Senin, 07 Maret 2016

SEKALI LAGI MENDUDUKKAN RADIKALISME

Dr. H. Hefni Zain, S.Ag, MM

Dalam Islam terdapat sejumlah term seperti : ushuliyyun (Fundamentalis), atau Asliyyun (Kaum otentik, asli) untuk menyebut orang orang yang berpegang kepada fundamen fundamen pokok Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits, atau kembali kepada  fundamen-fundamen keimanan, penegakan kekuasaan politik ummah dan pengukuhan dasar dasar otoritas yang absah (Syar’iyyah al hukm).  Juga ada sejumlah term lain, misalnya muta’assib atau mutatarrif yang digunakan secara sinis oleh kelompok diluar Islam untuk menyebut kelompok ekstrimis, militan dan radikal yang biasa menggunakan cara kekerasan  dalam usaha  mengubah orde sosial politik secara drastis .
Terdapat beberapa karakteristik pada penganut radikalisme,  pertama, prinsip utama adalah oppositionalism (paham perlawanan). Mengambil bentuk perlawanan radikal terhadap berbagai ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agamanya. Kedua, memagang kokoh agama dalam bentuk harfiah (literal) dan menganggap akal tidak representatif memberikan interpreatasi yang tepat terhadap teks. Ketiga, menganggap bahwa pluralisme dan relativisme merupakan hasil dari pemahaman yang keliru terhadap teks suci, karena itu keduanya harus ditolak. Keempat, perkembangan masyarakat dalam sejarah dipandang sebagai  “as it should be” dan bukan “as it is”, karena itu bagi mereka masyarakat yang harus menyesuaikan diri dengan teks suci dan bukan sebaliknya, (teks suci ditarik tarik dan dipaksa menyesuaikan diri dengan perkembangan masyaakat). Menurutnya Islam sudah lengkap dan tidak perlu sumbang saran sebagaimana kotak saran.
Secara hiostoris, radikalisme  dapat dilihat dalam dua episode : Pertama, radikalisme  pra modern. Muncul disebabkan situasi dan kondisi tertentu dikalangan umat Islam sendiri, karena itu, ia lebih genuine dan inward oriented. Bagi mereka tidak ada hukum kecuali hukum  Allah (la hukmu illa lillah).  Radikalisme Islam pra modern   dipelopori oleh  tokoh hawarij dan tokoh jabariah  dan  kelompok ini yang banyak mengilhami konsep bagi munculnya radikalisme kontemporer.  Dan Kedua, radikalisme kontemporer. Bangkit sebagai reaksi  terhadap panetrasi sistem dan nilai  sosial budaya, politik dan ekonomi barat yang dianggap skularistik, kapitalistik  dan westernistik. Hasan Al Banna,  Sayid Qutb, dan  al  Maududi, adalah sederet tokoh yang punya andil signifikan membesarkan radikalisme kontemporer.
Ideologi Islam radikal adalah menekankan kemampuan Islam sebagai idiologi yang komprehensip dan holistik. Ini didasarkan pada  beberapa hal, pertama, Islam adalah sistem komprehensip yang mampu berkembang sendiri (mutakamil bi dzatihi), ia merupakan jalan mutlak kehidupan dalam seluruh aspeknya. Kedua Islam memancar dari dua sumber dasarnya, yakni qur’an dan Hadits, ketiga Islam berlaku untuk segala waktu dan tempat.
Ada dua program utama dalam Islam radikal, Pertama, internasionalisasi organisasi guna membebaskan seluruh wilayah muslimin dari kekuasaan dan pengaruh asing. Kedua membangun di wialayah kaum muslimin  yang telah dibebaskan itu sebuah pemerintahan Islam yang mempraktekkan prinsip prinsip dan sistem Islami secara menyeluruh. Tujuannya adalah untuk membentuk kekhalifahan yang terdiri dari negara negara muslim yang merdeka dan berdaulat, kekhalifahan ini harus didasarkan sepenuhnya pada ajaran alqur’an, guna menjamin keadilan sosial  dan menjamin kesempatan yang memadai bagi seluruh individu muslim.
