Ust.Hefni Zain
Salah satu isu penting yang mengemuka akhir-akhir ini
adalah bahwa pendidikan belum berhasil membangun manusia yang memiliki
semangat kebersamaan dan menghargai keragaman. Banyaknya lulusan lembaga
pendidikan yang hanya memiliki kecerdasan tetapi bermental lemah dan bermoral
rendah adalah sederet fakta yang menunjukkan bahwa pembentukan manusia yang
berkarakter masih jauh dari harapan. Belum lagi maraknya dekadensi moral seperti kekerasan, tawuran,
eksklusifisme, lemahnya toleransi dan erosi semangat saling
menghargai antar suku, etnis, ras, dan antar pemeluk agama, kiranya semakin
menguatkan gagalnya pendidikan yang selama ini dijalankan. Dalam konteks inilah pendidikan berbasis keragaman menjadi urgen dan mendesak
dikembangkan.
Pendidikan keragaman yang dimaksud disini adalah sebuah
model pendidikan yang
fokus pada pentingnya penghormatan
terhadap keragaman dan pengakuan kesederajatan paedagogis terhadap semua orang (equal
for all),
serta penghapusan berbagai bentuk diskriminasi demi membangun kehidupan masyarakat yang adil sehingga
terwujud suasana toleran, demokratis, humanis, inklusif,
tenteram
dan sinergis tanpa melihat latar belakang kehidupannya, apapun etnik, status
sosial, agama dan jenis kelaminnya. Pendidikan
keragaman yang populer disebut multikultural adalah proses penanaman sejumlah
nilai keragaman yang relevan agar peserta didik
dapat hidup berdampingan secara damai dan harmonis dalam realitas kemajemukan
dan berperilaku positif, sehingga dapat mengelola kemajemukan
menjadi kekuatan untuk mencapai kemajuan, tanpa mengaburkan nilai-nilai agama,
identitas diri dan budaya
Model pendidikan semacam ini
menjadi penting dikembangkan mengingat beberapa konsederan; Pertama,
secara kodrati, manusia diciptakan Tuhan dalam keragaman budaya, dan oleh
karenanya pembangunan manusia harus memperhatikan keragaman budaya tersebut
menjdi niscaya. Kedua, ditengarai terjadinya konflik sosial bernuansa
SARA (suku, agama, dan ras) yang bertubi-tubi melanda negeri ini kecuali
berkaitan erat dengan lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep kearifan
budaya, juga terkait dengan gagalnya pendidikan menanamkan semangat
kesetiakawanan sosial, menerima dan menghargai perbedaan, menyayangi sesama,
dan pengasahan kepekaan sosial. Ketiga, pengembangan
pendidikan keragaman dimaksudkan sebagai langkah preventif agar berbagai
bentuk konflik SARA tidak terulang lagi di
masa yang akan datang.
Dengan pendidikan keragaman
diharapkan dapat membantu peserta didik mengerti, menerima, dan menghargai orang dari suku,
budaya, nilai, dan agama berbeda. Atau dengan kata yang lain, peserta didik diajak untuk menghargai -bahkan menjunjung tinggi-
multikulturalitas, pluralitas dan
heterogenitas,
sebab dalam paradigma pendidikan keragaman setiap
individu diarahkan untuk belajar bersama dengan individu lain dalam suasana
saling menghormati, saling toleransi dan saling memahami. Pengembangan pendidikan
keragaman dipandang relevan, baik dengan ajaran Islam maupun
dengan entitas keberadaan
masyarakat Indonesia yang multikultur. Dalam konteks
ini, pendidikan keragaman diharapkan dapat menjadi
salah satu pilar penyangga bagi kerukunan umat yang beragam sehingga berfungsi sebagai fondasi integritas nasional
yang kokoh dan pengayom keragaman yang hakiki.
Nilai-nilai keragaman sangat compatible
dengan prinsip-prinsip Islam. Bagi
Islam, keragaman merupakan desain Tuhan (sunnatulloh), dan Allah sendiri
yang akan menjelaskan -di hari akhir-, mengapa manusia berbeda-beda,
termasuk dalam jalan beragama. Dalam Qs 5: 48
disebutkan “untuk masing-masing umat manusia,
telah Kami berikan aturan (hukum) dan jalan (manhaj) yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya
kamu dijadikannya satu umat saja
(seragam/monolitik)), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberiannya kepadamu
(keragaman), Maka
berlomba-lombalah kalian
berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah tempat
kembali kalian semuanya, lalu dijelaskannya kepada
kalian tentang
hal yang pernah kalian perselisihkan itu”. Dalam Qs.10:99, Allah swt
juga menegaskan” Jika Tuhanmu menghendaki, maka tentu manusia yang ada di muka
bumi ini akan beriman semua. Maka apakah kamu
hendak memaksa manusia, di luar kesediaan mereka sendiri?
Melalui jalur pendidikan, pembinaan kerukunan hidup
beragama dapat dilakukan secara dini. Pembinaan kerukunan hidup beragama yang
dimaksud adalah upaya yang direncanakan secara sadar, terencana, terarah, sistimatis
dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kerukunan hidup beragama dengan cara :
Menanamkan pengertian akan nilai dan kehidupan bermasyarakat yang mampu
mendukung kerukunan hidup beragama. Mengusahakan lingkungan dan keadaan yang
dapat menunjang sikap dan tingkah laku yang mengarah pada kerukunan hidup
beragama. Menumbuh kembangkan sikap dan tingkah laku yang mewujudkan kerukunan
hidup bersama.
Jalan damai melalui pintu pendidikan sangat mungkin
dilakukan, sebab melalui pendidikan memungkinkan untuk ‘meramahkan’ teologi
agama-agama yang selama ini cenderung ditampilkan secara eklusif dan dogmatis. Sebuah
teologi yang biasanya hanya mengklaim bahwa hanya agamanya yang bisa membangun
kesejahteraan duniawi dan mengantar manusia dalam surga Tuhan. Pintu dan kamar
surga itu pun hanya satu yang tidak bisa dibuka dan dimasuki kecuali dengan
agama yang dipeluknya. Padahal berteologi
semacam itu dianggap kurang kondusif bagi upaya membangun harmonisasi
masyarakat dimana agama-agama dituntut untuk dapat saling menaggung nasib
secara bersama-sama demi terciptanya perdamaian sejati.
Disinilah letak ‘tantangan’ bagi agama untuk
kembali mendefenisikan dirinya ditengah agama-agama lain. Atau dengan meminjam
bahasanya John Lyden, “what should one
think about religions other than one’s own? Apa yang harus dipikirkan oleh
seorang penganut agama terhadap penganut agama lain. Apakah
masih dianggap sebagai musuh atau sebagai sahabat, bukankah kita adalah spesies yang sama sebagai sesama
mahluk Tuhan yang lahir dari Adam dan Hawa. Sekali lagi pada titik ini, jalur pendidikan
dianggap strategis sebagai
media penyadaran umat akan perlunya membangun teologi inklusif dan pluralis.
Implementasi Pendidikan Keragaman
Pengembangan pendidikan berwawasan keragaman dapat diterapkan pada beberapa aspek dan strategi, antara lain melalui muatan
(kurikulum), orintasi pendidik, orientasi
siswa dan orientasi reformasi unit pendidikan. Pada
pengembangan yang berorientasi pada muatan kurikulum, dapat
dilakukan dengan beberapa pendekatan: pertama, pendekatan kontributif, dimana
tujuan utama pendekatan ini adalah memasukkan materi-materi tentang keragaman
kelompok keagamaan (termasuk kelompok etnik dan kultur masyarakat). Kedua,
pendekatan aditif, yaitu melakukan penambahan muatan-muatan berupa
konsep-konsep baru ke dalam kurikulum tanpa mengubah struktur dasarnya.
Dalam rangka mewujudkan pemahaman terbuka yang menganggap
orang lain sebagai ‘partner’ dalam menuju Tuhan, pemeluk agama disamping harus
menampilkan teologi inklusif dan ramah, mereka juga harus memasuki dialog
antaragama dengan mencoba memahami cara baru yang mendalam mengenai bagaimana
Tuhan mempunyai jalan ‘penyelamatan’. Dalam konteks ini, pendidikan harus
memuat kurikulum berbasis keragaman sehingga pendidikan yang diberikan kepada
peserta didik tidak menciptakan suatu pemahaman tunggal, melainkan kurikulum
yang mendorong terwujudnya manusia demokratis, pluralis dan menekankan
penghayatan hidup serta refleksi untuk menjadi manusia yang utuh. Disini
diperlukan kurikulum yang memuat materi kemajemukan seperti; toleransi, aqidah
inklusif, fiqih muqaranah, perbandingan agama, bahaya diskriminasi, perbedaan
ethno-kultural serta tema-tema lain yang relevan. Intinya kurikulum keragaman adalah
kurikulum yang
mampu menghantarkan peserta didik untuk melakukan dialog antaragama dan mampu
memasuki persoalan-persoalan teologis dan melibatkan iman. Karena dialog yang
sejati mustahil dilakukan tanpa memasuki persoalan-persoalan teologis dan
melibatkan iman. Sehingga pada akhirnya setiap umat beragama akan mampu melintas (passing over) dari
satu budaya kepada budaya lain, dari satu cara hidup kepada cara hidup lain,
dari satu agama kepada agama lain.
Demikian
juga, untuk membangun
pendidikan atau pembelajaran pendididkan berwawasan multicultural-inklusif, para pendidik harus mempunyai intergritas dan moralitas yang tinggi sebagai bagian integral dari keperibadiannya. Dalam konteks ini, pendidik mesti memiliki pengertian yang mendalam dan felling yang
tinggi dalam menganalisa isu-isu dinamika keragaman yang berkembang
di
masyarakat, kemudian
membantu siswanya
memiliki kesadaran akan pentingnya memahami keragaman budaya yang hidup dan berkembang di masyarakat, termasuk bidang keagamaan, kesukuan dan keragaman lainnya. Dengan demikian, perlu
proses penyadaran di antara masing-masing budaya lokal untuk saling mengakui
dan menghormati keanekaragaman identitas budaya yang dibalut dengan kerukunan
dan perdamaian.
Pada
aspek orientasi siswa, yang urgen dikembangkan adalah penanaman sikap
non-etnosentris sehingga kebencian dan konflik akan dapat dihindarkan secara dini. Pengembangan aspek ini bertujuan membangun
kesadaran yang tidak bersifat mengunggulkan diri dan kelompoknya sebagai yang
paling unggul dengan mengalahkan yang lain. Kesadaran ini penting untuk
ditumbuh kembangkan sebagai jembatan di dalam memahami agama dan budaya lain
yang diharapkan akan tumbuh pemahaman yang mutualistis serta empati keragaman
agama dan budaya di masyarakat. Sedangkan
pada orientasi reformasi unit
pendidikan, setiap unit pendidikan dapat menerapkan peraturan lembaga yang di
dalamnya mencakup poin tentang larangan segala bentuk diskriminasi sehingga
semua anggota di unit pendidikan dapat selalu belajar untuk saling menghargai
orang lain yang berbeda. Itu semua harus dicontohkan melalui prilaku kongkrit
oleh seluruh komunitas yang terdapat di lembaga tersebut.
Pengembangan pendidikan berwawasan keragaman bisa juga
menggunakan pendekatan estetik. Dengan pendekatan ini peserta
didik diharapkan memiliki sifat-sifat yang santun, damai, ramah,
dan mencintai keindahan. Dalam pendekatan ini, -agama misalnya- tidak hanya didekati
secara doktrinal yang cenderung menekankan adanya “otoritas-otoritas” kebenaran
agama, tetapi lebih apresiatif terhadap gejala-gejala yang terjadi di
masyarakat serta dilihat sebagai bagian dari dinamika hidup yang bernilai
estetis. Pendekatan lain yang juga dapat diupayakan di dalam pendidikan keragaman adalah pendekatan sosiologis, yaitu pendekatan
yang meletakkan hakikat pendidikan kepada keperluan hidup bersama di dalam
masyarakat. Titik tolak pandangan ini memprioritaskan kepada kebutuhan
masyarakat, dan bukan kepada kebutuhan individu. Pendekatan ini mengutamakan
kebersamaan, kerjasama, dan keragaman masyarakat tanpa dominasi dan
diskriminasi.
Dengan pendekatan ini, pendidikan dapat
memanfaatkan muatan-muatan khas keragaaman untuk memperkaya materi ajar,
konsep-konsep tentang harmoni kehidupan bersama antar umat beragama yang akan
memberi nuansa untuk mencairkan kebekuan “state of mind” (pemikiran)
para pelaku pendidikan dalam merespons eksistensi agama-agama lain, serta
tema-tema tentang toleransi, ko-eksistensi, pro-eksistensi, kerjasama, saling
menghargai dan memahami. Prof Muhaimin menyebutkan rancang bangun untuk pendidikan berwawasan multikultural
sedikitnya berdasarkan susunan piranti: reformasi kurikulum, pengajaran
prinsip-prinsip keadilan sosial, pengembangan kompetensi multikultural, dan
pelaksanaan pendidikan kesetaraan.
Prinsip Pendidikan Keragaman
Dalam perspektif pendidikan keragaman, konflik
kemanusiaan selalu disebabkan oleh sikap ekskluisifisme dan fanatisme yang
berlebihan. Oleh karena itu pendidikan keragaman membagun prinsip-prinsip yang berbasis antitesa
terhadap faktor penyebab konflik,
prinsip-prinsip tersebut antara lain: humanitas, unitas dan
kontekstualitas.
1. Prinsip Humanitas.
Manusia memiliki nilai-nilai kemanusiaan, seperti
kebebasan memilih dan berbuat serta bertanggung jawab atas apa yang kita
lakukan. Nilai-nilai ini tidak dapat dimanipulasi dan ditukar dengan nilai
apapun. Nilai-nilai kemanusian harus tetap dikembangkan dengan melalui proses
belajar (learning proses) secara terus-menerus guna mencapai kematangan
dan kedewasaan diri. Kesediaan menerima perbedaan dan menghargai nilai budaya,
agama, ras, dan etnis tidak bekembang dengan sendirinya. Apalagi kecenderungan
manusia untuk mengahapkan orang lain seperti diri kita. Apabila sikap saling
mempengaruhi ini tidak diletakkan pada standar serta tidak diimbangi oleh sikap
saling menghormati dan menghargai akan mengakibatkan dampak negatif yang tidak
diinginkan. Dalam prinsip humanitas
ini ditegaskan bahwa pengembangan nilai kemenusian pada dasarnya adalah
pemenuhan kodrat kemanusiaan. Sehingga manusia menjadi lebih bermartabat
yang tecermin dari keluhuran akal-budi
dan moralnya yang membedakan dengan makhluk yang lainya.
2. Prinsip Unitas
Kemajemukan dan keanekaragaman agama, etnis, ras, dan
budaya mengisyaratkan perlunya kerjasama antar semua komponen. Keanekaragaman
dan perbedaan dalam masyarakat tidak mengharuskan terpecah-belah. Kemajemukan
itu justru dilihat sebagai potensi kekayaan yang aka menjadi modal utama untuk
menghalau arus globalisasi yang akan mengikis kebudayaan lokal. Prinsip ini
menegaskan bahwa keanekaragaman itu
penting dalam rangka saling memperkaya untuk menciptakan iklim kerja sama dalam
segala sektor kehidupan yang menunjang kemajuan nasional.
3. Prinsip Kontekstualitas
Kesadaran multikultural mengisyaratkan akan perlunya
pemahaman secara khusus berdasarkan nilai kultur. Pentingnya akan kesadaran
multikultural ini tidak akan mendapatkan respon yang positif dan berjalan
sebagaiman fungsinya jika tidak ditempatkan pada kontek budaya masyarakat
setempat. Untuk mendapatkan suatu iklim yang kondusif dan dapat bekerja sama
dengan baik maka multikulturalisme harus dijadikan sebagai basic of value
system tersendiri oleh masyarakat sesuai dengan konsensus yang berlaku.
Amin Abdulloh menyebutkan prinsip utama yang terdapat
dalam pendidikan multikultural atau pendidikan berwawasan keragaman meliputi : kesadaran
akan pentingnya hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan kultur serta agama
yang ada, penanaman semangat relasi antar manusia dengan spirit kesetaraan dan
kesederajatan, saling percaya, saling memahami, menghargai perbedaan dan
keunikan agama-agama, serta menerima perbedaan-perbedaan dengan pikiran terbuka
demi mengatasi konflik untuk terciptanya perdamaian dan kedamaian.. Dari prinsip-prinsip ini, secara operasional dinyatakan maksud pendidikan
keragaman adalah untuk mencegah terjadinya konflik antar agama, mencegah
terjadinya radikalisme agama, sekaligus pada saat yang sama memupuk terwujudnya
sikap yang apresiatif positif terhadap pluralitas dalam dimensi dan perspektif
apapun, karena pendidikan agama berwawasan multikultural pluralistic memiliki
visi dan misi untuk mewujudkan agama pada sisi yang lebih santun, dialogis,
apresiatif terhadap pluralitas dan peduli terhadap persoalan hidup yang komunal
transformatif.
Pendidikan keragaman adalah model
pendidikan yang menekankan untuk membuka visi pada cakrawala yang lebih luas
serta mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama,
sehingga mampu melihat ‘kemanusiaan’ sebagai sebuah keluarga yang memiliki
perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Muaranya adalah
terbangunnya nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan
solidaritas. Pendidikan keragaman adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan untuk
menggunakan dan mengelola perbedaan-perbedaan kultur yang ada di masyarakat
menyangkut etnis, agama, bahasa, gender, ras, kelas sosial, usia, dan
sebagainya menjadi sesuatu yang lebih potensial dan memudahkan dalam konteks
pendidikan. Pendidikan keragaman juga
berupaya melatih dan membangun karakter peserta didik agar memiliki sikap
demokratis, humanis, dan pluralis dalam lingkungannya. Dalam hal ini,
pendidikan Islam dianggap sebagai media paling efektif untuk melahirkan
generasi yang berpandangan positif dan apresiatif menyikapi perbedaan.
Pendidikan keragaman
adalah pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang
peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, agama (aliran
kepercayaan) dan budaya. di dalam pendidikan keragaman terkait erat dengan
masalah-masalah keadilan sosial, demokrasi dan hak asasi manusia. Para pakar
pendidikan mengidentifikasi tiga prinsip yang menjadi dasar dalam pendidikan
keragaman yakni : Pertama
apresiasi terhadap adanya realitas pluralitas budaya dalam masyarakat, kedua,
Pengakuan terhadap kesetaraan harkat dan hak asasi manusia, dan ketiga,
Pengembangan masyarakat dunia. Prinsip-prinsip
diatas relevan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan Islam berupa : (1) Al-Ukhuwah, Persaudaraan (2) Al-Hurriyah,
Kebebasan (3) Al-Musawah, Kesetaraan, dan (4) Al-Adalah, Keadilan.
Nilai-nilai Pendidikan Keragaman
Abdulloh Aly,
merinci nilai-nilai yang terdapat dalam pendidikan keragaman atau multikultural
adalah : (1) semangat demokratisasi, kesetaraan dan keadilan, (2) semangat
kemanusiaan, kebersamaan dan kedamaian, (3) sikap mengakui, menerima dan
menghargai keragaman. Dengan nilai-nilai tersebut dalam pendidikan keragaman
peserta didik diarahkan untuk : (1) Belajar hidup dalam
perbedaan, (2) Membangun saling percaya, (3) Memelihara saling pengertian (mutual
understanding), (4) Menjunjung sikap saling menghargai (mutual respect), dan (5) semangat rekonsiliasi.
Pendidikan keragaman
oleh banyak pakar dianggap memiliki basis-basis
doktrinal yang bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Basis doktrinal ini
menjadi nilai yang melekat pada pendidikan keragaman. Dalam hal ini setidaknya terdapat tiga nilai utama
yang mencirikan pendidikan keragaman versi Islam, yakni :.
Pertama, berorientasi pada
prinsip-prinsip keadilan, demokrasi, dan kesetaraan. Basis-basis doktrinal yang
mendukung prinsip-prinsip ini dapat ditemukan dalam al-Qur’an surat as-Syura,
al-Hadid, dan al-A’raf. Para intelektual muslim mengakui bahwa ayat-ayat suci dalam
al-Qur’an menyediakan basis moral dan etika yang mendukung prinsip keadilan,
demokrasi, dan kesetaraan. Antara seorang muslim dengan muslim lainnya maupun
seorang muslim dengan non-muslim, harus diperlakukan secara adil. Al-Qur’an
mengajarkan model interaksi sosial yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan
ini. Prinsip keadilan dalam berinteraksi sesama manusia ini
dipraktekkan oleh Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Dalam satu kesempatan
Rasulullah saw. bersabda: “tidak ada keutamaan orang Arab atas orang bukan
Arab, tidak ada keutamaan orang bukan Arab atas orang Arab, kecuali karena taqwanya.” (HR. Imam Ahmad).
Al-Qur’an maupun as-Sunnah melarang rasisme maupun
dominasi kebenaran oleh satu etnik terhadap etnik lainnya. Dalam Islam,
perbedaan umat manusia berdasarkan unsur kebudayaan, adat-istiadat, dan warna
kulit dianggap sesuatu yang tidak penting. Islam menegaskan bahwa manusia sama
di hadapan Tuhan dan hukum. Karenanya, multikulturalisme dijunjung tinggi dalam
doktrin-doktrin Islam. Menjadi tidak relevan apabila pendidikan Islam
menyimpang dari spirit multikulturalisme yang didukung sepenunya oleh doktrin
Islam sendiri.
Dengan menempatkan semua manusia pada derajat yang
sama, otomatis islam hendak memberikan ruang dan kesempatan yang sama semua
manusia. Semua manusia berhak eksis dengan keragaman budaya, adat, dan
keyakinan masing-masing. Nuansa demokratis dalam berkehidupan, berbangsa, dan
bernegara menjadi ajaran yang sangat inheren dengan Islam. Rasulullah saw.
bersama para sahabatnya telah membangung Negara Madinah yang demokratis,
sebagai simbol yang harus dipahami oleh umat muslim generasi penerus. Dalam
pasal-pasal Piagam Madinah, misalnya, ditemukan spirit-spirit demokrasi
mengental. Perhatikan pasal 16 dan 46 berikut: “dan bahwa orang Yahudi yang mengikuti kami akan
memperoleh hak perlindungan dan hak persamaan tanpa ada penganiayaan dan tidak
ada orang yang membantu musuh mereka.” (pasal 16) “dan bahwa Yahudi al-Aus, sekutu mereka dan diri
(jiwa) mereka memperoleh hak seperti apa yang terdapat bagi pemilik shahifat
ini serta memperoleh perlakuan yang baik dari pemilik shahifat ini.”
(pasal 46).
Kedua, Menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme, kedamaian
dan kebersamaan. Islam
memahami manusia sebagai makhluk yang memiliki dua dimensi; dimensi spiritual
dan dimensi sosial. Dalam konteksnya sebagai makhluk yang berdimensi spiritual,
manusia memiliki relasi khusus antara dirinya dengan Tuhannya (habl min
Allah). Sedangkan dalam konteksnya sebagai makhluk yang berdimensi sosial,
manusia memiliki relasi dan hukum-hukum berinteraksi antar sesamanya (habl
min al-nas). Pada level habl min al-nas inilah, manusia harus
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian. Manusia
harus tunduk di bawah hukum Allah yang dikenal sebagai “hukum kesatuan
kemanusiaan (the unity of humankind)”.
Dua dimensi kemanusiaan manusia di atas meniscayakan
kewajiban bersama untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Kebersamaan dan
perdamaian, misalnya, tidak akan terwujud apabila manusia lebih mengedepankan
egoisme yang melahirkan perang. Di sisi lain, egoisme dan perang berbenturan
dengan nilai-nilai kemanusiaan yang menghormati perdamaian dan kebersamaan.
Karenanya, dalam hidup ini terdapat lima point penting yang harus dijaga,
yaitu: pemeliharaan kehidupan manusia sebagai tolok ukur utama, pemeliharaan
akal manusia, perjuangan untuk kebenaran pengetahuan, menjunjung tinggi harkat
manusia dan kehormatan masyarakat, dan pemeliharaan kesejahteraan individu dan
kelompok.
Kebersamaan dan perdamaian tidak mungkin mewujud tanpa
disertai kehendak terdalam manusia untuk hidup rukun, tolong menolong, dan
menghargai perbedaan demi mewujudkan integrasi. Solusi-solusi semacam ini
tergambar dalam konsep saling mengenal (ta’aruf) dan tolong-menolong
(ta’awun) yang digemakan oleh Islam. Kedua konsep ini diabadikan
dengan jelas oleh al-Qur’an dalam surat al-Hujurat dan al-Maidah. Dorongan
al-Qur’an untuk tolong-menolong dan menghindari konflik berdarah, tak lain
bertujuan untuk menciptakan kerukunan, kedamaian, harmonisme, dan
keberlangsungan hidup yang tidak disertai perang dan pembunuhan.
Ketiga, konsisten
mengembangkan sikap-sikap sosial yang
positif: mengakui, menerima, dan menghargai keragaman. Multikultur
yang berarti keragaman budaya, tidak mungkin tetap eksis apabila manusia
bersikap ekslusif terhadap keragaman itu sendiri. Kesadaran keragaman tidak mungkin diinternalisasikan oleh manusia yang
berjiwa tertutup. Karenanya, pendidikan keragaman berjuang keras membuka
“jeruji-jeruji” besi yang memenjarakan kesadaran kognitif manusia di ruangan
yang begitu sempit. Ekslufisme dan egoisme merupakan jeruji-jeruji besi yang
mengkerangkeng kesadaran manusia untuk bersikap terbuka, menerima, dan menghargai
yang lain (the others).
Ekslufisme dan egoisme dapat menghancurkan upaya-upaya
menciptakan tatanan sosial yang harmonis dalam masyarakat yang majemuk. Tanpa
adanya sikap pengakuan, penerimaan terhadap the others, dan penghargaan
(respectfull) terhadap keragamaan maka hubungan sosial yang harmonis
mustahil dibangun di tengah-tengah masyarakat yang plural dan multikultur.
Bagaimana mungkin totalitas-keseluruhan terbentuk sementara bagian-bagian
terkecil sebagai unsur-unsur penyusunnya saling bercerai-berai? Bagaimana
mungkin masyarakat majemuk dapat hidup rukun dan damai sementara satu sama lain
tidak ada sikap saling menerima, saling menghargai, dan saling mengakui?
Dalam
upaya mewujudkan kehidupan damai, harmonis, toleran dan saling menghargai perbedaan, pendidikan keragaman membutuhkan dialogical consensus yang memuat paling tidak tiga hal penting, yaitu negosiasi, kompromi dan konsensus Implikasi positif dari ketiganya adalah lahirnya
perasaan empati dan simpati terhadap sesama manusia tanpa membedakan gender,
agama, hak minoritas dengan mayoritas. Semuanya harus dapat berekspresi sebagai
wujud kehidupan masyarakat dan budaya yang multikultural dan multireligius.
Dari
Pendidikan Keragaman Menuju Jalan Damai
Pendidikan keragaman sebenarnya merupakan sikap peduli
terhadap perbedaan dan keragaman, atau “politics of
recognition” politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok
minoritas. Sikap
ini akan mendorong
tumbuhnya kajian-kajian tentang ‘ethnic studies” untuk
kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat
dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari semangat
ini adalah untuk
mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas
dan disadventaged.
Dengan demikian, paradigma pendidikan keragaman diharapkan dapat menghapus streotipe,
sikap dan pandangan egoistik, individualistik dan eksklusif di kalangan peserta didik. Sebaliknya, mereka selalu dikondisikan kearah tumbuhnya pandangan komprehensif
terhadap sesama, yaitu sebuah pandangan yang mengakui bahwa keberadaan dirinya
tidak bisa dipisahkan atau terintegrasi dengan lingkungan sekeliling yang
realitasnya terdiri atas pluralitas etnis, rasionalisme, agama dan budaya.
Pendidikan keragaman merupakan
model pendidikan yang berprinsip pada demokrasi, kesetaraan dan keadilan,
berorientasi pada kemanusiaan, kebersamaan dan kedamaian, dan mengembangkan sikap mengakui, menerima dan menghargai
keragaman budaya. Tujuan utamanya
adalah untuk menanamkan
sikap simpatik, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan
budaya yang berbeda. Pendidikan keragaman bertujuan mewujudkan sebuah komunitas yang kuat, maju, adil, makmur, dan sejahtera tanpa
perbedaan etnik, ras, agama, dan budaya. Misi pendidikan
keragaman adalah terwujudnya penghormatan dan penghargaan
setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia dari manapun datangnya
dan berbudaya apapun, harapannya
agar dapat tercapai kedamaian sejati, keamanan yang tidak dihantui kecemasan
dan kebahagiaan tanpa rekayasa.
Pendidikan keragaman yang
bercita-cita ideal mewujudkan perdamaian, keadilan, persaudaraan sosial, anti
konflik dan diskriminatif menemukan dasar-dasarnya pada beberapa pesan
teks suci, diantaranya: (1) Qs.
