Dr. H. Hefni
Zain, S.Ag, MM
Dalam Islam
terdapat sejumlah term seperti : ushuliyyun (Fundamentalis), atau Asliyyun (Kaum
otentik, asli) untuk menyebut orang orang yang berpegang kepada fundamen
fundamen pokok Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits, atau kembali
kepada fundamen-fundamen keimanan,
penegakan kekuasaan politik ummah dan pengukuhan dasar dasar otoritas yang
absah (Syar’iyyah al hukm). Juga
ada sejumlah term lain, misalnya muta’assib atau mutatarrif yang digunakan
secara sinis oleh kelompok diluar Islam untuk menyebut kelompok ekstrimis,
militan dan radikal yang biasa menggunakan cara kekerasan dalam usaha
mengubah orde sosial politik secara drastis .
Terdapat
beberapa karakteristik pada penganut radikalisme, pertama, prinsip utama adalah oppositionalism
(paham perlawanan). Mengambil bentuk perlawanan radikal terhadap berbagai
ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agamanya. Kedua, memagang
kokoh agama dalam bentuk harfiah (literal) dan menganggap akal tidak representatif
memberikan interpreatasi yang tepat terhadap teks. Ketiga, menganggap
bahwa pluralisme dan relativisme merupakan hasil dari pemahaman yang keliru
terhadap teks suci, karena itu keduanya harus ditolak. Keempat, perkembangan
masyarakat dalam sejarah dipandang sebagai
“as it should be” dan bukan “as it is”, karena itu bagi
mereka masyarakat yang harus menyesuaikan diri dengan teks suci dan bukan
sebaliknya, (teks suci ditarik tarik dan dipaksa menyesuaikan diri dengan
perkembangan masyaakat). Menurutnya Islam sudah lengkap dan tidak perlu sumbang
saran sebagaimana kotak saran.
Secara hiostoris,
radikalisme dapat dilihat dalam dua
episode : Pertama, radikalisme pra
modern. Muncul disebabkan situasi dan kondisi tertentu dikalangan umat Islam
sendiri, karena itu, ia lebih genuine
dan inward oriented. Bagi mereka
tidak ada hukum kecuali hukum Allah (la
hukmu illa lillah). Radikalisme Islam
pra modern dipelopori oleh tokoh hawarij dan tokoh jabariah dan
kelompok ini yang banyak mengilhami konsep bagi munculnya radikalisme
kontemporer. Dan Kedua, radikalisme
kontemporer. Bangkit sebagai reaksi
terhadap panetrasi sistem dan nilai
sosial budaya, politik dan ekonomi barat yang dianggap skularistik,
kapitalistik dan westernistik. Hasan Al
Banna, Sayid Qutb, dan al
Maududi, adalah sederet tokoh yang punya andil signifikan membesarkan
radikalisme kontemporer.
Ideologi Islam
radikal adalah menekankan kemampuan Islam sebagai idiologi yang komprehensip
dan holistik. Ini didasarkan pada
beberapa hal, pertama, Islam adalah sistem komprehensip yang mampu
berkembang sendiri (mutakamil bi dzatihi), ia merupakan jalan mutlak kehidupan
dalam seluruh aspeknya. Kedua Islam memancar dari dua sumber dasarnya, yakni
qur’an dan Hadits, ketiga Islam berlaku untuk segala waktu dan tempat.
Ada dua program
utama dalam Islam radikal, Pertama, internasionalisasi organisasi guna
membebaskan seluruh wilayah muslimin dari kekuasaan dan pengaruh asing. Kedua
membangun di wialayah kaum muslimin yang
telah dibebaskan itu sebuah pemerintahan Islam yang mempraktekkan prinsip
prinsip dan sistem Islami secara menyeluruh. Tujuannya adalah untuk membentuk
kekhalifahan yang terdiri dari negara negara muslim yang merdeka dan berdaulat,
kekhalifahan ini harus didasarkan sepenuhnya pada ajaran alqur’an, guna
menjamin keadilan sosial dan menjamin
kesempatan yang memadai bagi seluruh individu muslim.
Gerakan Islam
radikal menganggap modernitas yang cenderung materialistik dan leberalis
merupakan barbaritas baru (jahiliyah modern) yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Jahiliyah modern menurut mereka adalah
situasi dimana nilai-nilai fundamental
yang diturunkan Allah kepada manusia diganti dengan nilai nilai palsu
(artificial) yang berdasarkan hawa nafsu duniawi. Menurut mereka jahilyah
modern menunjukkan dominasi (hakimiyyah) manusia atas manusia, atau ketundukan
manusia terhadap manusia melebihi ketundukan manusia kepada Tuhannya.
Bagi mereka, untuk
menumpas jahiliyah modern, umat Islam harus melakukan taghyir al-aqliyyah,
yakni perubahan fundamental yang radikal, bermula dari dasar dasar kepercayaan,
moral dan etiknya, dominasi (hakimiyah) atas manusia harus dikembalikan semata
mata kepada Allah. Untuk melakukan itu semua tidak cukup hanya dengan membaca
ayat-ayat suci, melainkan pesan itu harus di transfigurasikan lewat sebuah
harakah atau gerakan yang sistimatik dan metodologik guna membangun kembali
kedaulatan Tuhan dimuka bumi, dimana syareah dalam arti yang luas (termasuk :
cara hidup menyeluruh sebagaimana yang digariskan Allah) harus memegang supremasi. Sehingga tercipta
kominitas ideal (al-madinat al fadhilah). Dengan konsep harakah (Jihad), maka
tak terelakkan benturan antara Islam radikalis dengan kekuatan jahiliyah modern
(apakah itu barat atau sekutu muslimnya).
Sesungguhnya Islam adalah sebuah proklamasi bagi kemerdekaan manusia dimuka bumi ini,
pembebesan system penghambaan manusia atas manusia dan pembebasan manusia atas hawa nafsunya. Ini proklamasi rububiyah yang berarti
mengembalikan kekuasaan Allah yang hendak dirampas serta menghalau para
perampasnya yang menghukumi manusia dengan hukum mereka sendiri sehingga mereka menempati kedudukan
sebagai tuhan-tuhan kecil, sementara manusia lainnnya yang berada dalam
kekuasannya berstatus sebagai hamba-hambanya, ini disinggung Allah dalam Qs
At-tawbah : 31 “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai
Tuhan selain Allah. Padahal dalam Qs.
Yusuf : 40 Allah swt menegaskan keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.
Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". Dengan demikian misi substansial radikalisme menurut mereka adalah rehumanisasi menuju revolusi social untuk mengikis habis
orang-orang yang menjadi tuhan kecil dan menguasai manusia dengan segala tipu dayanya. Dan pada tataran operasionalnya
mengambil bentuk harakah (gerakan) untuk menghadapi musuh-musuh Allah dan
kemanusiaan.
Dalam Islam, pertumbuhan
kelompok radikal, tidak bisa dipisahkan dengan terjadinya kebangkitan Islam, khususnya setelah kejayaan revolusi
Iran tahun 1979, ephoria yang muncul dari keberhasilan Khomaeni menumbangkan
Syah (antek Amerika dan sekaligus menampar muka Amerika sendiri) kemudian
mendorong suburnya pembiakan radikalisme di Timur tengah. Esposito menegaskan; gerakan radikal muslim sesungguhnya merupakan produk dari
konspirasi neo kolonisme adi kuasa dan zionisme
yang langsung atau tidak langsung di dukung oleh rejim hegemoni barat yang tidak islami. Jadi selama
konspirasi yang bersumber hegemoni barat dan sistem internasional yang pincang
masih dominan, maka selama itu pula gerakan-gerakan radikal yang mengatas namakan jihad akan tetap
merupakan potensi yang laten.
Wacana
diseputar radikalisme dan isme isme yang lain, sebetulnya merupakan isu klasik
dalam Islam ataupun di berbagai agama yang lain, namun saat ini wacana tersebut
kembali actual ketika ia digunakan untuk
mengeneralisasi berbagai gerakan yang muncul dalam gelombang islamic revival. Memang, dalam beberapa dasawarsa terakhir terlihat
gejala islamic revival dalam berbagai
bentuk intensifikasi penghayatan dan pengamalan Islam,
yang diikuti dengan pencarian dan penegasan kembali nilai-nilai Islam dalam
berbagai aspek kehidupan. Tetapi menyebut semua gejala intensifikasi itu
sebagai “radikalisme Islam” jelas
merupakan siplifikasi yang distortif #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar