Senin, 18 Agustus 2014

THE ORIGINS OF THE HUMAN KIND

Ust. Hefni Zain
 Muqaddimah
Masih terdengar di perbincangan masyarakat, bahwa asal mula perempuan adalah dari tulang rusuk laki-laki. Pernah suatu ketika dalam obrolan ringan, seorang teman menyatakan,” aku ingin sekali cepat menemukan dimana gerangan tulang rusukku itu berada..” ada lagi’ “ sepertinya aku masih merasa cacat karena tulang rusukku yang masih terbelah. Entah dimana dia tersimpan. Ingin sekali cepat mendapatkannya agar aku bisa menyempurnakan hakikat diriku” sekilas kedengarannya meyakinkan. Namun ia tampak klise. secara rasio, mana mungkin perempuan yang secara fisik hampir seluruhnya serupa dengan bentuk laki-laki itu, bisa dikatakan bahwa ia tercipta dari tulang rusuknya. Unsur yang membedakannya hanya terletak pada segi anatomi fisik-biologisnya saja. Analogi absurd inipun baru yang dapat dilihat dari kaca mata logika. Walau terlepas dari keyakinan bahwa segala kemungkinan akan terjadi jika Allah swt berkehendak.
Jika ditelisik dari teks agama, terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang nampak mengisyaratkan asal-mula penciptaan perempuan, diantaranya : Qs. Al-Nisa’:1, Qs. Al-A’raf:189, Qs. Al-Zuma : 6. Dari ketiga ayat tersebut, tidak ada satu lafadz pun yang secara eksplisit mengatakan penciptaan manusia dengan nama adam dan hawa. Misalnya Qs. Al-Nisa’:1 “ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Penafsiran kontroversial dalam ayat tersebut terletak pada lafadz nafs wahidah, dhomir “min”, dan zaujaha. Para ulama tafsir secara umum berpendapat bahwa lafadz “nafs” yang dimaksud disini adalah adam. Kemudian lafadz “min” diambil dengan proposisi makna “dari”(sesuatu dari sesuatu yang lain) dan lafadz “ zaujaha” diartikan sebagai istri adam, hawa. Sehingga dengan mudah dipahami bahwasanya hawa diciptakan dari bagian unsur organ tubuh adam tepatnya pada tulang rusuknya. adapun kitab-kitab tafsir mu’tabar yang turut mengiyakan bentuk penafsiran diatas adalah tafsir al-Qurthubi, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir al-Bahr al-Muhith, Tafsir Ruh al-Bayan, Tafsir al-Kasysyaf, Tafsir al-Sa’ud, Tafsir Jami al-Bayan dan Tafsir al-Maraghi.
Berbeda dengan penafsiran imam Abu Muslim al-Asfahani dalam tafsir al-Razi yang mengatakan bahwa maksud dari dhamir “minha” disini bukan dari tubuh adam, melainkan tercipta dari gen, unsur pembentuk adam. Jadi, adam dan hawa sama-sama tercipta dari tanah. Hanya saja adam lebih didahulukan penciptaannnya baru setelah rampung, kemudian Allah menciptakan hawa dari tanah pula. Rifat Hassan, Tokoh feminis muslimah berkebangsaan India,  menolak keras penafsiran jumhur tadi. Dia berpendapat bahwa, kata “nafs” disini netral. Tidak harus merujuk pada adam. jika nafs wahidah diartikan adam, maka kata”adam” dalam semantis-linguistiknya berarti kata benda maskulin yang sederajat dengan arti al-insan, al-basyar dan al-nas dan bukan diartikan sebagai jenis kelamin.
Begitu juga DR. Abdul Ghani Shama (Penasehat menteri wakaf Mesir), mengatakan bahwa adam dan hawa diciptakan dari unsur materi yang sama. Sedangkan pihak yang mengatakan bahwa hawa tercipta dari tulang rusuk adam, adalah hepotesa yang diadopsi dari kisah-kisah israiliyat yang diragukan keabsahannya. Abdul Ghani Shama berpendapat bahwa sejarah awal interpretasi Al-Quran dipengaruhi setting kehidupan sosial dan budaya yang menjalar ketika itu, yakni kehidupan yang dikuasai pihak-pihak yang berpaham patriarchal. Tentunya, paradigma eksentrik ini jauh diluar dogma yang telah diajarkan Nabi. Tak diragukan lagi, tokoh teladan sejuta umat, pembawa risalah suci sejagat raya, Nabi Muhammad saw dengan segala praktik gender equality dan spirit equality yang diusungnya, berhasil mengangkat kedudukan perempuan dimasa itu sejajar dengan laki-laki dalam ranah politik, ekonomi, pendidikan baik dalam skala local, regional sampai global.
Melacak Akar Penafsiran
Mengapa di dunia Islam sampai terjadi perlakuan yang menyebabkan “dehumanisasi” atau minimal mereduksi eksistensi kemanusiaan perempuan? Apakah tidak mungkin hal ini disebabkan oleh adanya bias gender dalam penafsiran al-Qur’an yang kebanyakan didominasi oleh kaum laki-laki yang pada ujung-ujungnya mempunyai implikasi terhadap penafsisran al-Qur’an tersebut, sehingga penafsiran-penafsiran itu cenderung hanya mengakomodasi kesadaran, visi dan misi laki-laki saja.
Adalah benar bahwa secara teologis al-Qur’an dianggap mempunyai keberadaan absolut dan abadi. Namun ketika al-Qur’an ditafsirkan dan masuk dalam disket pemikiran manusia (baca: Mufassir) yang syarat dengan berbagai prejudices, setting sosiao-historis yang melingkupinya maka keberadaan penafsiran itu menjadi relatif sifatnya.  Berangkat dari asumsi bahwa hasil penafsiran al-Qur’an itu relatif sifatnya dan bahwa al-Qur’an diklaim sebagi salihun li kulli zaman wa makan maka mau tak mau al-Qur’an harus selalu ditafsirkan seiring dan senafas dengan akselerasi perubahan dan perkembangan zaman, karena al-Qur’an memang sangat kaya akan ma’na dan penafsiran (yahtamulu wujuh al-ma’na).
Menurut penelitian para antropolog, keadaan dunia islam pasca wafat nabi merupakan masa yang sarat akan gejala-gejala dekadensi hukum dan budaya meski sempat tercerahkan sebelumnya. Apalagi keadaan nash Al-Quran dan Al-Hadits yang ketika itu masih berada dalam tahap kodifikasi serta proses interpretasi. Yang tentunya, kondisi dan situasi local yang terjadi pada suatu masa, memiliki tendensius besar bagi para ulama tafsir maupun para exegesist dalam usaha manifestasi interpretasi hukum teologis yang akan ditetapkan.
Membludaknya penyaringan enkulturasi yang diserap islam dari budaya androsentris yang notabene missogamis, sangat niscaya jika menjamin terkontaminasinya pemikiran para ulama oleh paham patriarki tersebut. Diantaranya, adalah pengaruh ekspansi dakwah islam di hampir seluruh belahan bumi eropa dan Afrika dengan percampuran antara budaya wilayah jajahan Persia di timur, wilayah jajahan Romawi yang teradopsi oleh budaya Yunani, bahkan Mesir yang terpengaruh oleh budaya Mesir kunonya, semakin mendukung pada proses enkulturasi tersebut. Sehingga, sangat beralasan jika kemudian penafsiran ayat-ayat Al-Quran maupun Al-Hadits yang cenderung mengisyaratkan mekanisme penciptaan perempuan itu, kemudian ditafsirkan mirip seperti dengungan redaksi kitab genesis dalam perjanjian lama tepatnya di pasal 21-23 yang mengatakan bahwa, “ketika adam sedang sendirian ditaman surga, maka Allah menidurkannya. Kemudian dalam keadaan tidur, Allah mengambil bagian tulang rusuk kiri adam dan melapisinya dengan daging akhirnya terbentuklah makhluk sejenis perempuan. Dan setelah bangun, muncul disisinya sosok perempuan cantik tersenyum padanya. Bertanya adam, “siapa kamu?” “perempuan”, jawab hawa. “Mengapa kamu diciptakan”?, Tanya adam lagi. “supaya kamu mendapat kesenangan dari saya”, kata hawa. Dan ditanyakan ke malaikat bahwa dia dinamakan hawa karena dia diciptakan dari sebuah benda hidup (tulang rusuk)”.
Kisah estetis yang ternyata juga tersirat di kitab yahudi ini dan kitab semit lainnya, ternyata sudah menjadi santapan obrolan lama berikut kepercayaan dasar dari mayoritas umat agama islam semenjak dahulu kala. Bagaimana tidak, la wong ulama tafsir klasik pun menyuapi kisah dan keyakinan yang sejalan dengan kisah-kisah israiliyat tersebut. Dari sini, nampak sudah akar penyebab ayat-ayat yang terkesan bias gender sehingga berimplikasi pada tersubordinasinya posisi perempuan dalam bingkai kehidupan filosofis-teologis berikut sosio-kultural yang menganak-turun ini.
Tak hanya nash Al-Quran, teks Al-Hadits pun turut termanipulasikan oleh budaya dan tradisi lokal. Teks-teks hadits bahkan lebih banyak diklaim bias gender. Posisi hadits yang dinyatakan sebagai bentuk tafsir perincian dan penjelas dari nash Al-Quran ini semakin memperkuat asumsi the second creation-nya perempuan karena tertulis sangat jelas disana adanya lafadz “al-Dhol’i “ yang berarti tulang rusuk. Yang semula di Al-Quran masih bermakna ambigu, ternyata telah tertera sangat gamblang di Al-Hadits bahwa nyatanya perempuan selalu disandingkan oleh kata tulang rusuk. Diperkuat lagi dengan perawi-perawi hadits yang mengupas tentang hal ini, adalah kebanyakan para perawi shohih, seperti Bukhori Muslim.
Padahal, jika ditelisik lebih jauh, dari sekian banyak hadits yang memuat ciri perempuan yang dari tulang rusuk itu, selalu diawali dengan huruf” lam jeir” yang berarti “seperti”. Meskipun ada sebagian yang bergandengan dengan huruf “min”, itupun hanya segelintir. Dan lagi, kumpulan hadits yang berbicara masalah perempuan ini, tak ada satupun yang berjudulkan “penciptaan perempuan” tapi “ cara bermu’amalah dengan perempuan”. Seperti dalam contoh : “Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632).
Telah terpampang jelas tema besar dalam permulaan hadits ini, yaitu “ cara bermu’amalah dengan perempuan” sangat tidak etis jika penafsiran lafadz “diciptakan” diatas, kita artikan secara tekstual. Tentunya, teks kalam Ilahi maupun sabda Rasul mengandung makna eksoterik dan esoteric yang mendalam. Berkaitan dengan makna esoteric, suatu teks yang didalamnya bermakna rahasia yang mampu diketahui oleh orang-orang tertentu saja (orang-orang yang berilmu). Termasuk makna teks hadits tersebut, yang sarat mengandung makna metaforis. huruf “min” diatas berarti “bersifat” yang artinya, perempuan diciptakan dengan “bersifat tulang rusuk”. Isyarat akan ciri kelembutannya, kehalusan perasaannya, sikap dan bawaannya yang mudah berubah-ubah, cepat emosi dan temperamental.
Untuk itu, Rosulullah mengarahkan kaum laki-laki untuk bersikap sabar, pemaaf dan bijaksana. Seperti filosofi yang terkandung dalam tulang rusuk itu, bahwa jika sang laki-laki tidak mau memahaminya, bahkan menghukum istrinya dan memaki-makinya, maka niscaya tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali keretakan dan perpecahan dalam rumah tangga. Sangat bijaksana jika kita telusuri makna tabiat “kebengkokan” tersebut, adalah salah satu ciri keistimewaan perempuan oleh pengaruh fungsionalitas anatomiknya yang mengandung, melahirkan, menyusui dan memelihara anak-anaknya. Yang dengannya, membutuhkan feeling yang kuat, perasaan yang halus, dan daya sensitivitas yang tinggi.
Dari sini, bisa dipahami bahwa hakikat tulang rusuk yang sempat heboh oleh dengungan adagium para ulama tafsir, ulama fiqh serta exegesit klasik, perlu kita kaji ulang teks-teks yang berkaitan dengannya. Pengaruh tradisi, budaya maupun geografis suatu tempat dan masa, sangat identik pada tendensi lahirnya suatu interpretasi teks teologis. Begitu juga ajaran teologis, iapun memiliki dampak yang sangat besar pada pembentukan pola pikir dan kepercayan suatu kaum.
Rasyid Ridla menolak pandangan maenstrem
            Rasyid Ridla menolak  pandangan para mufassir yang mengatakan bahwa Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam. Dikatakan lagi dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok ketika Adam sedang tidur. Menurut Ridla  ide tersebut timbul dari apa yang termaktub di dalam Perjanjian Lama (Kitab Kejadian II: 21-23). Ridla  mengatakan bahwa jika tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Perjanjian Lama tersebut, maka pendapat “Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam” tidak akan pernah terlintas dalam benak umat Islam. Ridla juga mengatakan bahwa kisah kejadian Hawa tersebut juga terdapat dalam kitab Taurat.
            Dari cerita kejadian Hawa yang terdapat di dalam kedua kitab tersebutlah, kemudian muncul pemahaman bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Menarik untuk ditelaah kembali pernyataan Rasyid Ridla tersebut. Karena kalau kita melihat sejarah, maka kebudayaan Arab pada zaman jahiliyah banyak diwarnai oleh kebudayaan ahli kitab dari kaum Yahudi yang pindah ke Jazirah Arab sejak tahun 70 Masehi. Mereka pindah dengan membawa kebudayaan yang mereka ambil dari kitab-kitab agama mereka yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka mempunyai tempat khusus yang dijadikan sebagai pusat pengkajian warisan kebudayaan yang dinamakan dengan Midras.
            Pada saat itu Islam datang, dan di Jazirah Arabilah dakwah Islam mulai tersebar. Akhirnya, kaum Yahudi banyak yang memeluk Islam. Karena orang Yahudi (baik yang sudah Islam maupun yang belum) bertetangga dan berhubungan dengan kaum Muslimin, lama-kelamaan terjadilah pertemuan yang intensif antara keduanya, yang akhirnya juga terjadi pertukaran pandangan dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, melekatlah kebudayaan Yahudi dengan kebudayaan Islam melalui media yang lebih luas juga.
            Kegiatan itupun masih tetap berlansung sampai masa sahabat dan tabi’in. Sampai pada akhirnya cerita-cerita israiliyat tersebut merembet kedalam tafsir dan hadits dalam waktu yang sama secara berbarengan. Cerita-cerita ahli kitab baik dari kalangan Yahudi maupun Nasrani banyak diminati oleh-oleh orang-orang Islam tetutama mereka yang masih awam. Mereka punya keinginan yang besar sekali untuk mengetahui kisah-kisah dan berita-berita yang tidak dirinci secara jelas dalam Al-Qur’an  terutama kisah-kisah para Nabi, peperangan, kejadian manusia dan lain-lain.
            Pada masa tabi’in, penukilan dari ahli kitab semakin luas dan cerita-cerita israiliyat di dalam tafsir dan hadits semakin berkembang. Sumber cerita ini adalah orang-orang yang masuk Islam dari kalangan ahli kitab yang jumlahnya cukup banyak dan ditunjang oleh keinginan yang kuat dari orang-orang yang medengarkan kisah-kisah ajaib di dalam kitab mereka. Bahkan ada sekelompok mufassirin yang selalu membenarkan cerita-cerita israiliyat di dalam tafsir-tafsir mereka. Karenanya banyak tafsir-tafsir yang dipenuhi oleh kisah-kisah yang semuanya lemah dan samar. Kemudian setelah masa tabi’in, tumbuh kecintaan yang luar biasa terhadap cerita israiliyat dan diambilnya secara ceroboh, sehingga setiap cerita tersebut tidak ada lagi yang ditolak. Mereka tidak lagi mengembalikan cerita tersebut kepada Al-Quran, meskipun tidak dimengerti oleh akal.
            Dari sinilah apa yang dikatakan oleh Ridla menemukan titik akurasinya, bahwa sumber pemahaman Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam adalah dari Taurat dan Injil. Persoalannya sekarang adalah bagaimana sikap kita terhadap cerita yang dibawa oleh kaum Yahudi dan Nasrani  terhadap konsep penciptaan hawa tersebut ?             Ridla mengutip pendapat Ibn Hajar al-Asqalani yang mengatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam yang pendek ketika Adam sedang tidur. Dikatakan pula dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang pendek. Lebih lanjut Ibn Hajar mengatakan bahwa dari hadits tersebut dapat ditarik pemahaman bahwa perempuan bersifat bengkok. Dikatakan demikian karena tulang rusuk tersebut mengandung makna penetapan sifat bengkok yag dimiliki oleh kaum perempuan. Menurut Ridla, penjelasan Ibn Hajar tersebut hendaknya dicari titik kelemahannya. Lebih lanjut Ridla mengatakan bahwa pengibaratan penciptaan manusia dengan penciptaan tumbuhan teresebut merupakan sesuatu yang ghari<b (aneh). Dan ini melampaui batas ucapan para ulama salaf dan khalaf terutama dalam masalah ini. Meskipun demikian, Ridla tidak memberikan pemaparan yang jelas makna hadits tersebut.
            Setelah menempuh pemikiran mendalam serta mempertimbangkan berbagai argumentasi, akhirnya hadits tersebut mesti difahami secara metafora (majazi) seperti yang difahami oleh ulama-ulama kontemporer. Diantaranya adalah pendapat Aisyah Abdurrahman (Bint al-Syathi’) yang mengatakan bahwa pandangan “tulang rusuk yang bengkok “ menjadi asal-usul kejadian perempuan adalah sangat tekstual dan harfiah. Padahal, menurut bahasa yang dikenal dalam tatanan bahasa Arab, kata “ tulang rusuk” merupakan  kata kiasan (majazi). Menurutya, hadits tersebut bukan dimaksudkan untuk menerangkan pengertian asal-usul penciptaan perempuan, tetapi merupakan perintah kepada keturunan Adam agar tidak memperlakukan perempuan secara kasar.
            Hal ini juga sesuai dengan pendapat Quraish Shihab. Menurutnya, hadits tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat, karakter dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan laki-laki, yang apabila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu  mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan, kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya tulang rusuk yang bengkok.
Dari paparan diatas mengharuskan kita menempatkan hadits Bukhari dan Muslim sebagaimana yang disebut diatas untuk difahami secara majazi. Karena hadits tersebut tidak menerangkan asal-usul penciptaan perempuan, tetapi penringatan kepada keturunan Adam, supaya memperlakukan perempuan secara bijaksana. Karena ada sifat, karakter dan kecenderungan yang tidak sama dengan laki-laki, dan apabila tidak disadari akan membuat kaum lelaki bersikap tidak wajar.
Kritik Amina Wadud
Riset Amina Wadud mengenai perempuan dalam al-Qur’an yang tertuang dalam bukunya Qur’an and Woman, merupakan upaya untuk menjawab kegelisahan iintelektualnya mengenai ketidakadilan gender dalam masyarakat yang diduga sebagai bias patriarkhi yang cenderung memarjinalkan perspektif wanita dalam penafsiran al-Qur’an konvensional. Dari sini Wadud mencoba untuk melakukan dekonstruksi terhadap model penafsiran klasik dan sekaligus merekonstruksinya dengan menawarkan metode tafsir baru yang inklusif gender. Dalam risetnya Wadud menggugat habis bias gender yang mewarnai tradisi tafsir selama ini. Ia membedakan nas-nas dan kata-kata kunci tertentu yang telah digunakan untuk membatasi peran kemasyarakatan dan individual muslimah, dan menunjukkan bahwa makna asli dan konteks dari nas-nas tersebut menolak penafsiran demikian. Apa yang diklarifikasi oleh analisisnya adalah tiadanya bias, preseden, atau prasangka gender dalam al-Qur’an.
Riset Wadud mempertegas persamaan wanita dan menentang perlakuan tak adil yang secara historis telah dialami wanita dan secara legal terus berlanjut diberbagai komunitas muslim dewasa ini. Qur’anlah, tandas Wadud, yang paling berpeluang untuk membimbing masyarakat manusia menuju kolaborasi antara laki-laki dan perempuan yang paling efektif. Lewat karya tulisnya “Qur’an and Woman” Amina Wadud menggulirkan letupan-letupan pemikirannya yang cerdas, tegas dan syarat akan kritik. Ini dapat kami lihat tatkala ia memamparkan kategorisasi penafsiran al-Qur’an. Menurut Amina Wadud penafsiran-penafsiran tentang wanita selama ini dapat dikategorisasikan menjadi tiga  corak: tradisional, reaktif, holistik.
Kategori pertama, tafsir “tradisional”. Model tafsir ini menurut Amina Wadud menggunakan stressing tertentu sesuai dengan minat dan kecenderungan mufassirnya, seperti hukum, isoteris, sejarah, sastra, gramatika, dan lain sebagainya. Model tafsir semacam ini bersifat atomistik, penafsirannya dilakukan ayat per ayat dan tidak tematik (maudhu’i), sehingga bahasannya terkesan parsial, tidak ada upaya untuk mendiskusikan tema-tema tertentu menurut al-Qur’an itu sendiri. Mungkin saja ada pembahasan mengenai hubungan antara ayat satu dengan ayat lainnya. Namun, ketiadaan penerapan hermeneutik atau metodologi yang menghubungkan ide, struktur, sintaksis, atau tema yang serupa membuat pembacanya gagal menangkap Weltanschauung al-Qur’an
Yang menjadi kritik tujuan Amina Wadud terhadap model tafsir pertama ini adalah kesan ekslusifnya karena hanya ditulis oleh kaum Adam, sehingga yang terakomodasi di dalamnya hanya visi dan perspektif laki-laki Dan akhirnya pembentukan paradigma dasar dihasilkan tanpa partisipasi dan representasi langsung dari kaum wanita. Tragisnya kebungkaman wanita selama periode kritis perkembangan tafsir al-Qur’an bukan saja tidak diperhatikan, bahkan situasi ini secara salah telah dipersamakan dengan kebungkaman al-Qur’an itu sendiri. Dan yang lebih tragis lagi disadari atau tidak seringkali kaum muslim menggunakan legitimasi agama (dalam hal ini tafsir model tradisional yang dianggapnya merupakan hasil pemikiran yang sudah final dan taken for granted) untuk mengabsahkan perilaku dan tindakannya. Benar kiranya apa yang pernah diikatakan oleh Peter L. Berger bahwa agama sering kali dijadikan legitimasi tertinggi karena ia merupaan sacred canopy (langit-langit suci)
Kategori kedua, tafsir reaktif, tafsir model ini merupakan reaksi para pemikir modern terhadap berbagai kendala berat yang dihadapi wanita sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat yang dianggap berasal dari al-Qur’an . Persoalan yang dibahas seringkali berasal dari gagasan kaum feminis dan rasionalis tanpa dibarengi analisis dan komprehensif terhadap ayat-ayat bersangkutan sehingga terlihat terputus dari sumber ideologi atau teologi Islam yakni al-Qur’an. Reaksi mereka tidak berhasil membedakan antara penafsiran dan al-Qur’an
Kategori ketiga, tafsir holistik, tafsir model terakhir ini menggunakan metode penafsiran yang komprehensif dan mengkaitkannya dengan berbagai masalah sosial, moral, ekonomi dan politik modern termasuk isu tentang wanita. Tafsir model ini merupakan kontribusi penting Wadud dalam merekonstruksi tafsir-tafsir yang ada.
Setiap pemahaman dan penafsiran terhadap suatu teks termasuk teks kitab suci al-Qur’an tidak terlepas dari perspektif mufassirnya. Cultural background, prejudice yang melatarbelakanginya yang oleh Amina Wadud disebut prir text, sehingga tidak mengherankan meskipun teks itu tunggal, jika dibaca oleh beberapa orang hasilnya akan bervariasi, terkait dengan ini Wadud dengan tegas mengatakan: Although ear reading is unique, the understansing of various readers of single text will converge of many points” Menurut Wadud hal ini terjadi karena selama ini tidak ada metode tafsir yang benar-benar obyektif. Untuk memperoleh penafsiran yang relatif obyektif Wadud menawarkan untuk kembali ke prinsip-prinsip dasar dalam al-Qur’an sebagai kerangka paradigmanya yang lebih lanjut Wadud juga mensyaratkan perlunya seorang mufassir memahami weltanschauung atau world view. Suatu metodologi yang dipinjamnya dari Fazlur Rahman.
Setelah melontarkan kritik terhadap pendekatan atomistik tafsir tradisional. Ia menawarkan metode tafsir tauhid untuk menegaskan betapa kesatuan al-Qur’an merambah seluruh bagiannya. Tujuan dari metode tafsir ini adalah untuk menjelaskan dinamika antara hal-hal yang universal dan partikular dalam al-Qur’an. Al-Qur’an berusaha menetapkan dasar pedoman moral yang universal. Tentu saja kondisi jazirah Arab abad ke-7 melatarbelakangi al-Qur’an dan tujuan bimbingannya yang universal.  Pada dasarnya yang diinginkan Amina Wadud adalah bagaimana menangkap spirit Al-Qur’an secara utuh, holistik dan integral. Jadi, jangan sampai sebuah penafsiran itu terjebak kepada teks-teks yang bersifat parsial dan legal formal, tapi lebih ditekankan bagaimana menangkap keseluruhan ide dan spirit (ruh) yang ada di balik teks. Sebab problem penafsiran Al-Qur’an sesungguhnya adalah bagaimana memahami teks Al-Qur’an (nass) yang terbatas dengan konteks yang tak terbatas. Lebih-lebih dalam waktu yang bersamaan kita ingin menjadikan Al-Qur’an selalu relevan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Metode tafsir tauhid perspektif Amina Wadud ini merupakan salah satu bentuk metode penafsiran yang di dalam pengoperasiannya dimaksudkan untuk memperoleh kesimpulan makna suatu teks atau ayat. Dalam metode tersebut seorang mufassir harus selalu menghubungkan tiga aspek yaitu (1) Dalam konteks apa teks itu ditulis. Jika kaitannya dengan Al-Qur’an, maka dalam konteks apa ayat ini diturunkan, (2) Bagaimana komposisi tata bahasa teks (ayat) tersebut, bagaimana pengungkapannya, apa yang dikatakannya, (3) Bagaimana keseluruhan teks (ayat), Weltanschauung-nya atau pandangan hidupnya
Sebagai langkah teknis ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, ketiga prinsip tersebut dapat dielaborasi lebih lanjut sebagai berikut, yaitu setiap ayat yang hendak ditafsirkan dianalis (1) Dalam konteksnya; (2) Dalam konteks pembahasan topik yang sama dalam Al-Qur’an; (3) Menganalisa bahasa yang sama dan struktur sintaksis yang digunakan di seluruh bagian Al-Qur’an; (4) Bersikap benar-benar berpegang teguh pada prinsip-prinsip Al-Qur’an; (5) Menurut konteks Weltanschauung Al-Qur’an atau pandangan dunianya.Walaupun model penafsiran ini diklain “baru”, tapi dengan penuh kejujuran, akhirnya Wadud mengakui bahwa ia terinspirasi dan bahkan sengaja meminjam metode yang ditawarkan Rahman. Dengan jujur dikatakan “thus, I attempt to use the method of Qur’anic interpretation proposed by Fazlur Rahman”.
Menurut Wadud, mufassir harus dapat menangkap prinsip-prinsip fundamental yang tak dapat berubah dalam teks Al-Qur’an itu sendiri, lalu penafsir melakukan refleksi yang unik untuk melakukan kreasi penafsiran sesuai dengan setting sosio-kultural masyarakat zamannya. Lebih lanjut Wadud menandaskan penafsiran itu sesungguhnya tidak hanya memahami teks, tapi juga memproduksi makna teks. Model penafsiran ini nampaknya mirip dengan Hermeneutika Gadamer yang ingin meniscayakan interpreter bukan saja mampu memahami teks tapi lebih lanjut juga sebagai komponen rekonstruksi sosial (Social Creation). Dengan begitu, maka teks itu menjadi “hidup” dan kaya akan makna. Teks itu akan menjadi dinamis pemaknaannya dan selalu kontekstual, seiring dengan akselerasi perkembangan budaya dan peradaban manusia. 
The Origins of the Human Kind  dan Kesetaraan Laki-laki-Perempuan
Dalam diskursus feminisme, konsep penciptaan perempuan merupakan isu yang sangat penting dan mendasar untuk dibicarakan sebab konsep kesetaraan (al-musawah/equality) atau tidak kesetaraan dapat dilacak akarnya dari konsep penciptaan perempuan. Dalam pembahasan mengenai kesetaraan ini, Wadud menarik ke akar teologis permasalahannya, yakni pada asal usul penciptaan manusia sebagaimana dijelaskan QS. Al-Nisa (4) dan QS. Ar-Rum (30:2). Dalam hal ini yang menjadi obyek analisis Wadud adalah kata min, nafs wahidah dan kata zawj.
Kata min dalam gramatika bahasa Arab setidaknya mempunyai dua fungsi, selain digunakan untuk kata depan ‘from’ dalam bahasa Inggris yang menunjukkan arti penarikan sesuatu hal dari hal-hal lain. Juga dapat digunakan untuk menunjukkan “arti dari sifat yang sama dengan”. Namun mufassir klasik menjatuhkan pilihan pada makna ‘from’. Padahal dalam ayat lain yang semisal (baca QS Al-Rum (30): 21 dan Al-Taubah (9): 128) ketika disebut min dan nafs min  itu diartikan “dari jenis-jenis yang sama” (min al-jinsiyah).
Menurut Wadud kata nafs menunjukkan asal-usul semua manusia secara umum. Dalam versi Al-Qur’an asal-usul manusia tidak dinyatakan dalam istilah jenis kelamin dan Al-Qur’an juga tidak pernah menyatakan bahwa Allah memula penciptaan manusia dengan nafs dalam arti Adam. Pendapat Wadud ini didasarkan pada analisis linguistiknya terhadap kata nafs, yang menurut tinjauan tata bahasa, nafs adalah feminim (muannath majazi). Dan menurut konsepsi, nafs tidak maskulin maupun feminim dan menjadi bagian esensi dari setiap orang laki-laki atau wanita. Berdasarkan analisis ini dengan tegas Wadud menyatakan: “The Qur’anic version of creation of human kind is nor expressed in gender term.
Demikian pula kata zawj, sesungguhnya bersifat netral, karena secara konseptual kebahasaan juga tidak menunjukkan bentuk mu’annath (feminim) atau mudzakkar (maskulin). Kata zawj yang jamaknya azwaj ini juga sering digunakan untuk menyebut tanaman (QS. 55-52) dan hewan (QS. Hud (11): 40) disamping untuk manusia. Pertanyaannya adalah mengapa para mufassir jatuh pada pilihan menafsirkan kata zawj dengan istrinya, yaitu hawa yang berjenis kelamin perempuan? ternyata menurut Amina Wadud, para mufassir seperti Al-Zamakhshari dan lainnya, melakukan hal itu karena berdasar pada bibel. Dalam hal ini penulis kurang sependapat dengan Amina Wadud, karena sesungguhnya telah ditemukan hadits shahih secara metodologis yang menjadi dasar para mufassir untuk menafsirkan kata nafs wahidah dengan Adam, dan zawj dengan hawa. Memang hadith tersebut sering dipertanyakan keabsahannya oleh sebagian ulama, termasuk para feminis, seperti Riffat Hassan dan Amina Wadud. Yang jelas sepengetahuan penulis, para ulama tidak merujuk pada Bibel ketika menafsirkan (QS. Al-Nisa’ (4): 1), mengenai fenomena pasangan (azwaj) dalam penciptaan manusia. Hal ini menurutnya sesuai dengan Weltanschauung al-Qur’an yakni prinsip tauhid (keesaan Allah). Al-Qur’an menyatakan bahwa segala sesuatu itu diciptakan berpasangan, sedangkan Dia yang menciptakan tidaklah berpasangan, sang pencipta hanya satu.
Khotimah
Implikasi teoritis dari fenomena pasangan ini (aswaj) dalam penciptaan manusia bahwa antara laki-laki dan perempuan hendaknya saling melengkapi dan saling mengisi satu dengan yang lainnya. Keduanya harus dipandang secara equal (musawah) dan dalam hubungan fungsional, bukan struktural. Karena jika dilihat secara struktur akan cenderung melahirkan budaya sub ordinasi. Laki-laki dan perempuan ibaratnya dua sayap burung merpati yang keduanya harus berfungsi menggerakkan tubuh burung tersebut agar dapat terbang meluncur dengan lancar. Jika salah satu sayapnya patah atau sengaja dipatahkan, maka burung itu tidak akan bisa terbang baik, karena kehilangan keseimbangan. Itulah makna balancing power dan eksistensi perempuan bagi laki-laki, jadi laki-laki dan perempuan merupakan co-existence dan pro existence #








Tidak ada komentar:

Posting Komentar