Minggu, 11 Januari 2015

KAJIAN AGAMA BERBASIS MULTIDISIPLINER

Hefni Zain
Dewasa ini, peran agama dalam konstelasi global semakin banyak dipertanyakan, karena itu agama kembali menjadi kajian yang menarik minat banyak pihak.. Telah menjadi kebutuhan mendesak bahwa agama harus mampu berdialektika dengan semua perkembangan ilmu pengetahuan, tanpa itu ajaran agama dikhawatirkan tenggelam dalam kubangan dogmatisnya. Hal ini menuntut agama bukan sekedar difahami hanya dalam pengertian historis dan doktrinal, sebab ia telah menjadi fenomena yang komplek. Agama bukan hanya terdiri dari serangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu harus memaknai kehidupannya. Agama telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas sosial, politik, ekonomi dan bagian tak terpisahkan dari perkembangan dunia. Agama bukan lagi sekedar serentetan keyakinan yang memfosil, juga bukan sekedar ajaran spiritualitas yang bersifat individual, ia merupakan ideologi universal yang bergerak dinamis membentang melampaui sekat tempat dan  zaman dan  terus berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia untuk menjawab sejumlah persoalan kemanusian yang terus berubah, karena itu mendekati agama tidak mungkin lagi hanya dengan satu aspek saja, diperlukan multi disiplin ilmu pengetahuan untuk mengurai berbagai fenomenanya yang kompleks.
Mengatasi problem kemiskinan dalam Islam misalnya, tidak cukup hanya dengan pendekatan teologis seperti doktrin qona’ah, zuhud, sabar dan tawakkal, tetapi perlu juga doktrin tentang kerja keras dan pengembangan kreativitas, dan yang lebih penting adalah fasilitas untuk itu, seperti : pemerataan kesempatan, penyediaan lapangan kerja, pengembangan kemampuan dan skill, tanpa itu pengentasan kemiskinan hanyalah otopia.  Rendahnya mutu pendidikan juga tidak mungkin diselesaikan dengan hanya mengacu pada doktrin ”tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina” tetapi diperlukan juga langkah kongkrit menyangkut pembaharuan sistem pendidikan, pengembangan kompetensi dan profesionalitas tenaga pengajar, sarana prasarana, aspek manajerial dan semacamnya. Bukan berarti aspek eskatalogis diabaikan tetapi bagaimana pesan agama diterjemahkan secara praktis sebagai solusi membebaskan umatnya dari problematika kesehariannya. Kesadaran seperti ini penting, mengingat tantangan keagamaan saat ini bukan lagi muncul dari semacam “Beuty contest” doktrin-dokrin normatif, yang lebih diperlukan adalah respon kemanusiaan yang relevan dengan tantangan-tantangan yang ada. Survival agama esensinya tidak hanya terletak pada usaha keras menjaga kemurnian doktrin normatifnya, yang lebih mendasar adalah kemampuannya menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan global.
Mengkaji agama secara akademis memang tidak mudah, ada beberapa persoalan mendasar yang sebelumnya harus dituntaskan, misalnya, jika benar “studi agama” bermaksud mencari kebenaran,  bukankah  agama merupakan sumber kebenaran ?  bagaimana mungkin kebenaran mencari kebenaran ?. Ini jeruk makan jeruk. Dan kalau studi agama dimaksudkan demi suatu hasrat yang normatif,  bukankah agama adalah sumber segala norma ?.
Dalam realitasnya  agama ternyata mempunyai banyak wajah (multifaces), yakni tidak hanya semata-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, keimanan, krido, ritus, norma, pedoman hidup, ultimate concern dan seterusnya, tetapi juga terkait erat dengan persoalan-persoalan historis kultural yang juga merupakan keniscayaan manusiawi. Nah campur aduk yang sulit dipilah antara agama dengan kepentingan sosial kemasyarakatan pada tataran historis empirik  kiranya kian menambah rumitnya upaya studi agama. Kekurang cermatan memilah dengan tegas mana wilayah murni agama dan mana wilayah “kepentingan” historis kultural yang juga melekat didalamnya, akan mengakibatkan kekeliruan dalam mendefferensiasi mana wilayah pure sciences yang bersifat ta’aqquli, terbuka dan iklusif dan mana wilayah applied sciences yang bersifat ta’abbudi dan eksklusif ?. Sebab dalam wacana agama terdapat wilayah yang disebut normativitas dan sakralitas  dan pada saat yang sama ada pula wilayah historitas dan provanitas.
