarik tarik dan dipaksa menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat). Menurutnya kebenaran yang diyakininya bersifat universal dan holistik, ia merupakan sistem komprehensip yang mampu berkembang sendiri (mutakamil bi dzatihi), dan berlaku untuk segala waktu dan tempat sehingga tidak perlu bongkar pasang.
Persoalannya kemudian adalah sikap beragama yang diidentikkan dengan fundamentalisme atau sikap yang menjunjung tinggi eksklusivisme akhir-akhir ini sedang menghiasi wacana global yang oleh kalangan tertentu dinilai sebagai ancaman terhadap perdamaian global. Fundamentalisme merupakan fenomena global yang hampir ditemui pada semua agama besar. Meski masing-masing memiliki hukum dan dinamikanya sendiri, semua gerakan fundamentalisme mempunyai ciri yang khas yang nyaris serupa. Kelompok ini merupakan gerakan dengan penggunaan simbol-simbol agama sebagai reaksi atas modernisasi yang telah mengakibatkan krisis kemanusiaan global dan lingkungan yang akut. Dalam respon modernitas itu gerakan ini mencoba kembali pada agamanya dimasa lampau dengan mengangkat teks-teks suci melalui pemahaman yang literatistik.
Fundamentalisme apabila ditarik pada wilayah historisitas Islam, maka istilah ini tergolong baru bahkan penterjemahan fundamentalisme ke dalam bahasa Arab tidak begitu populer kecuali setelah dua dekade terakhir. Fundamentalisme dalam bahasa Arab disebut dengan al-Ushuliyah. Fundamentalisme dapat dimaknai sebagai paham yang ingin kembali pada dasar-dasar keagamaan. Akar-akarnya dapat dilihat pada model pemikiran yang berkembang pada abad pertengahan terutama pada pemerintahan al-Mansur dalam dinasti Abbasiyah, ketika dasar-dasar keagamaan mulai dikodifikasi. Dasar-dasar yang berkaitan dengan teologi disebut ushuliyah, sedangkan dalam wilayah fiqih disebut dengan ushul fiqh.
Dari deskripsi ini dapat dimengerti dengan jelas bahwa fundamentalisme yang berakar dari sikap eksklusif dalam beragama yang memandang teks-teks suci secara literer yang memiliki kecenderungan tertutup yang awalnya merupakan gerakan pemahaman agama karena adanya respon dialogis dengan modernitas dan peradaban secara berangsur berubah menjadi gerakan politis yang mengusung atas nama agama untuk menyatakan eksistensi mereka, jadi fundamentalisme yang selama ini diidentikkan dengan agama terutama Islam sebenarnya merupakan gerakan politisasi agama dalam kegamangan eksistensi.
2.    Beragama secara inklusif
Beragama secara inklusif adalah sikap beragama yang mengajarkan keterbukaan dalam berhubungan dengan agama lain. Sikap terbuka ini akan berdampak pada relasi sosial yang sehat dan harmonis antar sesama penganut agama. Inklusifitas ini  berlandaskan toleransi dan penghormatan akan kebebasan setiap orang untuk meyakini, menjalani dan mengekspresikan agama yang dianutnya, perbedaan cara beragama ini tidak boleh menjadi penghalang bagi upaya saling menghormati, menghargai, dan bekerjasama. Inklusifitas yang dikandung ajaran agama adalah menganut prinsip-prinsip moderat, karenanya penegakkan kebenaran harus dilakukan dengan jalan kebenaran pula, bukan dengan jalan kekerasan. Penghormatan terhadap agama lain adalah perwujudan dari sikap moderat. Sikap moderat seperti ini tidak berarti bahwa kita tidak konsisten dalam beragama, sebab inklusifitas bukan membenarkan semua agama tetapi menyakini bahwa semua agama memiliki kebenaran. Semangat inklusif adalah membuka diri untuk mencari dan menerima berbagai kebenaran yang memang tidak tunggal dan seragam tetapi  plural dan beragam.
Inklusifisme sebagai sebuah perspektif beragama adalah respon terhadap dilema yang yang belum diakomodasi dalam eksklusifisme, jika kaum ekslusif mengajarkan bahwa keselamatan hanya ditemukan dalam satu agama tertentu dan diperoleh melalui ketaatan terhadap aturan-aturan yang ada dalam kitab suci salafiyah, maka kaum inklusifisme melihat adanya keluasan dari kasih Tuhan dan ia diperoleh berdasarkan cinta Tuhan kepada manusia.karena itu dalam Islam, umatnya sangat didorong untuk belajar dan memperkaya dirinya dengan berbagai pengetahuan dan hikmah tak peduli dari manapun datangnya. Bagi Islam tidak ada satupun yang diciptakan Allah swt yang sia-sia, semua agama mengandung kebenaran, pengetahuan dan himkah yang bermanfaat bagi keselamatan manusia, hanya saja cara yang digunakan bisa saja berbeda antara agama yang satu dengan agama yag lainnya.
Karakteristik yang paling nampak dari cara beragama inklusif, antara lain adalah : penekanan pada semangat religio etik,  bukan  pada  makna literal sebuah teks, penafsiran terhadap teks suci agama adalah didasarkan pada semangat dan spirit teks, memahami latar teks secara kontekstual, substansial dan non literal, menurut mereka kasih sayang Tuhan tidak terbatas pada orang-orang tertentu saja karena kasih sayang Tuhan melingkupi seluruh umat manusia dari agama apapun, ras apapun dan negara manapun. Sikap Inklusif inilah yang nantinya sebagai dasar untuk menuju sikap pluralistik. Dalam pandangan mereka hanya dengan model keberagamaan seperti ini, agama-agama akan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban manusia universal.
Secara garis besar keberagamaan inklusif dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu inklusifisme monistik dan inklusifisme pluralistik. Inklusif monistik; Secara mendasar berargumen bahwa keselamatan dan kebenaran bukanlah milik agama tertentu, tetapi agama-agama lainpun memilikinya. Hanya saja, kebenaran yang ada ada agama-agama lain tersebut diposisikan sebagai “agama anonim". Sedangkan inklusifisme pluralistik beranggapan bahwa kebenaran suatu agama bernilai sama dengan kebenaran agama-agama lain dan tidak berposisi sebagai agama anonim. Kedua hal diatas, masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatan inklusifisme monistik adalah dapat mempertahankan keagamaan dan menghubungkan dengan karunia diluarnya, sedangkan kelemahannya adalah memandang orang yang beragama lain sebagai penganut agama anonim, dan mengabaikan perbedaan yang mendasar antara pemeluk agama yang satu dengan yang lain.
Sikap inklusif dalam Islam mendapatkan pengesahan normatif, diantaranya :Tidak ada paksaan untuk beragama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah (Qs. Al-Baqoroh : 256), Sungguh kami (Tuhan) telah mengutus seorang Rasul pada setiap ummat, (Qs. Al-Nahl : 36), Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (Qs. As Syura : 13),  Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan Kami berikan Zabur kepada Daud. (QS. An Nisa’ : 163)
 Dalam keberagamaan inklusif, agama ditampilkan sebagai pembawa kebaikan bagi semua mahluk Tuhan di muka bumi, karena itu salah satu orientasinya adalah menempatkan agama sebagai kekuatan moral membendung kekerasan, hal ini dimulai dengan membuka wacana keberagamaan yang memberi ruang kebebasan bagi setiap individu untuk memilih dan mengembangkan keyakinan pribadinya, mengajarkan sikap terbuka dalam beragama dan dengan berhubungan dengan penganut agama lain, sikap terbuka ini diyakini akan berdampak pada relasi sosial yang menentramkan baik inter maupun antar pemeluk agama.
3.    Beragama secara Pluralistik
Beragama secara pluralistik adalah sikap beragama yang meyakini akan banyak dan beragamnya  hakikat realitas kehidupan, termasuk realitas  keberagamaan manusia. Pluralisme agama diartikan sebagai pandangan dan sikap bahwa hakikat agama di dunia ini tidak hanya satu tetapi banyak atau beragam. Ajaran pluralistik menganggap semua agama, sebagai “ruang-ruang” soteriologis (soterio­logical spaces) atau jalan-jalan soteriologis (soteriological ways) yang melaluinya manusia bisa mendapatkan keselamatan, kebebasan dan pencerahan. Semuanya valid, karena pada dasarnya semua­nya sama-sama merupakan bentuk-bentuk respon otentik yang berbeda dan beragam terhadap hakikat ketuhanan (the Real) yang sama dan transenden. Ajaran ini diharapkan mampu memberi­kan solusi yang ramah terhadap konflik-konflik antar agama.