Al-Hujurat: 13 yang menegaskan bahwa diciptakannya manusia yang beragam, baik
jenis, bangsa dan suku adalah dimaksudkan untuk saling mengenal, saling
memahami, saling berinteraksi dan bekerja sama “ (2) Qs. Al-Baqarah : 256, yang menyebutkan tidak
ada paksaan dalam agama karena jalan lurus dan benar telah dapat dibedakan
dengan jelas dari jalan salah dan sesat. Terserah
manusia memilih jalan yang dikehendakinya. Telah dijelaskan mana jalan benar
yang akan membawa kepada kesengsaraan. Manusia merdeka memilih jalan yang
dikehendakinya. Kemerdekaan ini diperkuat oleh (3) Qs.Al-Kafirun : 6 surah
yang menyatakan: Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Dan yang paling central adalah (4) Qs. Al-Mu’miunun: yang menegaskan bahwa
sesungguhnya manusia adalah umat yang satu meskipun berbeda-beda.
Dari titik ini terbangun kesadaran bahwa “satu Tuhan, banyak agama” merupakan fakta dan
realitas yang tak terbantahkan”.
Implikasi
dari keyakinan bahwa seluruh manusia berasal dari sumber yang satu yaitu Tuhan,
berarti manusia seluruhnya adalah makhluk Tuhan. Dengan demikian seluruh
manusia adalah bersaudara karena sama-sama makhluk
Tuhan. Adanya persamaan keyakinan sama-sama makhluk Tuhan dan rasa
persaudaraan tersebut menjadi
landasan utama dalam toleransi menuju jalan damai. Pandangan ini membawa pada kesimpulan
bahwa seluruh jagad raya (universe) termasuk di dalamnya
seluruh umat manusia apapun bangsa dan bahasanya adalah merupakan makhluk
Tuhan juga, meskipun agama dan keyakinannya berbeda.
Catatan
Penutup
Pendidikan keragaman dapat dijadikan embrio bagi
berkembangnya sikap menghargai keragaman budaya, agama, suku dan ras yang
dikemas melalui kesadaran dan penghormatan yang tinggi terhadap segala
perbedaan demi terwujudnya tatanan masyarakat humanis dan inklusif, sebab elan
vital yang menjadi dasar pendidikan keragaman adalah apresiasi terhadap adanya
realitas pluralitas budaya dalam masyarakat dan pengakuan terhadap kesetaraan
harkat dan hak asasi manusia. Pendidikan keragaman atau yang lebih populer dengan sebutan pendidikan multikultural berperan penting dalam mewujudkan
harmonisasi masyarakat plural, sebab hakekat
model pendidikan ini dapat membangun sikap, etos dan pandangan dunia peserta didik yang egaliter
dalam mewujudkan horizon kehidupan yang dilandaskan atas prinsip saling
menghargai keberadaan yang lain dan
hidup berdampingan secara damai.
Pesan al-Quran bahwa Allah adalah salam dan sumber
kedamaian bermakna bahwa kedamaian Tuhan melingkupi seluruh ciptaan-Nya dan
mencakup semua dimensi kehidupan. Ini bermakna bahwa kedamaian bukan hanya
manifestasi dari penghayatan nilai Ilahiyah dan ketenangan pribadi tetapi juga
merupakan rangkaian sebab-akibat dari kedua dimensi damai ini. Upaya mewujudkan
perdamaian tentu bukan pekerjaan mudah, diperlukan ongkos yang tidak murah dan
proses yang tidak sederhana. Tetapi ini tidak berarti upaya tersebut tidak
mungkin dilakukan terutama oleh orang yang mampu memahami dan mengikuti
patronase ajaran Tuhan dan sunnatullah yang sarat dengan nilai kasih sayang dan
kebersamaan dalam segala aspek kehidupan.
Dengan pendidikan
berwawasan keragaman, akan terwujud equal for all, dimana semua orang
memperoleh kesetaraan dan kesederajatan, sebab inti dari model pendidikan ini
adalah keyakinan bahwa umat manusia adalah umat yang satu kendati beranekawarna. Dengan
demikian seluruh manusia adalah bersaudara karena sama-sama makhluk
Tuhan. Adanya persamaan keyakinan sama-sama makhluk Tuhan dan rasa
persaudaraan tersebut menjadi
landasan utama dalam toleransi menuju jalan damai #