Disamping itu, kesulitan lain adalah berawal dari dua hal : Pertama, mengkaji berarti melakukan objektifity (mengambil jarak terhadap objek kajiannya). Dalam kajian agama, tentu objektifitas bukan hanya kepada pihak lain, tetapi juga pada diri sendiri. Untuk benar-benar mampu melakukan objektifitas terhadap kesadaran diri sendiri, tentu tidak hanya memerlukan keseriusan, latihan dan ketekunan, melainkan dibutuhkan juga keberanian. Kedua, secara tradisional, agama difahami sebagai sesuatu yang sakral, suci dan agung.  Menempatkan hal-hal semacam itu sebagai objek netral  akan dianggap mereduksi, mendistorsi atau bahkan merusak nilai tradisional agama.  Disamping sifat agama sendiri yang sangat luas dan kompleks yang hingga saat ini belum ada kesepakatan final mengenai batasan atau rumusan pengertiannya,  hal semacam ini jelas menambah panjangnya pergulatan -untuk tidak menyebut- keruwetan dalam usaha menjadikan agama sebagai subjeck matter  studi akademis.
Kendati demikian  bukan berarti tidak ada solusi. Sejarah cukup jelas membuktikan bahwa jauh sebelum Friedrick Muller (1823 – 1900 ) menseriusi agama sebagai bahan studi dan penelitian pada abad  14 M, Imam Bukhori telah memperkenalkan tradisi penelitian, yakni ketika dia mengidentifikasi, mengumpulkan, memetakan, menganalisis dan menentukan tingkat keabsahan hadits. Demikian juga Imam Syafi’i sebelum menentukan hukum tentang sesuatu, ia terlebih dahulu  memperkenalkan metode ushul fiqh dalam usaha penentuan hukum tersebut. Juga Imam Al-Ghazali sebelum membantah ajaran para filosuf yang dianggapnya tergelincir dalam kesesatan, ia terlebih dahulu meneliti metode pemikiran filsafat dan membandingkannya dengan kesadaran aqidah. Nah kalau ulama terdahulu telah merintis tradisi keilmuan penelitian dan mampu keluar dari berbagai kesulitan yang dihadapi, lalu kenapa kita tidak merujuk pada semangat mereka ?
Tetapi memang tidak dipungkiri bahwa studi agama memiliki konsep yang mendua, yakni studi sebagai cara mencari kebenaran agama dan studi sebagai usaha merumuskan dan memahami “kebenaran”  dari realitas empiris. Pada titik ini ada perbedaan antara Imam Al-Ghazali yang ingin mendapatkan ajaran yang benar dan ingin merumuskan sikap hidup beragama yang benar dengan Ibnu Kholdun yang berusaha melukiskan, menguraikan dan menerangkan realitas yang sebenarnya. Kalau yang pertama ingin mendapatkan pesan hakiki dari keabadian ajaran, maka yang kedua ingin memahami struktur dan dinamika realitas yang fana. Oleh karena itu guna memperoleh hasil kajian yang objektif dan akurat, seorang peneliti harus menyadari adanya jarak metodologis antara dirinya (yang meneliti) dengan masyarakat (objek) yang diteliti, meskipun secara normatif dia adalah bagian dari masyarakat dan nilai sosial yang diteliti itu.
Dengan demikian pada tahap awal mesti disadari bahwa “studi agama” sebagai usaha akademis, berarti menjadikan agama sebagai sasaran studi dan penelitian. Artinya betapapun agama bersifak abstrak dan sakral, tapi dalam konteks metodologis, agama harus dijadikan sebagai system fenomena yang riil. Untuk menghindari kesulitan-kesulitan fundamental pada tataran operasional, fenomena agama yang menjadi subjeck matter kajian akademis dapat dikategorikan menjadi : (a) Agama sebagai doktrin, (b) Agama sebagai produk sejarah, budaya dan sosial, (c) Dinamika dan struktur masyarakat “dibentuk” oleh agama, (d) Sikap masyarakat pemeluk agama terhadap doktrin. Dan (e) Hal-hal lain yang menyangkut pengalaman dari ajaran agama. Dengan kategorisasi ini, fenomina agama menjadi tidak terlalu sukar untuk dipelajari, diamati, diukur, dibuktikan dan dilukiskan secara sistimatis dan meyakinkan yang merupakan streotipe dari studi akademis.
Metodologi keilmuan yang bertugas mengkaji fenomena keberagamaan manusia merupakan sesuatu yang vital, sebab hanya dengan itu akan diketahui secara jelas seperti apa ajaran agama yang semestinya dan seperti apa pula pengalaman ajaran agama yang sudah terjadi. Dengan metodologi yang akurat akan terungkap persoalan-persoalan agama dan keagamaan yang belum tereksplorasi dan sekaligus terbersihkan nilai-nilai agama yang sudah tercemar dan diselewengkan. Dengan  itu semua diharapkan terjadi klarifikasi segala macam citra yang sempit akan agama karena beberapa ajaran dasarnya telah tereduksi dan terpolusi oleh sejumlah opini, sejarah dan kepentingan kepentingan  tertentu.
Konsep studi agama bisa menimbulkan beberapa pengertian. Pertama, studi agama berarti mencari kebenaran substansi agama sebagaimana dilakukan para Nabi, pendiri atau pembaharu suatu agama. Kedua, studi agama berarti studi atau usaha untuk menemukan dan memahami kebenaran agama sebagai realitas empirik dan bagaimana penyikapan terhadap realitas tersebut. Disini agama dijadikan sebagai fenomena yang riil dan sebagai subjeck matter studi akademis. Ketiga, Studi agama berarti menelaah fenomena sosial yang ditimbulkkan oleh agama dan penyikapan masayarakat terhadapnya.  Dengan demikian maka studi agama adalah pengkajian akademis terhadap agama sebagai realitas sosial, baik berupa teks, pranata sosial maupun prilaku sosial yang lahir atau sebagai perwujudan kepercayaan suci. Dengan kata lain studi agama adalah pengkajian akademis terhadap ajaran dan keberagamaan (Religiosity).   
Dari rumusan diatas, maka ada perbedaan antara :  studi sebagai usaha mencari kebenaran agama  dan studi sebagai usaha untuk merumuskan dan memahami “kebenaran” dari realitas empiris. Kalau yang pertama ingin mendapatkan pesan yang hakiki dari keabadian ajaran, maka yang kedua ingin memahami struktur dan dinamika realitas yang fana. Dalam krangka ini, ada juga para pakar studi agama yang membedakan antara studi agama dengan studi keagamaan. Misalnya Middleton (guru besar antropologi di New York University) menegaskan bahwa kalau studi agama (Study on religion) lebih menekankan pada materi agama, sehingga sasarannya menyangkut ritus, mitos dan magik, ia bisa dikaji  dari metodologi teologis, historis, komparatif dan psikologis. Sementara studi keagamaann (Religious studys) lebih menekankan pada agama sebagai sistem, atau sistem keagamaan. Karena itu ia bisa dikaji  dari metodologi sosiologis karena menyangkut sistem sosiologis atau suatu aspek organisasi sosial.
Jika pendapat Middleton disepakati, maka sasaran studi agama adalah agama sebagai doktrin, sedangkan sasaran studi keagamaan adalah agama sebagai gejala sosial. Perbedaan ini penting, sebab akan membedakan jenis metodologi yang hendak digunakan. Kalau yang pertama pasti memerlukan  metodologi tersendiri  yang khusus, sedangkan yang kedua, cukup meminjam metodologi penelitian sosial yang telah ada. Berbeda dengan Rahmat yang mengatakan bahwa agama dapat dikaji dengan menggunakan berbagai paradigma, sebab realitas keagamaan yang diungkapkan memiliki nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya, karena itu bagi Rahmat, tidak persoalan apakah dalam metodologinya harus khusus atau meminjam yang sudah ada. Sebab studi agama disebut studi agama sesungguhnya bukan karena metodenya melainkan karena bidang kajiannya. Karena itulah Bagi Rahmat posisi dan kedudukan studi agama adalah sejajar dengan studi-studi lainnya, yang membedakan hanyalah objek kajiannya.
Agama sebagai objek kajian akademis sudah lama menjadi wacana yang diperdebatkan. Ada yang mengatakan bahwa agama merupakan ajaran Tuhan yang bersifat ghoib dan transendental serta berdasarkan wahyu, karena itu ia tidak dapat  dijadikan sasaran studi ilmu sosial. Dan kalaupun dipaksakan, maka mesti  menggunakan metodologi khusus yang berbeda dengan sejumlah metodologi yang lazim di gunakan dalam ilmu-ilmu sosial. Tapi ada juga yang berpendapat bahwa secara substansial, agama mengandung dua sisi ajaran. Sisi pertama menyangkut  ajaran dasar yang merupakan wahyu dari Tuhan. Ia bersifat absolut, mutlaq benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Ajaran dasar yang demikian terdapat dalam kitab suci, ranah konsepsional atau aras langit.

Ajaran dasar dalam kitab suci itu kemudian memerlukan interpretasi dan penjelasan tentang makna, maksud dan cara pelaksanaannya dalam ranah operasional. Dan tafsir atau penjelasan ulama atau para pakar mengenai ajaran dasar yang ada dalam kitab suci tersebut pada gilirannya membentuk ajaran agama sisi kedua yang bersifat relatif, nisbi, berubah dan dapat dirubah sesuai dengan perkembangan zaman. Pada sisi inilah yang dapat menjadi wilayah kajian akademis. Dengan demikian, kajian akademis agama bukanlah meneliti hakekat agama dalam arti wahyu, melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini, memahami dan memperoleh pengaruh dari agama. Dengan kata lain, studi agama bukan meneliti kebenaran konsepsional, tetapi bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan fakta atau realitas sosio kultural.# Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar