Dr. H. Hefni
Zain, S.Ag, MM
Menyusul
terjadinya bom Sarinah Tamrin baru-baru ini seakan mengabsahkan bahwa Indonesia
memang salah satu sarang teroris dunia, tetapi dunia juga harus fair dan
objektif dalam mendefinisikan teror atau terorisme. Istilah teror, teroris dan terorisme secara historis
mempunyai akar-akarnya dalam revolusi Prancis sekitar tahun 1796, yakni ketika
kelompok jacobin menggunakan istilah terorisme dalam pengertian yang positif
ketika menyebut tindakan-tindakan teror mereka. Tetapi pada tahun 1797 sejak
masa Thermidor ke 9, kata teroris menjadi istilah pejoratif yang sering dikaitkan
dengan dunia kriminal. Pada tahun 1798 Suplemen dictionnaraire d’Academic
Francaise mendefinisikan terorisme sebagai
systeme, regime de la terreur. Jadi teror atau terorisme adalah
sejumlah tindakan kekerasan khusunya menyangkut politik (political violence)
yang unjustifiable.
Saat ini mendefinisikan
teror atau terorisme secara akurat bukan pekerjaan yang mudah, pertama, karena
hal itu sangat tergantung kepada siapa yang memberikan definisi. Misalnya tatkala
dua buah bom meledak di WTC AS dan menewaskan puluhan orang, semua masyarakat dunia
menyebutnya sebagai tindakan teroris yang harus dikutuk keras. Tetapi ketika
ratusan bahkan ribuan bom diledakkan di Irak, Afganistan, Palestina, Yaman,
Libanon dan sebagaian besar kawasan Timur tengah oleh AS dan sekutunya yang
menewaskan jutaan manusia tak berdosa dan meluluh lantakkan berbagai tempat
suci bersejarah bagi kaum muslimin, tidak ada seorangpun yang menyebutnya
sebagai tindakan teroris. Itu jelas tidak fair.
Kedua, saat ini opini dunia tengah menggiring dan memposisikan
istilah terorisme pada satu demensi saja, istilah terorisme itu hampir
sepenuhnya digunakan secara pejoratif untuk mengacu pada tindakan kekerasan
yang dijalankan oleh kelompok atau organisasi oposisi yang dipandang berada
diluar meanstream tatanan dan norma politik establish. Memang gampang menuding kegiatan kelompok-kelompok
kecil dan keras sebagai teror, tetapi kita abai terhadap “terorisme resmi” yang diperaktekkan sejumlah rejim atau negara
tertentu.
Secara
konsepsional teror itu ada dua macam, pertama, enforrcement terror (disebut
juga regime of terror) yakni teror yang dijalankan penguasa untuk menindas
tantangan dari kelompok yang mengusik
kekuasaan mereka atau dianggap
mengancam mereka. Dan kedua, egatational
terror (disebut juga siege of terror) yakni teror yang dilakukan kelompok kecil
tertentu sebagai tindakan protes atau balas dendam yang terpaksa diambil
sebagai sebuah cara karena tidak berdaya melakukan perlawanan yang sifatnya
formal terhadap kelompok establish yang
besar dan kuat itu. Tetapi kenapa yang disebut teroris hanya yang
kedua saja? itu jelas double standart, bias, subjektif, tidak adil dan
tidak fair.
Kita tidak pernah dan tidak akan pernah setuju
dengan bom bunuh diri, tindakan tersebut
bukanlah tindakan bijaksana, walaupun dengan alasan perlawanan sebagian kaum
muslimin terhadap dominasi mustakbirinis internasional. Tetapi lebih tidak
bijaksana lagi kalau kita membiarkan terjadinya proses penganiayaan besar-besaran
oleh para mustakbirinis internasional tersebut terhadap kaum muslimin di
berbagai belahan dunia. Karena itu yang saya selalu setuju adalah umat islam
harus bersatu melakukan perlawanan terhadap berbagai bentuk penjajahan, agresi dan kedholiman yang
dilakukan gerakan besar kapitalisme barat
terhadap dunia islam, caranya harus bil khoir, bil hikmah dan bukan
dengan bom bunuh diri.
Apa betul telah
terjadi penjajahan barat terhadap dunia islam, sehingga perlu perlawanan?, tidak
terpungkiri bahwa pasca runtuhnya
komunisme, islam dianggap sebagai rival atau ancaman yang paling berat bagi barat, karena itu AS,
ingris, australia, prancis dan sekutunya perlu melakukan konsolidasi dan
konspirasi untuk menghambat gerak laju
islam dipentas peradaban global, bahkan secara sistimatis mereka terus mencari
momentum untuk menghancurkan islam.
Esposito
mengemukakan, gerakan radikal muslim sesungguhnya merupakan produk dari
konspirasi neo kolonisme adi kuasa dan zionisme
yang langsung atau tidak langsung di dukung oleh rejim hegemoni barat yang tidak islami. Jadi selama
konspirasi yang bersumber hegemoni barat dan sistem internasional yang pincang
masih dominan, maka selama itu pula gerakan-gerakan radikal yang mengatas
namakan jihad akan tetap menjadi potensi.
Kalau mereka
bisa bersatu dan berkonspirasi untuk menghancurkan islam, lalu kenapa kaum
muslimin tidak bisa melakukan konsolidasi yang sama untuk mempertahankan diri?
Bukankah dalam islam banyak sekali doktrin suci yang menganjurkan hal
tersebut? dikatakan dalam sebuah
hadits bahwa persaudaraan kaum muslimin
diseluruh dunia ibarat satu tubuh, apabila salah satu anggota tubuh ada yang
sakit (atau disakiti) maka yang lain mesti merasakannya pula. Hadits lain
menyebutkan muslim yang satu dengan yang lain ibarat satu bangunan, yang satu
harus menguatkan yang lainnya. Lebih tegas dikatakan seorang muslim yang memperhatikan atau tidak
peduli terhadap urusan dan kondisi muslim yang lain, maka dia bukan termasuk
golongan umat ku. Dan bahkan dianggap tidak beriman seseorang yang tidak
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencinta dirinya sendiri.
Saat ini yang
mendesak bagi kaum muslimin adalah konsolidasi merapatkan barisan menghadapi
ancaman mustakbirinis internasional yang dengan
kekuatan politik, militer, ekonomi, teknologi dan budaya telah melakukan
penjajahan model baru terhadap berbagai negara berbasis islam dan kaum muslimin
di berbagai belahan dunia. Saya kira semuanya
sepakat bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, oleh karena itu
penjajahan diatas dunia (tentu dengan
segala bentuk dan modelnya) harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan pri keadilan.
Kendati islam
mencintai perdamaian, tapi islam lebih mencintai kemerdekaan. Ketika kaum
muslimin terus dijajah dan diperangi dalam segala bentuknya, maka merupakan
kehinaan jika ia terus pasrah dan tidak melakukan perlawanan. Bagi saya sangat
berbeda peperangan karena nafsu menjajah dengan peperangan karena mempertahankan
kehormatan dan harga diri. Seorang muslim boleh tidak setuju dengan bom bunuh
diri tetapi ia tidak boleh setuju dengan
pembantaian manusia secara besar besaran yang terus terjadi dihadapan kita dan kita
hanya berpangku tangan.
Manusia disebut
manusia karena kehormatan dan kemerdekaannya, ketika ia kehilangan kehormatan
dan kemerdekaannya maka boleh dibilang dia bukan lagi manusia kendati bentuknya
tetap manusia, karena itu kematian tubuh
manusia belum sebanding dengan kematian
nilai-nilai kemanusiaan. Menyadari betapa vitalnya posisi kehormatan dan kemerdekaan
bagi manusia, tak heran para pendahulu kita di negeri ini berjuang mati-matian,
demi memperoleh dan mempertahankan kemerdekaan. Itulah harga sebuah
kemerdekaan. Munculnya istilah “merdeka atau
mati” sesungguhnya menegaskan bahwa hidup manusia adalah diukur oleh
kemerdekaannya. manakala kemerdekaan itu hilang darinya, maka dia dianggap
tidak hidup kendati masih hidup, dia akan dianggap mati kendati belum mati.
Manusia dihitung hidup hanya bila dia merdeka.
Walhasil, jika
kita ingin menjadi umat yang besar, kata kuncinya, umat islam mesti bersatu,
sebab tidak pernah ada kemenangan tanpa kekuatan, tidak ada kekuatan tanpa
persatuan. Kita tidak perlu mengecam musuh kita, yang kita kecam adalah orang-orang islam atau negara-negara mayoritas islam yang
karena kepicikan dan ketergantungannya telah membuka jalan bagi kemenangan
musuh islam dan kebinasaan kaum muslimin sendiri. Inilah yang oleh Rasul saw
disebut sebagai al-ujara’ yakni orang orang yang menjual dirinya dan agamanya kepada
musuh islam dan al-mutahawwinun yakni orang orang yang tidak ambil
pusing terhadap kejadian-kejadian yang diderita kaum muslimin di belahan dunia
#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar