Senin, 07 Maret 2016

TERORISME vs terorisme

Dr. H. Hefni Zain, S.Ag, MM

Menyusul terjadinya bom Sarinah Tamrin baru-baru ini seakan mengabsahkan bahwa Indonesia memang salah satu sarang teroris dunia, tetapi dunia juga harus fair dan objektif dalam mendefinisikan teror atau terorisme. Istilah  teror, teroris dan terorisme secara historis mempunyai akar-akarnya dalam revolusi Prancis sekitar tahun 1796, yakni ketika kelompok jacobin menggunakan istilah terorisme dalam pengertian yang positif ketika menyebut tindakan-tindakan teror mereka. Tetapi pada tahun 1797 sejak masa Thermidor ke 9, kata teroris menjadi istilah pejoratif yang sering dikaitkan dengan dunia kriminal. Pada tahun 1798 Suplemen dictionnaraire d’Academic Francaise mendefinisikan terorisme sebagai  systeme, regime  de la  terreur. Jadi teror atau terorisme adalah sejumlah tindakan kekerasan khusunya menyangkut politik (political violence) yang unjustifiable.
Saat ini mendefinisikan teror atau terorisme secara akurat bukan pekerjaan yang mudah, pertama, karena hal itu sangat tergantung kepada siapa yang memberikan definisi. Misalnya tatkala dua buah bom meledak di WTC AS dan menewaskan puluhan orang, semua masyarakat dunia menyebutnya sebagai tindakan teroris yang harus dikutuk keras. Tetapi ketika ratusan bahkan ribuan bom diledakkan di Irak, Afganistan, Palestina, Yaman, Libanon dan sebagaian besar kawasan Timur tengah oleh AS dan sekutunya yang menewaskan jutaan manusia tak berdosa dan meluluh lantakkan berbagai tempat suci bersejarah bagi kaum muslimin, tidak ada seorangpun yang menyebutnya sebagai tindakan teroris. Itu jelas tidak fair.  Kedua, saat ini opini dunia tengah menggiring dan memposisikan istilah terorisme pada satu demensi saja, istilah terorisme itu hampir sepenuhnya digunakan secara pejoratif untuk mengacu pada tindakan kekerasan yang dijalankan oleh kelompok atau organisasi oposisi yang dipandang berada diluar meanstream tatanan dan norma politik establish.  Memang gampang menuding kegiatan kelompok-kelompok kecil dan keras sebagai teror, tetapi kita abai terhadap “terorisme resmi”  yang diperaktekkan sejumlah rejim atau negara tertentu.
Secara konsepsional teror itu ada dua macam, pertama, enforrcement terror (disebut juga regime of terror) yakni teror yang dijalankan penguasa untuk menindas tantangan dari kelompok yang   mengusik kekuasaan   mereka atau dianggap mengancam mereka.  Dan kedua, egatational terror (disebut juga siege of terror) yakni teror yang dilakukan kelompok kecil tertentu sebagai tindakan protes atau balas dendam yang terpaksa diambil sebagai sebuah cara karena tidak berdaya melakukan perlawanan yang sifatnya formal terhadap kelompok  establish yang besar dan kuat itu.  Tetapi kenapa  yang disebut teroris  hanya yang  kedua saja? itu jelas double standart, bias, subjektif, tidak adil dan tidak fair.
Kita  tidak pernah dan tidak akan pernah setuju dengan bom bunuh diri,  tindakan tersebut bukanlah tindakan bijaksana, walaupun dengan alasan perlawanan sebagian kaum muslimin terhadap dominasi mustakbirinis internasional. Tetapi lebih tidak bijaksana lagi kalau kita membiarkan terjadinya proses penganiayaan besar-besaran oleh para mustakbirinis internasional tersebut terhadap kaum muslimin di berbagai belahan dunia. Karena itu yang saya selalu setuju adalah umat islam harus bersatu melakukan perlawanan terhadap berbagai bentuk  penjajahan, agresi dan kedholiman yang dilakukan gerakan besar kapitalisme barat  terhadap dunia islam, caranya harus bil khoir, bil hikmah dan bukan dengan bom bunuh diri.
Apa betul telah terjadi penjajahan barat terhadap dunia islam, sehingga perlu perlawanan?, tidak terpungkiri bahwa  pasca runtuhnya komunisme, islam dianggap sebagai rival atau ancaman  yang paling berat bagi barat, karena itu AS, ingris, australia, prancis dan sekutunya perlu melakukan konsolidasi dan konspirasi  untuk menghambat gerak laju islam dipentas peradaban global, bahkan secara sistimatis mereka terus mencari momentum untuk menghancurkan islam.
Esposito mengemukakan, gerakan radikal muslim sesungguhnya merupakan produk dari konspirasi neo kolonisme adi kuasa dan zionisme  yang langsung atau tidak langsung di dukung oleh rejim hegemoni  barat yang tidak islami. Jadi selama konspirasi yang bersumber hegemoni barat dan sistem internasional yang pincang masih dominan, maka selama itu pula gerakan-gerakan radikal yang mengatas namakan jihad akan tetap menjadi potensi.
Kalau mereka bisa bersatu dan berkonspirasi untuk menghancurkan islam, lalu kenapa kaum muslimin tidak bisa melakukan konsolidasi yang sama untuk mempertahankan diri? Bukankah dalam islam banyak sekali doktrin suci yang menganjurkan hal tersebut?  dikatakan dalam sebuah hadits  bahwa persaudaraan kaum muslimin diseluruh dunia ibarat satu tubuh, apabila salah satu anggota tubuh ada yang sakit (atau disakiti) maka yang lain mesti merasakannya pula. Hadits lain menyebutkan muslim yang satu dengan yang lain ibarat satu bangunan, yang satu harus menguatkan yang lainnya. Lebih tegas dikatakan  seorang muslim yang memperhatikan atau tidak peduli terhadap urusan dan kondisi muslim yang lain, maka dia bukan termasuk golongan umat ku. Dan bahkan dianggap tidak beriman seseorang yang tidak mencintai saudaranya sebagaimana ia mencinta dirinya sendiri.
Saat ini yang mendesak bagi kaum muslimin adalah konsolidasi merapatkan barisan menghadapi ancaman mustakbirinis internasional yang dengan  kekuatan politik, militer, ekonomi, teknologi dan budaya telah melakukan penjajahan model baru terhadap berbagai negara berbasis islam dan kaum muslimin di berbagai belahan dunia. Saya kira semuanya  sepakat bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, oleh karena itu penjajahan diatas dunia  (tentu dengan segala bentuk dan modelnya)  harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan pri keadilan.
Kendati islam mencintai perdamaian, tapi islam lebih mencintai kemerdekaan. Ketika kaum muslimin terus dijajah dan diperangi dalam segala bentuknya, maka merupakan kehinaan jika ia terus pasrah dan tidak melakukan perlawanan. Bagi saya sangat berbeda peperangan karena nafsu menjajah dengan peperangan karena mempertahankan kehormatan dan harga diri. Seorang muslim boleh tidak setuju dengan bom bunuh diri  tetapi ia tidak boleh setuju dengan pembantaian manusia secara besar besaran yang terus terjadi dihadapan  kita dan kita  hanya berpangku tangan.
Manusia disebut manusia karena kehormatan dan kemerdekaannya, ketika ia kehilangan kehormatan dan kemerdekaannya maka boleh dibilang dia bukan lagi manusia kendati bentuknya tetap manusia, karena itu  kematian tubuh manusia  belum sebanding dengan kematian nilai-nilai kemanusiaan. Menyadari betapa vitalnya posisi kehormatan dan kemerdekaan bagi manusia, tak heran para pendahulu kita di negeri ini berjuang mati-matian, demi memperoleh dan mempertahankan kemerdekaan. Itulah harga sebuah kemerdekaan.  Munculnya istilah “merdeka atau mati” sesungguhnya menegaskan bahwa hidup manusia adalah diukur oleh kemerdekaannya. manakala kemerdekaan itu hilang darinya, maka dia dianggap tidak hidup kendati masih hidup, dia akan dianggap mati kendati belum mati. Manusia dihitung hidup hanya bila dia merdeka.

Walhasil, jika kita ingin menjadi umat yang besar, kata kuncinya, umat islam mesti bersatu, sebab tidak pernah ada kemenangan tanpa kekuatan, tidak ada kekuatan tanpa persatuan. Kita tidak perlu mengecam musuh kita, yang kita kecam adalah orang-orang  islam atau negara-negara mayoritas islam yang karena kepicikan dan ketergantungannya telah membuka jalan bagi kemenangan musuh islam dan kebinasaan kaum muslimin sendiri. Inilah yang oleh Rasul saw disebut sebagai al-ujara’ yakni orang orang  yang menjual dirinya dan agamanya kepada musuh islam dan al-mutahawwinun yakni orang orang yang tidak ambil pusing terhadap kejadian-kejadian yang diderita kaum muslimin di belahan dunia #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar