Hefni Zain
Dewasa ini, peran agama
dalam konstelasi global semakin banyak dipertanyakan, karena itu agama kembali
menjadi kajian yang menarik minat banyak pihak.. Telah menjadi kebutuhan
mendesak bahwa agama harus mampu berdialektika dengan semua perkembangan ilmu
pengetahuan, tanpa itu ajaran agama dikhawatirkan tenggelam dalam kubangan
dogmatisnya. Hal ini menuntut agama bukan sekedar difahami hanya dalam
pengertian historis dan doktrinal, sebab ia telah menjadi fenomena yang
komplek. Agama bukan hanya
terdiri dari serangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu
harus memaknai kehidupannya. Agama telah menjadi sebuah sistem budaya,
peradaban, komunitas sosial, politik, ekonomi dan bagian tak terpisahkan dari
perkembangan dunia. Agama bukan lagi sekedar serentetan keyakinan yang
memfosil, juga bukan sekedar ajaran spiritualitas yang bersifat individual, ia
merupakan ideologi universal yang bergerak dinamis membentang melampaui sekat
tempat dan zaman dan terus berkembang sesuai dengan denyut nadi
perkembangan manusia untuk menjawab sejumlah persoalan kemanusian yang terus
berubah, karena itu mendekati agama
tidak mungkin lagi hanya dengan satu aspek saja, diperlukan multi disiplin ilmu
pengetahuan untuk mengurai berbagai fenomenanya yang kompleks.
Mengatasi problem
kemiskinan dalam Islam misalnya, tidak cukup hanya dengan pendekatan teologis
seperti doktrin qona’ah, zuhud, sabar dan tawakkal, tetapi perlu juga doktrin
tentang kerja keras dan pengembangan kreativitas, dan yang lebih penting adalah
fasilitas untuk itu, seperti : pemerataan kesempatan, penyediaan lapangan
kerja, pengembangan kemampuan dan skill, tanpa itu pengentasan kemiskinan
hanyalah otopia. Rendahnya mutu
pendidikan juga tidak mungkin diselesaikan dengan hanya mengacu pada doktrin ”tuntutlah
ilmu walau ke negeri Cina” tetapi diperlukan juga langkah kongkrit menyangkut
pembaharuan sistem pendidikan, pengembangan kompetensi dan profesionalitas
tenaga pengajar, sarana prasarana, aspek manajerial dan semacamnya. Bukan berarti aspek eskatalogis diabaikan
tetapi bagaimana pesan agama diterjemahkan secara praktis sebagai solusi
membebaskan umatnya dari problematika kesehariannya. Kesadaran
seperti ini penting, mengingat tantangan keagamaan saat ini bukan lagi muncul
dari semacam “Beuty contest”
doktrin-dokrin normatif, yang lebih diperlukan adalah respon kemanusiaan yang
relevan dengan tantangan-tantangan yang ada. Survival agama esensinya tidak
hanya terletak pada usaha keras menjaga kemurnian doktrin normatifnya, yang
lebih mendasar adalah kemampuannya menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan global.
Mengkaji agama
secara akademis memang tidak mudah, ada beberapa persoalan mendasar yang
sebelumnya harus dituntaskan, misalnya, jika benar “studi agama” bermaksud
mencari kebenaran, bukankah agama merupakan sumber kebenaran ? bagaimana mungkin kebenaran mencari kebenaran
?. Ini jeruk makan jeruk. Dan kalau studi agama dimaksudkan demi suatu hasrat
yang normatif, bukankah agama adalah
sumber segala norma ?.
Dalam realitasnya
agama ternyata mempunyai banyak wajah (multifaces), yakni tidak hanya
semata-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, keimanan, krido, ritus, norma,
pedoman hidup, ultimate concern dan seterusnya, tetapi juga terkait erat dengan
persoalan-persoalan historis kultural yang juga merupakan keniscayaan
manusiawi. Nah campur aduk yang sulit dipilah antara agama dengan kepentingan
sosial kemasyarakatan pada tataran historis empirik kiranya kian menambah rumitnya upaya studi
agama. Kekurang cermatan memilah dengan tegas mana wilayah murni agama dan mana
wilayah “kepentingan” historis kultural yang juga melekat didalamnya, akan
mengakibatkan kekeliruan dalam mendefferensiasi mana wilayah pure sciences yang
bersifat ta’aqquli, terbuka dan iklusif dan mana wilayah applied sciences yang
bersifat ta’abbudi dan eksklusif ?. Sebab dalam wacana agama terdapat wilayah
yang disebut normativitas dan sakralitas
dan pada saat yang sama ada pula wilayah historitas dan provanitas.
Disamping itu,
kesulitan lain adalah berawal dari dua hal : Pertama, mengkaji
berarti melakukan objektifity (mengambil jarak terhadap objek kajiannya). Dalam
kajian agama, tentu objektifitas bukan hanya kepada pihak lain, tetapi juga
pada diri sendiri. Untuk benar-benar mampu melakukan objektifitas terhadap
kesadaran diri sendiri, tentu tidak hanya memerlukan keseriusan, latihan dan
ketekunan, melainkan dibutuhkan juga keberanian. Kedua, secara tradisional,
agama difahami sebagai sesuatu yang sakral, suci dan agung. Menempatkan hal-hal semacam itu sebagai objek
netral akan dianggap mereduksi,
mendistorsi atau bahkan merusak nilai tradisional agama. Disamping sifat agama sendiri yang sangat
luas dan kompleks yang hingga saat ini belum ada kesepakatan final mengenai
batasan atau rumusan pengertiannya, hal
semacam ini jelas menambah panjangnya pergulatan -untuk tidak menyebut-
keruwetan dalam usaha menjadikan agama sebagai subjeck matter studi akademis.
Kendati
demikian bukan berarti tidak ada solusi.
Sejarah cukup jelas membuktikan bahwa jauh sebelum Friedrick Muller (1823 –
1900 ) menseriusi agama sebagai bahan studi dan penelitian pada abad 14 M, Imam Bukhori telah memperkenalkan
tradisi penelitian, yakni ketika dia mengidentifikasi, mengumpulkan, memetakan,
menganalisis dan menentukan tingkat keabsahan hadits. Demikian juga Imam
Syafi’i sebelum menentukan hukum tentang sesuatu, ia terlebih dahulu memperkenalkan metode ushul fiqh dalam usaha
penentuan hukum tersebut. Juga Imam Al-Ghazali sebelum membantah ajaran para
filosuf yang dianggapnya tergelincir dalam kesesatan, ia terlebih dahulu
meneliti metode pemikiran filsafat dan membandingkannya dengan kesadaran aqidah.
Nah kalau ulama terdahulu telah merintis tradisi keilmuan penelitian dan mampu
keluar dari berbagai kesulitan yang dihadapi, lalu kenapa kita tidak merujuk
pada semangat mereka ?
Tetapi memang
tidak dipungkiri bahwa studi agama memiliki konsep yang mendua, yakni studi
sebagai cara mencari kebenaran agama dan studi sebagai usaha merumuskan dan
memahami “kebenaran” dari realitas
empiris. Pada titik ini ada perbedaan antara Imam Al-Ghazali yang ingin
mendapatkan ajaran yang benar dan ingin merumuskan sikap hidup beragama yang
benar dengan Ibnu Kholdun yang berusaha melukiskan, menguraikan dan menerangkan
realitas yang sebenarnya. Kalau yang pertama ingin mendapatkan pesan hakiki
dari keabadian ajaran, maka yang kedua ingin memahami struktur dan dinamika
realitas yang fana. Oleh karena itu guna memperoleh hasil kajian yang objektif
dan akurat, seorang peneliti harus menyadari adanya jarak metodologis antara
dirinya (yang meneliti) dengan masyarakat (objek) yang diteliti, meskipun
secara normatif dia adalah bagian dari masyarakat dan nilai sosial yang diteliti
itu.
Dengan demikian
pada tahap awal mesti disadari bahwa “studi agama” sebagai usaha akademis,
berarti menjadikan agama sebagai sasaran studi dan penelitian. Artinya
betapapun agama bersifak abstrak dan sakral, tapi dalam konteks metodologis,
agama harus dijadikan sebagai system fenomena yang riil. Untuk menghindari
kesulitan-kesulitan fundamental pada tataran operasional, fenomena agama yang
menjadi subjeck matter kajian akademis dapat dikategorikan menjadi : (a) Agama
sebagai doktrin, (b) Agama sebagai produk sejarah, budaya dan sosial, (c)
Dinamika dan struktur masyarakat “dibentuk” oleh agama, (d) Sikap masyarakat
pemeluk agama terhadap doktrin. Dan (e) Hal-hal lain yang menyangkut pengalaman
dari ajaran agama. Dengan kategorisasi ini, fenomina agama menjadi tidak
terlalu sukar untuk dipelajari, diamati, diukur, dibuktikan dan dilukiskan
secara sistimatis dan meyakinkan yang merupakan streotipe dari studi akademis.
Metodologi keilmuan yang bertugas mengkaji fenomena
keberagamaan manusia merupakan sesuatu yang vital, sebab hanya dengan itu akan
diketahui secara jelas seperti apa ajaran agama yang semestinya dan seperti apa
pula pengalaman ajaran agama yang sudah terjadi. Dengan metodologi yang akurat
akan terungkap persoalan-persoalan agama dan keagamaan yang belum tereksplorasi
dan sekaligus terbersihkan nilai-nilai agama yang sudah tercemar dan
diselewengkan. Dengan itu semua
diharapkan terjadi klarifikasi segala macam citra yang sempit akan agama karena
beberapa ajaran dasarnya telah tereduksi dan terpolusi oleh sejumlah opini,
sejarah dan kepentingan kepentingan
tertentu.
Konsep studi
agama bisa menimbulkan beberapa pengertian. Pertama, studi agama berarti
mencari kebenaran substansi agama sebagaimana dilakukan para Nabi, pendiri atau
pembaharu suatu agama. Kedua, studi agama berarti studi atau usaha untuk
menemukan dan memahami kebenaran agama sebagai realitas empirik dan bagaimana
penyikapan terhadap realitas tersebut. Disini agama dijadikan sebagai fenomena
yang riil dan sebagai subjeck matter studi akademis. Ketiga, Studi agama
berarti menelaah fenomena sosial yang ditimbulkkan oleh agama dan penyikapan
masayarakat terhadapnya. Dengan demikian
maka studi agama adalah pengkajian akademis terhadap agama sebagai realitas
sosial, baik berupa teks, pranata sosial maupun prilaku sosial yang lahir atau
sebagai perwujudan kepercayaan suci. Dengan kata lain studi agama adalah
pengkajian akademis terhadap ajaran dan keberagamaan (Religiosity).
Dari rumusan
diatas, maka ada perbedaan antara :
studi sebagai usaha mencari kebenaran agama dan studi sebagai usaha untuk merumuskan dan
memahami “kebenaran” dari realitas empiris. Kalau yang pertama ingin
mendapatkan pesan yang hakiki dari keabadian ajaran, maka yang kedua ingin
memahami struktur dan dinamika realitas yang fana. Dalam krangka ini, ada juga para pakar studi agama yang membedakan antara
studi agama dengan studi keagamaan. Misalnya Middleton (guru besar antropologi
di New York University) menegaskan bahwa kalau studi agama (Study on religion)
lebih menekankan pada materi agama, sehingga sasarannya menyangkut ritus, mitos
dan magik, ia bisa dikaji dari
metodologi teologis, historis, komparatif dan psikologis. Sementara studi
keagamaann (Religious studys) lebih menekankan pada agama sebagai sistem, atau
sistem keagamaan. Karena itu ia bisa dikaji
dari metodologi sosiologis karena menyangkut sistem sosiologis atau suatu
aspek organisasi sosial.
Jika pendapat
Middleton disepakati, maka sasaran studi agama adalah agama sebagai doktrin,
sedangkan sasaran studi keagamaan adalah agama sebagai gejala sosial. Perbedaan
ini penting, sebab akan membedakan jenis metodologi yang hendak digunakan.
Kalau yang pertama pasti memerlukan
metodologi tersendiri yang
khusus, sedangkan yang kedua, cukup meminjam metodologi penelitian sosial yang
telah ada. Berbeda dengan Rahmat yang mengatakan
bahwa agama dapat dikaji dengan menggunakan berbagai paradigma, sebab realitas
keagamaan yang diungkapkan memiliki nilai kebenaran sesuai dengan kerangka
paradigmanya, karena itu bagi Rahmat, tidak persoalan apakah dalam
metodologinya harus khusus atau meminjam yang sudah ada. Sebab studi agama
disebut studi agama sesungguhnya bukan karena metodenya melainkan karena bidang
kajiannya. Karena itulah Bagi Rahmat posisi dan kedudukan studi agama adalah
sejajar dengan studi-studi lainnya, yang membedakan hanyalah objek kajiannya.
Agama sebagai
objek kajian akademis sudah lama menjadi wacana yang diperdebatkan. Ada yang
mengatakan bahwa agama merupakan ajaran Tuhan yang bersifat ghoib dan
transendental serta berdasarkan wahyu, karena itu ia tidak dapat dijadikan sasaran studi ilmu sosial. Dan
kalaupun dipaksakan, maka mesti menggunakan
metodologi khusus yang berbeda dengan sejumlah metodologi yang lazim di gunakan
dalam ilmu-ilmu sosial. Tapi ada juga yang berpendapat bahwa
secara substansial, agama mengandung dua sisi ajaran. Sisi pertama
menyangkut ajaran dasar yang merupakan
wahyu dari Tuhan. Ia bersifat absolut, mutlaq benar, kekal, tidak berubah dan
tidak bisa diubah. Ajaran dasar yang demikian terdapat dalam kitab suci, ranah
konsepsional atau aras langit.
Ajaran dasar
dalam kitab suci itu kemudian memerlukan interpretasi dan penjelasan tentang
makna, maksud dan cara pelaksanaannya dalam ranah operasional. Dan tafsir atau
penjelasan ulama atau para pakar mengenai ajaran dasar yang ada dalam kitab
suci tersebut pada gilirannya membentuk ajaran agama sisi kedua yang bersifat
relatif, nisbi, berubah dan dapat dirubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Pada sisi inilah yang dapat menjadi wilayah kajian akademis. Dengan demikian,
kajian akademis agama bukanlah meneliti hakekat agama dalam arti wahyu,
melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini, memahami dan memperoleh
pengaruh dari agama. Dengan kata lain, studi agama bukan meneliti kebenaran
konsepsional, tetapi bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial
berdasarkan fakta atau realitas sosio kultural.# Bersambung....