Pluralisme bukan sekedar keadaan atau fakta yang bersifat plural, jamak, atau banyak, juga bukan sekedar pengakuan bahwa heterogenitas itu ada dalam realitas, lebih dari itu, pluralisme secara substansial termanifestasi dalam sikap untuk saling mengakui sekaligus menghargai, menghormati, memelihara, dan bahkan mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak atau banyak. Menurut Nurcholish Madjid pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities withi the bond of civility). Pluralisme adalah sebuah paham tentang pluralitas. Paham, bagaimana melihat keragaman dalam agama-agama, mengapa dan bagaimana memandang agama-agama, yang begitu banyak dan beragam. Apakah hanya ada satu agama yang benar atau semua agama benar. pluralisme diartikan sebagai kemampuan untuk hidup damai bersama satu pemeluk agama dengan pemeluk agama lain.
Dalam konteks agama-agama, pluralistik mengacu kepada teori atau sikap bahwa semua agama, meskipun dengan jalan yang berbeda-beda, menuju kepada satu tujuan yang sama, Yang Absolut, Yang Terakhir, yakni Tuhan. Tetapi pluralisme bukanlah relativisme, atau memandang semua agama sama saja. Pluralisme adalah sikap tenang dan tidak terganggu dengan iman dan keberagamaan orang lain. Pluralisme itu bukan berarti memandang semua agama sama. Sebagai sebuah sikap yang terbuka terhadap kemajemukan, paham pluralisme juga tidak mengenal sikap memaksakan ajaran agama yang satu ke pemeluk agama yang lain. 
 Dalam perspektif Islam, perbedaan dan kera­gaman agama dianggap sebagai suatu hakikat ontologis (haqiqah wujudiyah/kauniyah) dan sunnatullah, oleh karenanya ia genuine. Termasuk didalamnya adalah truth-claim (klaim kebenaran) yang absolut yang mana tanpanya jati diri dan identitas sebuah agama menjadi kabur. Dengan kata lain, Islam memperlakukan agama-agama lain sebagaimana adanya (as the way they are) dan membiarkan mereka untuk menjadi diri mereka sendiri, tanpa reduksi dan manipulasi. Apapun kondisi­nya, klaim kebenaran agama harus diapresiasi, tidak boleh disimplifikasikan, apalagi dinafikan atau dinegasikan. Klaim kebenaran bagi agama adalah sesuatu yang alami atau natural dan ia merupa­kan esensi jati-diri sebuah agama. Dengan pluralisme setiap agama dibiarkan menjadi dirinya sendiri (to let the others to be really other) sambil menghormati kedirian agama lain
Gamal al-Banna dalam Al-Ta’addudiyah fi al-Mujtama al-Islamy dan Muhammad Sachedina dalam the Islamic Roots of Democratic Pluralism, menyebutkan bahwa Al-Qur’an merupakan fondasi otentik pluralisme. Alqur’an telah mengakui perbedaan bahasa dan warna kulit, kemajemukan suku -bangsa, mengakui perbedaan kapasitas dan intelektualitas manusia, serta mengajak berlomba dalam kebajikan dan membiarkan sinagog-sinagog, gereja-gereja, masjid-masjid, dan tempat-tempat ibadah lainnya tetap berdiri kokoh. Bahkan, Al-Qur’an mengakui kebebasan berkeyakinan (untuk beriman atau tidak), serta masuk dan keluar dari agama tertentu. Alqur’an juga sudah menjelaskan bahwa Nabi dan manusia manapun tidak berwenang memberi petunjuk pada manusia lain, atau menyatakan sesat dan kufur kepada manusia lain.
Ajaran bahwa manusia adalah umat yang satu, seperti kata Sachedina “merupakan dasar pluralisme teologis yang menuntut adanya kesetaraan hak yang diberikan Tuhan bagi semua. Karena itulah diperlukan suatu “etika global” yang bisa memberikan dasar pluralistik untuk memperantarai hubungan antar agama di antara orang-orang yang memiliki komitmen spritual berbeda”. Melalui keberagamaan pluralistik bukanlah untuk membuat suatu kesamaan pandangan, apalagi keseragaman, karena hal itu adalah sesuatu yang absurd dan agak mengkhianati tradisi suatu agama. yang dicari adalah mendapatkan titik-titik pertemuan yang dimungkinkan secara teologis oleh masing-masing agama. Kecuali itu keberagamaan pluralistik dimaksudkan untuk membuka visi pemeluk agama pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama sehingga mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Inilah ajaran akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.
Setiap agama sebagai jalan menuju Tuhan berwatak plural, ia bukan sebagai tujuan tetapi hanya sekedar jalan menuju Tuhan meskipun konstruksi lahir jalan itu sangat plural beragama bahkan bertentangan, tetapi secara eksoterik, kata Huston Smith semua itu akan mencapai “Kesatuan Transendental Agama-agama”. Setiap agama sebagai jalan menuju Tuhan bisa diibaratkan seperti roda sepeda, jari-jari sepeda itu semakin jauh dari as (pusat), maka akan semakin merenggang dan sebaliknya. Secara filosofis itu diungkapkan, ”Barang siapa hanya suka melihat perbedaan-perbedaan sebagai sesuatu yang sangat penting, maka ibarat orang itu berada pada lingkaran dan berada pada posisi pinggir, tetapi barang siapa telah mampu membuka tabir (The Heart of Religion), maka semua agama akan bertemu.

Sikap Keberagamaan dalam Tradisi Islam.
Islam, di samping memiliki doktrin-dokrin eksklusif sebagaimana agama lainnya, juga memiliki dokrin-doktrin inklusif-pluralis, yang menghargai dan mengakui eksistensi dan kebenaran agama lain. Tidak seperti agama lainnya yang memiliki babakan sejarah yang menandai pergeseran sikap keagamaan yang eksklusif hingga  pluralis, dalam Islam teologi inklusif-pluralis telah diteladankan pada tingkat praksis oleh Rasulullah ketika  menjadi pemimpin politik dan agama di Madinah. Beliau memberikan jaminan perlindungan dan hak yang sama bagi warga negara yang beragama lain sepanjang tidak memusuhi Islam. Komitmen sosio-teologis ini, terangkum dalam Mithaq Madinah, yang tidak saja disusun secara sepihak oleh Rasulullah, tetapi melibatkan elemen-elemen Madinah, sesaat setelah beliau hijrah ke wilayah ini. Penghargaan atas eksistensi agama lain, juga dilakukan oleh generasi sahabat. Beberapa keberhasilan ekspansi politik, tidak selalu diikuti keberhasilan da’wah secara kuantitatif, karena dalam Islam terdapat prinsip penghormatan terhadap keyakinan agama, yakni tidak ada pemaksaan untuk memeluk Islam Masuknya Islam ke Sisilia, ke daratan Spanyol hingga ke anak benua India, membuktikan kebenaran tesis tersebut.
Al-Qur’an memberikan apresiasi bahwa masyarakat dunia terdiri dari beragam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan masing-masing. Komunitas-komunitas tersebut harus  menerima kenyataan akan keragaman sehingga mampu memberikan toleransi. Dengan perbedaan ditekankan  perlunya masing-masing  untuk saling berlomba dalam menuju kebaikan, karena mereka akan dikumpulkan oleh Allah untuk memperoleh keputusan final. Apresiasi demikian artikulatif terhadap pluralisme, diillustrasikan misalnya dalam al-Qur’an,16: 36, 13: 7, 35: 24 dan 14: 4. Tuhan menghendaki umatnya beragam, karena keragaman merupakan bagian dari sunnat Allah. Hal ini terbukti  dengan diberikannya pilihan-pilihan yang bisa diambil oleh manusia apakah akan mengimani  atau  mengingkari kebenaran Tuhan (al-Qur’an, 18: 29) serta  watak kerahmatan Tuhan yang tidak terbatas (al-Qur’an, 5: 118). Penjelasan yang termuat dalam al-Qur’an, 2: 148 tentang kesempatan bagi setiap umat untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan, secara langsung telah memecahkan problema pluralisme agama tersebut. Banyak jalan menuju keselamatan dam setiap agama merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama lebih-lebih jika dilihat dari aspek esoterik #




Tidak ada komentar:

Posting Komentar