Gerakan Islam radikal menganggap modernitas yang cenderung materialistik dan leberalis merupakan barbaritas baru (jahiliyah modern) yang bertentangan dengan ajaran Islam. Jahiliyah modern menurut mereka adalah  situasi dimana nilai-nilai fundamental  yang diturunkan Allah kepada manusia diganti dengan nilai nilai palsu (artificial) yang berdasarkan hawa nafsu duniawi. Menurut mereka jahilyah modern menunjukkan dominasi (hakimiyyah) manusia atas manusia, atau ketundukan manusia terhadap manusia melebihi ketundukan manusia kepada Tuhannya.
Bagi mereka, untuk menumpas jahiliyah modern, umat Islam harus melakukan taghyir al-aqliyyah, yakni perubahan fundamental yang radikal, bermula dari dasar dasar kepercayaan, moral dan etiknya, dominasi (hakimiyah) atas manusia harus dikembalikan semata mata kepada Allah. Untuk melakukan itu semua tidak cukup hanya dengan membaca ayat-ayat suci, melainkan pesan itu harus di transfigurasikan lewat sebuah harakah atau gerakan yang sistimatik dan metodologik guna membangun kembali kedaulatan Tuhan dimuka bumi, dimana syareah dalam arti yang luas (termasuk : cara hidup menyeluruh sebagaimana yang digariskan Allah)  harus memegang supremasi. Sehingga tercipta kominitas ideal (al-madinat al fadhilah). Dengan konsep harakah (Jihad), maka tak terelakkan benturan antara Islam radikalis dengan kekuatan jahiliyah modern (apakah itu barat atau sekutu muslimnya).
Sesungguhnya Islam adalah sebuah proklamasi bagi kemerdekaan manusia dimuka bumi ini, pembebesan system penghambaan manusia atas manusia dan pembebasan manusia atas hawa nafsunya. Ini  proklamasi rububiyah yang berarti mengembalikan kekuasaan Allah yang hendak dirampas serta menghalau para perampasnya yang menghukumi manusia dengan hukum mereka sendiri sehingga mereka menempati kedudukan sebagai tuhan-tuhan kecil, sementara manusia lainnnya yang berada dalam kekuasannya berstatus sebagai hamba-hambanya, ini disinggung Allah dalam Qs At-tawbah : 31Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah. Padahal dalam Qs. Yusuf : 40 Allah swt menegaskan keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". Dengan demikian misi substansial radikalisme menurut mereka adalah rehumanisasi menuju revolusi social untuk mengikis habis orang-orang yang menjadi tuhan kecil dan menguasai manusia dengan segala tipu dayanya. Dan pada tataran operasionalnya mengambil bentuk harakah (gerakan) untuk menghadapi musuh-musuh Allah dan kemanusiaan.
Dalam Islam, pertumbuhan kelompok radikal, tidak bisa dipisahkan dengan terjadinya kebangkitan Islam, khususnya setelah kejayaan revolusi Iran tahun 1979, ephoria yang muncul dari keberhasilan Khomaeni menumbangkan Syah (antek Amerika dan sekaligus menampar muka Amerika sendiri) kemudian mendorong suburnya pembiakan radikalisme di Timur tengah. Esposito menegaskan; gerakan radikal muslim sesungguhnya merupakan produk dari konspirasi neo kolonisme adi kuasa dan zionisme  yang langsung atau tidak langsung di dukung oleh rejim hegemoni  barat yang tidak islami. Jadi selama konspirasi yang bersumber hegemoni barat dan sistem internasional yang pincang masih dominan, maka selama itu pula gerakan-gerakan radikal yang mengatas namakan jihad akan tetap merupakan potensi yang laten.

Wacana diseputar radikalisme dan isme isme yang lain, sebetulnya merupakan isu klasik dalam Islam ataupun di berbagai agama yang lain, namun saat ini wacana tersebut kembali actual ketika ia digunakan untuk mengeneralisasi berbagai gerakan yang muncul dalam gelombang islamic revival. Memang, dalam beberapa dasawarsa terakhir terlihat gejala  islamic revival dalam berbagai bentuk intensifikasi penghayatan dan pengamalan Islam, yang diikuti dengan pencarian dan penegasan kembali nilai-nilai Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Tetapi menyebut semua gejala intensifikasi itu sebagai “radikalisme Islam” jelas merupakan siplifikasi yang distortif  #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar